Aneka Ragam Makalah

Falsafah Metafisika | Kajian Pemikiran Islam Dan Pemikiran Barat



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Falsafah Metafisika | Kajian Pemikiran Islam Dan Pemikiran Barat


A. Pengantar dan Definisi

Filsafat,atau dalam bahasa arab falsafah adalah berpikir radikal, sistematis, dan universal tentang segala sesuatu. Objek pemikiran filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Segala yang ada merupakan bahan pemikiran filsafat. Filsafat merupakan usaha berpikir manusia yang sistematis sehingga membentuk ilmu pengetahuan. Kata falsafah (Melayu), philosophie (Belanda), philosophie (Jerman), philosophy (Inggeris), philosophie (Perancis) berasal daripada kata bahasa Yunani, yaitu : Philien: mencintai, Sophia: kearifan, kebijaksanaan, hikmat, kebenaran[1]. Falsafah ialah perihal mencintai kearifan, kebijaksanaan, hikmat, kebenaran melalui pemikiran yang mendalam. Berfalsafah merupakan puncak ketuntasan berfikir, yaitu dengan belajar dan menyelidiki segala hal mencari kebenaran hakiki. Kebenaran ialah perkara cita-cita tertinggi yang dapat dicapai melalui akal atau kaedah berfikir. Dalam Islam, secara normatif berfikir amat penting dan dianjurkan untuk mencapai hakikat sesuatu. Diskusi kajian filsafat mengandung aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Metafisika merupakan bagian dari aspek ontologi dalam kajian filsafat. Konsepsi metafisika berasal dari bahasa Inggeris: metaphysics, Latin: metaphysica dari Yunani meta ta physica (sesudah fisika); dari kata meta (setelah, melebihi) dan physikos (menyangkut alam) atau physis (alam). Metafisika merupakan bagian Falsafah tentang hakikat yang ada di sebalik fisika. Hakikat yang bersifat abstrak dan di luar jangkauan pengalaman manusia. Tegasnya tentang realitas kehidupan di alam ini: dengan mempertanyakan yang Ada (being), Alam ini wujud atau tidak? Siapakah kita? Apakah peranan kita dalam kehidupan ini?. Metafisika secara prinsip mengandung konsep kajian tentang sesuatu yang bersifat rohani dan yang tidak dapat diterangkan dengan kaedah penjelasan yang ditemukan dalam ilmu yang lain

Untuk mendeskripkan secara lebih jelas posisi dan kedudukan metafisika, dapat dikemukakan bahwa Ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia melewati 3 jenis tahapan abstraksi yaitu fisika, matematika dan teologi .[2] Abstraksi pertama – yaitu fisika, Manusia berfikir ketika mengamati secara indrawi. Dengan berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan”. Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilkan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).

Abstraksi kedua – yakni matesis. Ini terjadi ketika manusia dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).

Abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”. Dengan meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, bersifat teleologi, asas pertama dalam pendapatkan hakikat realitas dsb. Disini Aras fisika dan aras matematika jelas telah ditinggalkan. Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang disebut teologi atau “filsafat pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.[3] Sejajar dengan konsep tersebut[4] wilayah filsafat dibagi dalam tiga tingkatan. 
  • First order criteriology meliputi: metafisika, epistemologi, aksiologi, dan logika.
  • Second order criteriology meliputi: etika, filsafat ilmu, filsafat bahasa, filsafat pikiran.
  • Third order criteriology meliputi: filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat sejarah, dan lain-lain.

Metafisika secara tradisional didefinisikan sebagai pengetahuan tentang pengada (Being). Disini metafisika merupakan upaya untuk menjawab problem tentang realitas yang lebih umum, komprehensif, atau lebih fundamental daripada ilmu dengan cara merumuskan fakta yang paling umum dan luas tentang dunia termasuk penyebutan kategori yang paling dasar dan hubungan di antara kategori tersebut


B. Lingkup Metafisika

Metafisika mengandung Klasifikasi yang meliputi Pertama, Metaphysica Generalis (ontologi); ilmu tentang yg ada atau pengada. Kedua, Metaphysica Specialis terdiri atas: 1). Antropologi; menelaah tentang hakikat manusia, terutama hubungan jiwa dan raga. 2) Kosmologi; menelaah tentang asal-usul dan hakikat alam semesta. Dan 3). Theologi; Kajian tentang Tuhan secara rasional dengan segala abstraksi yang memungkinkan melekat pada-Nya.

Metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-prinsip umum yang menata realitas. Sedangkan metafisika khusus membahas penerapan prinsip-prinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus: teologi, kosmologi dan psikologi. Pemilahan tersebut didasarkan pada dapat tidaknya dicerap melalui perangkat inderawi suatu obyek filsafat pertama. Metafisika umum mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui indera sedang metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indera, apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi) maupun kejiwaan (psikologi).

Disiplin filsafat pada dasarnya tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain karena pembahasan metafisika tentang realitas supra inderawi, terkait dengan pembahasan ontologi tentang prinsip-prinsip umum yang menata realitas inderawi.[5] Istilah metafisika dengan sifatnya yang supra inderawi inilah memunculkan keengganan orang terhadap konsep – konesp metafisika. Kedudukan metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama, metafisika sudah merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua, telaah filosofis terdapat unsur metafisik merupakan hal yang siginifikan dalam kajian filsafat.[6] Ini tentu sejajar dengan siqnifikansinya yang menyebut bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu.

Dengan membincangkan metafisika memberi pemahaman bahwa filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya. Maka metafisika memiliki ruang lingkup Pokok Bahasan yang mencakup, pertama tentang kajian Inkuiri ke apa yang ada (exist), atau apa yang betul-betul ada. Kedua tentang, Ilmu pengetahuan tentang realitas, sebagai lawan dari tampak (appearance) Ketiga, Studi tentang dunia secara menyeluruh dengan segala Teori tentang asas pertama (first principle); prima causa yang wujud di alam (kosmos).

Bagian metafisika yang membincang tentang hakikat realitas disebut Ontologi. Sedangkan Kosmologi adalah bagian metafisika tentang proses realitas sehingga menghasilkan obyek dalam kajian metafisika yang disebut dengan obyek partikular (materi) dan obyek universal (ide)


C. Falsafah Metafisika Agama

Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika karena materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminology religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat. Dalam terminology filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.[7]

Filsafat Metafisika tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Suci (Numen) sakral : adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia. Yang quddus itu dikonsepsikan sedemikian rupa sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepada-Nya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa", pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama. Dalam kajian metafisika agama dan khususnya Islam salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan bangunan fondasi teologis dan tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam.

Kekokohan konsepsi metafisika agama (Islam) dimaksudkan untuk menjawab tantangan pendapat para pendukung materialisme -khususnya positifisme- yang mengingkari eksistensi immateri dan supra-natural, yang kedua hal tersebut adalah saripati dan hekekat substansi nilai keagamaan. Disinilah setiap pemikir agama harus melakukan -minimal- menjawab dua hal pokok yang menjadi tantangan kelompok meterialistik yang tidak meyakini hal-hal yang supraindrawi,immateri dan; Pertama: pemikir agama harus mampu membuktikan keterbatasan indera manusia dalam melakukan eksperimen dan menyingkap segala eksistensi materi alam semesta. Kedua: Membuktikan keberadaan hal-hal yang bersifat non-inderawi, namun memiliki eksistensi riil dalam kehidupan di alam kosmologi yang luas ini.

Metafisika, berbeda dengan kajian-kajian tentang wujud partikular yang ada pada alam semesta. biologi mempelajari wujud dari organisme bernyawa, geologi mempelajari wujud bumi, astronomi mempelajari wujud bintang-bintang, fisika mempelajari wujud perubahan pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika agama mempelajari sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh semua wujud ini yang dipandu oleh dimensi ke -ilahiaan untuk menemukan kebenaran hakiki atas religiusitasnya.[8]

Kajian tentang metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis, refleksi dalam mencari hal yang berada di belakang fisik dan partikular. Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal dan bersifat universal.Yakni sebagai hal “penyelidikan tentang Tuhan”,[9] bisa juga dikatakan sebagai “penyelidikan tentang dunia ilahi yang transenden”.[10] Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan daya abstraksi sangat tinggi. Ibarat seorang untuk mempelajarinya menghabiskan waktu yang tidak pendek. Ber-metafisika membutuhkan energi intelektual yang sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan konsepsi falsafah Metafisika dalam perkembangan pemikiran Islam. Disinilah perlu dilakukan sebuah pemetaan berkaitan dengan konsepsi falsafat metafisika dalam wacana pemikiran Islam. Maka dapat dipetakan kedalam sejumlah aspek penting yang mesti dideskripsikan oleh falsafah metafisika sehingga islam menjadi agama yang memiliki bentuknya yang komprehensip. Misalnya pertanyaan-pertanyan yang menyangkut hal - hal sebagai berikut bagaimana pemikir islam merumuskan hakekat metafisis Aqal dan Jiwa (hakekat metafisis Manusia), Bagaimana pemikir Muslim merumuskan hakekat metafisis Wujud (metafisika ketuhanan), dan Bagaimana Pemikir-pemikir Muslim mengkonsepsikan hekakat Metafisis Falsafat Wahyu dan Nabi dan lain sebagainya. Pada hakekatnya segala hal yang berkaitan dengan konsepsi Islam berpedoman kepada hal-hal yang bersifat Ghoib. Maka untuk memberi rumusan hal-hal yang bersifat ghoib ini para pemikir muslim berjuang sekuat tenaga melalui akal pikirnya untuk berijtihad menjawabnya sehingga melahirkan sejumlah konsep yang dapat dijadikan sumber rujukan.

Ilmu metafisika adalah ilmu yg melebihi ilmu fisika. Berbeda dari pengertian ilmu metafisika dalam khasanah western science, Falsafah metafisika Islam adalah ilmu fisika yg dilanjutkan atau ditingkatkan sehingga masuk ke dalam ilmu bi al-ghoibi (ghaib atau rohani). Berkaitan dengan konsepsi keagamaan maka dengan ilmu metafisika akan terungkap apa itu agama secara lebih komprehensif. Kebenaran-kebenaran dan rahasia-rahasia agama yg selama ini dianggap misterius, mistik, ghaib, dan sebagainya akan menjadi sebuah konseptualisasi yang cukup nyata, relatif riel, dan dapat dijelaskan secara falsafi. Hal ini mirip dengan peristiwa-peristiwa kimiawi yg dulunya dianggap misterius, nujum, sulap, untuk menakut-nakuti, dsbnya, dengan ilmu kimia menjadi nyata, dan seolah-olah riel, dan dapat dijelaskan secara filosofis misalnya unsur air (H2O) Asam Klorida(HCL) Besi (Fe) dan lain sebagainya .

Dengan ilmu metafisika jelas bahwa agama tak lain terdiri dari hukum-hukum yang secara konseptual riel seperti juga alam jagad raya yag tak lain terdiri dari hukum-hukum fisika, kimia, dan biologi. Hanya saja martabat dan dimensi hukum-hukum agama tersebut lebih tinggi dan bersifat hakiki, absolut serta jika dilihat secara filosofis nampaklah sangat sempurnanya alam ini. Tujuan pembahasan metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.

Dengan penjelasan yg masuk akal yang falsafi filosofis maka ajaran-ajaran agama dapat diterangkan secara logis sehingga keimanan semakin meningkat.[11] Tanpa penjelasan yang falsafi metafisis logis maka ajaran agama menjadi dogma. Tanpa penjelasan yang logis falsafai metafisis,juga maka ajaran agama sekedar pil yang harus di telan sehingga tidak akan dapat dihayati maksud dan tujuannya oleh umat beragama. Dari sebuah ritual dan perintah – perintah agama yang membentuk berbagai ritualitas agama hanya bermakna sebagai beban yang sangat berat bagi umatnya. Dengan metafisika ilmiah lah kita bisa menghargai betapa tanpa adanya agama maka manusia tidak mungkin percaya adanya Tuhan.

Problematika kajian metafisika tentang kosmos atau alam semesta (makrokosmos) bukanlah membicarakan alam semesta dalam pengertian entitas-entitas yang berbeda di alam melainkan semesta sebagai keseluruhan. Pada dasarnya tidak ada sesuatu halpun di alam ini yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra namun demikian, merupakan suatu kemustahilan untuk menangkap secara indrawi; suatu keseluruhan sebagai keseluruhan.


D. Manfaat Falsafah Metafisika

Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan saintifik pada umumnya maupun ilmu-ilmu pengetahuan berbasis keagamaan. Manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
  • Kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah, ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka ia harus dipasok dari luar, antara lain: metafisika, sains yang lain, kejadian personal dan histories.
  • Metafisika mengajarkan cara berpikir yang serius, terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatik (teka-teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam.
  • Metafisika mengajarkan sikap open-ended, sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru.
  • Perdebatan dalam metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream, seperti: monisme, dualisme, pluralisme, sehingga memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya percabangan ilmu. 
  • Metafisika menuntut orisinalitas berpikir, karena setiap metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminologi filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika. 
  • Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Kepastian ilmiah dalam metode skeptis.
  • Manusia yang bebas sebagai kunci bagi akhir Pengada,artinya manusia memiliki kebebasan untuk merealisasikan dirinya sekaligus bertanggung jawab bagi diri, sesama, dan dunia. Penghayatan atas kebebasan di satu pihak dan tanggung jawab di pihak lain merupakan sebuah kontribusi penting bagi pengembangan ilmu yang sarat dengan nilai (not value-free) 
  • Metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dlm ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis, tetapi juga antar disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan [12].

E. Pemikir - Pemikir Metafisika Islam 

Untuk memperoleh gambaran yang memadai atas falsafah metafisika dalam bingkai pemikiran Islam maka perlu dilacak sejumlah wacana yang berkembang di kalangan pemikir- pemikir muslim pada abad pertengahan. Lebih – lebih ketika masa-masa periode pembentukan (formative Periode) khazanah intelektual dapat ditemukan pemikiran-pemikiran yang memungkinkan dapat dijadikan sebuah refleksi untuk mendiskusikan falsafah metafisika dalam pemikiran islam. Karena pemikiran metafisika merupakan ber-induk pada pemikiran filsafat yang maka untuk menemukan narasi pemikiran metafisika dapat ditemukan diantara pemikiran-pemikiran filsafat tokoh yang bersangkutan yang menyangkut Manusia (jiwa) Alam (kosmologi) dan Yang ada (wujud).

  • Al-Kindi

Tentang filsafat al-Kindi[13] memandang bahwa filsafat haruslah diterima sebagai bagian dari peradaban Islam. Ia berupaya menunjukkan bahwa filsafat dan agama merupakan dua barang yang bisa serasi, ia menegaskan pentingnya kedudukan filsfat dengan menyatakan bahwa aktifitas filsafat yang definisi nya adalah mengetahui hakikat sesuatu sejauh batas kemampuan manusia dan tugas filosof adalah mendapatkan kebenaran

Tentang metafisika alam al-Kindi mengatakan bahwa alam in adalah illat-Nya. Alam itu tidak mempunyai asal, kemudian menjadi ada karena diciptakan Tuhan. Al-Kindi juga menegaskan mengenai hakikat Tuhan, Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada menjadi ada, ia selalu mustahil tidak ada, jadi Tuhan adalah wujud yang sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain.
  • Al-Farabi

Bagi al-Farabi[14], filafat mencakup matematika, dan matematika bercabang pada ilmu-ilmu lain, sebagaimana ilmu itu berlanjut pada metafisika. Menurut al-farabi bagian metafisika ini secara lengkap dipaparkan oleh aristoteles dalam metaphysics yang sering juga diacu dalam sumber-sumber Arab sebagai “book of letters”, karya ini terdiri atas bagian utama yaitu:
  • Menelaah yang ada jauh keberadaannya atas ontologi 
  • Menelaah beberapa kaidah pembuktian yang umum dalam logika, matematika dan fisika, atas epistimologi
  • Menelaah apa dan bagaimana “substansi-substansi mujarad (immaterial) yang berjenjang ini menanjak dari yang terendah sampai ke yang tinggi dan berpuncak pada wujud yang sempurna. Dan tak ada yang lebih sempurna dari apa yang telah ada.[15]

Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa suatu sebab, kalau ada sebab baginya, maka adanya Tuhan tidak sempurna lagi. Berarti adanya Tuhan bergantung kepada sebab yang lain, karena itu ia adalah substansi yang azali, yang ada dari semula dan selalu ada, substansi itu sendiri telah cukup jadi sebab bagi keabadian wujudnya. Al-Farabi dalam metafisika nya tentang ketuhanan hendak menunjukkan keesaan Tuhan, juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan tidak berbeda dari zat Nya, karena Tuhan adalah tunggal.[16]

Tentang penciptaan alam (kosmologi) al-farabi cenderung memahami bahwa alam tercipta melalu proses emanasi sejak zaman azali, sehingga tergambar bahwa penciptaan alam oleh Tuhan, dari tidak ada menjadi ada, menuut al-Farabi, hanya Tuhan saja yang ada dengan sendirinya tanpa sebab dari luar dirinya. Karena itu ia disebut wajib al-Wujudu zatih.[17]

Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya ( al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya.

Secara konseptual hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :

· Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
· Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
· Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
· Benda-benda bumi (teresterial).[18]

Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.

Proses emanasi itu adalah sebagai berikut. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama dan selanjutnya dengan segala planet yang ada pada sistem tata surya.

  • Al-Razi

Persoalan metafisika yang dibahas oleh al-Razi[19] seperti halnya yang ada pada filsafat yunani kuno yaitu tentang adanya lima prinsip yang kekal yaitu: Tuhan, Jiwa Unversal, materi pertama, ruang absolut, dan zaman absolut.

Secara prinsip tentang metafiska dikatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan substansi ketuhanan-nya kemudian akal, akal berfungsi menyadarkan manusia bahwa dunia yang dihadapi sekarang ini bukanlah dunia yang sebenarnya, dunia yang sebenarnya itu dapat dicapai dengan berfilsafat. Dalam karya tulis al-Razi, al-Tibb al-Ruhani (kedokteran Jiwa) tampak jelas bahwa ia sangat tinggi menghargai akal, dikatakannya bahwa akal adalah karya terbesar dari Tuhan bagi manusia.
  • Ikhwan Al-Safa’

Setelah wafatnya al-Farabi, muncullah kalangan kelompok muslim yang menyebutkan diri mereka sendiri dengan nama ikhwan al-Safa’ yang berarti saudara-saudara (yang mementingkan kesucian batin atau jiwa).[20] Mereka berhasil menghasilkan karya ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan judul Rasa’il Ikwan al-Safa’, terdiri dari 52 risalah yang dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu bidang matematika, fisika, risalah yang berbicara tentang jiwa manusia dan kelompok risalah yang mengkaji masalah-masalah metafisika lain nya seperti tentang Tuhan, malaikat, jin dan setan.

Ikhwan al-Safa’ membagi pengetahuan kepada tiga kelompok yaitu: pengetahuan adab/sastra, pengetahuan syari’ah, pengetahuan falsafat, dan pengetahuan filsafat mereka bagi menjadi empat bagian yaitu: pengetahuan matematika, pengetahuan logika, pengetahuan fisika, dan pengetahuan ilahiah, metafisika. Filsafat menurut mereka mempunyai tiga taraf, yaitu: 1) taraf pemulaan, yakni mencintai pengetahuan, 2) taraf pertengahan yakni mengetahui hakikat dari segala yang ada sejauh kemampuan manusia, 3) taraf akhir yakni berbicara dan meramal sesuatu sesuai dengan pengetahuan mengenai alam ikhwan al-safa’ juga menganut paham pencipataan alam dan Tuhan melalui cara emanasi.[21]

  • Ibnu Maskawaih

Menurut Ibnu Maskawaih[22] untuk membuktikan Tuhan itu dengan pengenalan, jadi tidak dengan melalui rasional. Sebab pengenalan selain di dapat secara rasional juga dapat dengan melalui penghayatan yang berupa penggalan kejiwaan. Sebagai bukti adanya Tuhan ialah gerak-gerak yang lain itu timbulnya dari sumber gerak, sedangkan sumber gerak itu timbul sendiri, adapun menurut teori pembahasan lama ialah tiap-tiap bentuk berbuah pasti diganti dengan bentuk yang lain.[23]

Tentang jiwa manusia dan akhlak Ibnu Maskawaih menyatakan bahwa tujuannya untuk menulis itu adalah agar kita berhasil membangun bagi jiwa-jiwa kita suatu akhlak, dengan akhlak itu muncul dari diri kita dengan mudah tanpa dibuat-buat perbuatan yang indah. Baginya jiwa itu berasal dari akal aktif, jiwa bersifat rohani, karena itu jiwa mampu menerima hal-hal yang bertentangan, sedangkan panca indra hanya dapat menangkap sesuatu jika sesuatu itu sudah menempel pada benda.[24]
  • Ibnu Sina

Ar-Rais al-Husain bin Abdullah bin Ali Al-Hamadani di lahirkan pada tahun 980 M disebuah desa bernama afshanah.[25] Dekat Bukhara yang saat ini terletak dipinggiran selatan Rusia, Ibnu Sina adalah filosof dan ahli kedokteran muslim paling populer sampai saat ini di dunia barat, Ibnu Sina dikenal dengan sebutan Avicenna.

Sebagai seorang metafisikus Islam, Ibnu Sina berpendapat bahwa antara jiwa dan badan memiliki perbedaan. Pengenalan dan perasaan manusia terhadap jiwa bersifat langsung, karena pemikiran tidak memerlukan perantara di dalam mengenal dirinya. Ibnu Sina seperti halnya al-Farabi berpendapat bahwa jiwa adalah wujud rohani (immateri) yang berada dalam tubuh, wujud imateri yang tidak berada atau tidak langsung mengendalikan tubuh disebut akal. Dengan demikian, jiwa manusia adalah wujud imateri yang berada dalam tubuh manusia. Jiwa itulah yang menjadi sebab hidup, penggerak dan pengendali tubuh, ibnu Sina juga menjelaskan tiga macam jiwa di bumi yaitu 1) Jiwa tumbuh-tumbuhan, 2) Jiwa binatang, 3) jiwa manusia, pada jiwa tumbuh-tumbuan terdapat potensi makan potensi menumbuhkan potensi mengembang biakkan. Pada jiwa binatang, selain jiwa yang baru disebutkannya juga terdapat potensi menggerakkan dan potensi menangkap, potensi khayal dan sebagainya.[26]

Pada jiwa manusia, selain semua potensi yang telah disebutkan di atas juga terdapat potensi berpikir praktis dan berpikir teoritis, kemampuan teoritis ini pada taraf potensi disebut akal material dan setelah berkembang pada taraf berikutnya disebut akal makalah. Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.

Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.

Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.

Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi -fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.

Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain.Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib.[27]

Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.

Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut: Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud al muntazhar) - dari wujud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.

Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali. Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.[28]

Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih – lebih lagi pada dzat-Nya.

Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan. [29]

  • Al-Ghazali
Tiga pendapat filosof-filosof muslim yang dikufurkan al-Ghazali[30] yang tertuang dalam bukunya “tahafut al-Falasifah”, yakni pendapat bahwa alam itu azali atau qadim, pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui juz iyyat, lalu ia juga mengkufurkan paham yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di akhirat, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut, salah satu dari tiga paham tersebut menurut al-Ghazali jatuh ke dalam kekafiran. Untuk paham yang pertama tentang paham qadim- nya alam menurut nya bila alam tu diktakn qadim maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim nya alam membawa kepada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Kedua tentang paham bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat. Paham bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat bukanlah paham yang dianut oleh filosof muslim tapi paham ini dianut oleh aristoteles, menurut al-Ghazali Tuhan mengetahui hal-hal juz’i itu dengan pengetahuny tidak berubah, dan ini dapat dipahami seperti tidak berubahnya pengetahuan tetapi sebab-sebab yang bersifat umum, atau dapat di pahami dengan pengertian bahwa tuhan telah mengetahui halhal yang juz’i ketiga tentang paham pengingkaran kebangkitan jasmani di alam kubur. Menurut al-Ghazali gambaran al-Qur’an dan Hadis tentang kedua akhirat bukan megacu pada kehidupan yang bersifat rohani saja, tapi pada jasmani juga, jasad-jasad di bangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia, untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani dan merasakan azab neraka yang juga bersifat rohani – jasmani.

Menurut al-Ghazali di dalam buku-buku filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah - ubah yaitu al-Nafs atau jiwanya. Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan - pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr . Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan.Substansi yang pertama dinamakan badan ( al-jism) dan substansi yang kedua disebut jiwa ( al-nafs). Jiwa ( al-Nafs) memiliki daya - daya sebagai derivatnya dan atas dasar tingkatan daya daya tersebut.

Demikianlah diantara pemikir-pemikir muslim yang bisa dijadikan rujukan konsepsi untuk melacak akar pemikiran Falsafah Metasika dalam sejarah pemikiran Islam,[31] sebagai perbandingan perlu dideskripsikan khasanah pemikiran falsafah metafisika di kawasan barat.


F. Pemikir -Pemikir Metafsisika Barat 

Sebagai sebuah analisa memperkuat konseptualisasi kajian falsafah metafisika dikemukakan disini sejumlah pemikir-pemikir metafisika Barat yang dapat ditelaah secara seksama sehingga dapat menjadi bahan komparasi dan perbandingan dengan pemikir-pemikir Muslim tersebut diatas:

1. Thales berpendapat air sebagai arche. Filsafat alam yang berusaha mencari asal (arche) alam semesta yakni air.

2. Dalil Pembuktian Tuhan Ansellmus: Dalil ontologis: segala sesuatu di dunia ini tidak ada yg sempurna, melainkan hanya memperlihatkan tingkatan-tingkatan (gradasi). Oleh karena itu, tentu ada satu yang paling sempurna yang mengatasi semua ketidaksempurnaan itu, yakni The Perfect Being.

3. Dalil Kosmologis menurut Aristoteles, Keteraturan alam semesta ini ditentukan oleh gerak (motion). Gerak merupakan penyebab terjadinya perubahan (change) di alam semesta. Akhirnya akal manusia tiba pada suatu titik yang ultimate, yaitu sumber penyebab dari semua gerak, yaitu Unmoved Mover, Penggerak yang tadak digerakkan. [32]

4. Dalil Teleologis (William Paley) Benda-benda di ruang alam semesta itu memiliki gerak yg bertujuan (teleos), sehingga alam semesta ini merupakan karya seni terbesar yang membuktikan adanya A Greater Intelligent Designer.

5. Dalil Etis (I.Kant), Dalam diri setiap manusia ada dua kecenderungan yang bersifat niscaya, yaitu keinginan untuk hidup bahagia (happiness) dan berbuat baik. Kedua kecenderungan itu akan dapat terwujud dalam kehidupan manusia apabila dijamin oleh 3 postulat, yaitu kebebasan kehendak (freewill), keabadian jiwa (immortality), dan Tuhan (God) sebagai penjamin hukum moral (Law Giver)[33].

6. Plotinos: Semua pengada beremanasi dari to Hen (yang satu) melalui proses spontan dan mutlak. To Hen beremanasi pada Nous (kesadaran), melimpah pada Psykhe (jiwa), akhirnya melimpah pada materi sebagai bentuk yang paling rendah, yaitu Meion.

7. Karl Jaspers mengatakan; pertama Metafisika merupakan upaya memahami Chiffer; simbol yang mengantarai eksistensi dan transendensi. Kedua Manusia adalah chiffer paling unggul, karen banyak dimensi kenyataan bertemu dalam diri manusia. Ketiga Manusia merupakan suatu mikrokosmos, pusat kenyataan; alam, sejarah, kesadaran, dan kebebasan ada dlm diri manusia. Jadi Metafisika: berarti membaca chiffer, transendensi, keilahian, sebagai kehadiran tersembunyi. Arti dari Chiffer adalah jejak, cermin, gema atau bayangan transendensi. [34]

8. Jp. Sartre yang mempelopori aliran filsafat eksistensialisme memberikan konsep pertama L’etre en soi (Being-in-itself) yaitu keberadaan dalam diri yang bukan pasif dan bukan pula aktif, tetapi memuakkan. Kedua Ctt: L’etre en soi keberadaan dlm diri yg bukan aktif dan pasif, sifatnya memuakkan. L’etre pour soi; kesadaran mns utk diri, sifatnya aktif, kebebasan dan berusaha mengobjekkan org lain. Dan ketiga, L’etre pour autrui; keberaadaan untuk orang lain (sosial)[35].


G. Penentang Metafisika Barat

Dialektika keilmuan menjadi wacana yang sangat kental berkembang terus menerus di barat sehingga ketika muncul pemikiran-pemikiran metafisika yang merupakan aliran filsafat idealisme, akhirnya muncullah sejumlah tokoh dan pemikir yang menentang aliran ini yang lebih mengedepankan paradigma filsafatnya pada aliran empirisme positivistik. Nilai pokok Aliran ini adalah penentangan keras akan adanya konsep metafisika. Adapun penentang Metafisika Barat bisa dikemukakan disini adalah:[36]

1. David Hume:
  • Metafisika itu cara berpikir yang menyesatkan (sophistry) dan khayalan (illusion). Sebaiknya karya metafisika itu dimusnahkan, karena tidak mengandung isi apa-apa.

  • Metafisika bukanlah sesuatu yang dapat dipersepsi oleh indera manusia, sehingga merupakan sesuatu yang senseless. 

2. Alfred Jules Ayer
  • Metafisika adalah parasit dalam kehidupan ilmiah yang dapat menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan, Oleh karena itu, metafisika harus dieliminasi dari dunia ilmiah. 
  •  Problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu (pseudo-problems), artinya permasalahan yang tidak memungkinkan untuk dijawab.

3. Ludwig Wittgenstein[37]
  • Metafisika itu bersifat the Mystically, hal-hal yang tak dapat diungkapkan (inexpressible) ke dalam bahasa yang bersifat logis.
  • Ada 3 persoalan metafisika, yaitu: (1) Subject does not belong to the world; rather it is a limit of the world. (2). Death is not an event in life, we do not live to experience death. (3). God does not reveal Himself in the world. 
  • Kesimpulan: “Sesutu yang tak dapat diungkapkan secara logis sebaiknya didiamkan saja”. (What we cannot speak about, we must pass over in silence!)



Daftar Pustaka dan Footnote
  • Bakar, Osman,Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu ,Bandung : Mizan,1997
  • Bakhtiar,Amsal, Filsafat Agama,Jakarta:Logos,1997
  • Bakker,Anton, Ontologi Metafisika Umum: filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan Yogyakarta: kanisius, 1992
  • Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafai dalam Islam,Jakarta: Djambatan, 2008
  • Al-farabi, Ihsa Al-Ulum 
  • Gahral Adian, Donny, Matinya Metafisika Barat, Jakarta: Komunitas Bambu, 2001
  • Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam,Jakarta : Bulan Bintang, 1996
  • Honderich, Oxford Companion to Philosophy….
  • Labib,Muhsin, Para Filosof, Jakarta: Al-Huda, 2005
  • Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,Jakarta:UIPress, 1978
  • Peursen,C.A. Van ,Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1988 
  • Philipus Tule, Rhomo, (ed.), kamus filsafat , Bandung: Rosda, 1995 
  • Salam,Burhanuddin, Filsafat Manusia,Jakarta:Bina Aksara, 1988
  • Siswanto,,Joko, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Yogyakarta: Pustaka pelajar ,1998
  • Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar,Jakarta: Rineka Cipta, 1993
  • Titus, Harold (dkk.), Persoalan-persoalan Filsafat, terj. Rasyidi .Jakarta: Bulan Bintang, 1986 

___________________
[1] Amsal Bakhtiar,Filsafat Agama,(Jakarta:Logos,1997) 7.

[2] Menurut Aristoteles (384-322 sM), abstraksi (abstrahere = menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang disebut filsafat

[3] Burhanuddin Salam, Filsafat Manusia,(Jakarta:Bina Aksara, 1988) Hal. 6-8

[4] Honderich dalam Oxford Companion to Philosophy….

[5] Donny Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2001), hlm. 6.

[6] Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum: filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan (Yogyakarta: kanisius, 1992) Hal.15.

[7] Osman Bakar, Hiererki Ilmu, h. 120

[8] Rhomo Philipus Tule (ed.), kamus filsafat (Bandung: Rosda, 1995 ), hal.202-203.

[9] Harold Titus (dkk.), Persoalan-persoalan Filsafat, terj. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Hal. 362.

[10] C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1988) Hal. 64.

[11] Kesadaran manusia menuju keyakinan (ainu al yaqin, ilmu al yaqin dan haqqu al yaqin) dapat diterangkan sebagai berikut bahwa dunia sebagaimana adanya bisa tidak sesuai dengan pandangan keseharian kita tentangnya (the way it seems to be). Inilah kritik utama atas perkembangan empiris dan positifisme modern yang paling mendasar. Bahwa kemampuan indera sangat terbatas dan cenderung memiliki potensi untuk menyimpang dari kebenaran. Contohnya; kita biasa bicara tentang matahari terbit dan tenggelam, dan jelas tampak secara inderawi bahwa matahari bergerak naik turun, sementara kita dan bumi tetap pada tempatnya. Baru setelah beberapa ribu tahun kita mengenali bahwa sesungguhnya, di balik penampakan, bumi kita yang bergerak mengitari matahari, dan bukankah berarti matahari tidak pernah terbit? Dan bukankah matahari tidak pernah tenggelam, apakah malam itu juga ada seperti mestinya, seperti yang kita lihat secara kasat mata? Atau bahwa sebenarnya siang dan malam itu tidak ada? Atau ke “ada”-annya hanyalah bahasa kompromi kita untuk mendefinisikan hari. Disinilah problema-problema yang tidak mungkin bisa dijawab oleh fisika dan matematika yang bersifat saintifik. Namun harus dilacak dan ditelusuri melalui konsep metafisika.

[12] Untuk lebih lanjut pembahasan ini Lihat Anton Bekker, Ontologi Metafsisika Umum, Filsafat Pengada dan Dasar – Dasar Kenyataan (Yogyakarta;Kanisius,1992)

[13] Nama lengkap Abu Yusuf, Ya’kub Ibnu Ishak Al-Sabbah, Ibnu Imran, Ibnu Al-Asha’ath, Ibnu Kays, Al-Kindi. Belilau biasa disebut Ya’kub. Lahir pada tahun 185 H (805 M) di Kufah. Al-Kindi berasal dari suku Arab y terpandang dan memainkan peran utama dalam dunia pemikiran Islam.Al-Kindi memulai pelajarannya di Kufah, kemudian di Basrah, dan Baqhdad, Ibn Al-Nadim seorang pustakawan yang terpercaya menyebutkan adanya 242 buah karya al-Kindi dalam bidang logika, metafisika, aritmatika, falak, musik, astrologi, geometri, kedokteran, politik dan sebagainya.

[14] Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad al-Farabi lahir di wasij, suatu desa di Farab (Transoxania), Khorasan, pada 257 H (870 M). Ia berasal dari Turki dan orang tuannya adalah seorang jendral. Ia sendiri pernah menjadi hakim dari farab ia pernah ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan waktu itu, di sana ia belajar pada abu Bishr matta bin Yunus, dan tinggal di Baghdad selama 20 tahun, kemudian ia pindah ke Alleppo dan tinggal di Istana Saif ad-Daulah guna memusatkan perhatian pda ilmu pengetahuan di filsafat.

[15] Al-farabi, Ihsa Al-Ulum, hal. 99

[16] Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: Rineka Cipta, 1993) hal. 296

[17] Abd Aziz Dahlan, Pemikiran Filsafat dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003) hal. 63

[18] Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung : Mizan,1997), hal. 118

[19] Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi, hidup pada 250-313 H/864-925 M. ia lahir, dewasa dan wafat di Ray, dekat Teheran Persia. Al-Razi sangat luas ilmunya, cabang-cabang ilmu pengetahuan yang pernah dipelajarinya ialah filsafat, kedokteran, astronomi, kimia, sastra dan logika. Dengan demikian tidak mengherankan apabila ia dikenal sebagai seorang yang ahli dalam medis, filsafat, dan kimia, di bidang kedokteran al-Razi cukup terkenal, karena karangannya di bidang kedokteran menjadi buku pedoman atau sebagai buku teks kalangan kedokteran

[20] Identitas para pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama para anggota mereka memang merahasiakan diri, menurut informasi al-sifistani para pemuka mereka adalah Abu Sulaiman al-Busti, Abu Al-Hasan al-Zanjani, Abu Ahmad al-Nahrajuri, pusat kegiatan mereka adalah kota basrah, sedang di Baghdad juga tedapat cabang dari kelompok rahasia itu, jamaa’at ikwan al-Safa’ terdiri dari empat kelompok yaitu al-Ikhwan al Abrar al-Ruhama, al-Ikhwan al-Akhyar al-Fudala, al-Ikhwan al-Fudala al-Kiram, kelompok elit yang hati mereka telah terbuka dan menyaksikan kebenaran dengan mata hati

[21] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafai dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2008) hal. 84

[22] Ibnu Maskawaih dilahirkan di Ray (sekarang tenaran) nama lengkapnya abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad ibnu maskawaih, ia belajar dan mematangkan pengetahuannya di Baghdad.

[23] Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta Rineka Cipta, 1993) hal. 304

[24] Ibid, hal. 305

[25] Muhsin Labib, Para Filosof (Jakarta: Al-Huda, 2005) hal. 118

[26] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta:UIPress, 1978) Hal. 63

[27] Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1996, hal.125

[28] Ibid , hal.125-126

[29] Untuk mendapat gambaran lebih dalam berkaitan dengan pemikiran Ibnu Sina tentang roh lihat tulisan Harun Nasution dalam buku Islam ditinjau dari berbagai aspek, bab IX dan bab X tentang Falsafah dan Mistisisme Islam.
[30] Al-Ghazali hidup dari tahun 450 H / 105 M sampai degan tahun 505 H / 1111 M. ia lahir di desa Gazaleh dekat Tus. Ia berlajar di Tus jurtan, di nisyapur, di nisyapur inilah ia dalam usai 20-28 tahun berguru dan bergaul denga imam al-Juwaini, di Baghdad ia menjadi guru besar madrasah nizamiah Baghdad. Di Baghdad pula lah ia berupaya mempelajari filsafat dan menunjukkan pemahamannya tentang filsafat dengan menulis buku “Maqa sid al-Falaisfah”, serta kemudian menunjukkan kemampuannya mngkritis argument-argumen kaum filosofis. Untuk lebih lengkap konsepsi al ghozali berkaitan dengan falsafahnya dapat dibaca dalam kitabnya muqaddimah tahafut al falasifah yang berjudul Maqassid al falasifah lil imam al ghozali yang ditahqiq oleh Dr. Sulaiman D. Terbitan Darul Ma’arif Mesir. Cetakan Ke -2

[31] Secara prinsip pada hakekatnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang dapat dijadikan referensi untuk memperkaya kajian falsafah metafisika islam. Akan tetapi cukup kiranya sebagai bahan diskusi untuk penulisan makalah ini. Diyakini bahwa hampir semua pemikir dan tokoh-tokoh ulama islam sejak zaman sahabat, khalifah ar rasyidin, masa khalifah muawiyah Abbasiyah bahkan ketika islam mengalami masa kegelapan dan kemunduran sekalipun masih banyak pemikir-pemikir muslim yang terus berkarya dan berijtihad. Sampai dengan ketika islam dikatakan mengalami era kebangkitan lagi pada abad 17 dan 18. bahkan sampai era kontemporer sekarangpun masih banyak kita temukan sejumlah karya-karya monumental dikalangan pemikir muslim untuk merumuskan dan merekonstruksi pemikiran falsafah metafisika islam. Untuk yang terakhir ini bisa kita sebut misalnya Fazlur Rahman(dengan segala karya yang dihasilkannya), Sahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, al jabiri, Hasan Hanafi, dan lain-lain. Yang secara prinsip diskusi yang mereka paparkan tentang konsep Tuhan, wahyu, konsep hakekat kenabian, hakekat ilmu dan sebagainya. Belum lagi jika kita mengkaji peta pergerakan aliran-aliran dalam berbagai madzhab, baik itu madzhab teologi-tasawwuf, madzhab fiqh dan sebagainya yang masing-masing mereka memiliki cara pandang yang sangat beragam untuk membuat rumusan hal-hal yang bersifat eskatologis (ghoib). Ini dapat dimaklumi sebab konsepsi agama hakekatnya adalah mengandung konsepsi relasi metafisis antara Tuhan (dengan segala ”wujud”nya) Manusia (dengan segala fenomena) dan Alam (kosmos). Agama hakekatnya memiliki kewajiban memberikan rumusan yang jelas atas relasi-relasi yang dibangun atas dasar keberadaan dari masing-masing entitas tersebut. Dan pemikiran manusia untuk menemukan relasi ideal yang bersifat falsafi metafisis tiada pernah berhenti sampai kapanpun.

[32] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, (Yogyakarta: Pustaka pelajar ,1998) hal. 7

[33] Ibid, hal. 57

[34] Ibid , 127

[35] Ibid, 138

[36] Para tokoh-tokoh ini umumnya adalah pemikir empirisme positvisme materialistic yang secara prinsip berseberangan dengan pemikir rasionals, idealisme

[37] Anton Bekker Ibid, Hal. 254


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved