PERNIKAHAN BERBEDA AGAMA
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu Tugas
Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen : Drs. H. Adad Abdulloh, M.Pd.I
Disusun Oleh :
Ani Srimulyani
Arief Budi Awaludin
Dedi Saefulrohman
INSTITU AGAMA ISLAM DARUSSALAM
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
CIAMIS
2012
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia. Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk, khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar umat beragama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain sebagainya.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar mengenai status pernikahan beda agama? Berangkat dari permasalahan itu kami mencoba untuk menjelas sekelumit tentang bagaimana hukumnya pernikahan beda agama, baik itu menurut UUD 1945, Kompilasi Hukum Islam, dan juga menurut agama Islam itu sendiri.
1.2.Perumusan Masalah
Supaya tidak terjadi kesimpang siuran dalam pembahasan karya tulis ini maka penulis membatasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana hukumnya pernikahan beda agama menurut hukum negara
2. Bagaimana pernikahan beda agama menurut hukum Islam
BAB IIPEMBAHASAN
2.1. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Negara Indonesia
Dalam menghadapi masyarakat kompleks baik dalam segi budaya maupun agama, maka penting bagi pemerintah mengatur atau memayungi suatu kepentingan umum dengan hukum diantaranya masalah pernikahan. Untuk menghindari konflik atau ketidak selarasan dimasyarakat, maka pemerintah membuat perundang-undangan tentang pernikahan khususnya mengenai perbedaan agama. Diantara peraturan-peraturan mengenai pernikahan beda agama yang masih berlaku diantaranya:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
2.2 Perkawinan berbeda Agama Menurut Islam
Menjaga kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tidak boleh diutak-atik. Semua perangkat syari'ah dikerahkan untuk menjaga eksistensinya. Bahkan kalau perlu nyawa harus direlakan. Dalam ushul fiqh dijelaskan, term ini disebut hifdz al-din, yang menempati rangking satu dalam urutan hal-hal yang sangat dipelihara Islam.
Barangkali, persoalan nikah beda agama dapat dipahami dalam segmen ini. Islam tidak mau menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Karena itu, Islam sama sekali tidak mentolelir pernikahan dengan kaum atheis (orang yang tidak bertuhan). Larangan ini sangat tegas dan jelas karena menikah dengan orang musyrik atau musyrikah akan menuntun pada jalan neraka sebagaimana firman Allah dalam surat Albaqarah ayat 221 :
Artinya : "Mereka (orang musyrik dan musyrikah) mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".1 (QS. Al-Baqarah : 221)
Mayoritas ulama yang memberikan qayyid (catatan) bahwa keharaman pernikahan beda agama tidaklah mutlak akan tetapi tetap diperbolehkan bagi pria muslim dengan wanita ahlu kitab. Dalam hal ini para ulama melakukan kajian tafsir yang mendalam kaitannya dengan ayat tersebut. Menurut para ahli tafsir, yang disebut dengan musyrik/musyrikah adalah mereka yang mengingkari wujud Tuhan (atheis), tidak percaya pada nabi dan hari kiamat. Lalu bagaimana dengan mereka yang bukan atheis?2 Untuk mengklarifikasi masalah ini, maka dapat dilihat surat al-Bayyinah ayat 1 sebagai berikut:
Artinya : "Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata".
(QS. AL-Bayyinah : 1)
Ayat ini memberi informasi, bahwa orang kafir ada dua macam, yakni orang musyrik dan ahlu kitab. Yang disebut ahlu kitab adalah mereka yang berpedoman pada agama (kitab) samawi. Sedangkan yang disebut musyrik adalah mereka yang tidak mengakui Tuhan, nabi, hari akhir, dan berbagai doktrin agama samawi. Dengan kata lain, musyrik adalah mereka yang tidak bertuhan. Atau, mereka masih mengakui Tuhan, akan tetapi tidak berdasar pada agama samawi.
Dengan pemahaman ini, kita bisa memilih agama-agama yang ada di
belahan bumi. Sejarah mengatakan, yang termasuk agama samawi –tentunya mempunyai kitab samawi - adalah Yahudi dan nasrani. Dengan demikian hanya mereka yang berhak menyandang gelar ahlu kitab. Di luar itu, termasuk musyrikin.
Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak diperbolehkan, namun dengan ahlu kitab ada dasar yang membolehkan yakni al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5:
Artinya : "Wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".5 (Q.S. Al-Maaidah : 5).
Menyikapi ayat ini para ulama berbeda pendapat, Ibnu Umar mengatakan bahwa kebolehan menikahi ahlu kitab adalah rukhsah karena saat itu jumlah wanita muslimah relatif sedikit. Ketika jumlah mereka sudah imbang, bahkan jumlah kaum wanita lebih banyak, maka rukhsah itu tidak berlaku lagi.
Alasan lain untuk melarang ahlu kitab adalah kata min qablikum (sebelum kamu). Maksudnya sebelum turunnya al-Qur'an. Dengan qayyid (catatan) ini, maka yang boleh dinikahi adalah wanita ahlu kitab yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani sebelum al-Qur'an diturunkan.
Sedangkan wanita-wanita itu sekarang ini tidak jelas tidak ada lagi. Secara psikologis, pendapat Ibnu Umar bisa dipahami. Karena si anak dalam bahaya. Lazimnya, anak lebih akrab dengan sang ibu. Ketika ibunya Nasrani misalnya, peluang anak menjadi Nasrani lebih besar.
Sekalipun demikian, peluang untuk menikah dengan ahlu kitab tetap terbuka. Sebab banyak para ulama yang berpegang teguh pada dzahir ayat yang memperbolehkan nikah dengan ahlu kitab. Di kalangan sahabat sendiri tercatat sederet nama yang menikah dengan ahlu kitab. Walaupun berakhir dengan perceraian. Mereka yang pernah menikah dengan ahlu kitab antara lain Usman bin Affan, Hudzaifah, Sa'ad bin Abi Waqqas, dan lain-lain. Dalam kitab I'anatut Thalibin misalnya, Imam Abi Bakar menyatakan bahwa menikahi wanita ahli kitab diperbolehkan. Dalam hal ini pernikahan dengan ahlu kitab bisa ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir, dan prinsip-prinsip agama banyak persamaan. Dengan kesamaan ini, mahligai rumah tangga -yang merupakan tujuan pernikahan- sangat mungkin terealisasi. Di samping itu, dengan kesamaan itu pula, peluang untuk menarik istri ke Islam bukan sesuatu yang mustahil.
Hanya saja perlu diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya berlaku bagi lelaki muslim dengan wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya. Sekali lagi ini untuk menjaga iman. Sebab, lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke agama lain.
Persoalan terakhir yang perlu klarifikasi adalah apakah agama yang ada di Indonesia bisa masuk dalam ahlu kitab? Untuk agama Hindu, Buda dan Konghuchu jelas tidak bisa, karena bukan agama samawi, yang tentunya konsep ketuhanannya jauh berbeda.
Sedangkan untuk Kristen Protestan dan Katolik, ada kemungkinan. Kita sebut ada kemungkinan, sebab ada yang mensyaratkan nenek moyang mereka memeluk Kristen sebelum dinasakh. Persyaratan ini untuk konteks Indonesia, sulit dilacak, kalau tidak dikatakan mustahil. Sebab agama Kristen baru datang belakangan. Sebelum itu, warga Indonesia sudah memeluk Hindu, Buda, dan Islam. Dengan kata lain, Kristen yang ada sekarang adalah keturunan mereka yang 'murtad' dari Hindu, Buda, dan Islam. Jika persyaratan ini bisa diterima, peluang untuk menikah dengan orang Kristen dan Katolik tertutup rapat-rapat.
Jika mengikuti alur jumhur, peluang itu tetap ada, sebab persyaratan itu tidak ditemukan dalam ayat. Ayat kelima surat Al-Maidah memperbolehkan menikahi ahlu kitab dengan tanpa catatan. Bahkan Syekh Nawawi menyatakan, boleh menikah dengan ahlu kitab, sekalipun nenek moyang mereka masuk Kristen dan Katolik setelah agama itu dinasakh. Ada sinyalemen kuat bahwa kitab orang Kristen dan Katolik telah berubah. Apakah hal ini menghalangi kebolehan menikah dengan mereka? Yusuf Qardlawi dengan tegas mengatakan tidak menghalangi. Dari deskripsi di atas, maka jelaslah bahwa pernikahan beda agama diperbolehkan tetapi hanya bagi laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab.
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama diatur dalam kompilasi hukum Islam dan tidak diatur dalam UUD di Negara Indonesia sehingga dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan antara KHI dengan peraturan UUD Negara Indonesia, yang mana keduanya saling bertentangan. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Sedangkan menurut hukum Islam Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak diperbolehkan, namun dengan ahlu kitab ada dasar yang membolehkan yakni al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5, Dalam hal ini pernikahan dengan ahlu kitab bisa ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir, dan prinsip-prinsip agama banyak persamaan. Hanya saja perlu diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya berlaku bagi lelaki muslim dengan wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya. Sekali lagi ini untuk menjaga iman. Sebab, lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke agama lain.
Sumbangan Makalah Dari MASAIL
DAFTAR PUSTAKA
- Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. PT TOKO GUNUNG AGUNG. Jakarta. 1977
- Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’i, tt. hlm. 243