Aneka Ragam Makalah

Makalah Hadist Ahad



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Kita telah melihat bahwa meskipun para imam Mazhab besar semuanya sepakat mengenai pentingnya empat prinsip dasar hukum Islam (al-Quran, Sunnah, ijma’ dan Qiyas), perbedaan-perbedaan tertentu masih terjadi dan tetap dalam ketentuan-ketentuan hukum mazhab-mazhab mereka. Perbedaan-perbedaan tersebut muncul kerena alasan yang beragam, dan alasan utama terkait dengan aspek-aspek interpretasi makna kata, susunan gramatikal. riwayat hadist yang meliputi keberadaan, kesahihan, syarat-syarat penerimaannya dan interpretasi atas teks-teks hadist yang berbeda sumber periwayatannya.

Berdasarkan deskipsi di atas, penulis ingin membahas serta mengkaji secara global klasifikasi hadist, defenisi dan jenis-jenis hadist ahad dan keterkaitannya, serta melihat bagaimana pendapat para Imam Mazhab dalam menyingkap qiyas dan relevansinya terhadap hadist ahad dan keberadaan masing-masing.

B. Klasifikasi Hadist, Defenisi Serta jenis-jenisnya.

Klasifikasi hadist berdasarkan jumlah perawi, dapat dikelompokkan kepada dua, yaitu: Hadist Mutawātir dan hadist ahad.1 Sementara di antara Ulama Hadist, ada yang membagi menjadi tiga, yaitu: Hadist Mutawatir, Hadist Masyhur dan hadist Ahad.2 Pada sesen ini penulis khusus membicarakan tentang hadist ahad.

Kata ahad berarti “satu”. Khabar al-Wāhid adalah kabar yang diriwayatkan oleh satu orang.3 Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadist, Hadist Ahad berarti :

هو ما لم يجمع شروط المتواتر.

“Hadist yang tidak memenuhi syarat mutawatir”.

’Ajjaj al-Khathib, yang membagi hadist berdasarkan jumlah perawinya kepada tiga, bahwa ia mengatakan defenisi Hadist Ahad sebagai berikut:

هو ما رواه الواحد أ و اﻹ ثنان فاكثر مما لم تتوفو فيه شروط المشهور أو المتواتر.

“Hadist Ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadist Masyhur atau Hadist Mutawatir”.

Dari definisi ‘Ajjaj al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadist Ahad adalah hadist yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadist Mutawatir ataupun Hadist Masyhur. Di dalam pembahasan berikut, yang menjadi pedoman penulis adalh defenisi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama Hadist, yang mengelompokkan Hadist Masyhur ke dalam kelompok Hadist Ahad.

Adapun jenis-jenis Hadist Ahad terbagi kepada tiga macam, yaitu: Masyhur, ‘Aziz dan Gharib.

1. Hadist Masyhur.

Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari Syahara, yang berarti “al-zhuhur”, yaitu nyata. Sedangkan pengertian Hadist Masyhur menurur istilah Ilmu Hadist adalah:



ما رواه ثلا ثة – في كل طبقة – ما لم يبلغ حدّ التواتر.

“Hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat Mutawatir”.

Menurut Ibnu Hajar, Hadist Masyhur adalah:

المشهور ما له طرق محصورة باكثر من ا ثنين ولم يبلغ حدّ التواتر.

“Masyhur adalah Hadist yang memiliki jalan yang terbatas, yaitu lebih dari dua namun tidak sampai ke derajat Mutawatir”.

Di samping itu juga ada istilah lain yang sering disamakan dengan Masyhur, yaitu al- Mustafidh. Dimana al-Mustafidh secara bahasa adalah isim fa’il dari istifadha, berasal dari kata fadha, yang berarti “melimpah”. Para Ulama Hadist berbeda pendapat delam memberikan defenisi al-Mustafidh kepada tiga, antara lain:

1. Sama pengertiannya (muradif) dengan Masyhur.

2. Lebih khusus pengertiannya dari masyhur, karena pada Mustafidh disyaratkan kedua sisi sanadnya harus sama, sedangkan pada Masyhur tidak disyaratkan demekian.

3. Lebih luas dari Masyhur, yaitu kebalikan dari pengertian nomor (2) di atas.

Hukum Hadist Masyhur tidak ada hubungannnya dengan shahih atau tidaknya suatu hadist, karena di antara Hadist Masyhur terdapat hadist yang mempunyai status Shahih, Hasan atau Dha’if dan bahkan ada yang Maudhu’. Akan tetapi, apabila suatu hadist masyhur tersebut berstatus shahih, maka hadist masyhur tersebut hukumnya lebih kuat daripada Hadist ‘Aziz dan Gharib.4

Selain Hadist Masyhur yang dikenal secara khusus di kalangan Ulama Hadist, sebagaimana yang telah dikemukakan definisinya di atas dan disebut dengan al-Masyhur al-Ishthilahi, juga terdapat Hadist Masyhur yang dikenal di kalangan ulama lain selain ulama Hadist dan di kalangan umat secara umum. Hadist Masyhur dalam bentuk yang terakhir ini disebut dengan al-Masyhur Ghair Ishthilahi yang mencakup hadist-hadist yang sanad-nya terdiri dari satu orang perawi atau lebih pada setiap tingkatannya, atau bahkan yang tidak mempunyai sanad sama sekali.

Dengan demikian, Hadist Masyhur dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu:

(1). Hadist Masyhur di kalangan ahli hadist, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih. Contohnya hadist yang berasal dari Anas r.a., dia berkata:

انّ رسول اﷲ صلى اﷲ عليه وسلم قنت بعد الركوع يدعو على رعلٍ وذكوانٍ.

}رواه البخا رى و مسلم {

Bahwasanya Rasulullah SAW berkunut selama satu buan setelah ruku’ mendo’akan hukuman atas (tindakan kejahatan) penduduk Ri’lin dan Dzakwan. (HR Bukhari dan Muslim).

(2). Hadist Masyhur di kalangan Fugaha, seperti hadist:

أبغض الحلا ل الى اﷲ الطلا ق.} رواه ابو داود وابن ما جه{

“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak. (HR Abu Daud dan Ibn Majjah”.

(3). Hadist Masyhur di kalangan Ulama Figh, contohnya:

رفع عن أمتي الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه.} رواه ابن ما جه {

“ Diangkatkan (dosa/hukuman) dari umatku karena tersalah(tidak disengaja), lupa, dan perbuatan yang dilakukan kerena terpaksa.(HR Ibn Majjah).

(4). Hadist Masyhur di kalangan Ulama Hadist, Fugaha, Ulama Ushul Figh dan kalangan awam, seperti:

المسلم من سلم المسلمون من لسا نه ويد ه, والمها جر من هجر ما حرّم اﷲ .

}رواه البخا رى و مسلم {

“ Muslim yang sebenarnya itu adalah orang yang selamat menyelamatkan muslim-muslim lainnya dari akibat lidah dan tangannya, dan orang yang berjihad itu adalh orang yang pindah(meninggalkan segala perbuatan yang diharamkan Allah”. (HR Bukhari dan Muslim).

(5). Hadist Masyhur di kalangan ahli Nahwu, seperti:

نعم العبد صهيب.

“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib”

(6). Hadist Masyhur di kalangan awam, seperti:

العجلة من ا لشيطا ن. } رواه الترمذي {

“Tergesa-gesa itu adalah dari (perbuatan) setan. (HR Tirmidzi).



2. Hadist ‘Aziz

‘Aziz menurut bahasa adalah shifah musyabbahat dari kata ‘azza – ya ’izzu yang berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau berasal dari kata ’azza – ya ’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu “kuat” dan “sangat”.5

Menurut istilah Ilmu Hadist, ’Aziz berarti:

أن لا يقبل رواته عن اثنين في جميع طبقا ت السند .

“Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad”.

Definisi di atas menjelaskan bahwa Hadist ’Aziz adalah Hadist yang perawinya tidak boleh kurang dari dua orang pada setiap tingkatan sanad-nya, namun boleh lebih dari dua orang, seperti tiga, empat atau lebih, dengan syarat bahwa salah satu tingkatan sanad harus ada yang perawinya terdiri atas dua orang. Hal ini adalah untuk membedakan dari Hadist Msyhur.

Contoh Hadist ’Aziz adalah:

ما رواه البخاري عن ابي هريرة رضي الله عنه انّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحبّ اليه من والده ولده .

“Hadist yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Hadist Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak beriman salah seorang kamu sehingga aku lebih dicintainya dari orang tuanya dan anaknya”.

Hadist tersebut di atas diriwayatkan dari Abu Hurairah dan juga Anas, dan dari Anas oleh Qatadah dan ’Abd al-Aziz ibn Shuhaib, dan diriwayatkan dari Qatadah oleh Syu’bah dan Sa’id, dan diriwayatkan dari ’Abd al- ’Aziz oleh Isma’il ibn ’Aliyah dan ’Abu al- Waris. Dan diriwayatkan dari masing-masingnya oleh sekelpmpok (banyak) perawi.

3. Hadist Gharib

Menurut bahasa, kata gharib adalah shifah musyabbahat yang berarti al- munfarid atau al- ba’id ‘an aqaribihi,6 yaitu “yang menyendiri” atau jauh dari kerabatnya”.

Gharib menurut istilah Ilmu Hadist:

هو ما ينفرد بروايته راو واحد.

“Yaitu: Hadist yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya”

Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap hadist yang diriwayatkan oleh seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan sanad dan bahkan mungin hanya pada satu tingkatan sanad, maka hadist tersebut dinamakan Hadist Gharib.

Menurut Ulama Hadist, Hadist Gharib terbagi dua, yaitu: Gharib Muthlaq dan Gharib Nisbi.

a. Gharib Muthlaq, yaitu:

ما ينفرد بروايته شخص واحد في أصل سنده .

“Hadist yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada ashal sanad.”7

Contoh Hadist Gharib Muthlaq, mengenai niat:

إنما اﻷعمال بالنّيا ت.} أخرجه الشيخا ن {

“Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niat”.

Hadist niat tersebut hanya diriwayatkan oleh ’Umar ibn al- Khattab sendiri di tingkat sahabat.

b. Gharib Nisbi, adalah:

هو ما كا نت الغرابه في أثنا ء سنده.

“Hadist yang terjadi Gharib di pertengahan sanad-nya”.

Hadist Gharib Nisbi ini adalah hadist yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), namun dipertengahan sanadnya terdapat tingkat yang perawinya hanya sendiri (satu orang ).

Contoh Hadist Gharib Nisbi, yaitu:

ما رواه ما لك عن الزهري عن أنس رضى الله عنه أنّ النبي صلى الله عليه و سلّم دخل مكة وعلى رأسه المغفر.} أخرجه الشيخان {

“Hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari al- Zuhri dari anas r.a., bahwasanya Nabi SAW memasuki kota Mekkah dan di atas kepalanya terdapat al-mighfar (alat penutup kepala). (HR Bukhari dan Muslim).



C. Pendapat para imam Mazhab tentang beramal dengan Khabar wahid dan Qiyas menurut Kitab ‘Asar al- Ikhtilaf fi al- Qawa’id al-‘Ushulliyah.

Perbedaan Khabar Wahid dan Qiyas kerap terjadi pada beberapa segi, apabila hal tersebut terjadi, maka timbul pertanyaan, apakah didahulukan Khabar atau Qiyas atau sebaliknya.?

Para Ahli Ushul memandang beberapa perbedaan antara kedua istilah itu dari sudut pandang mereka masing-masing dalam masalah yang bersifat furu’, baik itu sebelum perbedaan itu timbul, dan juga dapat dilihat dari sudut susunannya. Semestinya kita harus mengetahui topik atau sasaran dari sudut perbedaan tersebut.

Para Pakar Ushul memiliki persepsi dan pendapat mengenai penjelasan perbedaan pada masalah Hadist Ahad dan Qiyas, di mana perjelasan tersebut bersifat umum dan tidak terikat, Abu Husein al-Bisri berkomentar pada perbincangan tentang hal itu di mana; sesungguh Qiyas dapat menerangkan Khabar Wahid, apabila ’illat (dalil Qiyas itu berupa nash yang qath’i, sedangkan Hadist Ahad berupa nash yang dhanni). Melihat ondisi demikian, maka wajib beramal dengan Qiyas tanpa adanya perbedaan sama sekali, sebab nash yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu dalil hukum, maka Hadist Ahad menjadi lemah kedudukannya, sebab nash yang dijadikan dasar hukum merupakan dalil yang dhanni. Jika seandainya ini menjadi barometer dalam penentuan hukum secara benar, maka yang diakui adalah Qiyas yang merupakan dasar pertama. Ini disebabkan dalil yang dipergunakan adalah dali yang bersifat hukum secara jelas dan akurat tanpa ada faktor-faktor lainnya.

Setiap dugaan terdapat kemunginan walau sedikit yang dapat dijadikan pelajaran dalam istilah Hadist, dan jika dalam menentukan suatu formulasi hukum dalail-dalil yang diambil adalah nash-nash qath’i, maka Khabar dapat menjelaskan kedudukan Qiyas sebagai Hadist Ahad, dan ini menjadi masalah perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Al-Amidiy secara bebas menerangkan hal-hal yang menjadi perbedaan dengan berkata: bahwa yang masyhur mengenai hal tersebut sebagaimana disebutkan baik matan itu qath’i, atau dhanni, maka jika matannya qath’i sesuai dengan nash dalam menetapkan hukum, maka dalilnya adalah Qiyas. Seandainya tidak qath’i , maka ia sama dengan dalil-dalil dari Hadist Ahad walaupun rajih atau marjuh. Selanjutnya beliau mengatakan apabila terdapat suatu dalil yang menunjukkan pada pengistimbatan hukum, maka Hadist didahulukan atas Qiyas secara muthlak.

Para Ulama Mazhab terjadi perbedaan persepsi dalam memandang kehujjahan dari setiap yang terjadi di antara mereka, antara lain:

1. Menurut pendapat Imam Syafi’i , Ahmad bin Hambal dan Jumhur Para Imam Hadist kepada tarjihnya suatu hadist terhadap qiyas sama-sama berdasarkan kreteria perawi baik ia seorang yang ’alim atau seorang faqih atau belum memenuhi ciri-ciri tersebut, di mana kesemua itu dengan syarat ’adil dan dhabit. Syeikh Abu Hasan al-Kharakhie dari Mazhab Hanafi mendukung mazhab ini. Adapun alasan mereka, bahwa Nabi Muhammad SAW ketika mengutus Mu’adz, maka Rasulullah berkata “ Wahai Mu’adz dengan apa engkau memutuskan suatu perkara, maka Mu’adz menjawab : dengan al-Qur’an lantas kemudian beliau bertanya, jika tidak dijumpai dalam al-Qur’an, maka Mu’adz menjawab dengan Hadist Rasulullah SAW, seandainya tidak ada dalam Hadist, maka ia menjawab: saya berijtihad dengan pendapatku sungguh selanjutnya beramal dengan Qiyas yang sesuai dengan Sunnah baik itu mutawatir ataupun Ahad. Kemudian Rasulullah membenarkan hal demikian.

2. Menurut pendapat Isya bin Aban, bahwa seorang perawi harus dhabit dan ’alim dan tidak cacat, maka wajib mendahulukan qiyas dan ini memerlukan ijtihad. Sedangkan menurut perkataan para Ulama Hanafiyah bahwa tidak wajib beramal dengan Hadist Ahad apabila terdapat perbedaan pendapat dengan Qiyas, jka perawinya tidak faqih. Al-Badzdhawi dalam ushulnya berkata: Adapun periwayatan suatu Hadist, seorang perawi harus terkenal dengan keadilan serta kedhabitannya, seperti Abi Hurairah, Anas bin Malik, jika bersepakat untuk Qiyas, maka kita wajib beramal dengannya. Para Sahabat mereka mendahulukan Qiyas daripada Hadist Ahad, Ibnu Abbas tatkala mendengar perkataan dari Abi Hurairah pada masalah wudhu’, beliau tidak menolaknya dan tidak beramal dengannnya. Dan ia berkata jikalau berwudhu’ dengan air yang terdapat di suatu piring, maka itu termasuk wudhu’ di antaranya.

3. Imam Malik berpendapat bahwa ia mendahulukan Qiyas atas Hadist Ahad secara muthlak. Inilah yang ditegaskan oleh beliau, kecuali orang yang mengambil nash-nash yang bersifat qaht’i dan mereka mengatakan bahwa pendapat tersebut menjadi batal karena terdapat kesalahan yang besar, dan sesungguhnya menegaskan pendapat ini dengan mengatakan bahwa tidak mengetahui pendapat tersebut secara detail.

Khabar Wahid dapat diterima pada hal-hal yang bersifat umum. Keberadaan Hadist Ahad pada suatu keputusan terhadap apa yang umum dan kerap terjadi antar manusia secara kebiasaan, maka timbul pertanyaan, apakah hal itu membutuhkan kepada Hadist Ahad atau sebaliknya.

Jumhur Ulama di kalangan Ulama Ushul, seperti Asy- Syafi’i dan kebanyakan para Ulama Hadist memandang bahwa diterimanya hdis tersebut jika keberadaan sanad-nya shahih. Abu Hasan al-Kharakhie dari kalangan Hanafiyah dan kebanyakan ulama Mutaakhirin dari kalangan Hanafiyah menolak hadist tersebut dan tidak beramal dengannya.

Orang-orang yang mengatakan bahwa beramal dengan Hadist Ahad tersebut meliputi beberapa unsur, antara lain:

1. Harus mengetahui sebab sebab turunnya suatu hadist secara muthlak, baik dari segi perbedaan dalam kontks umum atau tidak.

2. Menurut kesepakatan para sahabat beramal dengan Hadist Ahad selama dalam pembahasan universal. Seperti; yang diriwayatkan oleh ibn ’Umar, sesungghnya ia berkata: sebagaimana kami saling mengkhabarkan selama 40 tahun, dan kami beranggapan tidak mengapa bermasalah. Sehingga Rafi’ bin Khadij telah meriwayatkan kepada kami, bahwa Nabi SAW melarang tentang itu, maka kamipun berhenti. Di antara itu pula, para sahabat setelah terjadi perbedaan pendapat antara mereka dalam hal wajib mandi, jika bertemu dua kemaluan tanpa keluar mani. Mereka meruju’ kepada Hadist ’Aisyah r.a. : Apabila bertemu dua kemaluan, maka ia wajib mandi baik dalam keadaan keluar ataupun tidak, adapun dasarnya saya (’Aisyah) dan Rasulullah kami mandi bersama.

3. Hal-hal yang rasional. Artinya keberadaan perawi dalam sebuah hadist harus mempunyai kreteria ’adil dan shiqat. Hal ini mesti diriwayatkan terhadap apa yang memungkinkan kebenaran tentang sasaran suatu hadist tersebut. Kebiasaan demikian menunjukkan kepada kebenaran yang bersifat dhanni, maka itu merupakan pembenaran yang muthlak; seperti berita yang menyangkut hal-hal yang umum. Ini menunjukkan bahwa Qiyas itu diterima di dalam Hadist Ahad, namun Qiyas lebih lemah dari Khabar Wahid. Mereka menerima Khabar Wahid lebih utama dari Qiyas.

Eksistensi perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama banyak terkait pada hal-hal yang bersifat furu’, khususnya pada bab figh, seperti : perkara wudhu’ dengan menyentuh kemaluan, persoalan al-Fatihah dibaca dengan jahar (terang) pada waktu shalat yang mesti jahar, mengangkat kedua tangan ketika ruku’ dan mengangkat diantaranya, keberadaan Rukyah Hilal di bulan Ramadhan dan sebagainya.

Beramal terhadap perawi dengan perbedaan apa yang diriwayatkan merupakan perbincangan dari segolongan orang yang mengatasnamakan “ingkar rawi” baik sebelum diriwayatkan ataupun sesudah meriwayatkan suatu hadist. Adapun jika beramal sebelum riyawat hadist, maka itu tidak ada perbedaan pendapat, tetapi harus dapat menerangkan kerajuhan suatu hadist sesudah periwayatannya. Imam asy- Syafi’I mendukung pendapat tersebut jika kehujjahan suatu hadist itu diidentikan dari sahabat, baik melalui perkataannya maupun perbuatannya. Sedangkan menurut orang yang tidak mendukung masalah ini beranggapan bahwa hal tersebut menjadi batal, karena aspek meremehkan, melalaikan, kelupaan dan sebagainya. Jelasnya mereka menolak diterima suatu riwayat tersebut. Adapun dampak yang ditimbulkan dari perbedaan tersebut, seperti yang terdapat dalam hal furu’, di antaranya : mengangkat kedua tangan ketika ruku’ dan mengangkat diantanya, nikah tanpa wali, keberadaan para saksi dan sumpah dalam persoalan harta, radha’ah dan sebagainya.


Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Makalah Hadist Ahad, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com
Daftar Pustaka dan Footnote


DAFTAR PUSTAKA





al- Khathib, ‘Ajjaj M. Ushul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M.



al- Thahhan, Mahmud. Taisir Musthalah al- Hadits. Beirut: Dār al-Qur’an al-Karim, 1399 H/1979 M.



Yuslem, Nawir. Ulumul Hadist. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1997.



al- Khinn, Mustafa. Remume dari Kitab ‘Asar al- Ikhtilaf fi al- Qawa’id al-‘Ushulliyah. Cet. 2 Beirut: Mu’assah al- Risalah, 1981.






1Para Ulama yang membagi hadist berdasarkan jumlah perawinya kepada dua katagori, yaitu: Mutawatir dan Ahad, mereka memasukkan Hadist Masyhur ke dalam kelompok Hadist Ahad. Lihat Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits (Beirut: Dār al-Qur’an al-Karim, 1399 H/1979 M), h. 18.

2M. ‘Ajjaj al- Khathib, Ushul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M), h. 30.

3Al-Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits. h. 19.

4Nawir Yuslem, Ulumul Hadist (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1997), h. 210.

5Al- Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits, h. 25.

6Ibid, h. 26

7Asal sanad adalah bagian (tingkatan) sanad yang padanya adalah sahabat. Apabila menyendiri seorang sahabat dalam meriwayatkan suatu hadist, maka hadist tersebut dinamai Gharib Muthlaq. Lihat Ibid, h. 28.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved