Aneka Ragam Makalah

Makalah Pengertian Niat | al-Umur Bimaqasidiha



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Al-umǚr bimaqâşidihâ (الأمـوربمقاصـدها) | Segala perkara tergantung kepada niatnya


A. Pendahuluan

Manusia diciptakan Allah dengan mengemban tugas sebagai ḣalifah sekaligus hamba Allah yang harus mengabdikan diri ('ibâdah) kepada-Nya. Hal ini tercermin pada Firman Allah dalam Quran surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak Kamu ketahui."[1]

'Ibâdah sebagai tugas manusia dijelaskan dalam firman-Nya dalam Quran surat al-Żâriyât ayat 56: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".[2]

Suatu aktivitas muslim dapat dikategorikan ibadah jika dilandasi dengan niat yang iḣlâş, semata-mata karena Allah. Hal ini ditegaskan Allah dalam Quran surat al-Bayyinah ayat 5: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus".[3]


B. Pengertian Niat

Niat di kalangan ulama-ulama Syafi'iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya قصـد الشئ مقترنا بـفعله)).[4] Sebagai contoh, di dalam shalat, yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud di dalam hati dan wajib niat disertai dengan takbîrat al-iḣrân القصد بالقلب ويجب أن تكون النية مقارنة للتكبير)).[5

Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunnahkan atau yang dibolehkan oleh agama, ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena kebisaaannya saja.

Dari penjelasan tentang niat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi niat itu adalah: (1) untuk membedakan antara 'ibâdah dan adat kebiasaan, (2) untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan, dan (3) untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.[6]


C. Dasar Hukum Kaidah al-Umûr Bimaqâşidihâ

Kaidah ini dilegimitasi oleh firman Allah dalam Quran, di antaranya:

1. Quran surat al-Bayyinah ayat 5:

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus".[7]

2. QS. al-Aḣzâb ayat 5:

"Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[8]

3. QS. al-Baqarah ayat 225:

"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun"[9]

4. QS. Ali 'Imrân ayat 145:

"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.[10]

Adapun dalam hadits Nabi, antara lain:

انماالأعمال بالنيات وانمالكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسولهومن كانت هجرته للدنيايصيبهاال امرأة ينكحها فهجرته الى ما هجر اليه[11]

"Setiap perbuatan itu bergantung kepada niat-niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa hijrahnya karena mengharapkan kepentingan dunia, maka ia akan mendapatkannya danbarangsiapa berhijrah karena wanita, maka ia akan menikahinya, maka hijrahnya kepada yang diniatkannya (HR. Bukhari Muslim dari 'Umar Ibn al-Ήaṭṭâb).

انك لو تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله الا أجرت عليهاحتى ماتجعل فى فم امرأتك[12]

"Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud mencari keridhaan Allah kecuali diberi pahala walaupun sekedar sesuap ke dalam mulut istrimu" (HR. Bukhari).

من قتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو فى سبيل الله عزوجل[13]

"Barangsiapa berperang dengan maksud meninggikan kalimah Allah, maka dia ada di jalan Allah" (HR. Bukhari dari Abu Musa).

من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عيناه حتى أصبح كتب له مانوى[14]

"Barangsiapa yang tidur dan ia berniat akan shalat malam, kemudian dia ketiduran sampai subuh, maka ditulis baginya pahala sesuai dengan niatnya" (HR. al-Nasâi dari Abu Zâr).

نية المؤمن خيـرمن عمله[15]
"Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya" (HR. Tabrani dari Sahal bin Sa'id al-Sa'îdî).


D. Cabang-cabang Kaidah al-Umûr Bimaqâşidihâ

1. العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني (pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya).[16] Sebagai contoh, apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.

2. Di kalangan mazhab Hanafi terdapat kaidah لاثواب الابالنية (tidak ada pahala kecuali dengan niat). Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawâ'id al-kuliyyah yang pertama sebelum al-umûr bimaqâsidihâ.[17] Sedangkan di kalangan maźhab Maliki, kaidah tersebut menjadi cabang dari kaidah al-umûr bimaqâsidihâ, seperti diungkapkan oleh Qâdi 'Abd. Wahab al-Bagdadi al-Maliki yang dikutip oleh Djazuli.[18] Pendapat maźhab Maliki ini lebih bisa diterima, karena kaidah di atas asalnya لاثواب ولاعقـاب الابالنية (tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya).

3. لواختلف اللســـان والقلب فالمعتبرمافى القلب (apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati).[19] Sebagai contoh, apabila hati niat wudû, sedang yang diucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka wudûnya tetap sah.

4. لايلزم نية العبادة فى كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعله (tidak wajib niat ibâdah dalam setiap bagian, tapi wajib niat dalam keseluruhan yang dikerjakan). Contoh: untuk shalat cukup niat shalat, tidak berniat setiap perubahan rukunnya.[20]

5. كل مفرضين فلاتجزيهنانية واحدة الا الحج والعمرة (setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan 'umrah). Secara prinsip, setiap dua kewajiban ibâdah atau lebih, masing-masing harus dilakukan dengan niat tersendiri.[21]

6. كــل ماكان له أصل فلاينتقل عن أصله بمجرد النية (setiap perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa bepindah dari yang asal karena semata-mata niat). Contoh: seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at, dia berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya. Kasus ini berbeda dengan orang yang sejak terbit fajar belum makan dan minum, kemudian tengah hari berniat saum sunnah, maka sah saumnya, karena sejak terbit fajar belum makan apa-apa.[22]

7. مقاصد اللفظ على نية اللافظ الا فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى فانهاعلى نية القاضى

"Maksud dari lafaz adalah menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di hadapan qâdi. Dalam keadaan demikian maka maksud lafaz adalah menurut niat qâdi".[23]

Berdasarkan kaidah ini, maksud kata-kata seperti talak, hibah, naźar, shalat, sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah sedekah itu maksudnya zakat, atau sedekah sunnah. Apakah shalat itu maksudnya shalat fardhu atau shalat sunnah.

8. الأيمان مبنية على الألفاظ والمقاصد (sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud)[24]. Khusus untuk sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu "wallâhi" atau "demi Allah saya bersumpah" dan seterusnya. Dalam hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya niatnya harus iḣlâş, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus mulia untuk mencapai keridhaan Allah SWT.

9. النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعمم الخاص (niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'âm, tidak menjadikan 'âm lafaz yang ḣâs). Contoh: orang bersumpah tidak akan berbicara dengan orang, tetapi yang dimaksud adalah orang tertentu, yaitu Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad.[25]

10. مالايشترط التعرض له جملة وتفصيلااذاعينه وأخطأ لم يضر (Sesuatu amal yang dalam pelaksanaannya tidak disyaratkan untuk dijelaskan/dipastikan niatnya, baik secara garis besar ataupun secara terperinci, kemudian ditentukan dan ternyata salah, maka kesalahan ini tidak membahayakan (sahnya amal). Contoh: orang yang dalam niat shalatnya menegaskan tentang tempatnya shalat, yaitu masjid atau di rumah, harinya shalat rabu atau kamis, imamnya dalam satu shalat jama'ah Umar atau Ahmad, kemudian apa yang ditentukan itu keliru maka shalatnya tetap sah, karena shalat telah terlaksana dengan sempurna, sedangkan kekeliruan hanya pada hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan shalat.[26]

11. ومايشترط فيه التعرض فالخطأ فيه مبطل (pada suatu amal yang dalam pelaksanaannya di syaratkan kepastian/kejelasan niatnya, maka kesalahan dalam memastikannya akan membatalkan amal).[27]

12. ومايجب التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلااذاعينه وأخطأ ضر

"Sesuatu amal yang diatnya harus dipastikan secara garis besar, tidak secara terperinci, kemudian dipastikan secara terperinci dan ternyata salah, maka membahayakan sahnya amal".[28] Contoh shalat berjama'ah dengan niat makmum pada Umar, kemudian ternyata yang menjadi imam adalah Ali, maka tidak sah makmumnya.


E. Aplikasi Kaidah al-Umûr Bimaqâşidihâ dan Pengecualiannya

Para fuqâha (ahli hukum Islam) memerinci masalah niat ini, baik dalam bidang ibadah mahzah, seperti ţahârah (bersuci), wudû, tayammum, mandi junub, shalat, qaşar, jama', wajib, sunnah, zakat, haji, saum, ataupun di dalam mu'âmalah dalam arti luas atau ibadah gair mahzah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa menyewa, perwakilan, utang piutang, dan akad-akad lainnya. Dalam fiqih jinâyah seperti kesengajaan, kondisi dipaksa atau terpaksa dan lain sebagainya, sehingga Imam al-Suyûti mengatakan: "Apabila Kau hitung masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau seperempatnya".[29]

Jalaluddin al-Suyûti sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarak mengisyaratkan bahwa urgensi niat dalam bab-bab fiqih adalah dapat menentukan status hukum suatu perbuatan sehingga dapat dibedakan antara perbuatan yang satu dengan perbuatan lainnya walaupun secara lahir tampak sama. Niat menjadi penentu apakah shalat yang dilakukan itu wajib atau sunnah, zuhur atau asar, dan seterusnya. Niat juga menjadi penentu apakah pemberian seseorang itu hibah, sadaqah, pinjaman, atau zakat. Demikian pula dalam permasalahan qişaş, niat dapat menentukan macam-macam pembunuhan yang dilakukan seseorang, apakah sengaja, semi sengaja, atau kekeliruan. Bahkan niat pula dapat menjadikan perbuatan-perbuatan mubâh menjadi bernilai 'ibâdah (berpahala) jika perbuatan itu dilakukan dalam kerangka mendekatkan diri kepada Allah.[30]

Rupanya yang paling penting dalam masalah niat ini bukan soal kuantitas masalah fiqih yang ribuan atau bahkan puluhan ribu yang tersebar di dalam kitab-kitab fiqih, akan tetapi kualitas kaidah ini memang mendasar dan tidak banyak masalah-masalah fiqih yang di luar kaidah tersebut. Di antara kekecualian kaidah di atas, antara lain:

1. Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah, bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, ma'rifat, ḣauf, raja', iqâmah, aźân, źikir, dan membaca Quran kecuali apabila membacanya dalam rangka naźar;

2. Tidak diperlukan niat di dalam meninggalkan perbuatan, seperti meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang (harâm) karena dengan tidak melakukan tersebut, maksudnya sudah tercapai;

3. Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu perbuatan, bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.[31]

Daftar Pustaka dan Footnote
  • Al-Sirâzi, Abu Ishak. t.t. al-Muhazzab. Dâr-al-Fikr.
  • Al-Suyûti, Jalâludîn Abd al-Rahmân. 1399. al-Asbâh wa al-Nazâir fi Qawâ'id wa Furû' Fiqh al-Safi'î. Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah.
  • Djazuli, A. 2006. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana.
  • Ibn Isma'il al-Buhari, Abi Abdillah Muhammad. t.t. al-Buhâri. Jakarta: Sirkah Nur Asia.
  • Ibn Nuzaim al-Hanafi, Zayn al-'Âbidîn Ibn Ibrahîm. 1983. al-Asbâh wa al-Nazâir. Damaskus: Dâr el-Fikr.
  • Mubarak, Jaih dan Enceng Arif Faizal. 2004. Kaidah Fiqh Jinayah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
  • Mudjib, Abdul. 2005. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih : al-Qawâ'idul Fiqhiyyah. Jakarta: Kalam Mulia.
  • Soenardjo dkk. 1971. Al-Qur`an dan Terjemahnya. Madinah: Mujamma al-Malik Fahd.
__________________
[1] Soenardjo dkk., Al-Qur`an dan Terjemahnya (Madinah: Mujamma al-Malik Fahd. 1971), hlm. 13.
[2] Ibid hlm. 862.
[3] Ibid, hlm. 1084.
[4] H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana. 2006), cet. ke-1, hlm.34.
[5] Abu Ishak al-Sirâzi, al-Muhazzab (Dâr-al-Fikr. t.t), juz ke-1, hlm. 70.
[6] Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 35-36.
[7] Ibid, hlm. 1084.
[8] Ibid, hlm. 667
[9] Ibid, hlm. 54
[10] Ibid, hlm. 100
[11] Abi Abdillah Muhammad Ibn Isma'il al-Buhâri, al-Buhâri (Jakarta: Sirkah Nur Asia. t.t), juz ke-1, hlm. 6.
[12] Ibid, juz ke-3, hlm. 286.
11 Ibid, juz ke-2, hlm. 139.
12 Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 38
13 Ibid, hlm. 39
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid.
[17] Zayn al-'Âbidin Ibn Ibrahîm Ibnu Nuzaim al-Hanafi, al-Aśbâh wa al-Nazâir (Damaskus: Dâr el-Fikr. 1983), cet. ke-1, hlm. 13
[18] Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 39.
[19] Ibid, hlm. 40.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid, hlm. 41.
[23] Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih :al-Qawâ'idul Fiqhiyyah (Jakarta: Kalam Mulia. 2005), cet. ke-6, hlm.17
[24] Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 41.
[25] Mudjib, Kaidah-kaidah, hlm. 17
[26] Ibid, hlm. 15.
[27] Ibid.
[28] Ibid, hlm.16
[29] Jalaludin Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Asbah wa al-Nazair fi Qawa'id wa Furu' Fiqh al-Safi'i (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah. 1399), cet. ke-1, hlm. 13.
[30] Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004), cet. ke-1, hlm. 5-6.
[31] Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 36-37.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved