A. Potret Seorang Sejarawan-Pemikir |
1. Latar Belakang sosial dan Intelektual.
Mohammded Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).
Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk Islam. Bahkan di antara mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan Islam, seperti pembebasan Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad.
Gerakan islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme. Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang terkenal itu, sempat berguru kepada seorang sufi terkemuka di daerah ini, Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang berkembang adalah Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.
Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur kepercayaan animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia-suci atau pemimpin keagamaan (alfa) merupakan serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[1]
Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai dalam bahasa keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan komunikasi di mesjid. Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan memahami. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun.[2]
|
2. Pendidikan dan Pengalaman |
Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-Harrach, di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam.[3]
Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku jabatan resmi sebagai anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS, dan anggota Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, ia menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III).[4]
Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Perancis, seperti Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas Amsterdam.[5]
Konteks Pemikiran Pasca-Modernisme dan Karya-karyanya Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis.[6] Referensi utamanya adalah De Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi)., filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan Pierre Bourdieu.[7]
Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme. Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa “menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini semiotika belum mengembangkan peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier).
Arkoun juga bisa mencomot konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim dari implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal ketimbang lisan (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih awal ketimbang bahasa tulisan (dalam bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau peradaban).
Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan data-data obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur tentang sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.[8]
Sementara itu, karya-karya Arkoun meliputi berbagai bidang. Di sini hanya disebutkan karya-karya yang berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan metodologi “cara membaca Qur’an”nya pada khususnya: traduction francaise avec introduction et notes du Tahdib Al-Akhlaq (tulisan tentang etika/terjemahan Perancis dari kitab Tahdib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih), La pensee arabe (Pemikiran Arab), Essais sur La pensee islamique (esei-esei tentang pemikiran Islam, Lecture du Coran (pembacaan-pembacaan Al-Qur’an, pour une critique de la raison islamique (demi kritik nalar islami), Discours coranique et pensee scintifique (Wacana Al-Qur’an dan pemikiran ilmiah). Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis.[9]
|
B. Kerangka Proyek Kritik Akal Islam Arkoun |
Mohammed Arkoun memiliki “proyek kritik atas akal Islam” dimana metode historis modern menempati peran sentralnya. Proyek ini terkandung dalam bukunya yang paling fundamental, Pour de la raison islamique, (Menuju Kritik Akal Islam). Buku ini, yang semula akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul “naqdu al-‘aqli al-Islmiy”, kemudian diterjemahkan dengan judul “tarikhiyyatu al-Fikri al-Arabiy al-Islamiy” (Historitas Pemikiran Arab Islam). Menurut Luthfi Assyaukany, karya tersebut bisa mewakili pemikiran Arkoun secara keseluruhan, meskipun ia masih mempunyai banyak karya lain. [10]
Metode yang ditempuh Arkoun dalam buku ini adalah metode historisisme. Historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevensi antara teks dengan konteks. Melalui metode historisisme, yang mewujud dalam bentuk “kritik nalar islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapkan pada teks-teks agama, apa yang diburu Arkoun adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut.[11]
Luthfi Asysaukanie menggolongkan Arkoun ke dalam tipologi pemikir Arab kontemporer yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi wacana pemikiran ini masih percaya pada tradisi sejauh disesuaikan dengan tuntutan modernitas. Arkoun, misalnya, membedakan dua tradisi: 1) Tradisi dengan T besar yang berarti tradisi transendental, abadi dan tak berubah; 2) tradisi dengan t kecil yang adalah produk sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun menurun maupun hasil penafsiran atas wahyu tuhan lewat teks-teks suci.[12] Bagi Arkoun, hanya tradisi kedualah yang dapat diuji lewat kritisisme, dan karenanya ia mengabaikan tradisi yang pertama. Kelak, sebagaimana akan dibahas, pembedaan Arkoun atas tradisi ini, juga terlihat dalam bangunan metodologi “cara membaca Qur’an”nya.
Arkoun menganggap proyek kritik akal Islamnya sebagai tak lain dari perluasan terhadap makna ijtihad klasik. Perpindahan dari ijtihad klasik ke kritik akal Islam adalah usaha mematangkan dan memantapkan posisi ijtihad itu sendiri.[13] Karena begitu sentralnya “proyek kritik akal Islam” ini dalam bangunan pemikiran Arkoun, berikut ini disajikan penjelasan Arkoun mengenai maksud dari kata “kritik” dan “akal”, dengan eksplorasi penerapannya.
Menurut pengakuannya, istilah “kritik akal” dalam bukunya itu tidaklah mengacu pada pengertian filsafat, melainkan pada kritik sejarah. Ketika mendengar kata kritik akal, orang memang tidak gampang melupakan karya filosof besar Immanuel Kant, Critique of pure Reason dan Critique of Practical Reason, dan karya Sartre, Critique of Dialectical Reason. Tetapi, kata Arkoun, belakangan Francois Furet menggunakan istilah tersebut untuk tujuan penelitian sejarah. Berbeda dengan Kant dan Sartre, Furet adalah seorang sejarawan. Ia berusaha memikirkan (ulang secara kritis tentunya) seluruh tumpukan literatur sejarah mengenai revolusi perancis. Revolusi Perancis adalah peristiwa sejarah yang amat kompleks serta mempunyai pengaruh yang begitu besar, sebegitu rupa sehingga darinya lahir banjir bandang literatur komentar, interpretasi yang beragam dan bahkan bertentangan. Menurut Arkoun keadaan ini bisa dibandingkan dengan peristiwa turunnya wayhu Al-Qur’an yang telah melahirkan sekian banyak literatur, yang selain beragam juga kadang saling bertentangan satu sama lain. Ia menegaskan: Peristiwa itu (Revolusi Perancis) telah merangsang lahirnya komentar serta teori yang begitu luas serta teori yang begitu luas sejak dua ratus tahun lampau hingga sekarang (1789-1989). Keadaan ini dapat kita bandingkan dengan apa yang terjadi pada kita dengan teks Al-Qur’an.[14]
Adapun kata akal merujuk pada akal sebagai fakultas dalam diri manusia untuk berpikir. Manusia berpikir dengan menggunakan alat-alat, yakni berupa kata-kata dari suatu bahasa, kategori-kategori dari logika, postulat atau hipotesa tentang realitas. Akal bisa berubah, seiring dengan perkembangan alat-alat berpikir yang ditemukan akal itu sendiri, seperti dari penemuan-penemuan ilmiah yang revolusioner. Karena itu, Arkoun menegaskan bahwa akal bukanlah konsep abstrak yang melayang-layang di udara, ia adalah konsep konkret yang bisa berubah-rubah. Ia mempunyai sejarahnya dan memang terus meyejarah.
Arkoun membedakan bahan dan postulat antara akal religius (religius reason) dan akal filosofis (philosophical reason). Dalam diskursus religius misalnya, ada metafor-metafor, simbol dan kisah-kisah mitis. Akal religius digunakan oleh kaum semitis: yahudi, kristen dan islam, sementara akal filosofis digunakan oleh filosof Yunani. Menurutnya, penemuan revolusioner Galileo dibidang astronomi (bahwa bumi mengitari matahari) pada abad 16, revolusi Lutherian pada abad 18 yang menegakkan pendirian (otonomi) akal--dan menempatkannya dalam posisi rasional—terhadap kitab suci, dan revolusi politik di Inggris dan Perancis pada abad 18, telah merubah akal secara radikal dengan menghasilkan akal “modern”. Tetapi, apa yang terjadi di Italia, Inggris, Perancis, spanyol itu tidak terjadi dalam masyarakat-masyarakat Islam. [15] Akibatnya, akal (atau alam pikiran) umat Islam belum bisa lepas dari mental abad pertengahan yang kental dengan ortodoksisme dan dogmatisme.
Untuk menelusuri sejarah pemikiran Islam, layaknya seorang arkeolog, Arkoun menggali seluruh lapisan geologis pemikiran (akal) Arab-Islam dengan memakai “pisau” epistema Michael Foucault. Arkoun membagi tiga tingkatan sejarah terbentuknya akal Arab-Islam: klasik, skolastik dan modern. Yang dimaksud dengan tingkatan klasik adalah sistem pemikiran yang diwakili oleh para pemula dan pembentuk peradaban Islam. Skolastik adalah jenjang kedua yang merupakan medan taklid sistem berpikir umat. Sedangkan tingkatan modern adalah apa yang dikenal dengan kebangkitan dan revolusi. Dengan membagi sejarah ke dalam tiga penggalan (ruputure) epistema ini, tampaknya Arkoun bermaksud untuk menjelaskan term “yang terpikirkan” (le pensable/ thinkable), “yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthikable) dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable/not yet thought),[16] untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah sejarah sistem pemikiran Arab-Islam.
Yang dimaksud dengan “yang terpikirkan adalah hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Sementara “yang tak terpikirkan adalah hal-hal seputar tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan praktek kehidupan.[17]
Demi menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun pun menjamah jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).[18] Baginya, lantaran Assyafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada standar tertentu serta pembakuan Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah pemikiran yang tadinya “yang terpikirkan”, berubah menjadi hal-hal yang tak terpikirkan. Sampai sekarang, di tengah tantangan barat modern, menurutnya, daerah tak terpikirkan masih terus melebar.
Demikianlah, Arkoun melihat ortodoksisme (paham yang selalu menekankan pada penafsiran nash-nash yang pasti benar, sehingga penafsiran orang lain salah, bid’ah) dan dogmatisme abad skolastik (dogmatisme ditandai dengan pencampuradukkan antara wahyu dengan non wahyu, atau masuknya non-wahyu ke dalam wilayah wahyu), masih tetap bercokol dalam akal Arab-Islam dewasa ini.
Dengan kritik historisnya, Arkoun menemukan karakteristik umum akal-akal islam. Pertama, ketundukan akal-akal kepada wahyu yang “terberi” (diturunkan dari langit). Wahyu mempunyai kedudukan dan posisi yang lebih tinggi, sebab dihadapan akal-akal itu ia memiliki watak transendentalitas (al-ta’ali, La trancendance) yang mengatasi manusia, sejarah dan masyarakat. Kedua, penghormatan dan ketaatan kepada otoritas agung. Imam mujtihid dalam setiap madzhab tidak boleh dibantah atau didebat, walaupun di antara para mujtahid sendiri terdapat banyak perbedaan bahkan perselisihan. Para imam mujtahid ini telah mematok kaidah-kaidah menafsirkan Al-Quran secara benar, termasuk istimbath hukum. Otoritas ini menjelma dalam sosok para imam madzhab. Ketiga, akal beroperasi dengan cara pandang tertentu terhadap alam semesta, yang khas abad pertengahan, sebelum lahirnya ilmu astronomi modern.[19]
Maka, bagi Arkoun, syarat utama untuk mencapai keterbukaan (pencerahan) pemikiran Islam di tengah kancah dunia modern adalah dekontruksi terhadap epistema ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan.
Dari kritik historisnya, Arkoun juga mendapati bahwa tumpukan literature tafsir Al-Qur’an tak ubahnya seperti endapan lapisan-lapisan geologis bumi. Dalam konteks ini, secara radikal Arkoun menganggap sejarah tafsir sebagai sajarah penggunaan Al-Qur’an sebagai dalih: Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu bahwa sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial atau teologi yang menjadi “payungnya” nya daripada dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri.[20]
Menurutnya, pola hubungan yang terus-menerus antara teks pertama dan ekploitasi teologis dan ideologis yang begitu beragam terhadapnya yang dilakukan oleh berbagai latar kultural dan sosial yang berbeda itu, membuat teks kedua memiliki sejarahnya sendiri. Sejarah tafsir adalah sejarah pernyataan yang diulang-ulang, secara lebih kurang atau lebih bersemangat, mengenai sifat kebenaran, keabadian dan kesempurnaan dari risalah yang diterima dan disampaikan Nabi Muhammad. Dengan begitu, tafsir lebih bersifat “apologi defensif” daripada pencarian suatu cara memahami. Padahal, kata Arkoun, Al-Qur’an tidak membutuhkan suatu apologi guna menunjukkan kekayaan yang terkandung didalamnya.[21] Karena itu, berbagai literatur tafsir, di satu sisi, memang membantu mengantarkan kita untuk memahami Al-Qur’an; namun, di sisi lain, kadang malahan merintangi pemandangan kita dari Al-Qur’an. Lantaran sejarah tafsir yang “menggeologis” itulah, barangkali, Arkoun memandang Al-Qur’an sekarang lebih banyak menyebabkan kemandegan ketimbang pencerahan dan kemajuan: Jadinya sekarang, Kalam Allah ditentang dan digagalkan oleh praktek masyarakat kita di masa kini; dihormati, namun pada kenyataannya dihalangi oleh kaum muslim, dan direduksi oleh pengetahunan ilmiah kaum orientalis menjadi kejadian budaya semata.[22]
Dalam konteks di atas, perlu segera dicatat bahwa yang dianggap tidak relevan atau memandegkan bukanlah Al-Qur’an, melainkan pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqaha dalam menafsirkan Al-Qur’an: Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak relevan. Saya tidak berkata demikian. Harap berhati-hati. Yang saya katakan adalah bahwa pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqoha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak relevan. Sebab, sekarang kita ilmu baru seperti antropologi, yang tidak mereka kuasai. Kita juga memiliki linguistik baru, metode sejarah, biologi—semuanya tidak mereka kuasai.[23]
Demikian komplek dan peliknya sejarah tafsir, sehingga upaya restrukturisasi (I’adat tarkib) dengan cara penulisan sejarahnya secara jernih dan kritis adalah sangat mendesak. Berangkat dari persoalan ini, Arkoun merumuskan permasalahan: Bagaimanakah kita dapat melakukan klarifikasi (al-idhahah at-tarikhiyyah) seperti terlihat di atas? Bagaimana kita dapat membaca Al-Qur’an secara “baru”? Bagaimanakah kita dapat memikirkan ulang pengalaman kesejarahan Islam sepanjang empat belas abad?
Untuk menelusuri alur pikiran metodologi Arkoun dalam memahami Al-Qur’an (bagaimana), terlebih dahulu di sini akan diajukan dua pertanyaan: (1) apa itu teks Al-Qur’an; dan (2) apa tujuan membaca Al-Qur’an. Sebab, secara metodologis, cara membaca Al-Qur’an sedikit banyak ditentukan oleh antara lain pandangan mengenai Al-Qur’an itu sendiri (postulat ontologis) dan tujuan pembacaannya (postulat Aksiologis).[24]
|
C. Apa Itu Al-Qur’an dan Apa Tujuan Membaca (Qira’ah) nya? |
Di antara teks-teks keagamaan, tentunya teks kitab suci menduduki posisi paling sentral karena di dalamnya terkandung pewahyuan ilahi kepada manusia. Lagi pula, proses pewahyuan ini besifat unik, dalam pengertian sekali untuk selamanya dan tak tergantikan. Nama-nama lain Al-Qur’an sendiri seperti al-Furqon, (al-Furqon:1), al-Kitab (al-Dukhon:1-2), Kalam (al-Taubah:6), Nur (al-Nisa:174), Mau’idzah (Yunus:57), al-Shirat al-Mustaqim (al-An’am:153)[25] dan lain-lain, mencerminkan pandangan kaum muslim mengenai status kitab sucinya yang sangat dimuliakan dan disucikan.
Mengikuti analisis semiotik, Arkoun menekankan bahwa teks yang ada di tengah-tengah kita adalah hasil tindakan pengujaran (enonciation). Dengan kata lain, teks ini berasal dari bahasa lisan yang kemudian ditranskripsi ke dalam bentuk teks. Tidak terkecuali teks-teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diterima dan disampaikan nabi Muhammad kepada umat manusia selama tidak kurang dari dua dasawarsa. Terhadap keyakinannya ini, dalam berbagai kesempatan Arkoun selalu menegaskannya: baik yang bersifat spontan dari keimanannya sebagai muslim maupun dari pernyataan-pernyataannya yang ingin “membuktikan” keniscayaan petanda terakhir (signifie dernier).
Akan tetapi, wahyu dalam bentuk bahasa lisan ini baru kemudian dibukukan setelah memasuki masa Utsman, sekitar satu setengah periode setelah nabi Muhammad saw. wafat. Jauh sebelum Arkoun, buku-buku pegangan (teksbook) sebenarnya telah banyak memberikan informas mengenai penulisan dan pembakuan wahyu menjadi mushaf Utmsni ini. Hanya saja, Arkoun melihat bahwa informasi-informasi tersebut belum dipertimbangkan secara serius bagi penjelajahan makna Al-Qur’an. Untuk mempertimbangkan data historis ini semaksimal mungkin, Arkoun kembali pada rujukan linguistik mengenai: (1) peralihan dari bahasa lisan ke bahasa tulisan; dan (2) perubahan dari kalam kenabian yang bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam, yang membicarakan situasi akhir batas eksistensial manusia: cinta, hidup, dan mati; menjadi wacana pengajaran yang memerikan menurut anggitan kaku dan karenanya cenderung tertutup.[26] Tampaknya, bagi Arkoun, proses yang kedua (perubahan kalam kenabian) dengan yang pertama (peralihan bahasa lisan ke tulisan) berlangsung seiring dan berjalan secara simultan.
Menerapkan proses linguistis di atas kepada proses gerakan tanzil (turunnya) wahyu, Arkoun memilah-milah tahap-tahap kalam Allah (KL), Wacana Qur’ani (WQ), Korpus Resmi Tertutup (KRT) dan Korpus Tertafsir (KT). Anggitan Kalam Allah atau merujuk pada Logos atau sabda Allah yang tak terbatas dalam pengertian yang dipakai al-Qur’an (31:27):
”Seandainya semua pohon yang ada di atas bumi diubah menjadi pena dan lautan yang diperluas dengan tujuh lautan lain dengan tinta, kata-kata Allah tidak akan habis (oleh usaha mentranskripsinya)”.
Demikian juga dalam pengertian orang-orang kristen yang mengatakan, “ Isa adalah Sabda Allah”. Maka, wahyu-wahyu yang disampaikan kepada manusia dengan perantaraan para rasul hanyalah penggalan dari Kalam Allah yang tak terbatas, suatu Kalam yang tak tertulis yang didefinisikan dalam teologi klasik sebagai bersamaan dengan Allah dalam keabadian-Nya.
Penggal-penggal dari kalam Allah secara linguistis telah diartikulasikan dalam bahasa Ibrani (Al-kitab), bahasa Aramea (Isa, meski demikian ajarannya dilaporkan dalam bahasa Yunani), dan bahasa Arab (Qur’an). Tahap pengujaran lisan sejajar dengan atau sesuai dengan tahap wacana (yakni wacana dalam pengertian linguistik yang diartikan sebagai pengujaran yang mengandaikan adanya seorang pembicara dan pendengar dengan niat dari yang pertama untuk menyampaikan kepada yang kedua suatu pesan dan kemungkinan bagi yang kedua untuk bereaksi secara langsung) Alkitab, Injil dan Qur’an. Hubungan komunikasi antara Tuhan dan Nabi selalu terkait dengan situasi wacana atau lingkuangan semiologis ketika pelepasan dan penangkapan pesan berlangsung, yang terjadi sekali untuk selamanya dan tidak bisa diulang. Inilah tahap semio-linguis yang pertama.
Tahap semio-linguis kedua adalah proses pencatatannya secara tertulis dalam mushaf Utsmani (Korpus Resmi Tertutup).[27] Dengan ungkapan Corpus officiel clos, Korpus resmi tertutup, Arkoun ingin menekankan aspek historisis dari mushaf, yang, suka atau tidak, tidak bisa diabaikan. Arkoun mengatakan:
This is extremely important: it refer to many historical fact depending on social and political agent, not on God. Let us elaborate it more clearly.[28]
Tahap semio-linguis ketiga adalah penafsiran dari Korpus Resmi Tertutup itu. Secara linguistis adalah mutlak sehubungan dengan penjelajahan makna-makna al-Qur’an itu, pemahaman bahwa selalu teks tertulislah yang ditafsirkan dan bukan lagi wacana pertama. Arkoun mengajukan argumentasi:
Sesungguhnya kita tahu bahwa suatu teks tidak ditulis selama saya belum membacanya: artinya setiap pembaca menulis teks itu lagi sesuai dengan kisi-kisi persepsinya dan prinsip-prinsip penafsirannya. Kisi-kisi dan prinsip-prinsip sendiri tidak hanya berkaitan dengan tradisi kebudayaan yangdipakiai setiap pembaca sebagai sandaran, namun juga dengan paksaan ideologis dari keolompok dan masanya.[29]
Dengan demikian, dapat dilihat secara mencolok bahwa Arkoun mengaitkan (menarik korelasi positif) proses pembekuan tafsir al-Quran tersebut yang tercermin dari berbagai tumpukan literatur, dengan proses penetapan al-Qur’an secara tertulis dan dengan perubahan dari wacana kenabian menjadi wacana pengajaran, sebagaimana disinggung di atas. Pendirian Arkoun ini bukannya melenggang tanpa kritik. Van Koningsveld, dalam kritiknya terhadap Arkoun, mengatakan bahwa Arkoun melebih-lebihkan pentingnya pencatatan teks Qur’an secara tertulis sebagai faktor pembakuan penafsirannya. [30]
Merujuk pada Hjemselv, bahwa pendekatan semiotis yang memandang suatu teks sebagai keseluruhan dan sebagai sesuatu sistem dari hubungan-hubungan interen, dan mendekati suatu teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya atau praanggapan lain, tampaknya Arkoun melihat Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan teks yang terkait secara koheren dan utuh satu sama lain. Karena itu juga, Arkoun ingin memandang Al-Qur’an sebagaimana Al-Qur’an itu sendiri berbicara dan memandang dirinya sendiri.[31]
Dari semua proses historis di atas, Arkoun tampaknya ingin menegaskan bahwa telah terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami wahyu dari segala dimensinya. Firman kenabian (prophetique) di reduksi menjadi firman yang berorientasi pada pengajaran (professoral), yakni berorientasi pada abstraksi tanpa memperhitungkan secara serius pihak yang mula-mula dituju oleh firman itu. Dalam ungkapan bahasa semiotika, teks Qur’an sebagai parole di desak oleh teks langue.[32] Mengenai langue bahasa arab sebagai lokus turunnya Al-Qur’an ini, Arkoun mengatakan bahwa Pada kenyataannya, wacana Qur’an adalah suatu orkestrasi musikal sekaligus simantis dari anggitan-anggitan kunci yang ditimba dari kosa kata arab biasa yang telah mengalami transformasi radikal selama berabad-abad.Di atas segalanya, Arkoun berpendapat bahwa meskipun Qur’an sekarang lebih berfungsi sebagai teks tertulis, Qur’an kini tetap merupakan parole bagi para mukmin.
Adapun tujuan membaca al-Qur’an (qira’at) bagi Arkoun adalah untuk mengerti (comprendre) komunikasi kenabian yang disampaikan lewat teks tertulis. Dengan kata lain, qira’at dimaksudkan untuk melakukan semacam “napak tilas” proses pengujaran (enonciation) Al-Qur’an dari berbagai segi dan dimensinya, sebagaimana waktu pertama kali di ungkapkan dalam suasana semiologis yang masih kaya dan segar. Artinya, tujuan qira’at bukan semata-mata untuk mengerti teks, melainkan untuk mendapatkan teks. Secara metodologis, “napak tilas” ini sebenarnya tidak mungkin karena proses pengujaran hanya terjadi satu kali, unik, dan karenanya tak akan pernah terulang lagi. Yang paling mungkin dilakukan hanyalah menjulurkan tangan secara asimtotis[33] kepada suatu pendekatan yang makin lama makin akrab dengan wacana itu, dengan cara mengembalikan (dengan segala keterbatasannya) teks Qur’an sebagai langue menjadi parole bagi orang-orang yang hidup pada zaman sekarang ini.
Bagi Arkoun, Qira’at juga dimaksudkan untuk memproduksi makna-makna yang berada di balik teks harfiah, dengan cara mengungkap struktur bahasa mitis Al-Qur’an dan melepaskannya dari jebakan bahasa logis dan logosentris.
Tampaknya, bagi Arkoun, qira’at juga berarti menangkap pesan universal dan asas paling primordial yang berada di balik semua Al-Kitab (selauruh kitab suci yang diturunkan Allah kepada umat manusia lewat perantaraan para rasul-Nya), dengan melakukan semacam ziarah spiritual vertikal melalui gerak-balik menaiki tangga gerakan linear tanzil Al-Qur’an yang dikemukakannya, sampai pada Sabda atau Kalam Allah yang tak terhingga, guna mendamaikan perang teologis yang terjadi di antara masyarakat kitab. Karena itu, Arkoun menginginkan tafsirnya mampu mengatasi masalah ketegangan klaim teologis ini:
Keinginan kami adalah membuat mungkin suatu penanganan yang solider terhadap kitab-kitab suci oleh orang-orang “ahlu kitab” Untuk itu kami mengajak pembaca untuk membaca Al-Qur’an menurut aturan-aturan suatu metode yang dapat diterapkan kepada semua teks doktrinal besar.[34]
|
D. Cara Membaca Al-Qur’an Mohammed Arkoun |
Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa: 1. mengangkat makna dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrina dalam Islam dengan menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran Islam telah berusaha menjelaskannya (tafsir dan semua litaeratur yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an baik langsung maupun tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan dengan jelas kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku;
2. Menetapkan suatu kriteriologi [35]yang didalamnya akan dianalisis motif-motif yang dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari. Dalam mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali menghadirkan—sebisa mungkin—aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup tiga saat (moment):
1. suatu saat linguistis yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah keteraturan yang tampak.
2. Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis.
3. Suatu saat historis yang di dalamnya akan akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.[36]
1. Moment Linguistis Kritis
Pembacaan linguistik dimulai dengan pengumpulan data-data linguistis dari Al-Qur’an sebagaimana tertulis. Dalam tahap ini, misalnya, Arkoun memeriksa tanda-tanda bahasa (modalisateur du dicours). Karena “kanon resmi tertutup” ditulis dalam bahasa arab, maka tanda-tanda bahasa yang harus diperhatikan adalah tanda-tanda (bahasa) bahasa arab. Menurut Arkoun, semakin kita menegaskan modalisateur du discours, kita semakin memahami maksud (intention) dari locuteur (qo’il atau penutur).
Untuk memasuki proses pengujaran, di antara unsur-unsur linguistik yang diperiksa biasanya adalah determinan (ism ma’rifah), kata ganti orang (pronomina, dlomir), kata kerja (fi’il), sistem kata benda (ism dan musamma), struktur sintaksis dan lain-lain. Pemeriksaan terhadap unsur-unsur linguistis ini dimaksudkan untuk menganalisis aktan-aktan (actants), yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada dalam teks atau narasi. Dengan kategori aktan, ujaran (Perancis enonce/Inggris utterance) dipandang sebagai suatu hubungan antara berbagai aktan yang membentuknya. Atau,dalam kaca mata linguistik, ujaran mau tidak mau harus dilihat dari dari kategori hubungan antar aktan. Dilihat dari kategori ini, ada tiga poros hubungan antar-aktan. Poros Pertama dan yang terpenting adalah poros subyek-obyek di mana orang dapat memeriksa “siapa” melakukan “apa”. Poros kedua adalah poros pengirim-penerima yang menjawab persoalan siapa melakukan dan untuk siapa dilakukan. Sedengkan poros ketiga dimaksudkan untuk mecari aktan yang mendukung dan menentang subyek, yang berada dalam poros “pendukung-penerima”. Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu pembaca untuk mengidentifikasi aktan dan kedudukannya. Aktan tidak selalu harus berupa orang atau pribadi, tapi juga bisa berupa nilai. [37]
Dengan kategori poros aktan pengirim-penerima, misalnya, Arkoun mengatakan bahwa Allah adalah aktan pengirim-penerima; manusia sebagai pengujar adalah aktan penerima-pengirim. Dalam kebanyakan surat Al-Qur’an, Allah adalah aktan pengirim (destinateur) pesan, sementara manusia adalah aktan penerima (destinaire) pesan. Akan tetapi hal sebaliknya juga bisa berlaku: manusia juga menjadi “pengirim” dan Allah menjadi “penerima”. Analisis aktansial ini tidak saja diterapkan pada tingkat sintaksis tapi juga terhadap seluruh teks sebagai suatu kesatuan atau seluruh narasi.
Hasil dari kritik linguistik di atas sebenarnya sudah banyak dipikirkan oleh para mufassir klasik. Mereka mementingkan—dan sudah terbiasa dengan analisis sintaksis. Tetapi bagi Arkoun lebih dari itu: pentingnya analisis linguistis kritis ini terletak pada kemungkinan “mengungkapkan tatanan yang mendalam” yang berada di balik penampakan teks yang seolah-olah tidak teratur.
2. Moment Antropologis: Analisis Mitis
Professor linguistik dari Swis, J. Starobinski, mengartikan hubungan kritis sebagai “a transcoding, a free transcription of various data presented in the ‘interior’ of the ‘text’”. Keberhasilan suatu kritik teks bukan terletak pada kemampuannya untuk mengupas. Keberhasilannya harus diarahkan kepada hubungan-hubungan yang ada pada teks yang tidak lain adalah “the driving force behind the text”
Asumsi Starobinski ini terutama berlaku bagi penafsiran teks-teks keagamaan. Karena analisis linguistis memberikan kesan yang determisnistis dan tidak mempunyai piranti khusus bagi teks keagamaan. Arkoun telah berusaha melampaui keterbatasan linguistik tersebut. Dalam hal ini, Starobinski telah memberikan andil besar dalam usaha Arkoun untuk memberikan pertanggungjawaban metodologis. Arkoun meninggalkan aras kritis dan analitis menuju aras relasional. Pada aras ini, qira’at diarahbidikkan kepada signifie dernier, petanda terakhir. Dalam rangka mencari petanda terakhir inilah Arkoun beranjak pada tahap (moment) antropologis di mana ia memakai analisis mitis. Bila pada tahap linguistis-kritis data linguistis pertama-tama dianggap sebagai “kata sebagai tanda” (mot-signe), maka pada tahap antropologis data linguistik kemudian dianggap sebagai “kata sebagai simbol” (mot-symbole). [38]
Menurut Arkoun, semua ciri yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mitis dalam Alkitab dan Perjanjian Baru terdapat juga dalam Al-Qur’an. Gaya bahasa Al-Qur’an itu adalah:
1. benar, karena gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran manusia yang belum digalakkan oleh gaya bahasa mitis lain yang membuka berbagai perspektif yang sebanding;
2. efektif, karena gaya bahasa itu menghubungkan dengan waktu purba penciptaan dan karena gaya itu sendiri memulai suatu waktu yang istimewa: waktu pewahyuan, kenabian Muhammad dan para sahabat yang solih (as-salaf as-solih);
3. sepontan, karena gaya bahasa itu merupakan pancaran terus menerus dari kepastian-kepastian yang tidak bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada keseuaian yang mendasar dengan semangat-semangat yang permanen dalam kepekaan manusia;
4. simbolis, bisa dilihat dari simbol surga sebagai “surga tuhan yang penuh dengan bidadari-bidadari yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai anggur dan madu.
Dengan suatu bangunan simbolis luas di atas, Al-Qur’an membanjiri hati nurani manusia. Hingga hari ini bangunan simbolis luas itu tak henti-hentinya memberikan ilham kepada orang-orang beriman untuk berpikir dan bertindak. Dalam Al-Qur’an unsur-unsur bangunan simbolis itu adalah: a) “simbolisme kesadaran akan kesalahan” yang oleh refleksi teologi, yuridis dan moral akan disederhanakan dalam peraturan formal dan kaku; b) “simbolisme cakrawala eskatologis” yang menugasi sejarah dengan satu makna, yakni pengarahan dan pemaknaan. Orang-orang masuk Islam, dengan demikian, mendapatkan dirinya termasuk dalam Sejarah Sakral dari umat Tuhan; sebagai agen-agen ungkapan terakhir Kehendak Sakral—Muhammad telah menutup dengan pasti rangkaian para Rasul—mereka menjadi umat terpilih yang mesti menunjukkan cakrawala keselamatan kepada orang-orang lain; c)”simbolisme umat” yang menerjemahkan apa yang telah lalu dan menerima proyeksi sejarah konkret di Madinah pada tahun 1H/622 M.;d)”simbolisme hidup dan mati”.
Simbolisme-simbolisme yang berbeda-beda di atas ini saling mengisi,saling memperkuat untuk membangun suatu visi dari dunia yang benar, yakni suatu visi fungsional yang disesuaikan secara sempurna dengan pencarian keselamatan kita. Untuk sekadar mengambil contoh, simbolisme menyangkut kesadaran akan kejahatan tampak misalnya pada surat Al-Fatihah dalam ungkapan iyyaka na’budu..., sirat mustaqim, magdlubi alaihim, dlaallin dan lain-lain. Maka, dalam Islam khususnya, visi imajinatif transhistoris akan mengalahkan visi metavisis yang merasionalkan.[39]
Analisis simbolis ini memungkinkan bahasa keagamaan dapat menjadi bahasa performatif atau bahasa yang mempunyai kekuatan kreatif (force effectuante). Ciri performatif ini, yang memang merupakan ciri yang paling mencolok dalam bahasa keagamaan, juga berlaku pada Al-Qur’an. Baginya, “wacana” performatif” adalah “parole yang ‘mengatakan’ apa yang saya buat dan pada waktu yang bersamaan merupakan parole yang membuat saya menyempurnakan atau menyelesaikan tindakan saya”. Dengan demikian, wacana performatif bukanlah wacana tentang “tindakan”, melainkan wacana yang diucapkan bersamaan dengan dilakukannya “tindakan”. Segi performatif inilah yang memungkin Al-Qur’an menjadi parole bagi siapa saja yang mengujarkannya sebagaimana ia dulu menjadi parole nabi Muhammad SAW. Ketika kita membaca “ar rahman ar rahim, misalnya, kita tidak hanya mengatakan-- atau membuat konstatasi tentang--suatu tindakan, melainkan juga sedang menciptakan tindakan, entah itu pengharapan (mohon pengampunan dari ar rahman ar rahim), pengakuan, penyerahan diri, permintaan kepada-Nya dan seterusnya.[40]
|
|
Kunjungi lebih banyak makalah di Aneka ragam Makalah selain Makalah Mohammed Arkoun dan Pemikiran Post-Modernisme
|