Aneka Ragam Makalah

QADARIYAH DAN JABARIYAH | ALIRAN-ALIRAN KALAM



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Secara etimologi kata qadariyah berasal dari bahasa arab yaitu “qadara” yang dalam bahasa arabnya berarti berkuasa.  menurut bahasa arab, nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti “pemaksaan”. Selanjutnya sebagaimana dituliskan warson bahwa “Jabariyah” adalah aliran yang berfaham tidak adanya ikhtiar bagi manusia. Aliran jabariyah mempunyai pendapat yang terkenal mengenai perbuatan manusia.

Makalah Qadariyah dan Jabariyah oleh : Sufriyansyah
Pendahuluan
1.Pendahuluan
Pada masa daulah bani Umayah, para ulama hanyut dalam pembicaraan tentang taqdir yaitu tentang perbuatan tuhan dan perbuatan manusia. Berawal dari pertanyaan apakah manusia berkuasa penuh terhadap perbuatannnya ataukah sebaliknya tuhanlah yang berkuasa dalam menentukan perbuatan manusia itu sendiri. Dikatakan dalam perbincangan itu jika ada suatu perbuatan tertentu dari seorang manusia, maka ada beberapa kemungkinan :

1. Perbuatan itu karena kekuasaan Allah

2. Perbuatan itu karena Kekuasaan manusia

3. Perbuatan itu karena kekuasaan Allah dan Manusia

Dari masalah ini timbul aliran qadariyah yang berpendapat bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan yang di berikan tuhan kepadanya sehingga manusia mempunyai kekuasaan atau daya pada tindakan-tindakannya.[1] Manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendaknya sendiri dan manusia pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri. Dengan demikian aliran qadariyah berpendapat bahwa tuhan tidak berkuasa atas setiap perbuatan manusia.

Bertolak belakang dengan qadariyah, maka aliran jabariyah mengatakan bahwa tuhan berkuasa penuh atas perbuatan manusia karena sudah ditentukan sejak semula oleh qudrat dan iradat tuhan. Manusia menurut jabariyah tak ubahnya seperti wayang yang tidak bergerak kalau tidak digerakkan oleh dalang.[2] Oleh karena itu manusia tidak mempunyai kebebasan. Semua perbuatannya telah ditentukan tuhan semenjak Azal.

Berkaitan dengan persoalan diatas maka jelas sekali terlihat dan bertolak belakangnya kedua aliran (firqah) ini, sehingga antara Qadariyah dan Jabariyah tidak ada persamaan pendapat diantara keduanya. Walaupun kedua aliran ini dianggap menyesatkan oleh kebanyakan umat Islam, setidaknya kedua aliran ini telah membawa nuansa baru bagi sejarah teologi dalam Islam, dan turut memberikan sumbangan pemikiran yang besar bagi umat Islam untuk terus mencari kebenaran-kenaran dari tuhan.

2. Pengertian Qadariyah Dan Sejarah Kelahirannya

Secara etimologi kata qadariyah berasal dari bahasa arab yaitu “qadara” yang dalam bahasa arabnya berarti berkuasa [3] atau dapat juga diartikan dengan “dapat dan mampu” Sedangkan menurut terminologi dalam teologi Islam, maka qadariyah adalah nama yang dipakai untuk satu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham qadariyah, manusia dipandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar atau qada tuhan.[4] 

Para ahli berbeda pendapat mengenai kapan munculnya aliran qadariyah dan tentang kapan munculnya aliran ini tidak dapat di ketahui secara pasti, namun ada beberapa ahli yang menghubungkan paham qadariyah ini dengan paham khawarij. Pemahaman mereka tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri, baik atau buruk.[5]

Kebanyakan ahli mengatakan bahwa aliran qadariyah muncul pada akhir abad pertama Hijrah. Tokoh yang mempelopori aliran ini bernama Ma’bad al-Juhani al-Bishri, di tanah Iraq.[6] yang kemudian di ikuti oleh Ghailan al-Dimasyqi. Sementara itu Ibnu Nabatah sebagaimana yang dikutip Ahmad Amin bahwa paham qadariyah itu pertama kali muncul dari seseorang asal Iraq yang bernama Abu Yunus Sansawaih seorang penganut agama kristen dan masuk Islam, tetapi kemudian masuk Kristen lagi. Dari Tokoh inilah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi menerima paham qadariyah ini.

Setelah munculnya aliran ini dan berkembang dengan bertambahnya jumlah pengikutnya maka pemerintahan banu Umayyah khawatir akan timbulnya pemberontakan, Keberadaan qadariyah merupakan tantangan bagi bagi dinasti Umayyah sebab dengan paham yang di sebarluaskannya dapat menunjukkan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dan dan bertanggung jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan dinasti banu Umayyah yang negatip akan mendapat reaksi yang keras dari masyarakat, berbeda dengan paham murjiah yang menguntungkan pemerintah.[7]

Aliran qadariyah selanjutnya menempatkan diri sebagai oposisi pemerintahan umayyah, karena aliran ini banyak menentang kebijakan-kebijakan khalifah yang dianggap semena-mena dan merugikan rakyatnya . Apabila firqah jabariyah berpendapat bahwa khalifah banu umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan oleh Allah dan hal ini berarti merupakan topeng kekejaman banu umayyah, maka firqah jabariyah mau membatasi qadar tersebut.[8]

Menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’i yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan bani Umayah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’bad mati terbunuh pada tahun 80. Hijriah.[9] Dalam pada itu Ghailan sendiri terus menyiarkan faham qadariyah-nya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar Ibn Abd al-Azis. Setelah khalifah Umar wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama sehingga ia mati dihukum bunuh oleh Hisyam Ibn Abd al-Malik pada tahun 105 Hijriah.
3. Ajaran-Ajaran Qadariyah
Adapun pendapatnya yang khas sehingga karena itu golongan ini di sebut “qadariyah” adalah pendapatnya tentang kedudukan manusia diatas bumi. Golongan ini mengatakan bahwa manusia mempunyai iradah yang bebas dan berkuasa penuh dalam menentukan amal yang dilakukan dan karenanya ia bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan. Jika amalnya baik, balasannya juga baik dan jika buruk, maka balasannya juga buruk. Artinya nasib manusia ditentukan oleh manusia sendiri dan tuhan tidak ada campur tangan dalam hal tersebut.[10] Qadariyah menyatakan bahwa manusia tidak dipaksa dan bebas melakukan perbuatannya sendiri, tidak ada kekuatan terhadap segala perbuatannya kecuali atas kehendak manusia itu sendiri, berkata-kata, berjalan dan tidur atas kemauan dan kehendaknya sendiri [11] adapun alasan mereka mengenai hal tersebut adalah :
  • Kalau perbuatan itu diciptakan tuhan, sebagaimana dikatakan aliran jabariyah, maka apa perlunya ada taklif (perintah) dan hukum pada manusia.
  • Pahala dan siksa akan ada artinya apabila perbuatan manusia itu adalah perbuatannya sendiri.
  • Adanya ayat-ayat al-Qur’an tentang tanggung jawab manusia dan akibat perbuatan yang dilakukannya. 
Paham tersebut diatas menunjukkan adanya hubungan yang kuat dengan paham keadilan ilahi artinya bahwa Allah akan disebut adil apabila ia memberikan balasan kepada orang yang melakukan kebaikan yaitu berupa pahala begitu juga dengan orang yang melakukan keburukan, maka konsekwensinya berupa dosa dan akhirnya seseorang akan masuk kesorga atau keneraka atas tanggung jawabnya sendiri tanpa adanya campur tangan tuhan. Dengan demikian manusia bertanggung jawab penuh terhadap perbuatannya masing-masing. Inilah yang disebut kedilan tuhan menurut qadariyah. Selanjutnya paham ini masuk kedalam paham muktazilah.

Paham qadariyah dalam beberapa masalah, misalnya mengenai sifat-sifat Allah, mereka menafikan adanya sifat-sifat Allah, khususnya dalam sifat ma’ani. Ghailan mengatakan bahwa sifat-sifat tersebut bukan sesuatu yang berbeda dengan dzat, melainkan identik dengan dzat Allah. Al-Qur’an menurutnya adalah qadim, tidak baharu seperti yang dikatakan oleh Jahm bin Safwan, iman adalah pengakuan dengan hati dan lisan saja, sedangkan amalan bukan bagian dari iman, dan tentang politik Ghailan mengatakan bahwa khalifah atau imam itu boleh dilantik dari selain kaum Quraisy selagi ia mampu menjalankan ajaran al-Qur’an dan sunnah nabi dan tentunya juga ada konsensus umat atasnya.[12]

Tentang perbuatan manusia dan kemampuan manusia dalam menentukan perbuatannya menurut versi qadariyah diatas dapat dilihat bahwa qadariyah telah menggunakan interpretasinya untuk menunjukkan keadilan tuhan itu dapat disamakan dengan keadilan menurut akal (rasional) artinya keadilan tuhan bisa dinilai dengan keadilan menurut akal manusia. Pandangan inilah akhirnya masuk kedalam paham muktazilah sehingga terdapat persamaan-persamaan paham antara satu firqah dengan firqah lainnya, hingga nanti dapat ditemukan tokoh kalam yang pada suatu pandangan ia masuk kedalam suatu firqah, namun pada pandangan lainnya ia sudah masuk kedalam firqah yang lain.

Didalam al-Qur'an dapat dilihat beberapa ayat yang menjadi landasan aliran qadariyah dalam mempertahankan pendapatnya, seperti :

ﺮﻳﺻﺒ ﻦ ﻮﻟﻣﻌﺗ ﺎﻣﺒ ﻪﻧﺍ ﻢﺗﺋﺷ ﺎﻤ ﺍﻮﻠﻣﻋﺇ

“Kerjakan apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kamu perbuat”[13]

ﻤﻬﺴﻓﻨﺄﺒ ﺎﻣﺍﻭﺮﻳﻐﻳ ﯽﺘﺣ ﻣﻭﻗﺒ ﺎﻤﺮﻳﻐﻳﻻﷲﺍﻥﺍ

“Allah tidak akan merubah apa yang ada pada suatu bangsa, sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka.”[14]

ﻣ 4401;ﺴﻓﻧﺍﺪﻧﻋ ﻦﻣﻭﻫﻞﻗ ﺍﺫﻫﻰﻧﺍﻡﺘﻟﻗ ﺎﻬﻴﻟﺜﻣ ﻡﺘﺒﺼﺃﺩﻗ ﺔﺒﻳﺼﻣ ﻣﻜﺘﺒﺎﺼﺃﺎﻤﻠﻮﺃ

“Bagaimana? Apabila bencana menimpa diri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang berlipat ganda (pada kaum musyrik pada perang badar) kamu bertanya? Dari mana datangnya ini? Jawablah : dari kamu sendiri.”[15]

4. Pengertian Jabariyah Dan Sejarah Kelahirannya
menurut bahasa arab, nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti “pemaksaan”. Selanjutnya sebagaimana dituliskan warson bahwa “al-Jabariyyah” adalah aliran yang berfaham tidak adanya ikhtiar bagi manusia.[16] Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Paham ini dalam istilah Inggris disebut fatalism atau predestination. Secara terminologi dapat dikatakan bahwa paham jabariyah adalah paham yang memandang bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat sesuatu, ia tidak mempunyai daya, kekuasaan, kemauan dan pilihan. Manusia berbuat secara terpaksa. Allah pencipta tindakannya, manusia tak ubahnya dengan benda-benda lain, misalnya pohon berbuah; yang menciptakan buah adalah Allah bukan pohon itu.[17]


Dalam catatan sejarah, bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham jabariyah dikalangan umat Islam adalah Ja’ad Ibn Dirham. Pandangan-pandangan Ja’ad ini kemudian disebarluaskan dengan sungguh-sungguh oleh para pengikutnya, terutama oleh Jahm Ibn Safwan pada awal abad kedua hijrah, sehingga jabariyah terakhir disebut juga dengan jahamiyah.


Banu umayyah, atau lebih tepatnya sebagian dari khalifah-khalifah mereka pernah memanfaatkan paham jabariyah sebagai pembenar bagi tindakan-tindakan mereka atas umat Islam. Telah menjadi ketentuan Allah, bahwa mereka berkuasa dan bahwa si anu dibunuh oleh algojo mereka dan sebagainya.[18] Kemudian nantinya paham jabariyah yang dikemukakan oleh Jaham Ibn Safwan itu adalah paham jabariyah ekstrim. Sementara itu paham jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar bin Amr.[19]
5. Ajaran-ajaran jabariyah
Aliran jabariyah mempunyai pendapat yang terkenal mengenai perbuatan manusia, sebagaimana yang dikemukakan prof. Taib Thahir sebagai berikut : Qudrat dan iradat itu adalah sebagai alat yang dibekukan dan sudah di cabut kekuasaannya. Adapun hakekatnya, segala pekerjaan dan usaha yang kita lakukan, dan semua gerak gerik yang lahir kita lihat sehari-hari ini merupakan paksaan dari Allah SWT semata-mata, sedangkan manusia itu tidak campur tangan sedikitpun jua. Bahkan kebaikan dan kejahatan yang diperbuat oleh manusia, adalah semata-mata paksaan tuhan belaka. Yang kemudian Allah membalasnya kelak dengan kenikmatan atau siksaan.[20] 

Mengenai perbuatan manusia, maka aliran jabariyah terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat dibawa oleh Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar bin Amr sedangkan jabariyah ekstrin dibawa oleh Jaham bin safwan. Golongan jabariyah ekstrim memandang bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya, misalnya kalau seseorang mencuri, maka perbuatan mencuri bukanlah atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar tuhan yang menghendaki demikian. Dengan itu mereka berpendapat bahwa sebenarnya manusia tidak mampu berbuat apa-apa, manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.

Adapun jabariyah moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan didalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition). menurut paham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh tuhan) tidaklah seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang, tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh tuhan.[21]

Selanjutnya aliran jabariyah berpendapat bahwa pembalasan surga dan neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya, dan balasan kejahatan yang dilarangnya. Tetapi surga dan neraka itu semata-mata bukti kebesaran Allah dalam qudrat dan iradatnya.[22] Sehingga dalam segi-segi tertentu, jabariyah dan muktazilah mempunyai kesamaan pendapat misalnya tentang sifat Allah, surga dan neraka tidak kekal, Allah tidak bisa dilihat diakhirat kelak, al-Qur’an itu makhluk dan lain-lain.

Mengenai perbuatan manusia, jaham mengatakan bahwa manusia adalah dalam keadaan terpaksa, tidak bebas dan tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun untuk bertindak dalam mengerjakan sesuatu. Allah-lah yang menentukan sesuatu itu kepada seseorang apa yang dikerjakannya, baik yang dikehendaki manusia itu ataupun tidak. Jadi Allah ta’ala-lah yang memperbuat segala pekerjaan manusia. Alasannya mengenai hal ini adalah :
Kalau manusia dapat berbuat, berarti ia menjadi sekutu bagi tuhan atau sekurang-kurangnya bisa mengadakan perbuatan yang mungkin tidak tunduk kepada kehendak tuhan.
Adanya ayat yang menurut lahirnya bahwa tuhanlah yang menjadikan segala sesuatu termasuk juga perbuatan manusia, misalnya dalam surat as-Shafat: 96, dan az-Zumar: 62.[23]

Mengenai sifat Allah, ia mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat-sifat, karena Allah hanyalah mempunyai zat saja. Walaupun terdapat ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat tuhan seperti sama’ , bashar, kalam dan sebagainya semuanya harus ditakwilkan. Mengartikan secara yang lahir saja, tentulah mengakibatkan pengertian serupanya Allah dengan makhluknya. Keadaan demikian, mustahil disisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu wajib ditakwilkan dalam memahaminya.[24]

Terhadap al-Qur’an jabariyah berpendapat bahwa Qur’an itu adalah makhluk Allah yang dibuat (baharu). terhadap Allah bahwa Allah tidak mungkin dapat terlihat oleh manusia, walaupun diakhirat kelak, mengenai surga dan neraka, kelak sesudah manusia semuanya masuk kedalamnya, dan sesudah merasakan pembalasan bagaimana nikmatnya surga dan bagaimana azabnya neraka, maka lenyaplah surga dan neraka itu.

Gerakan dan dan golongan ini mendapatkan tantangan yang hebat dari dan ulama-ulama diluar jahamiah yang menolak dan memberantas aliran tersebut, penolakan ini didasarkan karena aliran jabariyah dapat menjadikan manusia malas dan selalu berputus asa, tidak mau bekerja dan bahkan akan berserah diri kepada qadar saja, keadaan semacam ini pasti akan membawa kemunduran bagi umat Islam. Didalam al-Qur’an sendiri terdapat beberapa ayat yang dapat dijadikan pedoman  bagi kaum jabariyah, diantaranya :

ﻥﻮﻟﻣﻌﺗﺎﻣﻮ ﻣﻜﻗﻟﺧ ﷲﻮ
“Alah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.”[25]

ﷲﺍﺀﺎﺷﻳ ﻥﺍﻻﺍﻥﻭ ﺀﺎﺷﺘﺎﻤﻮ

“Tidaklah kamu menghendaki, kecuali Allah menghendaki”[26]

ﺎﻫﺃﺭﺑﻧ ﻦﺍﻞﺒﻘ ﻥﻣ ﺏﺎﺘﻛ ﻰﻔﻻﺇ ﻣﮑﺴﻓﻧﺍﻰﻔ ﻻﻮ ﺽﺭﻷﺍﻰﻔ ﺔﺒﻴﺼﻤ ﻥﻤ ﺐﺎﺼﺍﺎﻤﻮ

“Tidak ada bencana yang menimpa dibumi dan diri kamu, kecuali telah (ditentukan) didalam buku sebelum kami wujudkan.”[27]

ﻰﻣﺮ ﷲﺍﻦﻜﻟﻮﺖﻴﻣﺭﺫﺍﺖﻴﻣﺭﺎﻣﻮ

“Bukanlah engkau yang melontar ketika kamu melontar (musuh), tetapi Allahlah yang melontar( mereka).” [28]
dafatar Pusataka dan Footnote
Daftar Pustaka
  • Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Cet III, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
  • Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta, Bulan Bintang, 1997
  • Ahmad Hanafi, Teologi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1991
  • Ali Mustafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firqu Al-Islamiyah, kairo, 1959
  • Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta, UI-Press, 1986
  • Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta, UI-Press, Cet VI, 1986
  • Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, 1988
  • Machasin, Menyelami kebebasan Manusia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996
  • Rosihan Anwar & Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2003
  • Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Cet III, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996
  • Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam, Cet VIII, Jakarta, Wijaya, 1986
  • Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993
Footnote
  • [1] Jalaluddin rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, h. 8
  • [2] Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta, UI-Press, 1986, h. 26
  • [3] Ahmad Warson, Al-Munawwir, Cet II, Pustaka Progresif, Ygyakarta, 1984, h. 1177
  • [4] Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta, UI-Press, 1986, h. 26
  • [5] Ibid., h. 31
  • [6] Thaib Thahir Abd Muin, Ilmu Kalam, Cet VIII, Wijaya, Jakarta, 1986, h. 238
  • [7] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, h. 110
  • [8] Sakihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Cet III, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, h. 129
  • [9] Harun Nasution, Teologi.,OP Cit, h. 32
  • [10] Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997, h. 27
  • [11] Ali Mustafa Al-Ghurabi, Tarikh al-Firqu al-Islamiyah, kairo, 1959, h. 21
  • [12] Ahmad Daudi, Op Cit., h. 25-26
  • [13] Q.S. as-Sajadah, ayat: 40
  • [14] Q.S. al-Ra’d, ayat :11
  • [15] Q.S. Ali Imran, ayat: 164
  • [16] Ahmad Warson, Op Cit., h. 177
  • [17]Jalaluddin Rahman, Op Cit., h. 86
  • [18] Lihat : Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. 127
  • [19] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Cet III, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, h. 42
  • [20] Taib Thahir, Op Cit., h. 240
  • [21] Rosihan Anwar & Abdul Razak, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, 2003, h. 160
  • [22] Salihun, Op Cit., h. 134
  • [23] Lihat: Ahmad Hanafi, Teologi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 199i, h. 154-155
  • [24] Taib Thahir, Op Cit., h. 101
  • [25] Q.S. as-Shafat, Ayat: 96
  • [26] Q.S. al-Insan, Ayat: 30
  • [27] Q.S. al-Hadid, Ayat: 22
  • [28] Q.S. al-Anfal, Ayat: 17


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved