Aneka Ragam Makalah

Makalah Asbab Wurud Al-hadis



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
PENDAHULUAN

Hadis merupakan pedoman hidup dan sumber hukum Islam yang utama setelah Alquran. Berpedoman kepada hadis untuk diamalkan dan menganjurkan orang lain untuk maksud yang sama adalah suatu kewajiban. Suatu kejadian yang terjadi dimasa Rasul saw., baik itu karena pertanyaan sahabat, kejadian langsung di depan Rasul saw., maupun suatu peristiwa yang telah berlalu seringkali menyebabkan Rasul saw. bersabda atau melakukan suatu kejadian dalam kaitannya untuk mengomentari kejadian tersebut. Namun tak jarang pula sabda yang diucapkan Rasul saw. tidak untuk mengomentari kejadian apapun, dan Rasul saw. hanya mengemukakan atau melakukan suatu hal yang penting bagi ummatnya yang didasarkan atas petunjuk Allah swt. yang dalam hal ini disebut dengan hadis, dan hal-hal yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut disebut dengan asbab wurud al-hadis.

Terkadang asbab wurud al-hadis memberikan dampak dan pengaruh terhadap hadis tersebut, sehingga akan mengistinbatkan suatu hukum yang berbeda karena melihat datangnya hadis tersebut, bukan karena matan hadis, hal ini terkadang yang menyebabkan perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam mengambil suatu hukum dari hadis karena perbedaan kaidah yang mereka gunakan. Sebagian mereka berpegang terhadap kaidah : العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب, sementara sebagian yang lain berpegang terhadap kaidah : العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ .

Makalah ini membahas asbab wurud al-hadis yang berpengaruh terhadap lafaz hadis, tentang seorang hakim yang berijtihad dan ternyata keliru, perintah untuk membunuh anjing dan hukum memeliharanya selain untuk berburu, penjaga keamanan dan bertani, barang siapa yang bersin di hadapan saudaranya, himbauan dalam beribadah jangan sampai jenuh, dan .



PEMBAHASAN
 Asbab wurud al-hadis 

A. Seorang hakim yang berijtihad dan ternyata keliru

اخرجه البخاري ومسلم عن عمرو بن العاص انه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم اصاب فله اجران, وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله اجر.

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari ‘Amr bin al-‘Ash bahwasanya ia mendengar Rasul saw. bersabda :” Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan ijtihadnya kemudian ijtihadnya itu benar maka baginya dua pahala, dan apabila ia memutuskan suatu perkara dengan ijtihadnya kemudian ijtihadnya keliru, maka ia mendapatkan satu pahala”

a. Hadis Rujukan : riwayat al-Bukhari dan Muslim dan an-Nasai

حدثنا عبد الله بن يزيد المقرئ المكي حدثنا حيوة بن شريح حدثني يزيد بن عبد الله بن الهاد عن محمد بن إبراهيم بن الحارث عن بسر بن سعيد عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص عن عمرو بن العاص : أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر ) قال فحدثت بهذا الحديث أبا بكر بن عمرو بن حزم فقال هكذا حدثني أبو سلمة بن عبد الرحمن عن أبي هريرة . وقال عبد العزيز بن المطلب عن عبد الله بن أبي بكر عن أبي سلمة عن النبي صلى الله عليه و سلم مثله

[ ش أخرجه مسلم في الأقضية باب بيان أجر الحاكم إذا اجتهد فأصاب أو أخطأ ( حكم ) أراد أن يحكم . ( فاجتهد ) بذل جهده لتعرف الحق . ( أصاب ) وافق واقع الأمر في حكم الله عز و جل ][1]

حدثنا يحيى بن يحيى التميمي أخبرنا عبدالعزيز بن محمد عن يزيد بن عبدالله بن أسامة بن الهاد عن محمد بن إبراهيم عن بسر بن سعيد عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص عن عمرو بن العاص : أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ( إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر )

[ ش ( إذا حكم الحاكم فاجتهد ) قال العلماء أجمع المسلمون على أن هذا الحديث في حاكم عالم أهل للحكم فإن أصاب فله أجران أجر باجتهاده وأجر بإصابته وإن أخطأ فله أجر اجتهاده وفي الحديث محذوف تقديره إذا أراد الحاكم فاجتهد قالوا فأما من ليس بأهل للحكم فلا يحل له الحكم فإن حكم فلا أجر له بل هو إثم ولا ينفذ حكمه سواء وافق الحق أم لا لأن إصابته اتفاقية ليست صادرة عن أصل شرعي فهو عاص في جميع أحكامه سواء وافق الصواب أم لا وهي مردودة كلها ولا يعذر في شيء من ذلك ][2]

أخبرنا إسحاق بن منصور قال حدثنا عبد الرزاق قال أنبأنا معمر عن سفيان عن يحيى بن سعيد عن أبي بكر محمد بن عمرو بن حزم عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإذا اجتهد فأخطأ فله أجر.قال الشيخ الألباني : صحيح[3]


b. Asbab wurud al-hadis

Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash ia berkata : ”Telah datang kepada Rasul saw. dua orang yang bertikai”. Lalu Rasul saw. berkata kepada ‘Amr : ”Putuskan di antara keduanya, wahai ‘Amr!”. ‘Amr berkata : ”Engkau lebih utama melakukan itu daripada aku, wahai Rasulullah!”. Rasul saw. bersabda : ”Sekalipun begitu tidaklah mengapa”. ‘Amr berkata : ”Apabila aku memutuskan di antara keduanya, maka aku akan mendapatkan apa?”. Rasul saw. bersabda : ”Jika engkau memutuskan di antara keduanya, dan keputusanmu itu benar maka engkau akan mendapatkan dua kebaikan, dan apabila engkau berijtihad dan ternyata ijtihadmu itu salah, maka bagimu satu kebaikan”.


c. Pengaruh Asbab Wurud al-Hadis Terhadap Matan Hadis

Dalam hal ini asbab wurud al-hadis memberikan faedah takhsis al-‘am. Secara umum memang hadis tersebut menunjukkan kebolehan terhadap siapa saa untuk menjadi hakim. Namun ketika asbab wurud al-hadis di kemukakan, maka dapat kita lihat bahwa hadis tersebut diucapkan Rasul saw. kepada ‘Amr ibn ‘Ash, dimana ia adalah seorang sahabat Rasul saw. yang termasuk dalam golongan mujtahid, yang Rasul saw. mengetahuinya bahwa ‘Amr akan mampu untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di depan mereka tersebut.

Dengan demikian tatkala asbab wurud al-hadis tersebut dikemukakan maka keumuman terhadap lafaz hadis tersebut dapat lebih dikhususkan lagi, yaitu bahwa tidak semua orang boleh menjadi hakim, karena persyaratan untuk menjadi seorang hakim harus dimiliki sepenuhnya oleh seorang calon hakim. Kriteria-kriteria tertentu juga harus dimiliki oleh seorang hakim, seperti memiliki kecerdasan, memiliki pengetahuan tentang hukum dan cara-cara mengistinbatkan hukum, mengetahui tentang adat suatu daerah dan sebagainya. Jika persyaratan dan kriteria tersebut tidak dimiliki oleh seorang hakim, maka ia tidak dapat menjadi hakim.

Dari hal ini maka jelaslah bahwa asbab wurud al-hadis mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap lafaz hadis. Karena dengan diajukannya asbab wurud al-hadis tersebut dapat merubah status lafaz hadis dari umum ke khusus. Jadi walaupun hadis menunjukkan keumuman terhadap bolehnya siapa saja menjadi hakim, namun setelah asbab wurud al-hadis tersebut dikemukakan maka lafaz tersebut menjadi khusus yakni bahwa seorang hakim harus terlebih dahulu memiliki kriteria tertentu dan harus memenuhi syarat-syarat yang tertentu pula.


d. Indikasi Asbab Wurud al-Hadis Terhadap Hukum

Terdapat beberapa penjelasan dalam kitab syarah yang menjelaskan tentang hal ini.

قَالَ الْعُلَمَاء : أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ هَذَا الْحَدِيث فِي حَاكِم عَالِم أَهْل لِلْحُكْمِ ، فَإِنْ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ : أَجْرٌ بِاجْتِهَادِهِ ، وَأَجْرٌ بِإِصَابَتِهِ ، وَإِنْ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ بِاجْتِهَادِهِ .

وَفِي الْحَدِيث مَحْذُوف تَقْدِيره : إِذَا أَرَادَ الْحَاكِم فَاجْتَهَدَ ، قَالُوا : فَأَمَّا مَنْ لَيْسَ بِأَهْلٍ لِلْحُكْمِ فَلَا يَحِلّ لَهُ الْحُكْم ، فَإِنْ حَكَمَ فَلَا أَجْر لَهُ بَلْ هُوَ آثِمٌ ، وَلَا يَنْفُذ حُكْمه ، سَوَاء وَافَقَ الْحَقّ أَمْ لَا ؛ لِأَنَّ إِصَابَته اِتِّفَاقِيَّة لَيْسَتْ صَادِرَة عَنْ أَصْل شَرْعِيّ فَهُوَ عَاصٍ فِي جَمِيع أَحْكَامه ، سَوَاء وَافَقَ الصَّوَاب أَمْ لَا ، وَهِيَ مَرْدُودَة كُلّهَا ، وَلَا يُعْذَر فِي شَيْء مِنْ ذَلِكَ ، وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيث فِي السُّنَن " الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ : قَاضٍ فِي الْجَنَّة ، وَاثْنَانِ فِي النَّار ، قَاضٍ عَرَفَ الْحَقّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّة ، وَقَاضٍ عَرَفَ الْحَقّ فَقَضَى بِخِلَافِهِ فَهُوَ فِي النَّار ، وَقَاضٍ قَضَى عَلَى جَهْل فَهُوَ فِي النَّار " ، وَقَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي أَنَّ كُلّ مُجْتَهِد مُصِيب أَمْ الْمُصِيب وَاحِد ، وَهُوَ مَنْ وَافَقَ الْحُكْم الَّذِي عِنْد اللَّه تَعَالَى وَالْآخَر مُخْطِئ لَا إِثْم عَلَيْهِ لِعُذْرِهِ ؟ وَالْأَصَحّ عِنْد الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه أَنَّ الْمُصِيب وَاحِد ، وَقَدْ اِحْتَجَّتْ الطَّائِفَتَانِ بِهَذَا الْحَدِيث ، وَأَمَّا الْأَوَّلُونَ الْقَائِلُونَ : ( كُلّ مُجْتَهِد مُصِيب ) فَقَالُوا : قَدْ جُعِلَ لِلْمُجْتَهِدِ أَجْر فَلَوْلَا إِصَابَته لَمْ يَكُنْ لَهُ أَجْر ، وَأَمَّا الْآخَرُونَ فَقَالُوا : سَمَّاهُ مُخْطِئًا ، لَوْ كَانَ مُصِيبًا لَمْ يُسَمِّهِ مُخْطِئًا ، وَأَمَّا الْأَجْر فَإِنَّهُ حَصَلَ لَهُ عَلَى تَعَبه فِي الِاجْتِهَاد ، قَالَ الْأَوَّلُونَ : إِنَّمَا سَمَّاهُ مُخْطِئًا لِأَنَّهُ مَحْمُول عَلَى مَنْ أَخْطَأَ النَّصّ أَوْ اِجْتَهَدَ فِيمَا لَا يَسُوغ فِيهِ الِاجْتِهَاد كَالْمُجْمَعِ عَلَيْهِ وَغَيْره ، وَهَذَا الِاخْتِلَاف إِنَّمَا هُوَ فِي الِاجْتِهَاد فِي الْفُرُوع ، فَأَمَّا أُصُول التَّوْحِيد فَالْمُصِيب فِيهَا وَاحِد بِإِجْمَاعِ مَنْ يُعْتَدّ بِهِ ، وَلَمْ يُخَالِف إِلَّا عَبْد اللَّه بْن الْحَسَن الْعَبْتَرِيّ وَدَاوُد الظَّاهِرِيّ فَصَوَّبَا الْمُجْتَهِدِينَ فِي ذَلِكَ أَيْضًا ، قَالَ الْعُلَمَاء : الظَّاهِر أَنَّهُمَا أَرَادَ الْمُجْتَهِدِينَ مِنْ الْمُسْلِمِينَ دُون الْكُفَّار . وَاللَّهُ أَعْلَم .

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa seorang hakim yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hakim, maka tatkala ia menetapkan suatu hukum ia tidak mendapatkan pahala bahkan ia dinilai berdosa, apakah hasil ijtihadnya itu benar maupun salah.


B. Perintah untuk membunuh anjing dan hukum memeliharanya selain untuk berburu, penjaga keamanan dan bertani 

اخرجه البخاري ومسلم عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم امر بقتل الكلاب. زاد مسلم : حتى قتلنا كلب امرأة جاءت من البادية.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar, bahwasanya Nabi saw. memerintahkan untuk membunuh anjing. Imam Muslim menambahkan : ”Hingga kami membunuh anjing milik seorang wanita yang datang dari pedalaman.”[4]


a. Hadis Rujukan : riwayat al-Bukhari dan Muslim

حدثنا يحيى بن سليمان قال حدثني ابن وهب قال حدثني عمر هو ابن محمد عن سالم عن أبيه قال : وعد النبي صلى الله عليه و سلم جبريل فراث عليه حتى اشتد على النبي صلى الله عليه و سلم فخرج النبي صلى الله عليه و سلم فلقيه فشكا إليه ما وجد فقال له إنا لا ندخل بيتا فيه صورة ولا كلب[5]

حدثني سويد بن سعيد حدثنا عبدالعزيز بن أبي حازم عن أبيه عن أبي سلمة ابن عبدالرحمن عن عائشة أنها قالت : واعد رسول الله صلى الله عليه و سلم جبريل عليه السلام في ساعة يأتيه فيها فجاءت تلك الساعة ولم يأته وفي يده عصا فألقاها من يده وقال ( ما يخلف الله وعده ولا رسله ) ثم التفت فإذا جرو كلب تحت سريره فقال ( يا عائشة متى دخل هذا الكلب ههنا ؟ ) فقالت والله ما دريت فأمر به فأخرج فجاء جبريل فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( واعدتني فجلست لك فلم تأت ) فقال منعني الكلب الذي كان في بيتك إنا لا ندخل بيتا فيه كلب ولا صورة

حدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس عن ابن شهاب عن ابن السباق أن عبدالله بن عباس قال أخبرتني ميمونة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أصبح يوما واجما فقالت ميمونة يا رسول الله لقد استنكرت هيئتك منذ اليوم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( إن جبريل كان وعدني أن يلقاني الليلة فلم يلقني أم والله ما أخلفني ) قال فظل رسول الله صلى الله عليه و سلم يومه ذلك على ذلك ثم وقع في نفسه جرو كلب تحت فسطاط لنا فأمر به فأخرج ثم أخذ بيده ماء فنضح مكانه فلما أمسى لقيه جبريل فقال له ( قد كنت وعدتني أن تلقاني البارحة ) قال أجل ولكنا لا ندخل بيتا فيه كلب ولا صورة فأصبح رسول الله صلى الله عليه و سلم يومئذ فأمر بقتل الكلاب حتى إنه يأمر بقتل كلب الحائط الصغير ويترك كلب الحائط الكبير [ ش ( واجما ) قال أهل اللغة هو الساكت الذي يظهر عليه الهم والكآبة وقيل هو الحزين يقال وجم يجم وجوما.

حدثنا يحيى بن يحيى قال قرأت على مالك عن نافع عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( من اقتنى كلبا إلا كلب ماشية أو ضاري نقص من عمله كل يوم قيراطان )

[ ش ( أو ضاري ) هكذا هو في معظم النسخ ضاري بالياء وفي بعضها ضاريا منصوبا وفي الرواية الثانية إلا كلب ضارية وذكر القاضي أن الأول روى ضاري وضار وضاريا فأما ضاريا فهو ظاهر الإعراب وأما ضاري وضار فهما مجروران على العطف على ماشية ويكون من إضافة الموصوف إلى صفته كماء البارد ومسجد الجامع ومنه قوله تعالى بجانب الغربي ولدار الآخرة ويكون ثبوت الياء في ضاري على اللغة القليلة في إثباتها في المنقوص من غير ألف ولا م والمشهور حذفها وقيل إن لفظة ضار هنا صفة للرجل الصائد صاحب الكلاب المعتاد للصيد فسماه ضاريا استعارة كما في الرواية الأخرى إلا كلب ماشية أو كلب صائد وأما رواية إلا كلب ضارية فقالوا تقديره إلا كلب ذي كلاب ضارية والضاري هو المعلم الصيد المعتاد له يقال منه ضرى الكلب يضرى كشرب يشرب ضرى وضراوة وأضراه صاحبه أي عوده ذلك وقد ضرى بالصيد إذا لهج به ومنه قول عمر رضي الله عنه إن للحم ضراوة كضراوة الخمر قال جماعة معناه أن له عادة ينزع إليها كعادة الخمر وقال الأزهري معناه أن لأهله عادة في أكله كعادة شارب الخمر في ملازمتها وكما أن من اعتاد الخمر لا يكاد يصبر عنها كذا من اعتاد اللحم ][6]


b. Asbab wurud al-hadis

Diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tabrani dari Abu Rafi‘ ia berkata : “Jibril pernah datang dan meminta izin kepada Nabi saw. untuk masuk, dan Rasul saw. pun mengizinkannya, namun Jibril tidak segera masuk. Rasul saw. pun segera mengambil selendangnya, lalu ia berdiri untuk menyambut Jibril yang ketika itu sedang berdiri di depan pintu. Rasul saw. bersabda : “Bukankah kami telah mengizinkanmu?” Jibril berkata : “Benar wahai Rasul Allah, akan tetapi kami tidak akan masuk ke rumah yang terdapat anjing dan gambar di dalamnya”. Lalu mereka mendapatkan anak anjing di sebagian rumah-rumah mereka. Abu Rafi‘ berkata : “Hingga di pagi harinya Rasul saw. memerintahkanku untuk membunuh anjing, hingga aku tidak mendapatkan di Madinah seekor anjing pun kecuali aku pasti membunuhnya, hingga aku bertemu dengan seorang wanita di ujung kota Madinah yang memiliki seekor anjing yang sedang menyalak. Aku kasihan padanya, maka aku pun membiarkan anjingnya. Lalu wanita itu datang/masuk ke Madinah dan aku pun diperintahkan untuk membunuh anjingnya. Lalu aku mendatangi anjing itu dan membunuhnya.”[7]

Hadis tersebut dengan lafaz seperti ini padanya terdapat kegoncangan (al-idtirab), namun maknanya terdapat pada tiga tempat :

Tempat pertama

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Rafi‘ bahwasanya Nabi saw. bersabda : “Wahai Abu Rafi‘ bunuhlah semua anjing yang ada di Madinah.” Lalu akau bertemu dengan seorang wanita Ansar di as-surain wilayah Baqi‘ yang memiliki seekor anjing. Wanita tersebut berkata : “Wahai Abu Rafi‘ sesungguhnya Rasul saw. mengutus laki-laki kami berperang, dan anjing inilah yang menjaga kami dari sergapan pencuri setelah penjagaan Allah swt. Demi Allah swt. tidak ada seorangpun yang berani mendatangi kami (lantaran takut dengan anjing tersebut) hingga seorang perempuan diantara kami berdiri untuk menghalangi antara anjing dan orang itu. Maka ceritakanlah hal itu kepada Nabi saw.” Lalu Abu Rafi‘ menceritakan hal tu kepada Nabi saw., lalu beliau bersabda : “Wahai Abu Rafi‘ bunuhlah anjing itu, ketahuilah yang menjaga wanita itu hanyalah Allah swt. semata.”

Tempat kedua

Juga diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Rafi‘, ia berkata : “Rasul saw. memerintahkanku untuk membunuh anjing lalu aku pun keluar untuk membunuhnya. Tidaklah aku melihat seekor anjing kecuali aku pasti membunuhnya, hingga kemudian aku melihat seekor anjing berputar mengitari sebuah rumah, aku pun pergi mendekati untuk membunuhnya. Lalu terdengar suara seorang wanita dari balik rumah berseru kepadaku : “Wahai hamba Allah, apa yang hendak engkau perbuat?” Abu Rafi‘ berkata : “Aku hendak membunuh anjing ini.” Wanita tersebut berkata : “Aku ini adalah seorang wanita yang hidup sebatangkara, dan anjing ini yang menjagaku dari terkaman binatang buas, dan memberitahukanku akan setiap orang yang datang. Temuilah Nabi saw. dan ceritakan hal itu kepadanya”. Abu Rafi‘ berkata : “Lalu aku mendatangi Nabi saw. dan menceritakan hal itu kepadanya, namun beliau menyuruhku untuk membunuhnya”.

Tempat ketiga

Hadis yang terdapat di dalam al-Ausat karya at-Tabrani dari Aisyah bahwasanya Rasul saw. bersabda : “Duduklah hingga Jibril mendatangiku, hingga kalian sempat mengucapkan salam untuknya dan ia akan mendoakan kebaikan untukmu”. Lalu Jibril pun datang, ia hanya berdiri di depan pintu, lalu kembali dan tidak masuk ke dalam rumah. Rasul saw. bersabda : “Ada apa dengan Jibril, ia kembali dan tidak masuk rumah?” dalam kesempatan lain ketika Jibril turun kembali, Rasul saw. menemuinya dan bersabda : “Wahai Jibril, Aisyah telah duduk menunggumu untuk mengucapkan salam untukmu dan berharap mendapat doa kebaikan darimu, namun engkau kembali dan tidak mau masuk ke dalam rumah kami.” Jibril berkata : “Aku datang untuk masuk menemui kalian lalu aku menemukan patung.” Dan ia berkata : “Dalam sanadnya ada rawi yang majhul.”

Dan di antara sekian hadis yang layak dijadikan sebagai asbab wurud al-hadis, disini adalah hadis yang diriwayatkan oleh :
  • Abu Dawud dalam kitab al-Libas, bab Fi as-surah (tentang gambar). 
  • An-Nasa’i dalam kitab as-said wa az-zabaih, bab : Imtina’u al-malaikah min dukhuli bait fihi kalbun (enggannya malaikat masuk ke dalam rumah yang terdapat anjing di dalamnya).

  • Ahmad dan Muslim dalam kitab al-Libas, bab Tahrim taswiri surati al-hayawan wa tahrimu ma fihi surah ghairu mumtahanah (Haramnya menggambar hewan dan haramnya mempergunakan sesuatu yang padanya terdapat gambar yang tidak dihinakan), dan lafaz tersebut miliknya. Bahwasanya Abdullah bin Abbas berkata : “Maimunah mengabarkan kepadaku bahwa pada suatu pagi Rasul saw. terlihat diam Karena susah dan sedih.” Kata Maimunah : “Ya Rasul Allah, aku heran melihat sikapmu hari ini, apa yang telah terjadi?” Rasul saw. menjawab : “Sesungguhnya Jibril berjanji akan datang menemuiku malam ini, ternyata ia tidak datang. Demi Allah, ia pasti tidak menyalahi janjinya denganku.” Rasul saw. senantiasa kelihatan susah dan sedih sehari itu. Kemudian Rasul saw. melihat seekor anak anjing di bawah tempat tidur kami. Lalu Rasul saw. memerintahkan untuk mengeluarkan anak anjing itu. Kemudian diambilnya air lalu duipercikinya bekas-bekas tempat anjing itu. Ketika hari sudah petang, Jibril datang menemui Rasul saw. dan Rasul saw. bersabda : “Engkau berjanji untuk menemuiku kemarin.” Jibril berkata : “Benar, tetapi kami tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.” Besok paginya, Rasul saw. memerintahkan untuk membunuh semua anjing sampai anjing penjaga kebun sekalipun, tetapi membiarkan anjing penjaga kebun yang luas.
  • Dan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Libas, bab La tadkhulu al-malaikah baitan fihi suratun (Malaikat tidak akam masuk ke dalam rumah yang terdapat gambar di dalamnya) dari jalur Salim dari ayahnya, Ahmad, Dari Aisyah -dan lafaz tersebut adalah miliknya- ia berkata : “Jibril pernah berjanji kepada Rasul saw. akan datang pada suatu waktu. Namun Jibril terlambat dari waktu yang ditentukan. Lalu Rasul saw. pun keluar dan ternyata mendapati Jibril sedang berdiri di depan pintu. Rasul saw. berkata kepadanya : “Aku menunggumu karena janjimu”. Jibril berkata : “Ada seekor anjing di rumahmu, dan kami tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.” Waktu itu di bawah ranjang Aisyah ada seekor anak anjing, lalu Rasul saw. menyuruh untuk mengeluarkannya, kemudian di pagi harinya Rasul saw. menyuruh untuk membunuhnya.[8]


c. Pengaruh Asbab Wurud al-Hadis Terhadap Matan Hadis

Dalam mencari pengaruh asbab wurud al-hadis terhadap matan hadis, penulis menggunakan kaidah العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ . Hal ini disebabkan karena asbab wurud al-hadis hadis menjelaskan bahwa Jibril tidak mau masuk ke rumah Rasul saw. karena terdapat di dalam rumah tersebut seekor anak anjing. Sedangkan pada matan hadis Rasul saw. memerintahkan untuk membunuh semua anjing yang ada di Madinah pada saat itu. Dalam kasus ini yang dipandang adalah kekhususan sebab Jibril tidak mau masuk ke dalam rumah Rasul saw. yang saat itu ada seekor anak anjing di dalamnya.


e. Indikasi Asbab Wurud al-Hadis Terhadap Hukum

Dalam menanggapi permasalahan di atas, ada beberapa kasus hukum yang terjadi bagi orang yang memiliki anjing, yaitu :
  • Pertama : bahwa malaikat tidak akan masuk rumah yang terdapat di dalamnya anjing. Hal ini sebagaimana yang terjadi sebagaimana yang disebutkan dalam asbab wurud al-hadis.

  • Kedua : perintah Rasul saw. untuk membunuh seluruh anjing yang ada.

  • Ketiga : hukum memelihara anjing bagi muslim.

Ulama sepakat bahwa orang yang memelihara anjing dan membiarkannya masuk ke dalam rumahnya, maka malaikat tidak akan mau masuk ke dalam rumah tersebut. Berbeda halnya dengan orang yang memelihara anjing untuk penjaga, berburu atau menjaga kebun/pertanian. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapat ini terletak pada hukum pemeliharaan anjing tersebut, apakah jatuh kepada haram atau hanya sekedar makruh yang keduanya berdasarkan hadis Rasul saw.

Pendapat pertama yang menyatakan haram, mengemukakan dalil hadis pada pokok bahasan ini yang menyatakan bahwa Rasul saw. memerintahkan untuk membunuh semua anjing. Kelompok ini berpendapat bahwa memelihara anjing di rumah menyebabkan takutnya manusia dan tidak masuknya malaikat ke dalam rumah, dan mereka berpendapat sama sekali tidak memelihara anjing adalah perbuatan taat kepada Allah dan menjauhkan berbuat maksiat kepada-Nya, dan menjauhkan (tidak memelihara) anjing akan menjauhkan kita dari kotorannya.

Pendapat kedua yang menyatakan makruh, mengemukakan dalil hadis

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { مَنْ اتَّخَذَ كَلْبًا ، إلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ ، أَوْ صَيْدٍ أَوْ زَرْعٍ ، اُنْتُقِصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

Kelompok ini berpendapat bahwa berdasarkan Rasul saw. mengecualikan anjing untuk penjaga rumah, berburu dan menjaga kebun/pertanian. Dan dalam hal ini kelompok ini berpendapat bahwa kebolehan memelihara anjing tersebut terbatas hanya untuk menjaga dan tinggal di luar rumah atau di kebun, dan anjing tersebut tetap tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah.[9]

Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa perintah membunuh setiap anjing tidak berlaku lagi kecuali anjing yang seluruh bulunya berwarna hitam dengan dua titik putih di keningnya. Atas dasar inilah Ahmad bin Hanbal tidak memperblehkan anjing hitam sebagai anjing pemburu, hasil buruan yang ditangkapnya tidak halal untuk dimakan, karena ia adalah syaitan. Yang halal dimakan tidak lain hanyalah dari anjing pemburu.[10]

Berdasarkan keterangan di atas, maka penyelesaian terhadap perbedaan pendapat tersebut adalah dengan cara dikompromikan antara pendapat dan dalil dari dua kelompok tersebut. Hukum haram dalam memelihara anjing adalah jika anjing yang dipelihara tersebut adalah untuk disayang-sayang dan dibiarkan masuk ke dalam rumah, seperti layaknya perbuatan orang kafir dalam pemelihara anjing, mereka bahkan membawanya sampai ke dalam kamar tidur mereka.

Selanjutnya hukum mubah dalam memelihara anjing adalah bahwa anjing tersebut dipelihara semata-mata untuk menjaga kebun, gudang atau sebagainya yang tidak bisa kita jaga sendiri kecuali dengan bantuan anjing penjaga, dan dengan adanya anjing penjaga, maka orang-orang yang berniat jelek -seperti mencuri, merusak, dan lain-lain- tidak berani melaksanakan niatnya karena takut dengan anjing penjaga yang ada, dan anjing penjaga tersebut dapat mengawasi perkebunan atau gudang atau rumah dengan lebih cermat berdasarkan insting atau naliru yang ada padanya.

Hukum mubah juga berlakuk bagi pemburu dan aparat pemerintah seperti polisi untuk memelihara anjing pelacak. Karena anjing pelacak yang terlatih penciumannya lebih tajam daripada manusia, dan anjing pelacak tersebut dapat membantu pemburu dalam menangkap binatang buruannya dan membantu polisi dalam menemukan barang-barang bukti dalam suatu tindak kejahatan.

Selanjutnya dari paparan di atas, tentunya dalam pemeliharaan anjing yang diperbolehkan tersebut, maka orang yang memelihara tetap diwajibkan untuk memberikan hal-hal yang dibutuhkannya, seperti makanan dan tempat berteduhnya. Apabila hal ini tidak dilakukan terhadap anjing penjaga dan anjing pelacak yang dipelihara tersebut, maka orang yang memeliharanya dihukumkan berdosa. Wa Allah a‘lam


C. Barang siapa yang bersin di hadapan saudaranya 

اخرجه احمد عن ابي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إذا عطس أحدكم فليقل الحمد لله, فإذا قال : الحمد لله, قال له أخوه : يرحمك الله, فإذا قيل له : يرحمك الله, فليقل: يهديكم الله ويصلح بالكم.

Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah dari Nabi saw. ia bersabda : ”Apabila salah seorang di antara kalian bersin maka hendaklah ia mengucapkan ”Alhamdu li Allah”, apabila ia mengucapkan Alhamdu li Allah, maka hendaknya saudaranya mengucapkan kata ”Yarhamuk Allah”, apabila saudaranya mengucapkan Yarhamuk Allah kepadanya, maka hendaklah ia membalas dengan mengucapkan ”Yahdikum Allah wa yuslih balakum”.[11]


a. Hadis Rujukan : riwayat al-Bukhari, Muslim dan Ahmad

حدثنا مالك بن إسماعيل حدثنا عبد العزيز بن أبي سلمة أخبرنا عبد الله ابن دينار عن أبي صالح عن أبي هريرة رضي الله عنه : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( إذا عطس أحدكم فليقل الحمد لله وليقل له أخوه أو صاحبه يرحمك الله فإذا قال له يرحمك الله فليقل يهديكم الله ويصلح بالكم )

[ ش ( بالكم ) حالكم وشأنكم ][12]

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنِى سُفْيَانُ حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ عَنْ هِلاَلِ بْنِ يِسَافٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ آلِ خَالِدِ بْنِ عُرْفُطَةَ عَنْ آخَرَ قَالَ كُنْتُ مَعَ سَالِمِ بْنِ عُبَيْدٍ فِى سَفَرٍ فَعَطَسَ رَجُلٌ فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَقَالَ عَلَيْكَ وَعَلَى أُمِّكَ. ثُمَّ سَارَ فَقَالَ لَعَلَّكَ وَجَدْتَ فِى نَفْسِكَ. قَالَ مَا أَرَدْتُ أَنْ تَذْكُرَ أُمِّى. قَالَ لَمْ أَسْتَطِعْ إِلاَّ أَنْ أَقُولَهَا كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفْرَةٍ فَعَطَسَ رَجُلٌ فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكَ. فَقَالَ « عَلَيْكَ وَعَلَى أُمِّكَ ». ثُمَّ قَالَ « إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ أَوِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَلْيُقَلْ لَهُ يَرْحَمُكُمُ اللَّهُ أَوْ يَرْحَمُكَ اللَّهُ ». شَكَّ يَحْيَى « وَلْيَقُلْ يَغْفِرُ اللَّهُ لِى وَلَكُمْ ».[13]


b. Asbab wurud al-hadis

Diriwayatkan oleh Ahmad dari Salim bin ‘Ubaid, ia berkata : ”Dulu aku pernah bersama Rasul saw. dalam suatu perjalanan, lalu seorang laki-laki bersin, lalu berkata ”Assalamu ‘alaika’ (semoga keselamatan atas kamu). Lalu Nabi saw. menjawab ”‘Alaika wa ‘ala ummika” (semoga juga keselamatan untukmu dan ibumu) kemudian Rasul saw. melanjutkan : ”Apabila salah seorang diantara kalian bersin maka hendaklah ia mengucapkan ”Alhamdu li Allah”, apabila ia mengucapkan Alhamdu li Allah, maka hendaknya saudaranya mengucapkan kata ”Yarhamuk Allah”, apabila saudaranya mengucapkan Yarhamuk Allah kepadanya, maka hendaklah ia membalas dengan mengucapkan ”Yaghfir Allahu li wa lakum”.

Terdapat asbab wurud al-hadis lainnya yang disebutkan oleh Ahmad. Dari Aisyah, ia berkata : ”Seorang laki-laki bersin di sisi Rasul saw., lalu ia berkata : “Apa yang harus aku ucapkan wahai Rasul Allah?” Rasul saw. bersabda : ”Ucapkanlah Alhamdu li Allah”. Lalu yang lain berkata : ”Lantas kami mengucapkan apa ya Rasul Allah?” Rasul saw. bersabda : ”Hendaklah kalian mengucapkan kepadanya yarhamuk Allah”. Orang itu berkata : ”Lalu apa yang aku ucapkan untuk mereka ya Rasulullah ?” Rasul saw. bersabda : ”Katakan Yahdikum Allah wa yuslih balakum (semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki keadaannmu)”.


c. Pengaruh Asbab Wurud al-Hadis Terhadap Matan Hadis

Dalam mencari pengaruh asbab wurud al-hadis terhadap matan hadis, penulis menggunakan kaidah takhsis al-‘am . Hal ini disebabkan karena matan hadis (sabda Rasul saw.) baru teucap setelah adanya pertanyaan dari seseorang yang saat itu bersin dan langsung bertanya kepada Rasul saw. tentang apa yang harus ia katakan. Dalam kasus ini yang dipandang adalah kekhususan asbab wurud al-hadis. Selanjutnya dengan menggunakan kaidah tersebut, maka kekhususan asbab wurud al-hadis tersebut tidak berarti berlaku untuk keseluruhan orang yang bersin, seperti yang akan dijelaskan pada indikasi hukum berikut ini.


d. Indikasi Asbab Wurud al-Hadis Terhadap Hukum

Ketika asbab wurud al-hadis dikemukakan maka terlihat adanya pengaruh yang signifikan terhadap keumuman lafaz hadis, yakni lafaz hadis menunjukkan keumuman bahwa do’a yang dibaca tersebut harus dibacakan setiap kali mendengar orang yang bersin, apakah ia bersin hanya sekali maupun terus menerus karena disebabkan alergi terhadap sesuatu, namun tatkala asbab wurud al-hadis dikemukakan akan menunjukkan hal yang khusus yakni bahwa pada asbab wurud al-hadis tersebut sahabat hanya sekali saja bersin, yang kemudian menanyakan tentang apa yang harus ia ucapkan. Maka keumuman lafaz hadis tidak berlaku bagi orang yang bersin secara terus menerus karena alergi terhadap sesuatu.

Tasmiyat merupakan doa untuk kebaikan dan keberkahan, ia adalah pecahan kata dari asy-syawamit yang bermakna al-qawaim. Seakan-akan ia mendoakan untuk orang yang bersin agar diberikan keteguhan dalam ketaatan kepada Allah swt. Sepengetahuan penulis, menurut sebagian ulama ucapan doa ini hanya berlaku bagi orang yang bersin sesekali saja. Dan bagi orang yang bersin terus menerus karena alergi terhadap sesuatu misalnya bulu kucing, pengaruh dingin, dan lain-lain, maka doa ini tidak terus menerus pula diucapkan, tetapi hanya pada pertama-pertamanya saja. Wa Allah a‘lam.


D. HIMBAUAN DALAM BERIBADAH JANGAN SAMPAI JENUH

..... خذوا من العمل ما تطيقون فإن الله لا يملوا حتى تملوا ....

Artinya : “… ambillah (kejakanlah) pekerjaan yang kalian kuat mengerjakannya, sesungguhnya Allah tidak pernah bosan (jenuh) sebelum kamu bosan (jenuh) …”

a. Hadis rujukan : riwayat al-Bukhari

حدثنا معاذ بن فضالة حدثنا هشام عن يحي عن أبي سلمة ان عائشة رضي الله عنها حدثته قالت لم يكن النبي صلى الله عليه وسلم يصوم شهرا اكثر من شعبان فإنه كان يصوم شعبان كله وكان يقول خذوا من العمل ما تطيقون فإن الله لا يملوا حتى تملوا واحب الصلاة إلى النبي صلى الله عليه وسلم مادووم عليه وإن قلت وكان إذا صلّى صلاة داوم عليها.

Artinya : ”Menceritakan kepada kami Mu’az ibn Fadhalah, bercerita kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abu Salamah bahwa Aisyah menceritakan kepadanya, berkata Aisyah : “tidaklah Nabi saw. berpuasa satu bulan yang lebih dari bulan Sya’ban, sesungguhnya ia berpuasa pada bulan Sya’ban penuh dan beliau bersabda : “Ambillah (kerjakanlah) pekerjaan yang kalian kuat mengerjakannya, sesungguhnya Allah tidak akan bosan (jenuh) sebelum kamubosan (jenuh), dan salawat yang paling disukai adalah salawat kepada Nabi saw. yang terus menerus atasnya walaupun sedikit, dan adalah apabila ia bersalawat satu kali salawat maka seriuslah atasnya.”

b. Asbab Wurud al-Hadis

Diriwayatkan dalam sahih Muslim bersumber dari Aisyah bahwa Haula binti Tuwait bin Habib telah berjalan di samping Rasul saw. Kata Aisyah : “Ini Haula yang mereka sangka tidak tidur di malam hari.” Rasul saw. bersabda : “Ambillah (kerjakanlah) amal ibadah yang kalian kuat mengerjakannya sebab demi Allah, Allah tidak akan jenuh sebelum kamu jenuh. Di dalm lafaz al-Bukhari artinya : “Ambillah amal ibadah yang kalian kuat mengerjakannya, sesungguhnya Allah tidak akan bosan sebelum kalian bosan. Dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus walaupun sedikit.”

c. Pengaruh Asbab Wurud al-Hadis Terhadap Matan Hadis

Hadis di atas adalah hadis yang bersifat anjuran, yaitu perintah untuk melakukan amalan yang tidak diwajibkan. Namun di dalamnya terdapat larangan untuk tidak melampaui batas kemampuan dalam melakukannya. Dari kasus yang terjadi, perkataan ini khusus tertuju kepada Haula binti Tuwait yang disangka terus menerus beribadah sehingga ia tidak tidur pada malam hari. Maka Rasul saw. memberikan teguran kepadanya agar tidak bersikap keterlaluan dalam beribadah, karena manusia memiliki sifat bosan atau jenuh, sehingga akan merasa bosan untuk melakukan ibadah tersebut pada waktu yang akan datang. Oleh karena itu anjurannya adalah kerjakanlah amal ibadah itu secara santai dan kerjakan yang tidak memberatkan supaya amal ibadah tersebut dapat dilaksanakan sebagai rutinitas, sebab jika amal tersebut putus, maka akan terputus pula rahmat Allah swt.

d. Indikasi Asbab Wurud al-Hadis terhadap hukum

Keumuman hadis ini terletak pada lafaz خذوا , dimana kalimat tersebut adalah kalimat jama’ fi‘il amar, tentunya ia bermakna untuk siapa saja. Oleh karena itu anjuran dan teguran yang disampaikan Rasul saw. tersebut berlaku juga bagi kita.


E. MANDI JUM’AT

a. Hadis rujukan : riwayat al-Bukhari

حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن نافع عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذا جاء احدكم الجمعة فليغتسل.

Artinya : “Abdullah telah menceritakan kepada kami, dia berkata telah menceritakan kepada kami Malik bin Nafi‘ dari Abdullah bin Umar r.a. bahwasanya Rasul saw. bersabda : “Apabila seseorang dari kalian mendatangi Jum’at, maka hendaklah ia mandi”.

b. Asbab Wurud al-Hadis

dikeluarkan oleh Ahmad, Abu DAwud dan al-Hakim, dia juga menilainya sebagai hadis sahih –dan lafaz miliknya- dari jalan ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa dua orang laki-laki dari penduduk Irak mendatanginya dan bertanya mengenai mandi pada hari Jum’at, apakah ia wajib? Maka Ibnu Abbas berkata kepada keduanya : “Barangsiapa mandi, maka itu lebih baik dan lebih bersih dan aku akan memberi tahu kalian berdua mengapa dimulai dengan mandi. Dahulu orang-orang di zaman Rasul saw. memakai pakaian wol, dan mereka mengangkat batang kurma di atas punggung mereka, dan dahulu keadaan masjid sempit dan dengan atap yang dekat. Kemudian keluarlah Rasul saw. pada hari Jum’at dengan keadaan hari yang sangat panas terik, sedangkan mimbarnya pendek, kemudian beliau berkhutbah kepada orang-orang, maka pada saat itu orang-orang di dalam saf berkeringat, sehingga badan mereka mengeluarkan bau keringat dan bau kain wol tersebut, sehingga mengganggu keberadaan mereka. Dan bau badan tersebut sampai (tercium) kepada Rasul saw. sedangkan beliau berada di atas mimbar, maka beliau bersabda : “Wahai orang-orang, apabila ada hari ini (Jum’at), dan hendaklah kalian mandi, dan hendaklah seseorang dari kalian benar-benar mengusapkan sesuatu yang terbaik dari apa yang dia miliki dari parfumnya atau minyak wanginya”.

Dikeluarkan oleh an-Nasai dari al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar bahwa mereka membicarakan mengenai mandi pada hari Jum’at pada Aisyah, maka ia berkata : “Dahulu orang bertempat tinggal di tempat yang jauh, dan mereka menghadiri Jum’at sementara mereka dalam keadaan kotor. Apabila mereka diterpa angina, maka bau badan mereka menyebar, hingga orang-orang terganggu karenanya. Kemudian hal tersebut disampaikan kepada Rasul saw., maka Rasul saw. bersabda : “Apakah kalian tidak mandi?”

Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dai jalan ‘Urwah bin az-Zubair dari Aisyah bahwa dia berkata : “Dahulu orang-orang berangkat salat Jum’at dari rumah-rumah mereka yang jauh. Mereka datang dengan al-aba dan mereka terkena debu dan keringat, dan keluarlahbau dari tubuh mereka. Kemudian seseorang dari mereka datang kepada Rasul saw. –beliau ketika itu ada di rumahku- maka Rasul saw. bersabda : ”Apakah kalian telah bersuci untuk hari kalian ini?”

c. Pengaruh Asbab Wurud al-Hadis Terhadap Matan Hadis

Imam at-Tahawi mengatakan mengenai hadis ini : ”Sebagian orang berpendapat bahwa mandi di hari Jum’at adalah wajib, dan mereka beralasan dengan asar-asar ini. Sementara sebagian yang lain berbeda dengan mereka dan berpendapat bahwa mandi Jum’at tidak wajib. Karena Rasul saw. telah memerintahkan untuk kejadian yang lalu.” Kemudian dia menukil hadis Ibnu Abbas dengan lafaz ini dan menambahkan bahwa Ibnu Abbas berkata : ”Kemudian Allah mendatangkan kebaikan kepada mereka hingga mereka tidak lagi memakai kain wol, mereka selesai dari pekerjaan, dan masjid mereka juga diperluas.”

Telah diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab bahwa hal tersebut menurutnya tidak menjadi hal yang wajib, diantaranya adalah apa yang dikeluarkannya dari Ibnu Abbas dan Salim bin Abdullah keduanya mengatakan : ”Seorang laki-laki dari sahabat Rasul saw. masuk ke masjid pada hari Jum’at, sementara Umar bin al-Khattab sedang berkhutbah”, maka Umar berkata : ”Jam berapa sekarang?” laki-laki itu berkata : ”Wahai amir al-mukminin aku baru kembali dari pasar, lalu aku mendengar azan, maka aku langsung berwudu’.” maka Umar berkata : ”Wudu’ saja? Padahal engkau telah mengetahui bahwa rasulullah telah memerintahkan mandi.” Malik mengatakan bahwa laki-laki itu adalah Usman bin Affan.

d. Indikasi Asbab Wurud al-Hadis terhadap hukum

Dari asbab wurud al-hadis yang telah dikemukakan, maka dapat dikemukakan dua indikasi hukum, yaitu wajib dan sunnat. Mandi Jum’at diwajibkan bagi orang-orang yang pada waktu sebelum melaksanakan salat Jum’at ia melaksanakan aktifitas fisik yang dapat mengeluarkan keringat, sehingga keringat tersebut menyebabkan keluarnya bau dari badan orang tersebut, dan jika ia tidak mandi terlebih dahulu sebelum melaksanakan salat Jum’at, dikhawatirkan akan dapat mengganggu kekhusyukan bagi dirnya sendiri dan juga orang lain pada saat melaksanakan salat Jum’at. Sedangkan hukum sunnat, dijatuhkan kepada orang yang sebelum melaksanakan salat Jum’at ia tidak melaksanakan kegiatan fisik yang mengakibatkan keluarnya bau dari tubuhnya, ataupun bagi orang yang tidak sempat mandi sebelum salat Jum’at dikarenakan kesibukan pekerjaannya, namun tetap harus disyaratkan bahwa ia dalam keadaan tidak berkeringat yang membuat badannya menjadi bau, namun jika ia berkesempatan untuk mandi, maka hal itu lebih utama baginya.


KESIMPULAN

Hadis merupakan pedoman hidup dan sandaran untuk meng-istinbat-kan hukum dalam kehidupan, dan asbab wurud al-hadis sebagai penguat dan bukti sejarah adanya hadis Rasul saw. Walaupun tidak semua hadis ada asbab wurud al-hadisnya, akan tetapi dengan asbab wurud al-hadis menunjukkan bahwa hal tersebut benar-benar terjadi dan dialami oleh para sahabat dengan Rasul saw. yang tidak mungkin lagi diingkari kebenarannya.


DAFTAR PUSTAKA
  • Abadiy, Muhammad Syams al-Haq al-Azim, ‘Aun al-Ma‘bud Syarh Sunan Abi Daud, Jilid IV, Juz VIII, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1995.
  • Al-‘Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari Bi Syarh Sahih al-Bukahri, Juz : X, Al-Qahirah: Dar ad-Din Litturas, 1998.
  • ---------------- Ibn Hajar, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukahri, Juz : XIII, Al-Qahirah: Dar ad-Din Litturas, 1998.
  • Ad-Darimi, ‘Abd al-Rahman, Sunan al-Darimi, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1987.
  • Al-Mubarakfuri, ‘Abd ar-Rahim, Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Jami‘ at-Tirmizi, Juz V, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilimiah, tt.
  • ------------------- ‘Abd ar-Rahim, Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Jami‘ at-Tirmizi, Juz VIII, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilimiah, tt.
  • ------------------- ‘Abd ar-Rahim, Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Jami‘ at-Tirmizi, Juz X, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilimiah, tt.
  • As-San‘ani, Muhammad ibn Ismail al-Amir al-Yamani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, Juz IV, Mesir: Dar al-Hadis, 1993.
  • As-Sindi, Abi al-Hasan al-Hanafi, Sunan Ibn Majah, Juz III, Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997.
  • ----------- Abi al-Hasan al-Hanafi, Sunan Ibn Majah, Juz IV, Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997.
  • As-Suyuti, Jalal al-Din, Sunan an-Nasai, Jilid IV, Juz VIII, Beirut: Dar al-Ma‘rifat, 1994
  • An-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Juz : XIV, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995.
  • --------------- Sahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Juz : XVIII, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995.
  • As-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadis, Terj. Yahya Ismail, Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2009.
________________________
[1] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukahri, Juz : XIII (Al-Qahirah: Dar ad-Dian Litturas, 1998), h.330
[2] An-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Juz : XVIII (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995) h. 94.
[3] Jalal al-Din as-Suyuti, Sunan an-Nasai, Jilid IV, Juz VIII (Beirut: Dar al-Ma‘rifat, 1994), h. 614-615
[4] As-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadis, h. 339.
[5] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari, Juz : X (Al-Qahirah: Dar ad-Din Litturas, 1998), h. 405.
[6] An-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Juz : XIV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), h. 69.
[7] As-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadis, h. 340.
[8] As-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadis, h. 340-344
[9] ( عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { مَنْ اتَّخَذَ كَلْبًا إلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ صَيْدٍ أَوْ زَرْعٍ اُنْتُقِصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ } .
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ) الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى الْمَنْعِ مِنْ اتِّخَاذِ الْكِلَابِ وَاقْتِنَائِهَا وَإِمْسَاكِهَا إلَّا مَا اسْتَثْنَاهُ مِنْ الثَّلَاثَةِ .وَقَدْ وَرَدَتْ بِهَذِهِ الْأَلْفَاظِ رِوَايَاتٌ فِي الصَّحِيحَيْنِ وَغَيْرِهِمَا . وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ هَلْ الْمَنْعُ لِلتَّحْرِيمِ أَوْ لِلْكَرَاهَةِ فَقِيلَ بِالْأَوَّلِ وَيَكُونُ نُقْصَانُ الْقِيرَاطِ عُقُوبَةً فِي اتِّخَاذِهَا بِمَعْنَى أَنَّ الْإِثْمَ الْحَاصِلَ بِاِتِّخَاذِهَا يُوَازِنُ قَدْرَ قِيرَاطٍ مِنْ أَجْرِ الْمُتَّخَذِ لَهُ وَفِي رِوَايَةٍ قِيرَاطَانِ ، وَحُكْمُهُ التَّحْرِيمُ مَا فِي بَقَائِهَا فِي الْبَيْتِ مِنْ التَّسَبُّبِ إلَى تَرْوِيعِ النَّاسِ وَامْتِنَاعِ دُخُولِ الْمَلَائِكَةِ الَّذِينَ دُخُولُهُمْ يُقَرِّبُ إلَى فِعْلِ الطَّاعَاتِ وَيُبْعِدُ عَنْ فِعْلِ الْمَعْصِيَةِ وَبُعْدُهُمْ سَبَبٌ لِضِدِّ ذَلِكَ وَلِتَنْجِيسِهَا الْأَوَانِيَ ، وَقِيلَ بِالثَّانِي بِدَلِيلِ نَقْصِ بَعْضِ الثَّوَابِ عَلَى التَّدْرِيجِ فَلَوْ كَانَ حَرَامًا لَذَهَبَ الثَّوَابُ مَرَّةً وَاحِدَةً . وَفِيهِ أَنَّ فِعْلَ الْمَكْرُوهِ تَنْزِيهًا لَا يَقْتَضِي نَقْصَ شَيْءٍ مِنْ الثَّوَابِ .وَذَهَبَ إلَى تَحْرِيمِ اقْتِنَاءِ الْكَلْبِ الشَّافِعِيَّةُ إلَّا الْمُسْتَثْنَى .

Perbedaan pendapat ini dapat dilihat dalam : Muhammad ibn Ismail al-Amir al-Yamani al-San‘ani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, Juz IV (Mesir: Dar al-Hadis, 1993), h. 1398.

[10] As-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadis, h. 344.
[11] As-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadis, h. 333.
[12] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukahri, Juz : X, h. 623.
[13] An-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Juz : XVIII (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995) h. 94. Lihat juga : ‘Abd ar-Rahim al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Jami‘ at-Tirmizi, Juz VIII (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilimiah, tt), h. 10. Lihat juga : Abi al-Hasan al-Hanafi al-Sindi, Sunan Ibn Majah, Juz IV (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997), h. 209. Lihat juga : ‘Abd al-Rahman al-Darimi, Sunan al-Darimi, Juz II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1987), h. 368.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved