Historisitas dan Dinamika Pendidikan Agama di Sekolah Umum
Pendidikan agama sebelum kemerdekaan
Kolonial Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Selama itu pulalah Belanda menguasai Indonesia dengan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya untuk menekan bangsa Indonesia. Oleh karena itu ketika colonial belanda berhasil menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan misinya yang ganda, yaitu antara imperialis dan kristenisasi justru sangat menjungkirbalikkan segala tatanan yang ada.
Memang diakui bahwa Belanda telah banyak mewarnai perjalanan sejarah Islam di Nusantara. Mulai kedatangannya sebagai pedagang secara perorangan, kemudian menjadi sebuah persekutuan dagang yang kita kenal dengan VOC. Kehadiran mereka sebagai penjajah mendapat perlawanan dari penduduk pribumi, raja-raja maupun tokoh-tokoh agama Indonesia. Namun untuk dapat bertahan di Indonesia, jalan satu-satunya adalah dengan cara menekan gerak langkah agama Islam sebagai agama kebanyakan penduduk pribumi.
Di satu sisi kedatangan Belanda membawa angin segar bagi Indonesia, karena teknologi semakin maju. Akan tetapi kemajuan itu hanyalah kenikmatan semu yang dihembuskan Belanda kepada penduduk pribumi. Sebenarnya kemajuan itu hanyalah untuk meningkatkan hasil jajahannya. Belanda sangat tidak jantan ketika menjajah Indonesia. Sangat berbeda dengan penjajah lainnya seperti Inggris. Walaupun Inggris menjajah Malaysia, Singapura, Hongkong dan sebagainya, tapi tidak menafikan aspek pendidikannya sehingga negara jajahannya tersebut lebih maju ketimbang Indonesia yang dijajah Belanda.
Menurut K.H. Zainuddin Zuhri yang dikutip oleh Hasbullah, bahwa rakyat Indonesia yang mayoritas Islam tidak memandang orang-orang Barat tersebut melainkan sebagai pemeluk dan penjajah, mereka kaum imperialis, mereka tidak peduli mereka katolik atau protestan. Dalam dada penjajah tersebut begitu kuatnya ajaran dari politikus curang yang licik Machiavelli, yang antara lain mengajarkan[2]:
- Agama sangat diperlukan bagi pemerintah penjajah (colonial).
- Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukkan rakyat.
- Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan harus dibawa untuk memecah-belah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan kepada pemerintah.
- Janji dengan rakyat tidak perlu ditepati jika merugikan.
- Tujuan dapat menghalalkan segala cara.
Dengan politik inilah Belanda menguasai Indonesia. Tapi banyak menerima tantangan dan perlawanan dari bangsa Indonesia itu sendiri. Begitu juga dengan dunia pendidikan, Belanda memperkenalkan system dan metodologi baru dan tentu saja lebih efektif, namun semua itu dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah sekali jika dibandingkan dengan mereka yang harus mendatangkan tenaga dari Barat.
Kebijaksanaan Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan tentu saja dimaksudkan untuk kepentingan mereka sendiri, terutama untuk kepentingan agama Kristen. Hal ini terlihat jelas, misalnya ketika Van Den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Sedang departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu. Sementara di setiap daerah keresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.[3] Jelaslah terlihat bahwa meskipun Belanda mendirikan lembaga pendidikan untuk kalangan pribumi, tetapi semuanya adalah demi kepentingan mereka semata. Pendidikan agama Islam yang ada di pesantren, masjid dan musholla atau lainnya tidak dianggap membantu pemerintah Belanda. Para santri pondok masih dianggap buta huruf latin jika tidak sekolah di sekolah pemerintah Belanda yang menjadi ukurannya pada ketika itu.
Hal ini dilakukan pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia hanya sebuah ketakutan kepada Islam. Pendidikan agama Kristen yang mereka bawa membuat Belanda harus berlaku keras dengan pendidikan Islam. Ketidaksenangan terhadap perkembangan pendidikan agama Islam terlihat dari setiap kebijakan-kebijakan yang mereka buat sangat mendiskriminasi penduduk pribumi yang mayoritas beragama Islam. Kebijakan-kebijakan tersebut di antaranya adalah:
- Pada tahun 1882, pemerintah Belanda membentuk satu badan khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang mereka sebut priesterraden. Dari nasehat badan inilah, maka pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran atau pengajian agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah Belanda.[4] Kebijakan inilah yang disebut ordonansi guru 1905: “setiap pendeta non-kristen harus mendapat izin dari kepala adat pribumi sebelum ia boleh memberikan pelajaran agama”.[5]
- Kemudian muncul lagi ordonansi guru pada tahun 1925 yang berisi beberapa pasal di antaranya adalah[6]: Pasal 1: Barang siapa bermaksud memberi pelajaran agama kepada orang di luar keluarganya (rumahnya) sendiri, diharuskan sebelum melakukan demikian untuk memberitahukan maksudnya secara tertulis. Pasal 2: a). Guru agama atau muballigh atau da’i tetap harus mempunyai surat identifikasi yang hanya bisa diberikan oleh instansi pribumi yang bertugas mengawasi para penguasa pribumi.
- b). Guru agama diharuskan memelihara catatan muridnya dan pelajaran apa yang diberikan kepadanya, dan instansi pribumi mempunyai hak untuk mengecek catatan-catatan itu setiap waktu.
Peraturan ini mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdatul Ulama, dan lain-lain.[7] Organisasi ini selain mendirikan madrasah juga mendirikan sekolah-sekolah umum dari tingkat dasar sampai tingkat atas, yang di dalamnya di ajarkan pelajaran agama. Seperti Muhammadiyah yang mengajarkan pendidikan agama Islam sebanyak 4 jam mata pelajaran seminggu pada setiap jenjang pendidikannya.[8]
Ordonansi ini dirasakan oleh guru-guru agama sangat berat, terlebih-lebih bagi guru-guru agama yang belum memiliki administrasi sekolah. Ordonansi ini mendapat reaksi yang keras dari umat Islam misalnya kongres Al-Islam di Bogor tahun 1926 menolak cara pengawasan terhadap pendidikan agama ini. Muhammadiyah juga dalam kongres XVIII tahun 1928 dengan sangat keras menuntut agar ordonansi guru ini ditarik.[9]
Ketakutan colonial Belanda akibat munculnya gerakan nasionalisme-islamisme tahun 1928 berupa Sumpah Pemuda, dan gerakan persatuan yang lebih besar lagi, maka Belanda membuat kebijakan kembali pada tahun 1932 yang isinya peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang disebut dengan ordonansi sekolah liar (wilde school ordanantie).[10]
Selain untuk lingkungan kehidupan agama Kristen Indonesia yang selalu mendapat reaksi dari rakyat, dan untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama di sekolah umum yang mayoritas beragama Islam, maka pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut Netral Agama. Yakni bahwa pemerintah bersikap tidak memihak kepada salah satu agama sehingga sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. Dan pemerintah melindungi tempat peribadatan agama (Indische Staat Regeling pasal 173-174).[11]
Akan tetapi kebijakan ini adalah bersifat politis belaka. Secara tertulis memang seakan bersikap tidak mau tahu dengan masalah agama, tetapi berbeda dengan realitasnya. Telah beberapa kali di dalam volksraad diusulkan agar pelajaran agama Islam dimasukkan sebagai mata pelajaran di perguruan umum, tetapi usul demikian selalu ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda. Sampai akhir pemerintahan Belanda pengajaran agama tidak pernah dimasukkan dari salah satu mata pelajaran sekolah-sekolah umum. Pada sekolah-sekolah partikelir ada juga pengajaran agama ditambahkan, tetapi murid bebas untuk tidak mengikuti pelajaran agama tersebut jikalau orang tuanya menyatakan keberatannya.[12]
Sementara itu pendidikan Islam pada zaman penjajahan Jepang bersifat longgar dibandingkan dengan colonial Belanda. Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942 setelah mengusir Belanda tanpa syarat. Pada mulanya pemerintahan Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan Islam, tetapi itu hanyalah siasat Jepang untuk merekrut/menggunakan kekuatan Islam untuk menghadapi perang dunia ke-2. Untuk mendekati umat Islam, Jepang menempuh beberapa kebijaksanaan, antara lain:
Kantor Urusan Agama (KUA) yang pada zaman Belanda disebut Kantoor Voor Islamitische Saken yang dipimpin oleh orang-orang orientalist Belanda, diubah oleh Jepang menjadi kantor Shumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri, yaitu KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang dan di daerah-daerah dibentuk Shumuka.