Aneka Ragam Makalah

Makalah Keamanan Bagi Kaum Kafir Dzimmi



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Keamanan Bagi Kaum Kafir Dzimmi
(Hadis Riwayat al-Nasa’i, No Hadis 6952)


A. Latar Belakang

Ketegasan suatu aturan dalam ranah sosial ataupun politik dalam setiap kenegaraan yang telah disampaikan oleh islam merupakan sebuah simbol keteladanan yang harus ditransformasikan dan diinterpretasikan dalam membentuk suatu kesejahteraan sistem negara yang ideal, demokratis, dan humanis, dimana di dalamnya terdapat beberapa budaya, ras, suku, dan agama.

Nabi Muhammad saw Bersabda :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا (رواه النسائي)
Dari Abdillah ibn Amr, ia berkata : bahwa Rasulullah saw bersabda : barang siapa membunuh ahlu dimmah, maka ia tidak akan bisa menghirup bau surga, dan sesuanggunya bau surga tersebut dapat dihirup dari jarak perjalanan empat puluh tahun.

Hadis tersebut menjelaskan mengenai pemberian perlindungan terhadap seorang kafir dzimmi oleh seorang muslim, sebab mereka telah melakukan atau mengadakan diplomasi dengan orang muslim sendiri, sehingga seorang kafir dzimmi terikat sebuah hubungan perjanjian, kemudian seorang muslimpu sedemikian rupa, dan salah satu contoh perjanjian yang tanpak pada suatu piagam madinah yang telaha dideklarasikan secara bersama yaitu umat muslim dan kafir dzimmi, dimana terdiri dari 47 pasal. Sejak dideklarasikannya piagam tersebut, dan saat itulah sistem kenegaraan islam mulai terbentuk. Salah satu isi piagam tersebut mengenai hubungan kaum muslim dan kaum non muslim. Pada dasarnya ialah membentuk suatu sistem negara secara maslahat, dan saling menjaga kerukunan dan kemajuan peradaban manusia.

Penulis berupaya dalam melacak hadis ini yang terdapat dalam sunan al-Nasa’i ialah salah satu kuncinya menemukan syarahnya, dan ketika hadis tersebut tidak ditemukan syarahnya, maka solusi yang diambil ialah mencoba untuk menganalisis dari teks hadis yang bersinggungan dengan permasalahan tersebut untuk dilacak sarahnya, tapi jika masih belum ditemukan, maka solusinya ialah mencoba mengkombinasikan dengan beberapa hadis lain yang mempunyai suatu kaitannya dengan pembahasan ini atau dalam bentuk teksnya. Diantaranya ialah Bukhari dan Ibnu Majah, sebab ternyata keduanya dapat ditemukan syarahnya dan memahami bentuk syarah keduanya, yaitu hadis ini berjalur satu.

Dalam syarah Bukhari dan Ibnu Majah dijelaskan dengan mengambil kesimpulan keduanya, yaitu dengan kata Ahlu al-Dzimmah, ahlu merupakan sekelompok orang diluar islam, sedangkan Dzimmah yang diberi sebuah perlindungan, sebab kedua perawi tersebut memakan suatu kata al-Mu’aahad yang berarti menurut pendapat keduanya ialah seseorang yang berjanji atas beberapa hal, yaitu menjaga keuntuhan, menjaga kebersamaan, dan tolong menolong dalam masalah sosial. Maka beberapa orang yang terikat dalam hal ini harus dilindungi secara hukum oleh kaum muslim dan tidak boleh diganggu, sebab mereka sangat diperlukan dalam kehidupan secara baik dan dibiaarkan memeluk keyakinan mereka, kecuali mereka melanggar beberapa perjanjian tersebut, maka mereka harus dikeluarkan dan jika mereka menantangnya, maka mereka ditanggai dengan hal yang sama.

Seorang dzimmi itulah yang diberi hak untuk menyampaikan aspirasinya dalam suatu negara. Mereka tidak boleh dibunuh atas dasar kemanusiaan dan perjanjiannya, sebab seorang muslim yang mengganggunya tidak akan pernah mencium bau surga tersebut. Dalam hal ini Bukhari dan Ibnu Majah menjelaskan kata Lam Yarih Raa’ihata al-Jannah :

1. Orang yang mengganggu mereka (al-Mu’aahad / Ahl al-Dzimmah) harus ditindak secara hukum.
2. Orang yang membunuh mereka (al-Mu’ahad / Ahl al-Dzimmah) tidak akan masuk surga.
3. Orang yang membunuh mereka (al-Mu’ahad / Ahl al-Dzimmah) bisa masuk surga, tapi tidak akan dapat menciu bau surga (Majaz).

Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an (al-Taubah, 29) mengenai sebagian perjanjian mereka terhadap orang muslim, yaitu dalam masalah Jizyah :

قاتلوا الذين لايؤمنون بالله ولا باليوم الاخر ولايحرمون ماحرم الله ورسوله ولايدينون دين الحق من الذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون.
Perangilah orang yang tidak beriman kepada Allah swt dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan rasulnya, dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah) yaitu orang-orang (yahudi dan nasrani) yang diberikan al-Kirab pada mereka, sampai mereka membayar Jizyah dengan patuh dalam keadaan tunduk.

Dalam hal ini mengenai tujuan damai dalam islam yang berperang secara defenisif serta beberapa aturannya telah dibicarakan di dalam siyasah dauliah. Apabila terdapat sebuah peperangan antara kaum muslim dan non muslim, maka peperangan dapat dihentikan setelah mereka berjanji ingin memberikan jizyah. Hal ini terkait dengan ungkapan al-Qur’an pada kalimat “al-Yadin” dapat diartikan :

1. Kekuasaan dan kekuatan.
2. Kemampuan membayar.
3. Menurut dan menaati.
4. Nikmat.

Jika seandainya diartikan dengan makna yang tertama, maka maksud dari ayat ini sampai orang yang kuasa dan kuat memberikan jizyah, kemudian arti yang kedua mengakibatkan hanya orang kaya diantara mereka saja yang membayar jizyah, dan arti yang ketidak mereka memberikan jizyah karena mendapat nikmat, yaitu melindungi hartanya, jiwanya, dan kehormatannya. Sedangkan menurut al-Syafi’i melakukan beberapa hukum islam bagi mereka.

Jizyah yang diambil dari warga yang bukan islam ialah imbangan zakat yang diambil dari warga negara muslim, sebab setiap warga negara yang mampu wajib memberikan sebagian hartanya untuk kemaslahatan umum, sebagai suatu imbalan atau hak yang mereka terima. jika seseorang yang wajib membayar Jizyah masuk islam, maka kewajiban dalam jizyah digugurkan dan mereka diwajibkan untuk membayar zakat. Menurut Umar ibn Abdil Aziz dan al-Auza’i jizyah diambil dari warga non muslim yang tinggal didaerah islam. Dalam hal ini harus dipahami, sebab terdapat beberapa perbedaan di antara ulama muslim sendiri. 


DAFTAR PUSTAKA
  • Al-'Asqalaniy, Syihabuddin Abu Al-FadhAhmad bin 'Aliy bin Hajar, Tahdzibu Al-Tahdzib, Juz 2. (Libanon : Dar SADER, 1986).
  • Al-Bukhariy, Abu 'Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Al-Mughirah bin Bardizbah, Shahih Al-Bukhariy, jilid 7. (Libanon : Dar Al-Fikr, 1981)
  • Al-Nasa'iy, Abu Abdir Rahman Ahmad Bin Syu'aib, Kitab Sunan Al-Kubra, juz 4 (Libanon : Dar Al-Kutub).
  • Al-Qazwayniy, Abu 'Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Madjah. juz 2. (Libanon : Dar Al-Fikr, 1995).
  • Djasuli, H.A. Fiqih Siyasah; Implementasi Kemashlahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari'ah, (Jakarta : Kencana, 2003).
  • Sjadzali, Munawir, Islam Dan Tata Negara, (Jakarta : UI-Press, 1993), 9-15
  • Program CD Kutub Al-Tis'ah (Mausu'ah Al-Hadits Al-Syarif).


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved