Aneka Ragam Makalah

Tingkatan Dalalah Al-Alfazh



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Secara etimologi dalalah berasal dari kata “dalla-yadullu-dallan-dalālan-dalālatan” yang berarti: menunjukkan, menuntun. Arti dalalah secara umum adalah : “memahami sesuatu atas sesuatu”. Kata “sesuatu” yang pertama disebut dengan madlul (yang ditunjuk), sedangkan kata “sesuatu” yang kedua disebut dalil (yang menjadi petunjuk). Al-Qur’an merupakan Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi, memuat berupa pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupannya, agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sedangkan al-Sunnah sebagai penjelas bagi al-Qur’an. Namun untuk mengetahui dan mengeluarkan hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an tidak bisa hanya menggunakan sunnah.

Bahkan sunnah juga, perlu kepada suatu instrumen untuk memahami dan mengeluarkan hukum yang terdapat di dalamnya. Instrumen itu adalah ilmu usul fiqih. Di dalam ilmu usul fiqih terdapat bermacam-macam cara dalam mengistimbatkan hukum dari dalil al-Qur’an dan sunnah. Salah satunya adalah melihat dalalah (tunjukan) lafazh al-Qur’an dan sunnah itu sendiri. Pembahasan tentang dalalah begitu penting dalam ilmu logika dan ilmu usul fiqih, karena termasuk dalam salah satu sistem berfikir. Oleh karena itu di dalam makalah ini, penulis akan memaparkan secara singkat tentang dalalah lafazh, pembagiannya kedalam beberapa bagian, baik menurut Hanafiyah maupun Syafi’iyah.

B. Metode Dalalah al-Alfazh

Secara etimologi dalalah berasal dari kata “dalla-yadullu-dallan-dalālan-dalālatan” yang berarti: menunjukkan, menuntun 1. Arti dalalah secara umum adalah : “memahami sesuatu atas sesuatu”. Kata “sesuatu” yang pertama disebut dengan madlul (yang ditunjuk), sedangkan kata “sesuatu” yang kedua disebut dalil (yang menjadi petunjuk)2. Sebagai contoh dalam kalimat “asap menunjukkan adanya api”, kata “api” disebut madlul, sedangkan “asap” yang menunjukkan adanya “api” disebut dalil3.

Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dalalah itu ada dua macam, yaitu dalalah lafziyah dan dalalah ghairu lafziyah. Dalalah lafziyah (penunjukan berbentuk lafazh) adalah dalalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu yang dalam bentuk lafazh, suara, atau kata. Dan ini dapat diketahui melalui tiga hal.

1. Melalui akal, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu. Pengetahuan melalui akal ini disebut juga dengan dalalah al-lafzh al-‘aqliyah4. Sebagai contoh adanya suara kenderaan di belakang rumah menunjukkan adanya bentuk kenderaan tertentu yang lewat di belakang rumah itu. Dengan adanya suara itu, dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kenderaan jenis tertentu.

2. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjuk kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang. Ini disebut juga dengan dalalah al-lafzh al-thabi’iyah5. Sebagai contoh rintihan yang keluar dari mulut seseorang menunjukkan bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan.

3. Melalui istilah yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu. Dalalah ini disebut juga dengan dalalah al-lafzh al-wadh’iyah6. Sebagai contoh apabila kita mendengar ucapan “binatang yang menggonggong”, kita mengetahui yang dimaksud dengan ucapan itu anjing. Hal ini karena kita sudah menggunakan ungkapan istilah itu kepada anjing.

Adapun dalalah ghairu lafziyah (penunjukan yang bukan lafazh), yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, lafazh, ataupun kata akan tetapi diam atau tidak bersuaranya sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu. Sebagai contoh raut muka seseorang mengandung maksud tertentu. Diamnya sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal yang bersifat alami (thabi’iyah), melalui akal (‘aqliyah), dan isyarat atau tanda (wadh’iyah)7.

Kedua bentuk dalalah di atas, selain dibahas dalam ilmu ushul fiqih juga dibahas dalam ilmu mantiq. Bentuk dalalah yang luas penggunaannya adalah dalalah lafziyah, karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang hukum. Walaupun demikian, bentuk dalalah dengan diam (sukut) dalam dalalah ghairu lafziyah juga digunakan dalam penunjukannya terhadap hukum.

C. Pembagian Dalalah Lafazh menurut Hanafiyah

Ulama Hanafiyah membagi dalalah kepada dua macam, yaitu dalalah lafziyah dan dalalah ghairu lafziyah. Dalalah lafzhiyah dalam pengertian ini ialah yang menjadi dalil adalah lafazh menurut lahirnya. Dalalah ghairu lafziyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafazh menurut lahirnya. Dalalah ghairu lafziyah ini dikalangan Hanafiyah disebut “dalalah sukut” atau disebut juga “bayan al-dharurah”8. Di bawah ini penulis uraikan macam dalalah lafziyah menurut Hanafiyah sebagai berikut.

a. Dalalah Ibarah(Ibarah al-Nash)

Menurut Abdul Karim Zidan, yang dimaksud dengan Ibarat al-Nash adalah tunjukan lafazh terhadap makna yang segera dapat dipahami dari bentuk lafazh itu sendiri, baik makna yang dimaksud dari bentuk lafazh secara asli ataupun dikehendaki secara pengikutan. Jelasnya adalah pemahaman terhadap makna lafazh secara harfiyah yang dipahami dari satuan-satuan kalimat9. Contohnya:

1. Firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 33:

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.

Ayat ini, ungkapan lafazh dan ibaratnya tertuju kepada satu hukum, yaitu haram membunuh jiwa tanpa ada alasan yang benar.

2. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275:

Artinya: “ Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

Ayat ini, dari segi dalalah ibaratnya dapat dipahami dalam dua makna. Pertama, menapikan persamaan antara jual beli dengan riba, dengan makna lain bahwa jual beli itu bukanlah seperti riba. Inilah makna asli dari susunan ayat itu. Ayat ini untuk menolak perkataan orang yang musyrik bahwa jual beli itu sama seperti riba. Kedua, menjelaskan bahwa jual beli itu halal, sedangkan riba haram. Inilah pengikutan dari ayat itu. Maksudnya, bahwa bentuk kalimat itu bukanlah untuk menjelaskan makna asli lafazh itu tetapi sebagai pengikutan, dengan argumentasi bahwa nash itu memungkinkan(bisa saja) untuk menafikan persamaan tanpa menjelaskan halalnya jual beli dan haramnya riba. Maka tatkala disebutkan makna ini, menunjukkan bahwa itu merupakan makna pengikutan dari bentuk ayat yang gunanya untuk memberikan pemahaman terhadap makna asli ayat itu10.

b. Dalalah Isyarah (Isyarat al-Nash)

Al-Sarkhasy mendefinisikan dalalah al-Isyarah dengan: “Apa yang terungkap memang bukan ditujukan untuk itu, Namun dari perhatian yang mendalam ditemukan suatu makna dari lafazh itu, tidak lebih dan tidak kurang”11.

Menurut DR. Musthafa Sa’id alkhin, isyarat al-Nash adalah Penunjukan lafazh terhadap hukum yang tidak dimaksud, tetapi merupakan kelaziman bagi hukum yang berhubungan dengan bentuk kalam yang dipahami12.

Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat dalalah al-Isyarah ialah suatu lafazh yang diungkapkan memberi arti kepada suatu maksud, namun tidak menurut apa yang secara jelas disebutkan dalam lafaz itu, karena nash tidak menunjuk kepada makna ini dengan lafazh dan ibaratnya secara langsung, akan tetapi mengisyaratkan kepada makna tersebut menurut kelazimannya.

Yang perlu diperhatikan adalah dalalah al-Isyarah kadangkala tersembunyi maknanya, sehingga membutuhkan kepada penelitian dan perhatian yang mendalam, dan juga kita harus memastikan adanya kelaziman yang hakiki antara makna yang dituju oleh ibarat al-Nash dengan makna yang dituju oleh isyarat al-Nash. Bahkan mesti kelaziman itu tidak terlepas dari kelaziman yang hakiki13. Contohnya:

1. Firman Allah surat al-Baqarah ayat 233:

Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.

Kalau kita memperhatikan ayat tersebut dari segi dalalah al-Isyarahnya, maka di sana terdapat kata al-Maulūdu lahū. Kata al-Maulūdu lahū yang berarti ayah sebagai pengganti dari lafazh al-Abu. Ini menunjukkan bahwa seorang anak itu dinisbahkan kepada ayahnya, bukan kepada ibunya, karena nash(al-Maulūdu lahū) yang terdapat pada ayat tersebut adalah mengidhafahkan anak kepada ayah dengan mempergunakan huruf lam yang menunjukkan pengkhususan ( li al-Ikhtishāsh ). Oleh karena itu ayah boleh mengambil harta anak, sebab dirinya juga termasuk milik ayahnya14.

2. Firman Allah dalam surat al-Ahqaf ayat 15 : dan dalam surat luqman ayat 14 : dipahami dari kedua ayat ini secara isyarat bahwa minimal masa kehamilan adalah enam bulan15.

c. Dalalah al-Nash ( Dalalah al-Dalalah )

Ulama ushuliyin Hanafiyah berbeda pendapat dalam batasan yang dimaksud dengan dalalah al-Nash, namun semua definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul Hanafi arahnya sama, yaitu tunjukan lafazh terhadap penetapan hukum yang dikatakan dengannya ( manthūq bih) bagi hukum yang didiamkan atau dipahami dari padanya (maskūt ‘anhu) karena adanya makna yang dapat diketahui oleh setiap orang yang mengetahui bahasa yang terdapat di dalam manthūq bih, tanpa memerlukan penelitian yang mendalam dan ijtihad yang sungguh-sungguh16.

Muhammad Abu Zahrah, di dalam kitabnya yang bernama: Ushūl al-Fiqh, menjelaskan bahwa dalalah al-Nash disebut juga dengan mafhum al-muwāfaqah atau dalalah al-aula, bahkan sebagian ahli fiqih menyebutnya dengan al-qiyās al-jaly17. Contohnya:

1. Firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 23:

Artinya: “ Maka janganlah kamu katakan pada keduanya ‘ah’ dan jangan menghardik kedua

Ayat ini dari segi dalalah al-Ibarahnya menunjukkan haramnya mengucapkan kata ‘ah’ (ta’fif ) kepada kedua orang tua, karena perkataan itu dapat menyakiti hati orang tua. Maka segera dapat kita pahami dari nash itu, haram memukul dan mencaci kedua orang tua, sebab memukul dan mencaci lebih menyakiti dari pada mengatakan ‘ah’. Maka memukul dan mencaci lebih diharamkan dari pada mengucapkan kata ‘ah’. Jadi yang dipahami dari nash itu lebih utama hukum pengharamannya dari pada manthuqnya. Dan makna ini jelas, tidak perlu kepada ijtihad dan penelitian yang mendalam18.

d. Iqtidha’ al-Nash ( Dalalah al-Iqtidha’ )

Iqtidha’ menurut etimologi berarti permintaan (al-thalab )19. Sedangkan menurut terminology adalah penunjukan lafazh terhadap segala perkara makna yang tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan mentakdirkan lafazh yang lain20.

Abdul Wahab Khallaf di dalam kitab ilmu ushūl al-Fiqhnya mengatakan, Iqtidha’ al-Nash adalah: lafazh yang menunjukkan kepada sesuatu yang tidak disebutkan yang makna kebenarannya atau keshahihannya tergantung kepada yang tidak disebutkan21.

Dalalah iqtidha’ terbagi kepada tiga macam:

1. Sesuatu yang wajib di takdirkan ( dimunculkan ) kebenaran suatu ucapan. Contohnya sabda Rasul:

Artinya: “Dicabut dari umatku kesalahan dan lupa”

Ibarat hadits ini mengandung makna bahwa kesalahan dan lupa telah dicabut sehingga tidak ada lagi lupa dan kesalahan yang terjadi pada umat Muhammad, namun kenyataan yang ada bertentangan dengan hadits tersebut, karena kita masih mendapatkan kejadian itu di masyarakat. Maka sebenarnya kesalahan dan lupa itu tidak bisa dicabut dari manusia. Oleh karena itu hadits tersebut wajid ditakdirkan dengan itsmu (dosa ). Maksudnya itsmu al-khatā’ wa al-nisyān ( dosa kesalahan dan lupa ), agar kalimat tersebut jadi benar22.

2. Sesuatu yang wajib ditaqdirkan (dimunculkan) untuk kebenaran suatu ungkapan atau kalimat secara akal. Contohnya, firman Allah dalam surat al-‘Alaq ayat 17-18: begitu juga dengan firman Allah dalam surat Yusuf ayat 82:

Menurut zahir lafazh ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena tidak mungkin bertanya kepada kampung yang bukan makhluk hidup. Karena itu perlu dimunculkan suatu kata sehingga ungkapan itu menjadi benar dan selaras maknanya. Adapun kata yang layak dimunculkan adalah “penduduk” sebelum kata “kampung”, karena penduduk kampunglah yang ditanya dan dapat memberi jawaban23.

3. Sesuatu yang wajib ditaqdirkan (dimunculkan)untuk sahnya suatu ungkapan secara hukum. Contohnya, seperti perkataanmu bagi orang yang memilki hamba, “kamu merdekakanlah hambamu dariku dengan seribu rupiah”, maka sesungguhnya ini menunjukkan atas kepemilikannya terhadap hamba itu, seolah-olah engkau mengatakan “jadikanlah dia milikku dengan seribu rupiah, kemudian kamu merdekakan dia dariku”, sebab tidak sah memerdekakan hamba itu kecuali setelah memilikinya24.

D. Pembagian Dalalah Lafazh menurut Syafi’iyah

Menurut ulama syafi’iyah dalalah terbagi kepada dua macam, yaitu dalalah al-manthuq dan dalalah al-mafhum.

1. Dalalah al-Manthuq

Dalalah al-mathuq adalah penunjukan lafazh menurut apa yang diucapkan terhadap hukum yang disebutkan dalam lafazh itu25.

Musthafa Sa’id al-Khin mendefinisikan manthuq itu dengan sesuatu yang menunjukkan lafazh ketika di ucapkan, baik mengenai hukum terhadap lafazh yang disebutkan atau keadaan lafazh itu sendiri, baik hukum itu disebutkan dan diungkapkan ataupun tidak disebut dan diungkapkan26. Jumhur ulama membagi manthuq ini menjadi dua:

a. Manthuq al-sharih

Manthuq al-sharih adalah dalalahnya itu muncul dari wadh’iyah al-muthabaqiyah dan dalalah al-wadh’iyah al-tadhammuniyah atau dengan kata lain petunjuk lafazh kepada seluruh pengertian yang dikehendaki atau sebagiannya saja27. Jadi manthuq sharih dalam pengertian Syafi’iyahsama dengan dalalah al-ibarah dalam pengertian Hanafiyah. Contohnya, firman Allah yang berbunyi:

Artinya: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

Dalam ayat ini dari segi manthuqnya secara jelas dan tegas dapat dipahami bahwa jual beli itu halal dan riba itu diharamkan28.

b. Manthuq ghairu al-sharih

Manthuq ghairu al-sharih adalah penunjukan lafazh terhadap hukum dengan cara kelaziman bukan dengan cara keseluruhan atau sebahagian29. Contohnya, firman Allah yang berbunyi :

Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.

Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa anak itu dinisbahkan kepada ayahnya. Yang kedua, bahwa nafkah anak adalah kewajiban ayah30.

Manthuq ghairu al-sharih terbagi kepada tiga macam, yaitu dalalah al-Iqtidha’ , dalalah al-Ima’ dan dalalah al-Isyarah. Dua macam dalalah, yaitu dalalah al-Iqtidha’ dan dalalah al-Isyarah sudah dibahas ketika membicarakan pembagian dalalah menurut Hanafiyah, sebab kedua dalalah ini sama penamaannya dikalangan Syafi’iyah31. Adapun dalalah al-Ima’ adalah bahwa lafazh itu menyertai hukum, seandainya tidak ada lafazh itu, niscaya jauh dari hukum (hukum itu tidak diterima)32. Penjelasan tentang dalalah al-Ima’ dapat anda lihat dalam bab al-Qiyas33. Jadi kalau kita klasifikasikan, maka dalalah al-Ibarah yang disebut oleh Hanafiyah sama dengan dalalah al-Manthuq sharih atau dalalah al-Ima’ menurut Syafi’iyah, dalalah al-Iqtidha’ dan dalalah al-Isyarah yang disebut oleh Hanafiyah sama penamaannya dikalangan Syafi’iyah, dan dalalah al-Nash yang disebut Hanafiyah sama dengan Mafhūm al-Muwāfaqah dikalangan Syafi’iyah34. Dan ini akan datang penjelasannya dalam membicarakan tentang dalalah al-mafhum.

2. Dalalah al-Mafhum

Muhammad Khudhari bek dalam kitabnya yang bernama Ushūl al-Fiqh, menjelaskan bahwa Dalalah al-mafhum adalah penunjukan lafazh terhadap makna bukan menurut yang dibicarakan untuk menetapkan hukum yang dipahami dari padanya atau yang dinafikan hukum darinya35. Dalalah al-Mafhum terbagi kepada dua macam:

1. Mafhum al-Muwāfaqah : adalah penunjukan lafazh atas persamaan hukum antara yang dipahami dan yang diucapkan36. Jika penunjukan hukum yang dipahami lebih utama dari yang diucapkan, maka dia disebut dengan Fahwa al-Khithāb. Sebaliknya jika penunjukan hukum yang dipahami sama dengan yang diucapkan, maka dia disebut dengan Lahn al-Khithāb37. Imam al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfanya menjelaskan bahwa fahwa al-Khithāb disebut juga dengan mafhum awlawy, dan lahn al-Khithāb disebut dengan mafhum musāwy38. Contoh fahwa al- Khithāb, yaitu firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 23:

Artinya: “ Maka janganlah kamu katakan pada keduanya ‘ah’ dan jangan menghardik kedua”.

Maka dapat diketahui dari ayat ini, haram mengucapkan “ah”, ini dilihat secara manthuqnya. Apabila ayat ini dipahami, maka memukul juga haram, karena illatnya adalah menyakiti. Memukul lebih menyakiti dari mengucapkan kata “ah”, maka memukul lebih utama untuk diharamkan39. Contoh Lahn al-Khithāb, firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 10:

Secara manthuq, ayat ini menjelaskan, haram memakan harta anak yatim. Namun dapat dipahami dari ayat itu, haram membakar harta anak yatim. Maka membakar harta anak yatim sama haramnya dengan memakan harta anak yatim, karena illatnya adalah menghilangkan harta, memakan dapat menghilangkan harta, membakar juga dapat menghilangkan harta, maka hukumnya sama yaitu haram40.

2. Mafhūm al-Mukhālafah

Mafhum al-Mukhālafah adalah penunjukan lafazh terhadap penetapan hukum yang dipahami berbeda dengan hukum yang diucapkan. Mafhūm al-Mukhālafah disebut juga dengan dalil al-khithāb41.

Dikalangan Ulama Syafi’iyah, Mafhūm al-Mukhālafah ini terbagi kepada beberapa macam. Imam Syaukani di dalam kitab Irsyād al-Fuhūlnya membagi mafhum in kepada sepuluh macam, yaitu mafhūm al-Shifah, mafhūm al-Illah, mafhūm al-Syarth, mafhūm al-‘Adad, mafhūm al-Ghāyah, mafhūm al-Laqab, mafhūm al-Hashr, mafhūm al-Hāl, mafhūm al-Zamān, mafhūm al-Makān42. Namun yang paling dikenal ada lima macam:

1. Mafhūm al-Shifat, yaitu menetapkan suatu hukum bagi sesuatu yang tidak disebutkan berlawanan dengan yang disebutkan oleh nash berdasarkan sifat yang melekat atasnya43. Contohnya, firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 25:

Artinya: “ Dan siapa di antara kamu yang tidak cukup belanja untuk mengawini wanita merdeka, maka ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang dimiliki”.

Ayat ini menjelaskan bahwa seseorang boleh mengawini hamba perempuan yang beriman ketika tidak sanggup mengawini perempuan merdeka yang beriman. Maka dapat diambil mafhum mukhalafahnya, yaitu haram mengawini hamba perempuan yang kafir44.

2. Mafhūm al-Syarat, yaitu penunjukan suatu lafazh yang pada pada lafazh itu berlaku hukum yang dikaitkan kepada suatu syarat terhadap kebalikan hukum pada sesuatu yang tidak disebutkan bila syarat itu tidak terpenuhi45. Contohnya, firman Allah dalam surat al-Thalaq ayat 6:

Artinya: “Jika perempuan-perempuan ( yang dicerai ) itu dalam keadaan hamil, maka berilah mereka nafkah sampai mereka melahirkan anak”.

Ayat ini menjelaskan bahwa wajib memberi nafkah istri yang ditalak tiga yang sedang hamil. Maka mafhum mukhalafahnya adalah tidak wajib memberi nafkah istri yang ditalak tiga yang tidak hamil46.

3. Mafhūm al-Ghayah, yaitu menetapkan suatu ketentuan hukum berdasarkan petunjuk nash bagi perkara yang tidak disebutkan berlawanan dengan yang disebutkan melalui batasan tertentu47. Contohnya, firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230:

Artinya: “Maka jika suami mentalak istrinya (talak tiga), tidak halal bekas istri itu lagi baginya hingga bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain”.

Ayat ini menjelaskan tidak halal bagi suami atas istri yang sudah ditalak tiga, hingga istri itu kawin dengan laki-laki lain dan diceraikan oleh suaminya yang kedua. Maka mafhum mukhalafahnya, halal bagi suaminya yang pertama mengawini istrinya setelah suaminya yang kedua menceraikannya dan habis masa iddahnya48.

4. Mafhūm al-‘Adad, yaitu pengaitan hukum dengan bilangan yang ditentukan yang menunjukkan tertolaknya hukum pada bilangan yang bertambah atau berkurang dari yang telah ditetapkan nash49. Contohnya, firman Allah dalam surat al-Nur ayat 2:

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari kedua seratus kali dera”.

Ayat ini menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki yang berzina, maka didera masing-masing dari keduanya seratus kali dera. Mafhum mukhalafah dari ayat tersebut bahwa perempuan dan laki-laki yang berzina tidak boleh didera lebih dari seratus atau kurang dari seratus50.

5. Mafhūm al-Laqab, yaitu penunjukan lafazh yang menjelaskan berlakunya suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu, dan tidak berlakunya hukum itu untuk orang lain51. Contohnya, firman Allah dalam surat al-fath ayat 29:

Artinya: “Muhammad adalah Rasul (utusan ) Allah”.

Mafhum mukhalafah dari ayat ini bahwa selain Muhammad bukan Rasulullah52. Menurut Jumhur ulama, semua mafhum mukhalafah ini bisa dijadikan sebagai hujjah, kecuali mafhum al-Laqab. Sebaliknya menurut Imam Abu Hanifah, semua mafhum mukhalafah ini tidak bisa dijadikan hujjah53.

Dari semua bentuk dalalah lafazh yang disebutkan di atas, baik Hanafiyah dan Syafi’iyah sepakat bahwa dalalah itu tidak sama kekuatanya dalam istinbath hukum. Perbedaan mereka hanya dari segi penamaan dan dari segi mana yang dianggap lebih kuat apabila kedua dalalah tersebut bertentangan. Yang paling kuat menurut mereka (Hanafiyah dan Syafi’iyah adalah dalalah al-Ibarah, dan yang paling lemah adalah dalalah al-Iqtidha’54. Urutannya menurut Hanafiyah adalah: dalalah al-Ibarah, dalalah al-Isyarah, dalalah al-Nash, dan dalalah al-Iqtidha’55. Dalam kalangan Syafi’iyah urutannya sama seperti Hanafiyah. Mereka hanya berbeda dalam penamaannya saja. Urutannya adalah: dalalah al-Manthuq al-Sharih atau dalalah al-Ima’ (dalalah al-Ibarah), dalalah al-Isyarah, dalalah al-Mafhum al-Muwafaqah (dalalah al-Nash), dalalah al-Iqtidha’56.

Kalau dilihat dari segi mana yang dianggap lebih kuat apabila kedua dalalah tersebut bertentangan, Hanafiyah dan Syafi’iyah berbeda pendapat. Menurut Ulama Hanafiyah, apabila dalalah al-Isyarah bertentangan dengan dalalah al-Nash, maka didahulukan dalalah al-Isyarah. Alasannya adalah dalalah al-Isyarah diambil dari nazm (nash), berarti dalalah al-Isyarah diambil dari kelaziman (kepastian) nash, karena menyebutkan malzum( yang dipastikan) menghendaki menyebutkan lazim ( yang memastikan ). Sedangkan dalalah al-Nash tidak dipahami dari ucapan lafazh, tetapi diambil dari pemahamannya. Oleh karena itu sesuatu yang berasal dari ucapan lebih utama tunjukannya dari yang difahami57. Sedangkan menurut Ulama Syafi’iyah, apabila keduanya (dalala al-Isyarah dan dalalah al-Nash )bertentangan, maka didahulukan dalalah al-Nash. Alasannya, bahwa dalalah al-Nash dipahami dari nash itu sendiri. Maka dia lebih dekat kepada dalalah al-Ibarah. Sedangkan dalalah al-Isyarah tidak dipahami dari bahasa nash itu sendiri, tetapi dipahami dari kelaziman nash yang jauh. Jadi apa yang berasal dari ibarah nash lebih diutamakan dari kelaziman nash yang berbeda pemahaman orang terhadapnya. Dalalah al-Nash jelas maksudnya dari Allah. Sedangkan kelaziman kadangkala dimaksudkan oleh Allah dan kadangkala bukan yang dimaksud oleh-Nya58.

Kesimpulan

Dalalah al-Alfazh merupakan salah satu instrumen untuk mengistinbatkan hukum dari al-Qur’an maupun sunnah. Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah mempergunakan dalalah ini dalam mgeluarkan hukum dari dua sumber itu. Bila kita perhatikan metode yang dikemukakan oleh Hanafiyah dan Syafi’iyah, maka kita dapati tidak ada perbedaan yang substansial. Perbedaannya hanya pada segi penamaan dan dari segi mana yang dianggap lebih kuat apabila kedua dalalah tersebut bertentangan.

Daftar Pustaka dan footnote
DAFTAR PUSTAKA
  • Abu Zahrah, Muhammad, Ushūl al-Fiqh. ( Kairo : Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1958).
  • Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab-Indonesia. ( Surabaya : Pustaka Progressif,1997).
  • Syarifuddin, Amir, Ushul fiqih, Jilid 2. (Jakarta : Logos, 1999).
  • Zaidan, Abd. al-Karim, al-Wajịz fi Ushūl al-Fiqh. (Baghdad : Dār al-Tauzing wa al-Nasyr al-Islāmiyah, 1993).
  • Mathlub, Abdul Majid Mahmud, Ushūl al-Fiqh al-Islāmi. (Kairo : Dār al-Nahdhah al-Arabiyah, 1991).
  • Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushūl al-Fiqh. ( Kairo : Dār al-Qalam, 1978).
  • Al-Mahally. Hasyiyah al-‘Allāmah al-Bannany, Juz I. ( Indonesia: Dār al-Ihya’ al-Kutub al-Islamiyah, t.t ).
  • Al-Ghazali, Al-Mustashfa. ( Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1993 ).
  • Al-Sarkhasy, Ushūl al-Sarkhasy, Juz I, Cet. I. (Beirut : Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1993).
  • Al-Khin, Musthafa Sa’id. Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’. (Beirut : Muassasah al-Risālah, 1981).
  • Al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Irsyād al-Fuhūl ila tahqiqi al-Haqqi min ilmi al-Ushūl. ( Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t ).
  • Al-Amidi, Saifuddin, Al-Ihkām fi Ushūl al-Ahkām, Jilid II. (Beirut : Dār al-Fikr, 1996).
  • Al-Subki, Taqiyu al-Din, al-Ibhāj fi syarh al-Minhāj. (Beirut : Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t).
  • Khudari bek, Muhammad,Ushūl al-Fiqh. (Kairo : al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubrā, 1969).

Footnote
  • 1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia. ( Surabaya : Pustaka Progressif,1997), h. 417
  • 2 Amir Syarifuddin, Ushul fiqih, Jilid 2. (Jakarta : Logos, 1999), h. 126
  • 3 Taqiyu al-Din al-Subki, al-Ibhāj fi syarh al-Minhāj. (Beirut : Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), h. 204
  • 4 Ibid.
  • 5 Ibid.
  • 6 Ibid.
  • 7 Amir Syarifuddin, Ushul fiqih, h. 128-129
  • 8 Muhammad khudari bek, Ushūl al-Fiqh. (Kairo : al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubrā, 1969), h. 118
  • 9 Abd. al-Karim Zaidan, al-Wajịz fi Ushūl al-Fiqh. (Baghdad : Dār al-Tauzing wa al-Nasyr al-Islāmiyah, 1993), h. 351
  • 10 Ibid., h. 352. Lihat juga Abdul Majid Mahmud Mathlub. Ushūl al-Fiqh al-Islāmi. (Kairo : Dār al-Nahdhah al-Arabiyah, 1991), h. 274
  • 11 Al-Sarkhasy, Ushūl al-Sarkhasy, Juz I, Cet. I. (Beirut : Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h. 236-237
  • 12 Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’. (Beirut : Muassasah al-Risālah, 1981), h. 129
  • 13 Abd. al-Karim Zaidan, al-Wajịz fi Ushūl al-Fiqh, h. 353
  • 14 Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’, h. 131
  • 15 Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkām fi Ushūl al-Ahkām, Jilid II. (Beirut : Dār al-Fikr, 1996), h. 46. Lihat juga Abd. al-Karim Zaidan, al-Wajịz fi Ushūl al-Fiqh, h. 355
  • 16 Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’, h. 132-133
  • 17 Muhammad Abu Zahrah, Ushūl al-Fiqh. ( Kairo : Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1958), h. 141. Lihat juga Abd. al-Karim Zaidan, al-Wajịz fi Ushūl al-Fiqh, h. 358. Lihat juga Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushūl al-Fiqh. ( Kairo : Dār al-Qalam, 1978), h. 144
  • 18 Abd. al-Karim Zaidan, al-Wajịz fi Ushūl al-Fiqh, h. 359
  • 19 Ibid., h. 360
  • 20 Muhammad Abu Zahrah, Ushūl al-Fiqh, h. 143. Lihat juga Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’, h. 136
  • 21 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 150
  • 22 Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’, h. 137
  • 23 Abdul Majid Mahmud Mathlub. Ushūl al-Fiqh al-Islām, h. 282-283
  • 24 Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’, h. 137
  • 25 Muhammad khudari bek, Ushūl al-Fiqh, h. 122
  • 26 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyād al-Fuhūl ila tahqiqi al-Haqqi min ilmi al-Ushūl. ( Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t ), h. 266. Lihat juga Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’, h. 138
  • 27 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyād al-Fuhūl ila tahqiqi al-Haqqi min ilmi al-Ushūl, h. 266 Lihat juga Al-Mahally. Hasyiyah al-‘Allāmah al-Bannany, Juz I. ( Indonesia: Dār al-Ihya’ al-Kutub al-Islamiyah, t.t ), h. 235
  • 28 Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’, h. 139
  • 29 Ibid.
  • 30 Ibid.
  • 31 Ibid., h. 140-142
  • 32 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyād al-Fuhūl ila tahqiqi al-Haqqi min ilmi al-Ushūl, h. 266
  • 33 Ibid.
  • 34 Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’, h. 145
  • 35 Muhammad khudari bek, Ushūl al-Fiqh, h. 122
  • 36 Abd. al-Karim Zaidan, al-Wajịz fi Ushūl al-Fiqh, h. 362
  • 37 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyād al-Fuhūl ila tahqiqi al-Haqqi min ilmi al-Ushūl, h. 266. Lihat juga Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’, h. 143
  • 38 Al-Ghazali, Al-Mustashfa. ( Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1993 ), h. 264
  • 39 Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’, h. 143
  • 40 Ibid., h. 144
  • 41 Abd. al-Karim Zaidan, al-Wajịz fi Ushūl al-Fiqh, h. 362. Lihat juga Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’, h. 144
  • 42 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyād al-Fuhūl ila tahqiqi al-Haqqi min ilmi al-Ushūl, h. 270-273
  • 43 Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkām fi Ushūl al-Ahkām, h. 49
  • 44 Abd. al-Karim Zaidan, al-Wajịz fi Ushūl al-Fiqh, h. 363
  • 45 Abdul Majid Mahmud Mathlub. Ushūl al-Fiqh al-Islām, h. 290
  • 46 Abd. al-Karim Zaidan, al-Wajịz fi Ushūl al-Fiqh, h. 364
  • 47 Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkām fi Ushūl al-Ahkām, h. 49
  • 48 Abd. al-Karim Zaidan, al-Wajịz fi Ushūl al-Fiqh, h. 365
  • 49 Ibid.
  • 50 Ibid.
  • 51 Ibid., h. 366
  • 52 Ibid.
  • 53 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyād al-Fuhūl ila tahqiqi al-Haqqi min ilmi al-Ushūl, h. 267
  • 54 Muhammad Abu Zahrah, Ushūl al-Fiqh, h. 145
  • 55 Ibid.
  • 56 Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’, h. 146
  • 57 Muhammad Abu Zahrah, Ushūl al-Fiqh, h. 146
  • 58 Ibid.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved