Aneka Ragam Makalah

Makalah Pemberantasan Buta Aksara, Wajib Belajar, Sekolah Kejuruan dan Lainnya



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
PEMBERANTASAN BUTA AKSARA, WAJIB BELAJAR, SEKOLAH KEJURUAN, KUALIFIKASI SEKOLAH KEJURUAN, LIFE SKILL DAN SOFT SKILL

A. PENDAHULUAN
Ada tiga hal yang selalu didengungkan pemerintah terkait pembangunan pendidikan di Indonesia, yakni wajib belajar pendidikan dasar, rehabilitasi sekolah dan pemberantasan buta aksara. Pasalnya tiga hal tersebut menjadi indikator penting dan bagian dari Human Development Indeks (HDI). Buta aksara fungsional adalah sebutan yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan membaca dan menulis yang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini sama dengan buta aksara dalam arti terbatas, yang berarti ketidakmampuan untuk membaca atau menulis kalimat sederhana dalam bahasa apapun.Menyinggung jumlah penduduk buta aksara yang masih cukup besar, hal ini disebabkan beberapa faktor. Misalnya, masih terjadinya siswa usia sekolah yang tidak tertampung di sekolah dasar. Ada juga penduduk yang sejak awal memang tidak sekolah karena berbagai alasan, seperti keadaan ekonomi keluarga dan kondisi geografis. Ada juga penduduk yang pernah mengikuti program pemberantasan buta aksara, namun penduduk itu kembali menjadi buta aksara karena kurang intensif memelihara kemampuan keaksaraannya. Satu upaya yang dilakukan adalah mempercepat penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Dinas P dan K akan melakukan penambahan ruang kelas baru, pembangunan TK/SD satu atap dan SD/SMP satu atap, program inklusi, membuka SMP Terbuka, dan Kelompok Belajar (Kejar) Paket B setar dengan SMP.

Pendidikan kejuruan adalah pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Filosofi adalah apa yang diyakini sebagai suatu pandangan hidup yang diianggap benar dan baik. Dalam pendidikan kejuruan ada dua aliran filosofi yang sesuai dengan keberadaanya, yaitu eksistensialisme dan esensialisme. Eksistensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengembangkan eksistensi manusia untuk bertahan hidup, bukan merampasnya. Sedangkan esensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengaitkan dirinya dengan sistem-sistem yang lain seperti ekonomi, politik, sosial, ketenaga kerjaan serta religi dan moral.

Untuk pembahasan lebih jelas dalam makalah ini akan dipaparkan tentang pemberantasan buta aksara, wajib belajar, pendidikan kejuruan serta kualifikasinya dan life skill dan soft skill beserta Undang-undang masing-masing.


B. PEMBERANTASAN BUTA AKSARA

Pada alinea keempat Undang-undang Dasar 1945 disebutkan bahwa pemerintah Negara Republik Indonesia berkewajiban untuk ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, dan diperjelas lagi dalam pasal 31 ayat 1 dinyatakan ”bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Pendidikan adalah merupakan alat yang paling penting untuk mengembangkan potensi kehidupan manusia, baik intelegensia, kreativitas. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia; sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Aktivitas pendidikan terkait dengan tujuan pembentukan manusia seutuhnya dalam rangka memajukan peradaban. Sebagaimana tertuang dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Bab II, pasal 3.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]

Jelaslah disini bahwa pemerintah dan masyarakat harus bahu membahu dalam melaksanakan pendidikan, yang diawali dengan pemberantasan buta aksara. Walaupun pemerintah sudah menetapkan program wajib belajar 9 tahun dan program pemberantasan buta aksara seperti Program Keaksaraan Fungsional (Program KF), namun demikian program-program tersebut belum berhasil menurutkan besarnya buta aksara sehingga sampai saat ini buta aksara tetap saja masih tinggi.

Berdasarkan data BPS tahun 2003-2004, posisi kebutaaksaraan penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas sebesar 15.533.271 orang, terdiri atas perempuan sebanyak 10.643.823 orang (67%) dan laki-laki sebanyak 5.042.338 orang (32,1 %). Pada usia 10-44 tahun sebesar 4.410.627 orang. Usia 15-44 tahun sebesar 3.986.187 orang. Angka buta aksara tersebut masih akan bertambah, mengingat angka tingkat putus belajar pada kelas-kelas awal (1-3) SD/MI saat ini masih 200.000 s.d. 300.000 per tahun. Khusus di bidang pendidikan, data susenas 2003 menunjukan bahwa penduduk perempuan usia 20 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki 911,56% berbanding 5,43%). Penduduk perempuan yang buta aksara sebesar 12,285, sedangkan laki-laki 5,82% atau dengan kata lain bahwa jumlah buta aksara pada perempuan lebih banyak 2 sampai 3 kali lipat dari laki-laki.[2]

Sementara itu kebutaaksaraan juga sangat terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan ketidakberdayaan masyarakat. Sehingga permasalahan buta aksara ini tidak saja menjadi permasalahan nasional tetapi sudah diangkat menjadi permasalahan internasional. Atas dasar itu, UNESCO, UNICEF, WHO, World Bank, dan badan-badan internasional lain menjadi sangat gencar mengkampanyekan dan mensosialisasikan akan pentingnya pemberantasan buta aksara di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Atas dasar ini pula muncul kebijakan pemerintah tentang peraturan pemerintah keputusan bersama menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan Nasional no 17/ Men.PP/ Dep.II/VII/2005, no 28A tahun 2005. No 1/PB/2005 tentang Mempercepat pemberantasab Buta Aksara Perempuan yaitu:


BAB I

KETENTUAN UMUM

Dalam pasal ini yang dimaksud buta aksara adalah:

1. Warga Negara perempuan yang buta aksata latin dan angka Arab, dan buta bahasa Indonesia dan bita pengetahuan dasar.

2. Program aksi nasional pemberantasan buta aksara perempuan adalah komitmen kolektif tentang pemberantasan buta aksara perempuan yang dioperasionalkan secara menyeluruh, serentak dan terpadu di seluruh Indonesia yang dilandasi oleh semangat gotongroyang dari eleman pemerintah dan masyarakat.

BAB II
Tujuan

Pasal 2

Tujuan peraturan bersama ini untuk pemberantasan buta aksara perempuan dalam upaya untuk mempercepat menurunkan buta aksara melalui kebijakan khusus Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan bersama Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pendidikan Nasional.

BAB III
Ruang Lingkup

Pasal 3

Peraturan bersama ini mengatur pelaksanaan pemberantasan buta aksara perempuan diseluruh Indonesia

Pasal 4

Pemberantasan buta aksara ini sebagaimana yang dimaksud pasal 3 dilakukan melalui Program Aksi Nasional Pemberantasan Keaksaraan Fungsional yang di integrasikan dengan program pendidikan non formal melalui magang, Kelompok Belajar Keterampilan ( KBK), Kelompok Belajar Usaha (KBU), Taman Bacaan Masyarakat ( KBM), Kecakapan hidup (life skill), dan sejenisnya dengan mempergunakan seperangkat modul/intrumen pembelajaran di propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan dan desa.

BAB IV
Tugas dan Tanggungjawab

Pasal 5

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mempunyai tugas dan tanggungjawab meliputi:

a. Melakukan koordinasi advokasi, sosialisasi, komunikasi, informasi dan edukasi terhadap aksi nasional pemberantasan buta aksara perempuan.
b. Menyiapkanbahan-bahan komunikasi, informasi dan edukasi program aksi nasional pemberantasan buta aksara perempuan.
c. Menyusun pedoman dan modul pemberantasan buta aksara perempuan
d. Melakukan kajian pemberantasan buta aksara perempuan dalam pengembangan modul, sarana dan prasarana yang efektif dan efesien dalam program aksi pemberantasan buta aksara.
e. Melaksanakan evaluasi nasional dan melaporkan gerakan pemberantasan buta aksara kepada presiden secara berskala setia tahun

Pasal 6

Menteri dalam negeri mempunyai tugas dan tanggungjawab meliputi:

a. Memfasilitasi pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan dan Desa dalam pengelolaan pemberantasan buta aksara perempuan.
b. Memfasilitasi pemerintah daerah untuk melengkapi saran dan pra saran belajar
c. Mendorong pemerintah Daerah, Swasta dan Organisasi perempuan, LSM, organisasi kemasyarakatan dalam pelaksanaan pemberantasan buta aksara perempuan.
d. Menyusun pedoman pelaksanaan urusan pemerintah dalam rangka pemberantasan buta aksara perempuan di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan dan desa
e. Memfasilitasi pemerintah daerah untuk membentuk kelompok kerja apemberantasan buta aksara perempuan diprovinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan dan desa.
f. Melaksanakan evaluasi di daerah dan melaporkan gerakan pemberantasan buta aksara kepada presiden secara berskala setiap tahun dengan tembusan kepada kementerian Negara pemberdayaan perempuan

Pasal 7

Menteri Pendidikan Nasional mempunyai tugas dan tanggungjawab meliputi:

a. Mendorong percepatan penyiapan sumber daya manusia sebagai tutor, penyelenggara dan pengelola
b. Mempercepat pengadaan master trainer untuk pembelajaran pemberantasan buta aksara
c. Menyiapkan master materi bahan ajar berupa modul pemberantasan buta aksara
d. Mengembangkan paduan/pedoman kurikulum, penyelenggara, peganggan, tutor, pengwas, pembinaan, pelesterian dan penilaian pemberantasan buta aksara
e. Melakukan evaluasi program dan pembelajaran pemberantasan buta aksara.[3]

Dikarenakan Indonesia adalah negara yang beragama, maka untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan agama sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada Bab II pasal 3 ayat 1 dikatakan bahwa:[4]

“Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.

Kemudian pada pasal 2 ayat 1 dan 2 dikatakan bahwa[5]:

“Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlakul mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama.”

“Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.”

Dalam pandangan Islam, pendidikan wajib dilaksanakan sepanjang hayat, sehingga kehidupan bagi seorang muslim adalah proses dan sekaligus lingkungan pembelajaran. Jika seseorang berhenti belajar pasti tertinggal dan tergilas zaman. Selanjutnya, apabila kita memperhatikan ayat-ayat yang pertama diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, maka nyatalah bahwa Allah telah menekankan perlunya orang belajar baca-tulis dan belajar ilmu pengetahuan. Firman Allah dalam surat Al-‘Alaq ayat 1-5.

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.”

Dalam hadis Rasulullah saw. Dikatakan:

“Sebaik-baik kalian adalah siapa yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya (HR. Al-Bukhari).

“Siapa saja membaca satu huruf dari kitab Allah (Al-Qur’an), maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya (HR. At-Tirmidzi).

Dari ayat-ayat dan hadis tersebut, jelaslah bahwa agama Islam mendorong umatnya agar menjadi umat yang pandai, dimulai dengan belajar baca tulis dan dilanjutkan dengan belajar berbagai macam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam hal ini pemerintah tidak cukup hanya memberantas buta aksara latin saja, tetapi tidak kalah penting juga mmeberantas buta aksara Al-Qur’an sebagai pedoman umat muslim yang di dalamnya terdiri dari berbagai macam ilmu pengetahuan. Program pemberantasan buta aksara (PBA) ini merupakan program nasional yang dicanangkan sejak tahun 2003. Kemudian tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan program percepatan pemberantasan buta aksara yang ditargetkan tuntas pada tahun 2009 ini. Untuk mengatasi permasalahan buta aksara ini, pemerintah pusat telah mengeluarkan beberapa landasan hukum sekaligus sebagai dasar kebijakan dalam memberantas buta aksara, yaitu:

Instruksi Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun dan Pemberantasan Buta aksara. Yaitu: mengambil langkah-langkah yang diperlukn sesuai tugas, fungsi dan wewenang masing-masing untuk melaksanakana mempercepat penuntasan wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun dan penuntasan buta aksara. Dengan:

a. Meningkatkan presentase peserta didik di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyyah/ pendidikan sederajat terhadap penduduk usia 7-12 tahun atau angka partisipasi murni (APM) sekurang-kurangnya 96% dalam tahun 2008
b. Meningkatkan presentase peserta didik di sekolah menengah/madrasah tsanawiyah/ pendidikan sederajat terhadap penduduk usia 12-15 tahun atau angka partisipasi murni (APM) sekurang-kurangnya 96% dalam tahun 2008
c. Menurunkan presentase anak buta aksara umur 15 tahun hingga mencapai 5% pada akhir 2009

Untuk selanjutjan dapat diliha dalam kebijakan pemerintah antara lain:

1. Keputusan bersama Mendiknas, Mendagri, dan Meneg PP tentang Percepatan Pemberantasan Buta Aksara Perempuan.( Tercantum diatas)
2. Kerjasama Mendiknas dengan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan di antaranya: PKK Pusat, Muslimat NU, Aisyiyah, Kowani, dan Wanita Islam.
3. Keputusan MENKOKESRA No. 22 tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas dan Pemberantasan Buta Aksara.
4. Keputusan Mendiknas No. 35 th 2006 tentang Pembentukan Tim Pelaksana Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan wajar Dikdas dan pemberantasan Buta Aksara dan pembentukan sekretariatnya.
5. Keputusan Dirjen PLS No. Kep-82/E/MS/2007 tentang Pembentukan Kelompok Kerja GNP-PBA.

Program pemberantasan buta aksara selama ini sering berjalan pasang surut. Hal ini disebabkan karena berbagai hal diantaranya[6]:

1. Kesadaran akan pentingnya tingkat keaksaraan penduduk belum menjadi kesadaran kolektif
2. Rendahnya tingkat perekonomian keluarga.
3. Sosial budaya yang masih bias gender (budaya patriarchi).
4. Rendahnya political will dari penyelenggara Negara (pemerintah dan DPR).
5. Rendahnya anggaran yang disediakan untuk program pendidikan keaksaraan, jika dibandingkan dengan program-program dalam satu faktor (faktor pendidikan) maupun luar faktor yang sangat terkait dengan program ini seperti faktor kesehatan, keluarga berencana, ketenagakerjaan, dan lain-lain[7].

Metode yang akan diterapkan dalam program pemberantasan buta aksara Al-Qur’an ini adalah metode yang mudah diserap oleh ibu-ibu rumah tangga. Dalam hal ini penulis berpatokan pada metode yang ada dan sudah pernah digunakan di masyarakat. Dari berbagai macam metode yang ada tersebut, dengan keterbatasan biaya, tenaga, dan waktu, maka dalam penelitian ini akan diterapkan dua metode saja yaitu metode Iqro dan metode Qiroati[8].


C. WAJIB BELAJAR

Menggali potensi pesantren, baik dalam konteks Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun (selanjutnya wajar dikdas), maupun peningkatan akses pendidikan, menjadi sangat signifikan. Ini disebabkan, bukan hanya karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki akar kuat di masyarakat, tetapi juga karena jumlahnya yang sangat besar, sebagaimana dalam data EMIS 2006, ada sekitar 16.015 buah pesantren. Dengan melihat potensi tersebut, maka target menaikkan daya serap program wajar dikdas 9 tahun dapat dipandang dengan penuh optimis, dan oleh karena itulah, maka pelibatan langsung institusi pesantren dalam akselerasi wajar dikdas 9 tahun menjadi sangat strategis. Berbagai pola pendidikan dasar telah diselenggarakan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat mengikuti pendidikan dasar, baik pada jalur pendidikan formal seperti SD/MI, SMP/MTs, maupun pada jalur pendidikan nonformal seperti program Paket A dan Paket B. Tetapi belum seluruh anak usia wajar dikdas mendapat kesempatan memperoleh pendidikan dasar.

Menurut Direktur Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Pekapontren), Departemen Agama, H. Amin Haedari, Program Wajar Dikdas 9 tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah dikembangkan dalam keterkaitannya secara fungsional dengan berbagai bidang kehidupan yang memiliki persoalan dan tantangan yang semakin kompleks. Dalam dimensi sektoral tersebut, Program Wajar Dikdas 9 Tahun tidak cukup hanya berorientasi pada SDM dalam rangka menyiapkan tenaga kerja. Program Wajar Dikdas 9 tahun harus dilihat dalam perspektif pembangunan Insan Indonesia yang beriman, cerdas dan kompetitif. Dalam perspektif demikian, maka program wajar dikdas 9 tahun pada Pesantren Salafiyah harus lebih berperan dalam meletakkan landasan bagi pengembangan seluruh potensi manusia agar menjadi subyek yang berkembang secara optimal dan bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan nasional. Potensi manusia Indonesia yang dikembangkan melalui: (1) Olah hati untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan, meningkatkan akhlak mulia, budi pekerti, atau moral, membentuk kepribadian unggul, membangun kepemimpinan dan entrepreneurship; (2) Olah pikir untuk membangun kompetensi dan kemandirian ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) Olah rasa untuk meningkatkan sensitifitas, daya apresiasi, daya kreasi, serta daya ekspresi seni dan budaya; dan (4) Olah raga untuk meningkatkan kesehatan, kebugaran, daya tahan, dan kesigapan fisik serta keterampilan kinestetis[9].

Pencanangan gerakan wajar dikdas 9 tahun sudah ditetapkan sejak tahun 1994, toh legalitas penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar di pondok pesantren baru memperoleh bentuknya pada tahun 2000 dan mulai terselenggara melalui program Wajib Belajar 9 Tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah. Dasarnya Surat Kesepakatan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor : 1/U/KB/2000 dan Nomor: MA/86/2000, tentang Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola wajib Belajar Pendidikan Dasar[10].

Pada level implementasi, hal itu dapat dilihat dengan kemunculan Surat Keputusan Bersama (SKB) Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Nomor : E/83/2000 dan Nomor : 166/c/Kep/DS/2000, tentang Pedoman Pelaksanaan Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar.

Ada pula Keputusan Bersama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Nomor : Dj.II/526/2003 dan Nomor : 6016/C/HK/2003 Tahun 2003, tentang Ujian Akhir Nasional Program Program Wajib Belajar Sembilan Tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah. Serta Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Nomor: E/239/2001 tentang panduan Teknis Penyelenggaraan Program wajib Belajar Pendidikan Dasar pada Pondok Pesantren Salafiyah.

Selain program wajib di atas, di pondok pesantren juga diselenggarakan pelayanan pendidikan nonformal melalui pendidikan kesetaraan paket A setara MI-SD, Paket B setara MTs-SMP dan paket C setara MA-SMA. Dengan pendidikan kesetaraan diupayakan perluasan akses terhadap wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, sekaligus memberikan layanan pendidikan menengah bagi mereka yang membutuhkan pendidikan lanjutan yang tidak memungkinkan melalui jalur pendidikan formal.

Sesuai pasal 36 dan 38 UU No. 20 tahun 2003[11], kelembagaan program paket C di lingkungan pondok pesantren dikembangkan dengan mengacu pada standar nasional, dan Permendiknas RI no. 23 tahun 2006 yang mengisyaratkan tentang acuan standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. Dengan kerangka perubahan itulah, maka pengembangan Pendidikan Kesetaraan Paket C khususnya, diarahkan untuk memiliki relevansi dengan peraturan dan kebijakan yang berlaku sekaligus memenuhi kebutuhan dan tuntutan perkembangan masyarakat, sekaligus pada sisi yang lain semakin mengokohkan eksistensi dan jati diri Pondok Pesantren sebagai satuan Pendidikan Islam yang secara integral menjadi bagian dari Sistem Pendidikan Nasional.


D. PENDIDIKAN KEJURUAN

Sejarah pendidikan teknik dan kejuruan di Indonesia diawali dengan didirikannya Ambacht School van Soerabaja tahun 1853 oleh pihak swasta. Sekolah ini terutama ditujukan untuk laki-laki keturunan Eropa khususnya Belanda, dari golongan miskin yang tinggal di Hindia Belanda ketika itu.

Pada akhir abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda mendirikan suatu lembaga pendidikan di Jakarta dengan nama Ambacht Leergang. Kemudian pada tahun 1901 dilanjutkan dengan pembukakan lembaga pendidikan bernama Koningin Welhelmina School (KWS) yang para siswanya terdiri atas tamatan Europeese School yang diperuntukan khusus untuk orang-orang Eropa.

Pendidikan teknik dan kejuruan tingkat pertama di Indonesia menjelang akhir masa penjajahan Belanda hingga masa pendudukan Jepang (1942-1945) terdiri atas: Ambacht Leergang, yang mempersiapkan pekerja-pekerja tukang, Ambacht School, yang memberikan latihan yang lebih tinggi, dan Technische School, yang memberikan latihan yang lebih tinggi dan bersifat teoritis.

Ketiga jenis lembaga pendidikan teknik dan kejuruan ini tetap bertahan sesudah Indonesia merdeka dengan mengalami perubahan-perubahan nama dan beberapa perubahan kurikulum. Perkembangan jumlah sekolah berjalan pesat sesuai dengan meningkatnya minat para pemuda untuk menuntut pengetahuan teknik dan kejuruan.

Pada masa kemerdekaan, Ambacht Leergang dikenal dengan Sekolah Pertukangan (SPT), Ambacht School menjadi Sekolah Pertukangan Lanjutan (SPL), dan Technische School sebagai Sekolah Teknik (ST), sedangkan THS menjadi Institut Teknologi Bandung(ITB). Lama pendidikan SPT adalah 2 tahun setelah SD 6 tahun. SPL adalah 1 tahun setelah SPT , SPT adalah 4 tahun yang kemudian menjadi 3 tahun setelah SD. Lembaga pendidikan teknik dan kejuruan berkembang menjadi lembaga pendidikan kejuruan yag mempunyai peran sentral dalam penyediaan tenaga tukang yang terampil dan teknisi tingkat pertama.

Jurusan-jurusan yang dibuka pada lembaga pendidikan teknik tersebut didasarkan atas penggolongan jabatan (job description) dan analisis pekerjaan (job analysis) beserta persyaratan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Dengan melihat sejarah tersebut, berarti sekolah teknik dan kejuruan baru dibuka 317 tahun setelah pertama yang didirikan oleh Portugis dan 246 tahun setelah sekolah pertama didirikan oleh VOC/ Belanda.

Dengan demikian, hingga saat ini sekolah kejuruan di Indonesia telah berusia 1,5 abad. Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda, pada tahun 1940 terdapat sekitar 88 sekolah kejuruan di Indoneasia dengan 13.230 siswa, umumnya dalam bidang pertukangan, teknik, dan pertanian.

Sejak kemerdekaan hingga sekarang, pendidikan teknik dan kejuruan berkembang pesat. Pemerintah sendiri saat ini sedang menggalakkan peran SMK yang lebih diminati masyarakat karena berorientasi pada pekerjaan. Kebijakan pemerintah antara lain dengan menargetkan penambahan jumlah SMK sehingga perbandingan SMA dengan SMK nantinya menjadi 40 : 60. Saat ini saja terdapat 4.200 SMK dengan siswa 2,1 juta orang atau 35% dari total populasi siswa SLTA.

Kebijakan ini dilandasi dengan semakin meningkatnya angka pengangguran serta semakin terbukanya sektor-sektor formal dan informal yang membutuhkan tenaga kerja menengah yang berkualitas. Karena berhadapan langsung dengan dunia kerja, sepanjang sejarahnya sekolah ini sangat dinamis, terbukti dari kurikulum yang sering diperbaharui dan banyaknya inovasi yang diluncurkan untuk membuat sekolah ini lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja.

Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, pendidikan kejuruan telah masuk dalam Sistem Pendidikan Nasional secara hukum, yaitu jenis pendidikan yang termasuk dalam jalur pendidikan sekolah (Pasal 11, Ayat 1). Selanjutnya, dalam Pasal 11, Ayat 3 disebutkan:

"pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu".

Namun, karena rumusannya terlalu singkat dan pada porsi yang kecil, kedudukan pendidikan kejuruan tersebut masih belum kuat dan belum jelas. Sebagai komparasi, di Amerika Serikat kebijakan pendidikan kejuruan telah lama dirumuskan secara rinci dalam sebuah undang-undang tersendiri, yaitu Vocational Education Act of 1963, yang kemudian diamandemen tahun 1968 dan 1976.

Dalam PP 29/1990 ini, pendidikan kejuruan hanya dijelaskan pada tiga tempat. Pasal 1 Ayat 3 menyatakan:

"pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu".

Sementara itu, pada Pasal 3 Ayat 2 disebutkan bahwa

“Pendidikan menengah kejuruan mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap profesional.”

Kemudian, pada Pasal 7 diatur syarat-syarat pendirian sekolah menengah kejuruan.

Sebagaimana dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, dalam PP 29/1990 ini pendidikan kejuruan juga mendapat porsi yang kecil, dan rumusan peraturan untuk pendidikan kejuruan masih terasa sangat umum. Salah satu alternatif untuk meningkatkan kejelasan kebijakan pendidikan kejuruan adalah membuat peraturan pemerintah tersendiri, khusus untuk pendidikan kejuruan. Alternatif lain adalah dengan menyempurnakan PP 29/1990 sesuai dengan perkembangan, seperti berlakunya Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Pendapatan. Dalam hal ini perlu diikuti "jejak" pendidikan tinggi, yang berhasil menyempurnakan PP 30/1990 dengan lahirnya PP 60/1999 tentang Pendidikan Tinggi dan PP 61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum

Kelebihan dari Keputusan Menteri ini terletak pada lengkapnya komponen-komponen dalam penyelenggaraan pendidikan sistem ganda, yang terdiri dari ketentuan umum, tujuan, penyelenggaraan, program, kerjasama, peserta, instruktur, MPK, penilaian dan sertifikasi, pengelolaan, pengawasan, insentif, serta pengembangan dan peningkatan mutu. Akan tetapi, Keputusan Menteri ini perlu direvisi karena terdapat rumusan-rumusan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan sekarang. Sebagai contoh, pada Bab IV Program, Pasal 8 dan 9 sudah tidak konsisten dengan Kurikulum SMK 1999. Menurut Kurikulum 1999, program pendidikan dan pelatihan terdiri dari program normatif, adaptif, dan produktif; sedangkan menurut Keputusan Mendikbud No. 323/U/1997 kurikulum SMK meliputi program umum dan program kejuruan. Dari telaah terhadap peraturan perundang-undangan yang memuat pendidikan kejuruan tersebut, dapat dibuat alternatif-alternatif penyempurnaannya.

E. KUALIFIKASI PENDIDIKAN KEJURUAN
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Kualifikasi akademik yang dimaksudkan di atas adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:

1. Kompetensi pedagogik;
2. Kompetensi kepribadian;
3. Kompetensi profesional; dan
4. Kompetensi sosial.

Pendidik meliputi pendidik pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, SMK/MAK, satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C, dan pendidik pada lembaga kursus dan pelatihan.Tenaga kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan.

Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

1. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah.
2. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 24 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah.
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 25 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah.
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 27 Tahun 2008 tentang Standar Kulifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 40 Tahun 2009 tentang Standar Penguji pada kursus dan pelatihan.
8. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 41 Tahun 2009 tentang Standar kualifikasi pembimbing pada kursus dan pelatihan.
9. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 42 Tahun 2009 tentang Standar Pengelola Kursus dan Pelatihan.


F. LIFE SKILL DAN SOFT SKILL
Kecakapan hidup (life skills) adalah kecakapan-kecakapan yang diperlukan peserta didik dalam mengatasi berbagai macam persoalan hidup dan kehidupan. Dengan memiliki life skill yang baik diharapkan para lulusan dapat memecahkan problematika yang dihadapi serta dapat mencari dan melahirkan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikan.Untuk menerapkan hal ini, perlu diterapkan prinsip pendidikan yang berbaasis luas, tidak hanya berbasis bidang akdemik atau vokasional semata, tetapi juga memberikan bekal Learning how to learn, sekaligus learning how to unlearn, tidak hanya mempelajarinya tetapi mempraktekkannya untuk mampu memecahkan problema dalam kehidupan sehari-hari.

Pada dasarnya kemampuan life skill dapa membantu peserta didik untuk mengembangkan kemampuan belajarnya, menghilangkan pola piker yang tidak tepat, kesadaran dan mensyukuru potensi diri untuk dikembangkan.

Kebijakan pemerintah tentang UU no 22 tahun 1999 megenai pemerinth daerah dan otonomi daerah dan penyelenggaraan pendidikan demokrasi dalam pelaksanaan pendidikan menimbulkan efek perubahan dalam Sistem Pendidikan Nasional. ( SPN) dari system sentralisasi ke system desentralisasi Pendidikan. Desentralisasi terwujud dalam UU no 20 tahun 2003. Lebih lanjut implementasi dari SPN dilaksanakan oleh sekolah/ daerah, hal ini diwujudkan dengan menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP) yang penyusunannya dilakukan oleh masing-masing sekolah dengan panduan dan berpedoman yang disusun oleh BNSP tetapi juga harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi sekolah itu berada. Selajutnya pemerintah mengeluarkan kebijakan PP no 19 tahun 2005 pasal 15 ayat 5 yaitu:

Kurikulum untuk SMP/SLTP/ SMPLB atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Pendidikan kecakapan sebagaimana dimaksud atat-ayat sebelumnya, dapat merupakan bagian dari mata pelajaran agam dan akhlak, pendidikan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika atau pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan.

G. KESIMPULAN
Dari paparan diatas kita dapat mengetahui lebih jelas tentang beberapa kebijakan pemerintah baik dari keseliruhan republik Indonesia maupun pemerintahan daerah serta sebab lahirnya kebijakan tersebut. Program pemberantas buta aksara telah lama dicanangkan oleh pemerintah. Namun, sampai saat ini hal itu belum juga tuntas disebabkan berbagai faktor. Wajib belajar merupakan salah satu upaya dalam pemberantasan buta aksara di Indonesia. Kemudian pendidikan kejuruan bertujuan untuk melahirkan siswa yang memiliki life skill dan soft skill dapat menentukan dan membuka lowongan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing peserta didik. Mudah-mudahan paparan dalam makalaha ini menambah khazanah keilmuan bagi semua kalangan.

Daftar Pustaka dan Footnote
  • Fadlullah, Orientasi Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Diadit Media, 2008)
  • Humam, As’ad,, Buku Iqro; Cara Cepat Belajar Membaca Al-Qur’an, edisi revisi, (Yogyakarta: Balai Litbang LPTQ Nasional, 2002)
  •  Ary G Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia,( Jakarta : Bima Aksara, 1986)
_________________
[1] SISDIKNAS 20 tahun 2003
[2] Laporan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Buta Aksara Perempuan (PBAP) tahun 2006, Jakarta

[3] keputusan bersama menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan Nasional no 17/ Men.PP/ Dep.II/VII/2005, no 28A tahun 2005. No 1/PB/2005

[4] Peraturan Pemerintah RI No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
[5] Ibid
[6] Fadlullah, Orientasi Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Diadit Media, 2008)
[7] Radar Banten; Rubrik Utama, Program Buta Aksara Simpang Siur, edisi Senin 7 April 2008

[8] Humam, As’ad,, Buku Iqro; Cara Cepat Belajar Membaca Al-Qur’an, edisi revisi, (Yogyakarta: Balai Litbang LPTQ Nasional, 2002)

[9] Ary G Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia,( Jakarta : Bima Aksara, 1986), h. 103
[10] http://refdak.wordpress.com
[11] SISDIKNAS no 20 tahun 2003


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved