Aneka Ragam Makalah

Makalah Pembagian Hadis Menurut Kehujjahannya



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Makalah Pembagian Hadis Menurut Kehujjahannya

Hadis bila dilihat dari segi diterima atau tidaknya ia menjadi hujjah dalam beramaldapat dibagi dua yaitu Hadis Maqbul dan Hadis Mardud. Pembicaraan terhadap pembagian Hadis untuk masalh ini pun sebenarnya tidak terlepas dari segi kajian mengenai Hadis, baik dari segi kualitas (kredibilitas rawi) maupun kuantitas (jumlah rawi), namun dalam rangka untuk mensistematiskan dan memfokuskan permasalahan Hadis maka perlu adanya pembagian tersebut.

Adapun Hadis-Hadis Maqbul adalah Hadis-Hadis yang diterima sebagai hujjah dikarenakan memenuhi persyaratan sebagai Hadis Shahih, untuk mendapai tingkatan suatu Hadis menjadi Hadis Shahih perlu adanya penelitian lebih lanjut, maka berbagai macam persoalan Hadis Shahih dalam rangka melihat Hadis dari sisi kualitasnya perlu dikaji dan diteliti: pengertian dan kriteria Hadis Shahih, tingkatan Hadis Shahih dan macam-macamnya, Hukum dan status kehujjahan Hadis Shahih, kitab-kitab Hadis Shahih, perlu juga dikaji Hadis Hasan, pengertian dan kriteria Hadis Hasan, macam-macam Hadis Hasan, serta diakhiri dengan kesimpulan.

Adapun pada pengertian akan dikemukakan berbagai pendapat ulama mengenai Hadis Shahih dan Hadis Hasan yang selanjutnya akan dijelaskan tentang masalah-masalah di atas dengan tidak pula meninggalkan masalah-masalah yang perlu garis bawah.


B. Hadis Maqbul

A. Hadis Shahih

1. Pengertian Hadis Shahih dan kriterianya.

Seperti diketahui, hadis bila ditinjau dari segi kualitasnya terbagi kedalam tiga kategori: Shahih, hasan, dan dhaif. Kata Shahih dari segi Bahasa adalah lawan ari sakit, sedangkan Hadis Shahih sendiri dari segi terminology bermacam-macam ulama menta’rifkannya diantaranya :

Ta’rif Ibn ‘Alwi al-Maliki al-Hasani :

-------------------------------------------

“Hadis yang bersambung sanadnya yang diperoleh dari perawi yang adil, yang dhabit, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) tidak tergolong syadz dan tidak pula ber-I’lat lagi tercela maka semua hal tersebut merupakan syarat-syarat Hadis Shahih.[1]

Sementara Abu Amr ibn ash-Shalah menta’rifkannya dengan :

-------------------------------------------

Hadis Shahih adalah musnad yang sanadnya muttashil melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena ‘illat).[2]

Ta’rif Imam Nawawiy, Imam Nawawiy meringkas defenisi ibn Ash-Shalah;

------------------------------------------

Hadis Shahih adalah hadis yang muttashil sanadnya melalui periwayatan orang-orang yang adil lagi dhabit tanpa syadz dan ‘illat.

Fatchur Rahman lebih singkat lagi menta’rifkannya dengan :

------------------------------------------------

“Hadis yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak syadz.[3]

Dari beberapa ta’rif hadis Shahih diatas sepertinya secara esensial mempunyai maksud yang sama hanya saja pada ta’rif Hadis Shahih tersebut adalah sekaligus menjadi syarat (kriteria) Hadis Shahih, bila dilihat secara teliti dari ta’rif tersebut ternyata ada lima kriteria yang bisa diperpegangi untuk melihat sesuatu hadis itu apakah dapat dikatakan hadis Shahih atau tidak dan kelima kriteria tersebut adalah :

a. Sanadnya tidak terputus (muttashil).

b. Perawinya bersifat adil.

c. Sempurna ingatan (dhabit)

d. Tidak Syadz (janggal)

e. Hadis itu tidak ber’illat (cacat).[4]

Adapun secara lebih rinci kriteria-kriteria yang di utarakan ulama-ulama di atas adalah dapat diterangkan sebagai berikut :
Sanad Hadis tersebut harus bersambung. Maksudnya adalah bahwa setiap perawi menerima hadis secara langsung dari perawi yang berada diatasnya, dari awal sanad sampai kepada akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad saw sebagi sumber hadis tersebut. Hadis-hadis yang tidak bersambung sanadnya, tidak dapat disebut Hadis Shahih, yaitu seperti Hadis Munqathi’, Mu’dhal, Mu’allaq, Mudallas dan lainnya yang sanad-nya tidak bersambung.[5]
Perawinya adalah adil.[6] Setiap perawi Hadis tersebut harus bersifat adil. Yang dimaksud adil disini adalah bahwa semua perawi harus Islam, baligh juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Senantiasa melakukan segala perintah agama dan meninggalkan semua larangnannya.

2. senantiasa menjauhi perbuatan-perbuatan dosa keci; dan

3. senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah.[7]
Perawinya adalah dhobith, artinya perawi hadis tersebut memilki ketelitian dalam menerima hadis, memahami apa yang didengar, serta mampu mengingat, dan menghafalnya sejak ia menearaima Hadis tersebut sampai pada ia meriwayatkannya. Atau ia mampu memelihara haditsyang ada di dalam catatannya dari kekeliruan,atau dari terjadinya pertukaran, pengurangan, dan sebagainya, yang dapat merubah hadis tersebut. Kedhabith-an seorang perawi, dengan demikian, dapat dibagi dua, yaitu : dhobit shodran ( kekuatan ingatan atau hafalannya) dan dhobit kitaban (kerapian dan ketelitian tulisan atau catatannya)[8] Bahwa Hadis tersebut tidak syaz, maksud syadz atau syuzuz (jamak dari syaz) disini, adalah suatu Hadis yang bertentangan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat (istiqod), ini pengertian yang diperpegangii oleh Syafi’i dan kebanyakan ulama lainnya. Melihat pengertian tersebut dapat dipahami tidak syaz (ghoiru syaz) adalah Hadis yang matannya tidak bertentangan deengan Hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqoh. Al-hakim Naisaburi memasukkan Hadis Fard (Hadis yang diriwayatkan oleh seorang Perawi yang tsiqoh, tetapi tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya), kedalam kelompok Hadis Syaz pendapat ini tidak dipegang oleh jumhur ulama ahli Hadis.[9]

Kata ber’illat (ghoiru Mua’llal), kata ‘illat bentuk jamaknya adalah ‘illal atau al’illal, menurut bahasa artinya cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Dengan pengertian hadis yang ber’illat adalah hadis-hadis yang cacat atau penyakit. Maksud ‘illat disini adalah berarti suatu sebab yang tersembunyi atau samara-samar. Maksudnya adalah jika dilihat secara zohir hadis tersebut kelihatan Shohih, tetapi sebenarnya hadis tersebut menyimpan kesamaan atau keragu-raguan.[10]

2. Tingkatan Hadis Shohih dan Macam-Macamnya.

Ulama berusaha keras mengkomparasi antar perawi-perawi yang maqbul dan mengetahui sanad-sanad yang memuat derajat diterima secara maksimal karena perawi-perawinya terdiri dari orang-orang terkenal dengnan keilmuan, kedhobitan dan keadilannya dengan yang lainnya. Mereka menilai baha sebagian sanad shohih merupakan tingkat tertinggi daripada sanad-sanad lainnya karena memenuhi sarat-syarat qobul secara maksimal dan kesempurnaan para perawinya dalam hal kriteria-kriterianya. Mereka kemudian menyebutnya Ashahul Asanid.[11]

Terhadap pembagian Ashahul Asanid[12] ini pun berbeda ulama dalam membaginya. Ajjaj al-Khotib mengatakan berdasarkan martabat yang disinggung diatas, para muhaddisin membagi tingkatan sanad, yaitu ;

a. Ashhohul Asanid, yakni rangkain sanad yang paling tinggi derajatnya. Para ulama hadis berbeda pendapat dalam menentukan peringkat pertama, sebagian ulama ada yang menetapkan “Hadis yang diriwayatkan Ibnu Shihab al-Zuhri dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ibnu Umar” sebagian yang lain menetapkan Hadis yang diriwayatkan Sulaiman al-A‘masyi dari Ibrahim an-Nakhai dari al-Qomah bin Qaois dari Abdillah bin Mas’ud. Imam bukhori dan bebrapa ulama lainnya menetapkan pada Hadis yang diriwayatkan Imam malik dari Anas dari Nafi Maula Ibnu Umar dari Ibnu Umar.

b. Ahsanul al-Asanid. Yakni rangkaian sanad yang tingkatannya dibawah tingkat pertama diatas, seperti hadis yang diriwayatkan Hamad bin Salmah dari Tsabit dari Anas.

c. Ad’aful al-Asanid yakni rangkaian sanad Hadis yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua, seperti hadis riwayat Suhail bin Abi Salih dari bapaknya dari Abu Hurairah.[13]

Adapula sebgaian Ulama hadis yang membagi Hadis berdasarkan kepada kriteria yang diperpegangi oleh para mukhoriz (perawinya yang terakhir membukukannya) Hadis Shahih yaitu kepada tujuh tingkatan

Hadis yang disepaki bukhori dan Muslim.
Hadis yang diriwayatkan Bukhori saja.
Hadis yang diriwatkan muslim saja
Hadis yang diriwayatkan sesuai dengan persyaratan Bukhori dan Muslim.
Hadis yang diriwayatkan menurut peersyaratan Bukhori.
Hadis yang diriwayatkan menurut persyaratan Muslim.
Tingkatan selanjutnya adalah Hadis Shahih.

Menurut Imam-Imam Hadis lainnya yang tidak mengikuti syarat bukhori dan muslim seperti, Khuzaimah dan Ibnu Hibban.[14] Sementara mengenai macam-macam Hadis Shahih, pada umumnya para Muhaddisin membaginya kepada dua macam, yaitu : Hadis Shahih li Zatihi dan Hadis Shahih lighoirihi, dan pembagian Hadis ini berdasarkan perbedaan dari segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada Hadis Shahih lizatihi ingatan perawinya sempurna sementara pada Hadis Shahih Lighoiirihi kurang sempurna.

Adapun yang dimaksud dengan Hadis Shahih Lizatihi menurut al-Hasani adalah Hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria keshohihannya sebagai Hadis yang maqbul, sebagaimana dijelaskan diatas, dan tidak memerlukan Hadis yang lainnya.[15]

Sedangkan Hadis Shahih Lighoiirihi adalah Hadis yang tidak memenuhi sifat Hadis maqbul secara sempurna, yaitu Hadis yang asalnya bukan Hadis Shahih, akan tetapi derajatnya naik menjadi Hadis Shahih lantaran ada faktor pendukung yang dapat menutupi kekurangan yang ada padanya.[16] Sementara contoh Hadis ini adalah Hadis tentang bersiwak yang sanadnya Muhammad Ibnu Amrin dari Abu Salamah dari Abu Hurairah lalu diriwayatkan oleh Tarmizi, tetapi Hadis ini juga diriwayatkan oleh bukhori dan Muslim, sementara sanad Muhammad Ibnu Amrin Ibnu al-Qomah adalah dikenal dengan sifat as-Shidqi dan al-Syiyanah tetapi kuang kuat hafalannya.[17]

3. Hukum dan Status Kehujjahan Hadis Shohih.

Para ahli Hadis dan sebagian ulama ahli Ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan Hadis-Hadis Shahih sebagai hujjah (dasar pedoman) yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan akidah oleh karenanya tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk meninggalkannya.[18]

4. Kitab-Kitab Hadis Shahih.

Kodifikasi Hadis pada abad kedua Hijriyah adalah awal dari munculnya berbedanya ulama melihat Hadis baik dari segi kuantitas (jumlah) maupun dari sisi kwalitas (kekuatan dan keabsahannya) suatu Hadis. Maka banyak pula karya-karya muhaddisin yang awal adalah muwattha’ Imam Malik, hanya saja beliau tidak mengkhususkan pada Hadis-Hadis Shahih saja, tetapi juga Hadis Mursal, Munqoti dan ungkapan-ungkapan hikmah. Kemudian sampailah kepada bukhoi dan Muslim serta Muhaddisin lainnya.[19]

Adapun kitab yang pertama kali secara khusus membahs mengenai Hadis-Hadis Shahih yaitu : Shohih Bukhori (194-256 H) kemudian disusul dengan Shohih Muslim (204-261 H), Sunan Abu Daud (202 – 275 Hadis), Sunan at-Tarmizi (209 – 279 H), Sunan al-Nasai (215-313 H), Sunan Ibnu Majah (209 – 273 H).

B. Hadis Hasan

1. Pengertian dan Kriteria Hadis Hasan.

Hasan menurut bahasa berarti ……………..sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu.. sedangkan Hadis Hasan menurut istilah ulama berbeda pendapat diantaranya Ibnu Hajar mendefenisikannya :


“Khabar Ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa ber’illat dan syaz disebut Hadis Shahih, namun hal kekuatan ingatannya kurang kokoh 9sempurna) desebut Hasan Lizatihi.[20]

At-Turmuzi mendefenisikannya sebagai berikut :

------------------------------

Tiap-tiap Hadis yang pada sanadnya tiada terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada matannya tiada kejanggalan dan Hadis itu diriwayatkan tidak dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang padanya.”

Defenisi at-Turmuzi diatas terlihat kurang jelas bila dibandingkan dengan defenisi Ibnu Hajar al-Asqalani diatas, namun bisa dipastikan bahw at-Turmuzi tidak bermaksud menyamakan antara Hadis Hasan dengan Hadis Shahih, sebab justeru at-Turmuzi yang mula-mula memunculkan istilah Hadis Hasan ini.[21] Tetapi ada juga sebagian besar yang merumuskan bahwa Hadis Hasan sama dengan Hadis Shahih kecuali pada Hadis Hasan terdapat perawi yang tingkat kedhobitannya kurang, atau lebih rendah, dari yang dimiliki peawi Hadis Shahih.[22]

Pada dasarnya penyebutan Hadis Hasan tersebut sendiri sudah menunjukkan adanya perbedaan yaitu bahwa Hadis Hasan lebih rendah kedudukannya dari Hadis Shahih, oleh sebab itu Ibnu Hajar menegaskan bahwa Hadis Hasan adalah Hadis Shahih yang perawinya memiliki sifat dhobith yang lebih rendah dari yang dimiliki Hadis Shahih.

Adapun kriterianya Hadis Hasan menurut Alwi Maliki al-Hasani adalah :

Bersambung sanadnya.
Perawinya Adil (a’dalatul Rawi)
Perawinya dhobith (Dhobitur Rawi), dhobith disini lebih rendah daripada Hadis Shahih yakni msih ada kesamaran (keraguan) atas kedhobithannya.
Terbebas dari syaz.
Terbebas dari ‘illat.[23]

Adapun contoh Hadis ini adalah setiap Hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Amr bin al-Qomah yaitu sahabat yang terkenal jujur, namun kurang kuat hafalannya, contoh ini sama dengan conoh Hadis Shahih Lighoiirihi diatas oleh karenaya ada ulama yang menyamakan antara Hadis Hasan dengan Hadis Shahih tersebut.

2. Macam-Macam Hadis Hasan, Hukum dan Status Kehujjahannya.

Hadis Hasan ini juga terbagi kepada dua bagian yaitu : Hadis Hasan Lizatihi dan Hadis Hasan Lighoirihi.

a. Hadis Hasan Lizatihi dari segi bahasa Hasan bisa cenderung, yang baik, dan yang bagus. Namun dari segi istilah adalah “ Satu Hadis yang sanadnya bersambung dari permulaan hingga akhir, diceritakan oleh orang-orang adiltetapi ada yang kurang dhobith, serta tidak ada syuzuz dan ‘illat. Karena hakikat Hadis Hasan Lizatihi[24] ini sama maknanya dengan pengertian Hadis Hasan secara umum maka keanyakan ulama menyamakan Hadis Hasan Lizatihi ini dengan Hadis Hasan. Adapun contoh Hadis ini : Artinya “Kata Turmuzi telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menderitakan keapda kami Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin Amar, dari Abi Salamah dari Abi Hurairah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw : “Jika aku tidak takut untuk membertakan umatku, niscaya aku perintah mereka bersikat gigi pada setiap sholat. Hadis ini sesuai dengan kriteria diatas namunkhusus masalah dhobith terjadi masalah karena salah satu sanandnya yaitu Muhammad bin Amr bin al-Qomah kurang kuat hafalannya.[25]

b. Hadis Hasan Lighoirihi, dari segi bahasa lighoiri artinya : karenan yang lainnya. Sedangkan dari segi istolah Attahan mendefenisikan Hadis Hasan Lighoirihi dengan :

-------------------------------------

(Yaitu Hadis dhai’f apabila jalan datangnya berbilang (lebih dari satu), dan sebab kedhoifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.[26]

Dari defenisi Attahan diatas mengisyaratkan bahwa Hadis Hasan Lighoirihi adalah Hadis Hasan yang tidak memeenuhi persyaratan secara sempurna atau pada dasarnya Hadis tersebut Hadis Dho’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matanlain yang menguatkannya, maka kedudukan Hadis Dhoif tersebut naik derajatnya menjadi Hadis Hasan.

Contoh Hadis Hasan Lighoirihi: adapun artinya “Hadis yang diriwayatkan at-Turmuzi dan diriwayatkan Hasan, dari jalan Syu’bah dari Ashim ibn Ubaid Allah dari Abd Allah ibn Amr ibn Rabiah dari ayahnya, bahwa seorang wanita dai bani Fazarh kawin dengan mahar sepasang sandal, maka rasulullah saw bertanya : “Apakah engkau merelakan dirimu sedangkan kamu hanya mendapat sepasang sandal ?”,maka wanita tersebut menjawab “rela”, maka rasulpun membolehkannya.

Pada Hadis tersebut diatas terdapat perawi a’shim, yang dinilai oleh paa ulama Hadis sebagai peawi yang dhoif karena buruk hafalannya, tetapi at-Tirmizi mengatakannya sebagai hasan, karena datangnya (dijumpai sanad lain dari) Hadis tersebut melalui jalan lain.[27]

Sementara Hadis Hasan bila dilihat dari status Hukum dan kehujjahannya maka sebagaimana Hadis Shahih, meskipun derajatnya berada dibawh status Hadis Shahih, adalah Hadis yang dapat dijadikn hujjah dalam penetapan hukum atau dalam beramal. Para ulama Hadis, ulama ushul fiqh, dan fuqaha sependapat tentang kehujjahannya.

3. Kitab-Kitab Hadis Hasan.

Kita bisa melihat Hadis-Hadis Hasan pada kitab-kitab yang memuat Hadis-Hadis Hasan tersebut :
Jami’ al-Tirmizi atau lebih dikenal dengan Sunan at-Tirmizi, oleh Abu Isa Muhammad bin Isa Muhammad ibn Isa ibn Surah al-Tirmidzi (209-279 H).
Sunan Abu Daud, oleh Sulaiman ibn al-Asy’at ibn Ishak al-Azali al-Sijistani atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Daud (202-275 H),
Sunan al-Darquthni, olehh Abu al-Hasan Ali ibn ‘Umar ibn Ahmad al-Dar Quhni (306-385 H/ 919-995 M)[28]


C. Hadis Mardud

1. Hadis Dhoif

a. Pengertian dan Kriteria Hadis Dha’if

kata dha’if secara bahasa adalah lawan dari al-Qowiy, yang berarti lemah, Hadis Dha’if ini adalah Hadis mardud, yaitu Hadis yang diolak dan tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum.[29] Adapun beberapa ulama mendefenisikan Hadis Dha’if sebagai berikut :

Imam Abi Amar Ibnu Shalah mendefenisikan Hadis Dha’if sebagai berikut :

------------------------

“setiap Hadis –Hadis yang tidak terdapat padanya sifat Hadis Shahih dan tidak pula sifat-sifat Hadis Hasan maka dia disebut Hadis Dha’if.”[30]

Imam Ibnu Kasir mendefenisikan Hadis Dha’if sebagi berikut :

-------------------------

“Hadis – Hadis yang tidak terdapat padanya sifat-sifat Shahih dan sifat-sifat Hasan”.[31]

Imam Hafiz Haan al-Mas’udi memberikan defenisi Hadis Dha’if sebagai berikut :

------------------------------------------

“Hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari Hadis Shahih atau Hadis Hasan.”[32]

Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa Hadis Dha’if adalah Hadis yang tidak mencukupi syarat Shahih maupun hasan baik dari segi sanad dan matannya, maka kekuatannya lebih rendah disbanding dengan Hadis Shahih dan Hadis Hasan.

Dari kesimpulan diatas pula dapat dambinn intisari bahwa kriteria Hadis Dha’if adalah :

1. terputusnya antara satu perawi dengan perawi lainnya dalam satu sanad Hadis tersebut, yang seharusnya bersambung.

2. terdapat cacat pada diri seoang perawi atau matan dari Hadis tersebut.

Dari kedua kriteria inilah dapat dijelaskan kriteria kedhoifan dari Hadis Dha’if tersebut.

B. Macam-Macam Hadis Dha’if

Jenis Hadis Dha’if sangat banyak dan tidak cukup jika dijelaskan secara keseluruhan dalammakalah ini, untuk itu penulis berusaha untuk memilah menjadi dua macam Hadis Dha’if oleh karena sebabnya, yaitu :

a. Hadis Dha’if disebabkan oleh terputusnya Sanad.
Hadis Mursal

Hadis Mursal adalah :

--------------------------------------

“Hadis yang dimarfu’kan (diangkat) oleh seorang tabi’i kepada Rasulullah saw, baik berupa sabda, perbuatan dan taqrir, baik itu Tabi’i kecil ataupun besar.”

Defenisi sseperti inilah yang banyak digunakan oleh ahli Hadis, hanya mereka tidak memberikan batasan antara tabi’i kecil dan besar. Namun ada juga sebgaian ulama hadis yang memberikan batasan Hadis Mursal ini hanya di marfu’kan kepada tabi’i besar saja karena periwayatan tabi’i besar adalah sahabat dan Hadis yang dimarfu’kan kepada tabi’i yang kecil termasuk Hadis Munqoti’.

Dalam istilah ilmu Hadis, Hadis Mursal ini diungkapkan secara bahasa adalah isim maf’ul dari arsala yang berarti athlaqa, yaitu melepaskan dan membebaskan. Secara istilah Hadis Mursal adalah :

-----------------------------------

“Hadis Mursal adalah Hadis yang gugur dari akhir sanadnya, seorang perawi sesudah tabi’i.

Maksud dari defenisi diatas dapat dipaham bahwa seorang tabi’i mengatakan Rasulullah saw berkata demikian, den sebagainya, sementara Tabi’i tersebut jelas tidak bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Tabi’i tersbut menghilangkan sahabat sebagai generasi perantara antara Rasulullahh saw dengan tabi’i.

sebagai contoh dari Hadis Mursal ini adalah :

“Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya pada bagian “jual beli” (kitab al-buyu’) dia berkata : “telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibnu Rafi’, telah menceritakan kepada kami Hujjain, telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari Uqail dari Ibnu Shihab dari Ibnu Ssaid ibnu Musayyab, bahwa Rasulullah saw melarang menjual kurma yang masih berada dipohon, dengan kurma yang sudah dikeringkan.”

Said bin Musayyab adalah seorang tabi’i besar,. Dia meriwayatkan Hadis ini tanpa menyebutkan perawi (sahabat) yang menjadi perantara antara dirinya dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Ibnu Musyayyab telah menggugurkan akhir dari perawinya yaitu sahabat. Bisa saja selain dari sahabat yang digugurkannya ada tabi’i lain yang juga digugurkannya.

Klasifikasi Hadis Mursal

Sebagaimana iterangkan bahwa Hadis Mursal adalah hadis yang jalan sanadnya menggugurkan perawi yang terakhir yaitu sahabat yang langsung menerima Hadis tersebut dari Rasulullah saw. Diitinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan dari sifat-sifatnya, maka Hadis Mursal ini terdiri dari tiga bagian :

1. Mursal Shahabi, yaitu : Pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Rasulullah saw tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, lantaran disaat Rasulullah saw masih hidup ia masih kecil atauu terbelakang masuk Islamnya.[33] Hadis Mursal shahabi ini tidak dipermasalahkan apabila seluruh perawi dalam sanadnya termasuk dalam kategori adil, sehingga kemajhulannya tidak bersifat negative.

2. Mursal Khafi’ yaitu : Hadis yang diriwayatkan oleh tabi’i namun tabi’i yang meriwayatkan Hadis tersebut hidup sezaman dengan sahabat tetapi tidak pernah mendengar ataupun menyaksikan Hadis langsung dari Rasulullah saw.[34]

3. Mursal Jali, yaitu : apabila penggugurannya dilakukan oleh rawi (tabi’i) dapat diketahui jelas sekalii oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan tersebut tidak pernah hidup sezaman dengan orang yang digugurkannya atau yang menerima berita langsung dari Rasulullah saw.[35]
Hadis Munqati’

Kata Munqati’ adalah ism maf’ul dari inqata’a yang berarti terputus, secara istilah Hadis Munqati’ ini adalah :

-----------------------------

Al-Munqati’ yaitu Hadis yang gugur padanya seorang rawi atau disebutkan padanya seorang rawi yang tidak jelas.

Macam-Macam Pengguguran (Inqita’)

1. Perawi yang meriwayatkan Hadis jelas dapat diketahui tidak sezaman hidupnya dengan guru yang memberikan Hadis padanya.

2. dengan samara-samar yang hanya diketahui oleh orang yang mempunyai keahlian saja. Diketahuii dengan jalan lain dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam Hadis riwayat orang lain.[36]

Defenisi lain menyebutkan Hadis Munqati’ adalah Hadis yang dalam sanadnya gugur seorang perawi dalam satu tempat atau lebih atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang gmubham. Dari segi gugurnya perawi, ia sama dengan Hadis Mursal hanya saja jika Hadis Mursal dibatasi denngan gugurnya sahabat, sementara dalam Hadis Munqati’ tidak ada batasan seperti itu. Jadi bila terdapat gugurnya perawi baik diawal, ditengah ataupun diakhir pada suatu Hadis maka dia disebut dengan Hadis Munqati’.[37]

Contoh Hadis Munqati’ adalah :

Hadis yang diriwayatkan olehh Abdu alRazzaq dari at-Tsauri dari Abi Ishak dari Zaid Ibnu Yutsi dari Huzaifah yang menyatakan sebagai Hadis Marfu’ (berasal dari Nabi) jika kamu mengangkat Abu Bakar sebagai pemimpin maka ia adalah seorang yang kuat dan dapat dipercaya.

Hadis diatas mengandung kemunqati’an pada dua tempat, pertama Abdu ar-Razaq tidak mendengarnya dari at-Sauri. Ia mendengarnya dari an-Nu’man ibnu Abi Syaibah al-Jundi dari at-Tsauri. Kequot;Times New Romandua at0Tsauri tidak mendengarnya dari Ibnu Ishak. Ia hanya meriwayatkan dari Syuraik dari Abu Ishak.[38]

3. Hadis Mudallas

kata mudallas adalah ism maf’ul darii dallasa yang berarti gelap atau berbaur dengan gelap. Menurut ilmu Hadis Mudallas diarikan dengan :

--------------------------------------------

Bahwa meriwayatkan seorang rawi dari orang yang hidup semasanya, namun ia tidak pernah bertemu dengan orang yang diriwayatkannya tersebut dan tidak mendengarnya dari nya karena kesamaran mendengarkannya”.[39]

Macam-Macam Hadis Mudallas

1. Tadlis Isnad yaitu :

-------------------------

Bahwa ia meriwayatkan dari seseorang yang dijumpainya dan tidak mndengar Hadis tersebut karena keraguan mendengarkannya atau dari orang semasanya yang tidak pernah berjumpa dengannya serta meragukan bahwa ia telah menjumpainya dan mendengar darinya.

2. Tadlis Syuyukh

--------------------



Bahwa seorang rawi meriwayatkan Hadis dari gurunya, ia dengar darinya, kemudian diberi gelar kepadanyaatau ia korelasikan atau ia sifati yang tidak diketahuii orang agar ia tidak dikenali. Misalnya :

------------------

Telah menceritakan kapada kami Abd Allah ibn Abd Allah.” Yang dimaksud dengan Abd Allah disini adalah Abu Bakar ibnu Abu Daud al-Sijistani.[40]

Sebagaimana telah diuraikan maka motif dari mebuat Hadis tadlis itu bisa karena ia terdorong untuk berniat jahat untuk menutupi cacat gurunya atau menutupi kelamahan suatu h. perawi yang diketahui melakukan tadlis walaupun hanya sekali saja makak ia adaah jarh (caacat) dank arena itu hadisnya mardud.

4. Hadis Mu’addhal

kata Mu’addhal berarti menyembunyikan sesuatu menjadi sesuatu yang misterius atau problematic. Secara bahasa menurut ilmu hadis Mu’addhal adalah :

----------------------------

Hadis yang gugur dari sanadnya dua atau lebih scara berturut-turut baik dari awal sanda, pertengahan sanad ataupun akhirnya.[41] Hadis ini termasuk yang di mursalkan oleh tabiat tabi’in. Hadis ini sama bahkan lebih rendah dari Hadis Munqati’. Sama dari keburukan kwalitasnya, bila kemunqoti’annya lebih dari satu tempat.

Diriwayatkan dari sebagian ahli Hadis perkataan para ahli fiqh: “Rasulullah saw bersabda begini-begini” termasuk Mu’addhal. Karena diantara penulis tersebut terdapat dua perawi atau lebih. Padahal para penulis fiqh sebagian besarnya hidup ppada zaman setelah abad tabi’in.[42]

5. Hadis Mu’allaq

secara bahasa Mu’allaq adalah ism maf’ul dari kata ‘alaqa yang berarti menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menjadi tergantung” sedangkan menurut istilah ilmu Hadis, Mu’allaq adalah :

-------------------------

Sesuatu yang telah gugur seorang perawi atau lebih secara berturut-turut dari awal sanad baik gugurnya tetap ataupun tidak.[43]

Dalam literature lain disebutkan Hadis Mu’allaq adalah :

---------------------------

Hadis yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi secara berturut-turut”.

Bentuk Hadis Mu’allaq.

Mukharriz hadis biasanya langsung berkata : Rasulullah saw bersabda : …….. atau mukhorij Hadis menghapus seluruh sanadnya kecuali sahabat, atau sahabat dan tabi’in.

Contoh Hadis Mu’allaq alah :

Hadis yang diriwayatkan kepada Bukhori pda muqoddimah bab “menutupi paha”, berkata Abu Musa, Rasulullah saw menutupi kedua luut beliau ketika Usman masuk”.

Hadis diatas adalah Hadis Mu’allaq, karena Bukhori menghapus semua sanadnya, kecuali sahabat, yaitu Abu Musa al-Asya’ri. Dan hukumnya adalah mardud tertolah dan tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan hukum. Karena tidak terpenuhi syarat kemakbulannya yaitu tidak tersambungnya sanad karena terhapus dan tidak diketahui siapa perawi yang terhapus tersebut.

b. Hadis Dha’if yang ditinjau dari segi cacatnya Perawi.

Dari segi diterima atau tidaknya suatu Hadis untuk dijadikan hujjah maka Hadis ahad itu pada prinsipnya terbagi kepada dua bagian yaitu Hadis maqbul yang mana Hadis maqbul ini adalah Hadis Shahih dan Hadis Hasan sementara yang kedua adalah Hadis mardud yaitu Hadis Dha’if dan segala macamnya.

Karena cacat perawi dalam Hadis Dha’if ini baik dari segi matan maupun sanadnya disebabkan oleh keadilan perawi, agamanya tau hafalannya tau keelitiannya, selain itu juga karena terputusnya sanad perawi atau yang digugurkan atau yang saling tidak bertemu antara sau dengan yang lain. Dalam hal ini Hadis Dha’if yang ditinjau dari segi perawinya terbagi bermacam-macam yaitu :

1. Hadis Mudha’af.

Yaitu Hadis yang tidak disepakati kedhaifannya. Sebagai ahli Hadis menilainya mengandung kedhaifan, baik dalam sanad maupun matannya, dan sebagian lain mengatakannya kuat namun penilaian kedhaifannya lebih kuat. Ibnu al-Jaui merupakan orang yang pertama kali melakkukan pemilahan terhadap Hadis jenis ini.

2. Hadis Matruk

-----------------------------

Hadis yang menyendiri dalam periwayatan dan diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam periwayatan Hadis, dalam Hadis nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraannya atau terlihat jelas kefasikannya, melalui perbuatan ataupun kata-kata, serta sering kali salah atau lupa. Missalnya Hadis Amr bin Samar dari jabir al-Jafiy. Yang jelas adalah bahwa Hadis Matruk adalah Hadis Dha’if pada tingkatan terendah.

Yang dimaksud dengnan rawi tertuduh duta yaitu seorang rawi yang dalam pembicaraan selalu berdusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia berdusta dalammembuata h. adapun orang yang berdusta diluar pembuatan Hadis ditolak periwayatannya.

Contoh Hadis Matruk : “Ibnu Adyi menjelaskan dua orang perawi yaitu Abdur Rahman dan ayahnya Zaid, adalah orang yang matrukul hadis.

3. Hadis Munkar.

Hadis Munkar adalah Hadis yang perawinya sangat cacat dalam kadar sangat keliru atau nyata kefasikannya. Para ulama Hadis memberikan defenisi yang bervariasi tentang Hadis Munkar ini. Diantaranya ada dua defenisi yang selalu digunakan, yaitu :

a. Hadis yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru, atau sering kali lali dan terlihat kefasikannya secara nyata.

b. Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang Hadis tersebut berlawanan dengan yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqoh.

4. Hadis Mu’allal

Hadis Muallal adalah Hadis yang cacat karena perawinya al-wahm, yaitu hanya persangkaan atau dugaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat. Umpamanya, seorang perawi yang menduga suatu sanad adalah muttashil (bersambung) yang sebenarnya adalah munqathi’ (terputus), atau dia mengirsalkan yang mutthasil, dan memauqufkan yang maru’ dan sebagainya.

5. Hadis Mudraj.

Idraj berarti memasukkan Sesutu kepada suatu yang lainnya dan menggabungkannya kepada yang lain itu, dengan kata lain Hadis mudraj adalah Hadis yang didalamnya terdapat kata-kata tambahan yang bukan dari bagian Hadis tersebut. Hadis mudraj ada dua yaitu :
Mudraj Isnad : “seorang peerawi menambahkan kalimat-kalimat dari dirinya sendiri saat mengemukakan sebuah Hadis disebabkan oleh suatu perkara sehingga orang yang meriwayatkan selanjutnya menganggap apa yang diucapkannya adalah juga bagian dari Hadis tersebut.
Mudraj Matan : sesuatu yang dimasukkan ke dalam matan suatu Hadis yang bukan merupakan matan dari Hadis tersebut, tanpa ada pemisahan diantaranya ( yaitu antara matan Hadis dan sesuatu yang dimasukkan tersebut). Atau memasukkan suatu perkataan dari perawi kedalam matan suatu Hadis, sehingga diduga perkataan tersebut berasalah dari perkataan Rasulullah saw.

6. Hadis Maqlub

Hadis Maqlub adalah Hadis yang menggantikan suatu lafaz dengan lafaz lain pada sanad Hadis atau matannya engan cara mendahulukan ataupun mengakhirknnya. Dengan kata lain ada pemutar balikan antara matan dan sanad baik didahulukan ataupun diakhirkan. Dalam hal ini jelas bahwa hukumnya trtolak serta tidak dapat dijadikan dalil suatu hukum.

7. Hadis Mudhtharib

Hadis Mudhtharib adalah Hadis yang diriwyatkan dalam bentuk yang berbeda yang masing-masing sama kuat. Contoh :

-------------------------------

Hadis Abu Bakar ra bahwasanya dia berkata “Ya Rasulullah, aku lihat engkau telahberuban” Rasulullah saw menjawab, “Hud dan saudara-saudaranya yang menyebabkanku beruban”. (HR. Tirmizi)

8. Hadis Mushahaf yaitu Hadis yang dirubah kalimatnya, yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqot, baik secara lafaz maupun makna Hadis ini ada yang berubah sanadnya dan adapula berubah matannya.

9. Hadis Syaz yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, yaitu perawi yang dhabit, adil dan sempurna kebaikannya namun Hadis ini berlawanan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih tsiqot, adil dan dhobit shingga hadis ini ditolak dan Hadis ini juga disebut dengan Hadis Mahfuz.[44]

C. Hukum yang mengandalkan Hadis Dha’if

Ada tiga pendapat ulama dalam perguruan Hadis Dha’if :

Hadis Dha’if tidak diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail maupun ahkam dan ini merupakan pendapat kebanyakan ulama termasuk Imam Bukhori dan Muslim.

Hadis Dha’if bisa diamalkan secara mutlak, ini merupakan pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad yang lebih mengutamakan Hadis Dha’if dibandingkan ra’yu seseorang.

Hadis Dha’if dapat digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau sejenis dengan memenuhi kriteria yang ada. Ibnu Hajar membaginya kepada kriteria yaitu : :

- kedhaifannyaa tidak terlalu

- Hadis Dha’if yang termasuk cakupan Hadis pokok yang bisa diamalkan.

- Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat tapi sekedar hati-hati.[45].

D. Penutup

Adapun yang menjadi kesimpulan pada pembahasan ini adalah :

Hadis dari segi kehujjahannya terdiri dari dua bagian yaitu Hadis maqbul dan hadis Mardud. Hadis maqbul terbagi lagi kepada dua bagian yaitu shohih dan hasan. Sedangkan Hadis Mardud adalah Hadis Dha’if. Hadis Shahih adalah Hadis yang memenuhi persyaratan, sanad Hadis tersebut bersambung, perawinya adil, perawinya dhobit, hadis tersebut tidak syaz, Hadis tersebut selamat dari ‘illat atau cacat, Hadis ini terbagi kepada du yaitu Hadis Shahih Lizatihi dan Hadis Shahih Lighoiirihi. Hukumnya adalah wajib berpegangan atau beramal dengannya dan dapat dijadikan hujjah.

Hadis Hasan adalah Hadis yang pengertiannya hampir sama dengan Hadis Shahih hanya saja pada Hadis Hasan pada bagian syarat perawinya diragukan kedhobitannya. Hadis Hasan terbagi dua yaitu Hadis Hasan Lizatihi dan Hadis Hasan Lighoirihi, hakikat Hadis Hasan Lizatihi dengan Hadis Hasan, pada Hadis Hasan Lighoirihi terdapat salah satu sanadnya rusak hafalannya namun karena Hadis tersebut diriwayatkan oleh riwayat lain yang sama atau lebih kualitas sanadnya maka ia dapat dijadikan hujjah.

Hadis Mardud yaitu Hadis Dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi Hadis Shahih ataupun Hadis Hasan karena terdapat beberapa cacat dari segi sanad maupun matannya. Hadis Dha’if tidak diamalkan secara mutlak namun dapat digunakan untuk fawhail mawa’iz, lebih baik bila dibandingkan ra’yu pribadi seseorang.


DAFTAR PUSTAKA

  • A. Qadir Hassan, Ilmu Mustholah Hadis. Bandung : CV. Diponegoro, 1996.
  • Abu Isa Muhammad bin Isa at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi Wali Songo Huwa al-Jami’ as-Shohih. Beirut, Dar al-Fikr, 1400 H / 1980.
  • Al-Imam Ibnu Kasir, al-Baits al-Hadis Syarh Ikhtiar “Ulum al-Hadis” (Beirut : daar al-Pikr, tt.
  • Fatchur Rahman, Ikhtishar Mustholah Hadis (Bandung : PT al-Ma’arif.
  • Fathur Rahman, Ikhisar Musthalahul Hadis. Bandung : Al-Ma’arif, 1991.
  • Hafiz Hasan Mas’udi, Minhatu al-Mughits pil Mustholahul Hadis. Surabaya: Ahmad Nabni, tt.
  • Izzudin Balig, Minhaj as-Sholihin min al-Hadis Wali Songo as-Sunh Khatim al-Anbiyaa’ Wali Songo Mursalin. Beirut : Daar Pikr, tt.
  • M. Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Judul asli : Ushul al-Hadis diterjemahh oleh: M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998.
  • M.M Azami, Memahami Ilmu Hadis Tela’ah Metodologi dan Literatur. Jakarta : Lentera, 2003.
  • Mahmud Attahan, Uhul al-Takhrij Wali Songo Dirasah al-Asanid. Riyad : Maktabah al-Ma’arif, 1412 H/ 1991 M.
  • Muhammad ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, al-Minhal al-Lathifu fi Ushuli al-Hadis Tahrif. taba’ bi Tasrih Wizarah al-A’lam, 1410 H.
  • Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1993.
  • Nawir Yuslem, Ulumul Hadis. Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 1997.
  • Syeikh Atiyah al-AJuri, Mustholahul Hadis. Jeddah : Haramain, tt.


Footnote
[1] Muhammad ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, al-Minhal al-Lathifu fi Ushuli al-Hadis Tahrif (taba’ bi Tasrih Wizarah al-A’lam, 1410 H), hal. 58.

[2] M. Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Judul asli : Ushul al-Hadis diterjemahh oleh: M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), hal. 276.

[3] Fatchur Rahman, Ikhtishar Mustholah Hadis (Bandung : PT al-Ma’arif, 1974), hal. 117.

[4] Ibnu Shalah berpendapat, bahwa syarat hadis diatas, telahh disepakati oleh para muhaddisin. Hanya saja kalaupun mereka berselisih tentang keshahihan hadis, bukanlah karena syarat-syarat itu sendiri, melainkan karena adanya perselisihan terwujud atau tidaknya sifat-sifat tersebut, atau karena adanya perselisihan dalam mensyaratkan sebagian sifat-sifat tersebut. Misalnya Abi Zinad mensyaratkan peraawinya mempunyai ketenaran, Ibnu as-Sam’ani Hadis Shahih cukup diriwayatkan oleh Rawi yang tsiqoh (adil dan dhobith) saja tetapi harus paham benar apa yang diriwayatkannya, banyak hadis yang telah didengarnya, kuat ingatannya. Abu Hanifah mnsyaratkan, peerawinya haruspaham benar, Ibnu hajar tidak sependapat dengan ulama-ulama diatas karena syarat-syarat yang dikemukakan Abi Zinad sudah tercakup dalam dhobith, sedang sarat-syarat Ibnu as-Sam’ani sudah termasuk dalam syarat “tidak ber’illat”, sementara jumhur Muhaddisin, bahwa suatu hadis dinilai shohih, bukanlah tergantung pada banyaknya sanad, namun kalau sanadnya atau matannya shohih, kendatipun rawinya itu hanya satu orang saja pada tiap-tiap thobaqat. Ibid.

[5] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 1997), hal. 220.
[6] Maududi yang sering disebut ppendukung hadis, mengungkapkan contoh yang mungkin paling mengejutkan sebagaimana yang dikutipnya dari penentang hadis. Ibnu Ummar menyebut Abu Hurairah pembohong; Aisyah mengkritik Anas karena menyampaikan Hadis, padahal Anas masih anak-anak ketika Rasulullah saw masih hidup; Hasan Ibnu Ali menyebut Ibnu Umar dan Ibnu Zubair pembohong. Jelas makdu Maududi bukanlah untuk mndiskreditkan literature hadis secara keseluruhan. Dia hanya ingin menyebutkan alasan perlu bagi mengkaji ulang literature hadis. Abu al’Ala al-Mududi, hadis aw al-Qur’an (taphimat : Tarjuman al-Qur’an, 1934), hal. 318-349, lihat juga pada Daniel W. Brown, Relevansi Islamdalam Sunnah Modern, judul asli : Rethingking Tradition in Modern Islamic Thought, diterjemahkan oleh : Jaziar Radianti dan Estin Sriyani Muslim (Bandung : Mizan, 2000) h. 114.
[7] Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1993) hal. 113.
[8] Yuslem, h. 221.
[9] Suparta dan Ranuwijaya, h. 115.
[10] Ibid.
[11] Al-Khatib, h. 227-278.
[12] Kritikus Hadis lebih memilih sebutan Hadis shohihul isnad dari pada sebutan Hadis Shahih, karena khawatir hadisnya syadz atau mu’allal, sehingga yang shohih hanyalah sanadnya. Dalam kondisi seperti ini tidak ada kelaziman hubungan antara keshohihan dan keshohihan matan. Syaikhul islam Ibn Hajar mengatakan yang tidak layak lagi adalah bahwa sorang Imam diantara mereka tidak beralih dari sebutan shohih kesebutan shohihul isnad kecuali karena alasan tertentu. Namun, bila yang menyatakan sebutan itu adalah perawi yang hafiz lagi bisa dipercaya, tanpa menyebut ‘illat kodihah terhadap hadis yang bersangkutan,maka jelas menunjukkan keshohihan matan pula. Lihat M. Azaz al-Khotib, hal. 278-279.
[13] Sunarta dan Ranuwijaya, hal. 118.
[14] Yuslem, hal. 225.
[15] Ibid.
[16] Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani, hal. 69, lihat juga pada Suparta dan Ranuwijaya hal 117.
[17] Lihat Yuslem, hal. 226.
[18] Abu Isa Muhammad bin Isa at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi Wali Songo Huwa al-Jami’ as-Shohih (Beirut, Dar al-Fikr, 1400 H / 1980) h. 6.
[19] Al-Khatibi, hal. 279.
[20] Suparta dan Rnuwijaya, hal. 119-120.
[21] Ibid, h. 120-121.
[22] Yuslem, h. 229.
[23] Al-Hasani, h. 66.
[24] Semua syarat Hadis Shahih diatas dibutuhkan oleh Hadis Hasan Lizatihi, kecuali bahwa seorang atau seluruh periwayatnya termasuk golongan shodiq yang sebanding, M.M Azami, Memahami Ilmu Hadis Tela’ah Metodologi dan Literatur (Jakarta : Lentera, 2003), h. 109.
[25] A. Qadir Hassan, Ilmu Mustholah Hadis (Bandung : CV. Diponegoro, 1996), h. 72-73.
[26] Mahmud Attahan, Uhul al-Takhrij Wali Songo Dirasah al-Asanid (Riyad : Maktabah al-Ma’arif, 1412 H/ 1991 M), h. 51.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Yuslem, h. 236.
[30] Ibid
[31] Al-Imam Ibnu Kasir, al-Baits al-Hadis Syarh Ikhtiar “Ulum al-Hadis” (Beirut : daar al-Pikr, tt), h. 42.
[32] Hafiz Hasan Mas’udi, Minhatu al-Mughits pil Mustholahul Hadis (Surabaya: Ahmad Nabni, tt) h. 10.
[33] Yuslem, hal. 240.
[34] Fathur Rahman, Ikhisar Musthalahul Hadis (Bandung : Al-Ma’arif, 1991), h. 181.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] M. Ajaj Khatib, Ushulul Hadis, hal. 305-306.
[38] Ibid
[39] Izzudin Balig, Minhaj as-Sholihin min al-Hadis Wali Songo as-Sunnah Khatim al-Anbiyaa’ Wali Songo Mursalin (Beirut : Daar Pikr, tt), h. 49.
[40] Yuslem, hal. 253.
[41] Syikh Atiyah al-AJuri, Mustholahul Hadis (Jeddah : Haramain, tt), h. 58.
[42] M. Azaz al-Khatib, hal. 306.
[43] Hafiz Hasan al-Ma’udi, hal. 22.
[44] Yuslem, h. 256-277.
[45] M. Ajjaj al-Khatib, Hal. 315-316.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved