Aneka Ragam Makalah

Makalah Upaya Penerjemahan Istilah Kedokteran di Indonesia dari Waktu ke Waktu



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Makalah Upaya Penerjemahan Istilah Kedokteran di Indonesia dari Waktu ke Waktu
Oleh: Dr. Sugito Wonodirekso, MS

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam ringkasan yang tertera dalam berkas makalah, penulis beranggapan bahwa upaya penerjemahan dimulai ketika Fakultas kedokteran mulai didirikan, yaitu sekitar tahun 1950. Ternyata pernyataan itu keliru, setelah diperoleh sebuah buku yang ditulis oleh pada pelopor kedokteran di Indonesia yang terangkum dalam “125 tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976”. Buku ini diterbitkan tahun 1976 oleh balai penerbit FKUI. Walaupun demikian keakuratan data dalam buku ini pun patut diuji kesahihannya karena berupa data sekunder.

Tidak dapat dipungkiri bahwa komunikasi merupakan prasarana penting untuk penerapan ilmu kedokteran baik dalan segi pendidikan maupun terapi. Komunikasi itu menjadi sangat utama apalagi dalam beberapa dasawarsa belakangan ini, kemajuan ilmu sangat mencolok. Kenyataannya Ilmu Kedokteran berkembang pesat di Eropa dan sampai sekarang pun masih demikian. Baru beberapa dasawarsa belakangan ini pusat-pusat pengembangan ilmu kedokteran bermunculan secara cukup bermakna di Asia. Namun demikian, Indonesia yang sampai sekarang masih tetap menjadi salah satu ‘konsumen’ ilmu dan oleh karenanya tetap harus menyesuaikan diri, tidak terkecuali dalam hal peristilahan kedokteran. Dengan demikian sangatlah beralasan bahwa upaya penerjemahan perlu dan hal itu sudah dan tetap dilakukan sejak awal masuknya Ilmu kedokteran konvensional ke Indonesia sampai sekarang.

Penerjemahan istilah keilmuan agaknya berpengaruh pula pada pengembangan bahasa Indonesia, dan mungkin juga Malaysia dan Brunei Darrussalam karena bahasa di ketiga negara ini memiliki akar yang sama yaitu bahasa Melayu. Banyak istilah kedokteran yang sulit dicari padanannya sehingga kata asli Nusantara yang sudah tidak lazim digunakan diapungkan kembali untuk memenuhi kesepadanan. Untunglah, berbagai istilah yang menyangkut kesehatan dan penyakit sebagian sudah diciptakan orang, mungkin sejak munculnya peradaban di Indonesia, namun kebanyakan masih kurang definitif karena tafsir periannya dapat bermacam-macam. Itulah yang sekarang banyak dicoba untuk digunakan guna mereka-padankan istilah agar mendekati ketepatan dan mudah dipahami oleh semua pihak.

Agaknya mudah diterka atau bahkan dapat diyakini bahwa istilah kedokteran tentu telah berkembang sejalan dengan penerapan ilmu ini di masyarakat oleh orang-orang setempat dalam hal ini pribumi Indonesia. Dengan kata lain, upaya penerjemahan istilah ke bahasa Indonesia dimulai sejak pendidikan kedokteran di Indonesia dimulai. Jadi, tidaklah mengherankan jika peristilahan kedokteran mulai dirasakan perlu disepadankan atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia.

Sekitar 150 tahun yang lalu (perlu disigi ulang kebenarannya), rupanya masalah kesehatan masyarakat yang muncul di Indonesialah yang memaksa para dokter Belanda mengusulkan pendirian sekolah kedokteran di Indonesia. Sejak itulah, diyakini upaya penerjemahan istilah kedokteran diperlukan supaya komunikasi antar naramedik dan antara naramedik dengan masyarakat menjadi lancar. Oleh karena itulah, makalah ini banyak membahas perkembangan pendidikan kedokteran di Indonesia, selain berbagai masalah yang dihadapi dalam upaya penerjemahan istilah.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Masa awal penjajahan Belanda

Agaknya dapat pula diasumsikan bahwa upaya penerjemahan istilah kedokteran dan kesehatan dimulai setelah kedatangan Belanda ke Indonesia, yang pada awalnya membawa ilmu itu untuk keperluan mereka. Sampai makalah ini ditulis, belum diperoleh catatan atau literatur yang menyangkut kesehatan dan kedokteran pada masa awal datangnya orang Eropa terutama Belanda ke Indonesia. Jika ada pun, penulis yakin, pasti tertulis dalam bahasa Belanda, yang tidak mungkin bisa dimengerti dalam waktu singkat karena penulis tidak tahu sama sekali bahasa Belanda.

Jika Belanda datang pertama kali pada abad ke-16, maka bukan tidak mungkin sesudah itulah, - setelah kontak dengan penduduk setempat cukup luas sehingga timbul masalah kesehatan dan kedokteran yang perlu dikomunikasikan - , upaya penerjemahan mulai diperlukan sekalipun masih terbatas untuk keperluan bangsa pendatang.


B. Masa menjelang kemerdekaan

Ternyata pendidikan dokter telah dirintis sejak tahun 1849 dengan diterbitkannya surat keputusan Gubernemen taggal 2 Januari 1949 No. 22. Yang diselenggarakan pada waktu itu adalah “Sekolah Dokter Djawa”. Sekolah ini didirikan untuk mendidik tenaga kesehatan guna mengatasi wabah penyakit di daerah Banyumas pada tahun 1847. Syarat masuk sekolah ini antara lain adalah: “pandai menulis dan membaca bahasa Melayu dan Jawa”. Lulusannya bekerja sebagai “mantri cacar” yang dalam bahasa Belanda “vaccinateur”. Sekalipun surat keputusan bertanggal 2 Januari 1949, sekolahnya baru berdiri 2 tahun kemudian, pada tahun 1951 di Weltevreden (Jakarta) dengan bahasa pengantar bahasa Melayu. Lama pendidikannya 2 tahun dan lulusannya bergelar “Dokter Jawa” akan tetapi bekerja sebagai “mantri cacar” (mantri = tenaga terampil pembantu para profesional). Istilah “mantri cacar” ini mungkin tergolong istilah kedokteran yang lahir pada awal upaya penerjemahan.

Dokter Jawa tugasnya semakin banyak sehingga kurikulum pun dikembangkan, pandidikannya diperpanjang menjadi 3 tahun karena kebutuhan akan tenaga profesional yang mandiri semakin mendesak. Pada waktu itu dinilai bahasa Melayu tidak memadai untuk digunakan sebagai bahasa pengantar. Mereka yang sudah lulus pun belum boleh bekerja mandiri dan harus dibimbing oleh dokter sipil Belanda. Program pembimbingan ini tidak berjalan karena para dokter sipil Belanda takut tersaingi dan berkurang nafkahnya (?).

Sementara itu profesionalisme Dokter Jawa dipertanyakan maka kemudian terjadi perubahan besar dan mendasar. Akhirnya pada tahun 1875 dimulai pendidkan dokter selama 7 tahun dengan bahasa pengantar bahasa Belanda karena semua buku pada waktu itu tertulis dalam bahasa Belanda. Para murid pun diharuskan berbicara dengan bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari. Banyak murid dikeluarkan pada waktu itu karena tidak bisa berbahasa Belanda.

Pendidikan kedokteran terus berkembang dan masyarakat profesionalnya pada saat itu telah menerbitkan majalah kedokteran yang terbit 2 bulan sekali, dan sudah tentu dalam bahasa Belanda. Majalah ini terbit dalam kurun 1893 – 1922. Bagi mahasiswa yang terbaik pada saat itu diberi kesempatan untuk belajar bahasa Jerman. Tidak jelas apa maksudnya, mungkin makin banyak literatur kedokteran penting ditulis dalam bahasa Jerman pada saat itu. Dalam periode inilah didirikan STOVIA (School tot Opleiding van Inlandesche Artsen = Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera) ) sebuah pendidikan dokter dengan lama pendidikan 9 tahun. Stovia baru menghasilkan dokter pada tahun 1909. Tidak ada penjelasan bahasa pengantar yang digunakan dalam periode ini. Berdasarkan wawancara lisan dengan para sesepuh, dikatakan bahwa sangat mungkin masih digunakan bahasa Belanda dan saat itu masih belum ada tulisan kedokteran yang berbahasa Indonesia.


C. Pengaruh Jepang

Sekalipun hanya sebentar menduduki Indonesia, pemerintah Jepang sempat mewarnai pendidikan kedokteran dengan berdirinya Ika-Dai-Gaku untuk mengantikan Stovia di Jakarta dan NIAS (Nederlands Indisch Artsen School) di Surabaya. Tentu saja Ika-Dai-Gaku tidak sempat menghasilkan dokter. Sekolah kedokteran yang dibuka pada 29 April 1943 ini kemudian menjadi Sekolah Tinggi Kedokteran setelah proklamasi kemerdekaan. Sebagai bahasa pangantar pada waktu itu digunakan bahasa Jepang, Jerman, dan Inggeris serta Indonesia. Di sinilah pertama kali bahasa Indonesia digunakan dalam perguruan tinggi.

Walaupun banyak istilah Latin, namun istilah dalam bahasa Belanda mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pelopornya Dr. Bahder Djohan (Alm), Dr. Achmad Ramali (Alm), dan Dr. Soetomo Tjokronegoro (Alm). Keseragaman bahasa mulai terlihat setelah Lembaga Bahasa dan Kebudayaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Inonesia membentuk Komisi Istilah pada tahun 1950.

Patut dicatat pula nama Dr. Karimudin yang meneruskan tugas Dr. Ramali. Pada periode 50-an ini terbit 2 kamus kedokteran. Yang pertama Kamus Istilah Kedokteran: Asing – Indonesia yang pertama kali terbit tahun 1953, diterbitkan oleh Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan di Jakarta. Ternyata pengumpulan istilah ini dimulai oleh Komisi Bahasa Indonesia yang didirikan pada jaman pendudukan Jepang, 20 Oktober 1942. Nama-nama dokter yang termasuk dalam kelompok ini adalah Dr. Aulia, Dr. Bahder Djohan, Drs. Ahmad Ramali, dibantu oleh ahli bahasa Kusuma gelar St. Pamuncak. Selanjutnya di bawah pimpinan Prof. Dr. T. Karimudin diterbitkan kamus yang kedua yaitu Kamus Kedokteran Inggris – Djerman – Indonesia pad atahun 1971.

Patutlah dicatat di sini kedatangan bangsa Jepang, sekalipun tidak dininginkan, telah meningkatkan nasionalisme di Indonesia sehingga bangkit keinginan kuat untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam ilmu kedokteran. Sekalipun cukup tersendat, mungkin karena situasi saat itu tidak menguntungkan, baru tahun 50-an diterbitkan kamus istilah kedokteran. Yang menarik adalah pengaruh bahasa Jerman. Sekalipun bangsa Jerman tidak pernah menduduki Indonesia, tetapi terasa pengaruh bahasanya. Hal ini bukan tidak mungkin disebabkan oleh penggunaan buku-buku kedokteran dalam bahasa Jerman yang sangat dipengaruhi oleh bahasa Latin, terbukti dari nomenklatur anatomi pada atlas anatomi ternama terbitan Jerman yang seluruhnya menggunakan bahasa Latin. Sampai sekarang bahasa Latin masih banyak digunakan karena bagi lidah Indonesia lebih mudah diucapkan.


D. Masa peralihan

Dapatlah dikatakan bahwa masa peralihan dari penggunaan bahasa asing ke bahasa Indonesia dalam ilmu kedokteran terjadi pada tahun 50-an. Pada masa ini para pakar ilmu kedokteran bumiputera mulai dapat menata diri untuk memulai menyusun pengembangan ilmu kedokteran dengan memanfaatkan sebanyak-banyaknya bahasa Indonesia. Pada masa ini selain diterbitkan kamus kedokteran telah mulai pula terbit Majalah Kedokteran Indonesia pada tahu 1951 dan masih terbit secara teratur sampai sekarang. Pada awalnya, jurnal ini masih menggunakan bahasa campuran, Belanda, Indonesia, dan Inggeris.

Selanjutnya, penggunaan bahasa Belanda semakin ditinggalkan. Hal ini agaknya bukan tidak semata-mata disebabkan oleh semangat nasionalisme akan tetapi lebih disebabkan oleh penggunaan kepustakaan bahasa Inggeris yang semakin luas. Selain itu, ketika masih berkuasa, Belanda tampaknya tidak mementingkan penggunaan bahasanya oleh masyarakat luas, bahkan bahasa Belanda dianggap bahasa kaum priyayi dan elite terpelajar pada saat itu. Hal lain yang juga mendorong penggunaan bahasa Indonesia adalah, sekalipun sehari-hari belajar dan berkomunikasi dengan bahasa Belanda antarmurid dan antara murid dengan dosen, akan tetapi toh harus berbicara dalam bahasa Melayu atau Jawa dengan masyarakat yang dilayani. Tambahan lagi, bukan tidak mungkin, pada waktu itu, dokter pengajar yang orang belanda kurang menguasai bahasa Indonesia dan orang Indonesia kurang meguasai bahasa Belanda dan ilmu kedokteran. Jadi, penerjemahan istilah kedokteran ke dalam bahasa Indonesia menjadi sangat penting.

Jelaslah agaknya pada saat itu telah muncul keperluan untuk mengatasi masalah kesehatan setempat, masudnya di Indonesia oleh putra Indonesia sendiri. Sudah barang pasti sejak saat itulah mulai diperlukan penerjemahan peristilahan kedokteran agar komunikasi berjalan baik antar naramedik dan antara naramedik dengan masyarakat. Sudah tentu bahasa asalnya adalah bahasa Belanda yang agaknya menyerap banyak dari akar bahasa kedokteran yaitu bahasa Latin. Jadilah, bahasa Latin sangat mewarnai bahasa kedokteran di Indonesia.


E. Yang dilakukan sekarang

Agar terjadi keseragaman maka disusunlah pedoman pembentukan istilah yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pada. Pedoman ini dapat mengarahkan pembentukan istilah yang baku, yang disepakati di kalangan pakar. Pembakuan ini penting karena akan dapat menghindari salah tafsir akibat penggunaan istilah yang berbeda-beda. Namun apakah semudah itu para pakar diatur? Itulah masalah utamanya.

Sudah sejak tahun 70-an dibentuk kerjasama kebahasaan antara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darrussalam. Maksudnya jelas agar bahasa Melayu yang menjadi akar bahasa di ketiga negara semakin luas dan efektif penggunaannya. Di antara bentuk kerjasama itu adalah pembentukan istilah keilmuan termasuk kedokteran. Telah banyak peristilahan dihasilkan dan tidak kurang dari 20.000 telah disepakati dan dalam waktu dekat akan diterbitkan dalam bentuk takarir atau glosarium. Langkah selajutnya adalah memberi penjelasna kepada setiap entri untuk diterbitkan dalam bentuk kamus. Namun demikian upaya penyeragamn istilah ketiga negara ini tidak selalu mulus. Secara kasar dapat dikatakan bahwa dari istilah yang dibentuk bersama, 80% setuju untuk sama di ketiga negara, 15% sepakat untuk berbeda tetapi sejalan; misalnya, katup jantung (Indonesia) dann injap jantung (Malaysia dan Brunei Darrussalam), dan 5% terpaksa berbeda karena perbedaan makna kata; misalnya bayi (Indonesia, Malaysia) dan anak baru lahir (Brunei) karena bayi berarti “anak babi” di Brunei.

Dalam kesepakatan ketiga negara tadi, sistem nomenklatur binomial dan nomina anatomika tidak perlu diterjemahkan kecuali sudah sangat lazim karena sistem penamaan sudah sangat rinci dan bersistem. Sebagai contoh misalnya “Entamoeba histolytica” cukup siserap menjadi “Entamuba histolitika” atau dipinjam tetap seperti aslinya. Nama anatomi pun demikian; “processus styloideus” cukup diserap menjadi “prosesus stiloideus”. Hal ini untuk memudahkan penelusuran balik karena nomenklatur sudah sangat teratur. Namun demikian untuk hal yang sudah sangat lazim misarnya “uterus” dapat diganti rahim sekalipun rahim juga berasal dari bahasa Arab. Selain itu, penerjemahan “maknawi” diutamakan dan penerjemahan “katawi” dihindari sehingga tidak ada keharusan kata harus setara antara istilah asli dan terjemahan, misalnya “retrograde pyelografi” menjadi ‘pielografi menghulu’, konsepnya adalah aliran terbalik dari hilir ke hulu.

Ternyata KBBI, pedoman pembentukan istilah, dan kerjasama kebahasaan tidak meniscayakan kemudahan pembentukan istilah, apalagi sampai menghasilkan kesepakatan di antara para ahli. Banyak yang harus dilakukan agar istilah yang dihasilkan laku di pasarkan, maksudnya, dipakai di kalangan pakar dan para awam. Yang paling sulit adalah mengubah budaya dari reaktif (serta-merta menolak) menjadi reseptif (mau mendengarkan, memahami, mungkin mengusulkan perbaikan, dan akhirnya memakai).


PENUTUP
Kesimpulan

Keberhasilan pendidikan dan pengobatan bergantung pada komunikasi yang baik. Upaya menerjemahkan diperlukan untuk membangun komunikasi yang baik tadi di antara para pakar kedoktern, antara dosen kedokteran dengan mahasiswanya, dan antara dokter dengan pasiennya. Istilah pribumi yang menyangkut masalah kesehatan agaknya tidak memadai untuk komunikasi yang efektif. Apalgi, kenyataannya, ilmu kedokteran sampai sekarang masih, terutama, berkiblat ke Barat. Oleh karena itu, upaya penerjemahan istilah sudah dilakukan sejak lama, diduga paling tidak sejak ilmu kedokteran mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1840-an. Pada waktu itu didirikan Sekolah Dokter Djawa dengan bahasa pengantar bahasa Melayu dan Jawa. Lama pendidikannya hanya 2 tahun sehingga yang dihasilkan hanyalah tenaga pembantu dokter yaitu “mantri cacar” sekalipun sekolahnya bernama “Sekolah Dokter”.

Sekolah ini terus dikembangkan dan bahasa pengantarnya pun terus berubah sesuai dengan kebutuhan, namun tampaknya bahasa Belanda tidak dimanfaatkan secara luas melainkan hanya terbatas pada lingkungan pendikan karena kepustakaan yang digunakan hampir semuanya berbahasa Belanda. Mungkin, itulah sebabnya sampai sekarang pengaruh bahasa Belanda dalam peristilahan kedokteran di Indonesia kurang mengesankan. Sampai menjelang kemerdekaan, bahasa Belanda hanya dipergunakan dalam kalangan pendidikan saja. Hal ini menarik dan memang kenyataannya sulit untuk menggunakan bahasa Belanda di masyarakat mengingat semua pasien yang dilayani Dokter Jawa berbahasa Melayu dan Jawa. Sampai pada suatu saat pada jaman pendudukan Jepang menjelang kemerdekaan bahasa pengantar di sekolah dokter diganti dengan bahasa Jepang, Inggeris dan Indonesia. Pada masa inilah mulai dikumpulan istilah kedokteran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai cikal-bakal Kamus Kedokteran.

Sesudah perang kemerdekaan, pada tahun 1951 terbitlah Majalah Kedokteran Indonesia yang makin menguatkan kedudukan Bahasa Indonesia dalam dunia kedokteran. Selain itu, sejak tahun 70-an telah pula dirintis kerjasama kebahasaan antara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darrussalam termasuk di dalamnya upaya penyeragaman atau penyetaraan istilah kedokteran. Sekalipun upaya ini cukup berhasil akan tetapi kesulitan tetap saja muncul akibat pengaruh budaya dan perbedaan arti sebuah kata pada ketiga negara. Belum lagi, kesulitan akibat perbedaan budaya antara ketiga negara dengan budaya asli tempat sebuah istilah kedokteran diciptakan. Rupanya bukan hanya itu saja keselingkungan (jargon) dan salah-kaprah pun menambah masalah. Akibatnya istilah yang dihasilkann sering sulit ditelusur-ulang aslinya. Oleh karena itu dianjurkan untuk membuat kamus bolak-balik dengan memuat istilah asing dan Indonesianya secara bolak-balik sehingga referensi silang dan telusur balik mudah dilakukan.



DAFTAR PUSTAKA
  • Hanafiah MA, Djohan B, Surono, Red. 125 tahun Pendidikann Dokter di Indonesia. Panitia Peringatan 125 tahun Pendidikan Dokter di Indonesia. 1976
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. 1997.
  • Kerjasama antara Departemen Kesehatan RI dan Pepartemen Pendidikan dan Kebudayaann RI (Lembaga Nasional Seksi Perakmusan). Kamus Kedokteran Inggris – Djerman – Indonesia. Cetakan pertama 1997.
  • Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan di Djakarta. Kamus Istilah Kedokteran Asing – Indonesia. Cetakan ke-2 1961.
  • Kerjasama Bagian Penerbitan dan Perpustakaan Biro V Departemen Kesehatan RI dengan Lembaga Bahasa Komisi Peristilahan Departemen P & K RI. Cetakan ke – III. 1971
  • Majalah Kedokteran Indonesia. Nomor 1, Djanuari 1951, Tahun 1.
  • Majalah Kedokteran Indonesia. Nomor 2, Pebruari 1951, Tahun 1.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved