Aneka Ragam Makalah

Makalah Wali Nikah



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
A. LATAR BELAKANG MASALAH

Menurut Imam Maliki dan Imam Syafi'i bahwa wali adalah salah satu rukun perkawinan dan tidak ada perkawinan tanpa wali (Mahmud Yunus, 1964: 53). jadi suatu perkawinan dianggap tidak sah jika tidak terdapat seorang wali yang mengijabkan mempelai wanita kepada mempelai pria. Pada hakikatnya seorang perempuan harus ditikahkan oleh ayahnya yang bertindak sebagai wali, namun tidak selamanya hubungan antar keduanya itu berjalan dengan baik, terkadang hanya karena berbeda pendangan seorang ayah tidak mau bertindak menjadi seorang wali bagi anaknya.

Berbeda pandangan mungkin hal yang wajar, tapi dampak dari hal itu dapat menggeserkan hak wali dari ayahnya kepada orang lain. Hal tersebut terjadi jikalau ayahnya sampai merasa enggan untuk menikahkan putrinya sehingga oleh hakim diputuskan sebagai wali adhal. Perpindahan hak wali memang ada tingkatannya, tetapi kalau perpindahannya itu disebabkan oleh keengganan wali untuk menikahkan (adhal) maka tingkatan itu menjadi tidak berlaku, dan perpindahan hak untuk menikahkan langsung kepada wali hakim.


BAB II PEMBAHASAN


A. PENGERTIAN DAN URUTAN WALI NIKAH

Wali dalam pernikahan adalah yang menjadi pihak pertama dalam aqad nikah, karena yang mempunyai wewenang menikahkan mempelai perempuan, atau yang melakukan ijab. Sedang mempelai laki-laki akan menjadi pihak kedua, atau yang melakukan qabul. Wali merupakan syarat sah pernikahan gadis, tanpa wali pernikahan tidak sah, kecuali menurut mazhab Hanafi yang mengatakan sah nikah tanpa wali. Dalam sebuah hadist dikatakan "Janda lebih berhak atas dirinya dan gadis hanya ayahnya yang menikahkannya" (H.R. Daru Quthni). Dalam hadist Ibnu Abbas "Tidak ada nikah sah tanpa wali" atau “Nikah tidak sah tanpa wali”. (H.R. AHmad dan Ashab Sunan). Adapun urutan wali adalah sebagai berikut:

1. Ayah
2. Kakek (bapaknya bapak)
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki sebapak(lain ibu)
5. Anak laki-lakinya saudara laki-laki kandung (keponakan)
6. Anak laki-lakinya saudara laki-laki sebapak
7. Paman (saudara laki-laki bapak sekandung)
8. Paman (saudara laki-laki bapak sebapak)
9. Anak laki-laki dari paman nomor 6 dalam urutan ini
10. Anak laki-lakidari paman nomor 7 dalam urutan ini kalau semua wali tidak ada maka walinya adalah pemerintah (dalam hal ini KUA).

Madzhab Maliki memperbolehkan wali "kafalah", yaitu perwalian yang timbul karena seorang lelaki yang menanggung dan mendidik perempuan yang tidak mempunyai orang tua lagi, sehingga ia seakan telah menjadi orang tua perempuan tersebut. Wali juga boleh diwakilkan, demikian juga pihak lelaki juga boleh mewakilan dalam melakukan akad nikah. Cara mewakilkan bisa dengan perkataan, misalnya wali mengatakan kepada wakilnya "aku mewakilkan perwalian si fulanah kepada saudara dalam pernikahannya dengan si fulan", atau juga bisa menggunakan tertulis dengan surat pewakilan. Surat pewakilan bersegel akan lebih baik secara hukum. Dalam mewakilan tidak disyaratkan menggunakan saksi.


B. CONTOH KASUS

Dalam makalah ini yang membahas tentang wali, kami akan mengambil contah kasus, yaitu kedudukan wali adhal dalam perkawinan EP dan WS di Kebon Pala Cibadak Sukabumi.


1. Factor Terjadinya Wali Adhal Dalam Perkawinan EP Dan Ws

Kasus keenganan wali untuk menikahkan putrinya yang berada dibawah perwaliannya dewasa ini banyak terjadi, yang disebabkan oleh beberapa factor. Karena peningkatan taraf hidup masyarakat yang semakin tinggi, dan peningkatan itu menyebabkan penilaian seseorang terhadap orang lain berbeda-beda. Penilaian mengenai persamaan (kufu’) diantara laki-laki dan perempuan, ini banyak meynebabkan wali menghalangi perkawinan anak perempuan atau yang berada dibawahnya..

Ujang sudrajat adalah bapak kandung dari EP, pekerjaannya sehari-hari ialah berjualan dipasar. Atas pertimbangan dan keputusan Penadilan Agama Cibadak, ia dinyatakan sebagai wali yang adhal (enggan), karena walinya dinyatakan adhal maka perkawinan EP dan WS dilangsungkan dengan menggunakan wali hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama setempat.


2. Implikasi Terjadinya Wali Adhal Dalam Perkawinan EP Dan WS

Terjadinya keengganan wali untuk menikahkan sering menibulkan dampak yang negative, impliakasi dari masalah tersebut mungkin saja akan menimbulkan masalah baru, seperti perbuatan yang melanggar Syar`i dan hasilnya memberi kesan negative yang terpaksa dihadapi oleh mereka yang terlibat, adapun dampak yang negative dapat dilihat dari berbagai segi, diantaranya:

1. Sosiologis, seperti kawin lari yaitu kawin tanpa restu orang tua
2. Psikologis, seperti berlaku konflik antara anak dan orang tua
3. Yuridis, seperti sanksi terhadap Wali yaitu ditetapkan sebagai Wali Adhal oleh Pengadilan Agama


Tidak bisa dinafikan bahwa restu wali sangaat penting dalam membangun Rumah Tangga. Perkawinan tanpa orang tua kebanyakan memberi dampak negatifnya dari pada positifnya, baik terhadap pasangan itu sendiri, keluarga maupun masyarakat sekitar.

Perkawinan tanpa restu orang tua biasanya tidak bahagia, karena salah satu penyebab terciptanya kebahagiaan tergantung pada hubungan baik dengan orang tua. Sebagaimana kita ketahui bahwa rido orang tua merupakan rido Allah juga. Akan tetapi ada juga yang menikah tanpa restu orang tua teyap hidup bahagia namun hal ini jarang terjadi. Inilah yang dirasakan oleh pasangan EP dan WS yaitu menikah tanpa restu dari wali, karena meskipun pernikahan itu diakui dan sah menurut Hukum Syara` dan Negara tetapi tidak mendapat dukungan (restu) dari wali, jadi terpaksa mereka hidup mandiri tanpa dukungan dari keluarga wali.

Seorang wali tidak berhak menghalang-halangi anak dibawah perwaliannya untuk menikah dengan pilihannya, apalagi diantara mereka telah memenuhi syarat-syarat sehingga tidak terdapat halangan untuk melangsungkan pernikahan. Dengan menikah mereka dapat terhindar dari dosa yang berkepanjangan.


d. Analisis Terhadap Wali Adhal Dalam Perkawinan EP Dan WS

Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun untuk sahnya perkawinan menurut hukum islam, wali nkah adalah hal yang sangat penting dan menentukan, bahkan menurut Syafi`I tidak sah nikan tanpa adanya wali bagi pihak pengantin perempuan, sedangkan bagi laki-laki tidak diperlukan wali nikah untuk sahnya nikah tersebut.

Menurut madzhab Hanafi, wali itu sunnah saja hukumnya. Disamping itu ada pendapat yang menyatakan bahwa wali nikah itu sebenarnya tidak perlu apabila yang mengucapkan ikrar “ijab” dalam proses akad nikah ialah laki-laki. Tetapi kenepa dalam praktek selalu pihak wanita yang ditugaskan untuk mengucapkan ijiab (penawaran), sedang pengantin laki-laki diperintahkan mengucapkan kabul (penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrah) adalah pemalu, maka pengucapkan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya, jadi wali itu sebenarnya dari wakil perepuan, biasanya diwakili oleh ayhnya, bilamana tidak ada ayah dapat digantikan oleh kakek dari ayah. Wali nikah seperti ini disebut wali nikah yang memaksa (mujbir).

Mujbir maksudnya ialah apabila masih ada ayah, maka ayahlah yang berhak untuk menjadi wali nikah untuk menikahkan anak perempuannya. Bila tidak ada ayah mungkin karena meninggal atau ghalib, maka kakek yang berhak tampil menjadi wali nikah dari cucu perempuannya. Apabila tidak ada ayah atau kakek maka dapat diwakilkan lagi kepada saudara laki-laki kandung dari pengantin perempuan, bila tidak ada dapat pula diwakilkan kepada saudara laki-laki dari ayah (paman). Wali sesudah ayah dan kakek disebut wali nasab biasa (tidak memaksa).

Kadangkala keempat jenis laki-laki yang berhak menjadi wali nikah tersebut tidak ada, mungkin sudah menikah atau ghalib, atau mungkin juga ada akan tetapi tidak memenuhi ayarat-ayarat, atau bahkan ada tetapi enggan (adhal) menikahkan anak yang berada dibawah perwaliannya, maka dapat menggunakan wali hakim. Wali hakim adalah pejabat yang diangkat oleh pemerintah khusus untuk mencatat pendaftaran nikah dan menjadi wali nikah bagi wanita yang tidak mempunyai wali atau wanita yang akan menikah itu berselisih faham dengan walinya.

Kasus yang terjadi pada pasangan EP dan WS, yaitu adanya wali adhal dalam perkawinan mereka. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari hasil wawancara kepada para pihak yang bersangkutan, dapat disimpulkan bahwa tindakan tidak mau menjadi wali wajar saja (manusiawi), karena ia mungkin kecewa dan sakit hati atas tindakan putrinya yang sangat memalukan yang telah mencoreng nama baiknya. Akan tetapi jika dilihat dari sudut pandang Agama dan Negara tindakan Ujang Sudrajat memang salah. Karena ajaran islam menolak peminangan orang yang sudah cukup syarat-syaratnya, penolakan yang tidak beralasan atau merintangi terjadinya pernikahan akan membawa berbagai kemafsadatan dan cara apapun akan mereka tempuh, seperti halnya EP yang telah sangat mencintai WS sampai terjadi hubungan badan hingga hamil kemudian melahirkan seorang anak dan telah tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan. Jika tetap dibiarkan tidak dinikahkan, dikhawatirkan akan menimbulkan kemadharatan yang lebih besar, ini sesuai kaidah Fiqh yang berbunyi:

Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.

Dengan demikian jelaslah bagi penulis, bahwa keputusan yang dilakukan oleh majlis hakim Pengadilan Agama Cibadak atas perkara EP dan WS, telah sesuai dengan perundang-undangan dan Syari`at Islam, terutama tujuan yang terkandung dalam maqosi Al-Syari`ah yaitu hifdz Al-nashl (memelihara keturunan), sebab EP telah melahirkan seorang anak, jika tetap dibiarkan akan menyebabkan kemadharatan yang lebih besar lagi. Karena hanya dengan menikah akan terhindar dari perbuatan zina, dan anak-anak akan bangga karena dinasabkan kepada ayah-ayah mereka.

Para Ulama juga sependapat bahwa wali tidak boleh menolak (enggan) menikahkan perempuan yang berada dibawah perwaliannya, tidak boleh menyakitinya atau melarangnya kawin padahal yang akan mengawininya itu sudah sekufu` dan sanggup membayar maskawin.


DAFTAR PUSTAKA

1. Alhamdani, 1989, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani
2. Kompilasai Hukum Islam, cetakan ke 2, juni 2007, Fokus Media.
3. Rusyid Ibnu, 2007, Bidayah Mujtahid (Analisa fiqih para Mujtahid), Jakarta: Pustaka Amani.
4. Sulaiman Rasyid,2007, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo
5. Ghozali Abdul Rahman, 2008, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved