Aneka Ragam Makalah

Imam Malik | Konsep Ijma' Ahli Madinah



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Imam Malik merupakan ulama yang terkenal, imam malik termasuk kedalam tokoh islam dunia. selain sebagai tokoh ulama hadist, beliau juga terkenal dengan ilmu fiqihnya. salah satu yang dibahas oleh imam malik adalah konsep Ijma' Ahli Madinah. Lalu bagaimana sebenarnya Konsep Ijma' Ahli Madinah menurut Imam Malik? bagaimana pembahasannya? Makalah ini secara umum membahas bagaimana Pemikiran Imam Malik dalam Menyikapi Konsep Ijma' Ahli Madinah.

A. Latar Belakang Masalah.

Berkisar pada tahun 720 M, dalam sejarah perkembangan fiqh (Hukum Islam), terjadi sebuah keragaman hukum di kalangan masyarakat Muslim.[1] Keragaman hukum tersebut disebabkan oleh tidak adanya keseragaman metode pengambilan hukum yang dipakai oleh para ahli hukum seperti antara Imam Malik di Madinah dengan al-Auza’I di Syiria dan Abu Hanifah di Baghdad. Namun keragaman hukum tersebut tidaklah menyentuh struktur sumber hukum yang pertama yakni Alquran, namun menyoal sumber hukum lainnya seperti Hadis, Ijma’ dan Qiyas.

Namun, keragaman hukum tersebut mempunyai suatu keunikan tersendiri bahwa masing-masing ahli hukum di daerah-daerah tersebut menyatakan bahwa hukum yang mereka tetapkan didasarkan riwayat yang berasal dari Rasulullah saw sebagai orang yang mempunyai otoritas tertinggi dalam memutuskan hukum. Pada masa tersebut, pembuktian transmisi keaslian sebuah riwayat apakah berasal dari Rasulullah atau tidak belumlah dikenal luas, karena kodifikasi dan metode kritik hadis baru dilakukan pada tahun 710 M yakni pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.[2] Namun, menurut masing-masing ahli hukum seperti Imam Malik, al-Auzai’I dan Abu Hanifah, menyatakan bahwa keaslian transmisi tersebut dapat dibuktikan atau dirunut dari sahabat-sahabat Rasulullah saw yang tinggal di kota mereka.

Lebih lanjut lagi, baik al-Auza’I, Malik dan Abu Hanifah masing-maing menyatakan bahwa hukum yang mereka tetapkan lebih orisinil dan lebih dekat kepada tradisi masyarakat Madinah yang langsung mengalami masa-masa perkembangan hukum pada masa Rasulullah saw. Al-Auza’i (w 774) yang berpengaruh di Syiria mengklaim bahwa tradisi hukum mereka adalah yang paling dekat dengan tradisi Madinah awal. Begitu juga dengan ulama Kufah, yaitu murid-murid Abu Hanifah juga menyatakan bahwa tradisi merekalah yang paling dekat. Akan tetapi tentu saja Imam Malik yang berpengaruh di Madinah lebih otoritatif untuk menyatakan hal yang demikian.

Imam Malik menegaskan bahwa tradisi Madinah pada masanyalah yang melestarikan tradisi Madinah awal, karena Madinah tidak terpengaruh oleh Bani Ummayah seperti masyarkat Syiria, ataupun tidak terpengaruh oleh masyarakat Garnisun[3] seperti di Kufah. Masyarakat Madinah mengklaim bahwa tradisi mereka bukan hanya mencerminkan tradisi muslim awal tapi juga lebih awal yakni tradisi masyarakat Muhammad SAW. Untuk tujuan pelestarian tradisi ini, Malik kemudian menyusun kitabnya al-Muwattha.[4]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi Madinah[5] mempunyai posisi yang sangat penting dalam perkembangan fiqh (hukum Islam) sebelum munculnya metode sistematis ushul fiqh Syafi’i. Madinah awal memberikan beberapa prinsip dasar bagi perumus-perumus hukum sesudahnya. Prinsip yang pertama, yang nantinya menjadi basis perumusan hukum adalah observasi empiris atas perbuatan seorang yang disepakati oleh tuhan. Hal ini bukan legislasi sebuah dewan atau kesimpulan manusia. Bagi Malik yang penting adalah perbuatan tipikal yang diakui dan disepakati oleh Madinah. Artinya bisa saja bukan perbuatan Nabi, tapi perbuatan orang lain yang tidak ada keberatan dari Nabi. Intinya bukan siapa yang melakukan tapi perbuatan yang disetujui. Hal ini menjadi cikal bakal ijma’ pada masa pembentukan hukum dan dasar hukum.

Prinsip yang kedua adalah, basis bagi organisasi dalam komunitas yakni penditribusian tugas. Untuk tugas yang tidak harus dipenuhi oleh setiap orang maka Muhammad SAW mengangkat orang yang bertanggung jawab atas hal tersebut, dan jika mereka telah melakukannya maka yang lain tidak tidak diberikan beban. Hal ini kemudian dirumuskan sebagai fardhu kifayah, sementara tugas yang harus diemban sendiri yang Muhammad SAW tidak menunjuk orang untuk bertanggung jawab disebut fardhu ayn.

Prinsip yang ketiga adalah menyangkut dengan non muslim, yakni menyebarkan tata-cara tuhan yang benar keseluruh dunia. Mereka yang non muslim, bila tidak secara nyata-nyata menentang ketuhanan yang maha esa dan tidak menganggu ketertiban umum tetap diperbolehkan melaksanakan keyakinan mereka, mereka juga diberi tanggung jawab atas ketertiban masyarakat.

Posisi penting yang dimiliki oleh tradisi masyarakat Madinah awal tidak hanya menyediakan prinsip-prinsip dasar bagi para ahli hukum tapi juga menjadi dasar konsep ijma’ pada awalnya. Ketika term “sunnah” yang berkembang pada masa Syafi’i dikonotasikan dengan sunnah Nabi, maka tradisi hidup sahabat dan beberapa generasi setelahnya diturunkan derajatnya sebagai sumber hukum Islam yakni sebagai sumber ketiga. Semuanya diakumulasi dalam ijma’.[6]

Namun anehnya dalam struktur sumber-sumber hukum mazhab Syafi’I, Hanbali dan Hanafi tidak diketemukan Ijma’ Ahli Madinah. Ijma’ Ahli Madinah sebagai sumber hukum hanya diketemukan dalam mazhab Maliki. Di kalangan ahli hukum, Ijma’ Ahli Madinah merupakan sumber hukum yang masih dipertentangkan.

Adalah Malik bin Anas yang kemudian memberikan posisi khusus bagi tradisi masyarakat Madinah dalam struktur sumber hukumnya dengan istilah Ijma’ Ahli Madinah. Malik memberikan tempat yang lebih tinggi bagi tradisi masyarakat Madinah awal dalam sumber hukum dibandingkan dengan ahli hukum lainnya. Ketetapan Malik atas Ijma’ Ahli Madinah dapat diketemukan dalam surat yang ia kirimkan kepada Imam al-Laits di Mesir.[7]

Alasan Malik dalam menetapkan Ijma’ Ahli Madinah sebagai sumber hukumnya adalah:[8]

  1. Bahwa Madinah adalah tempat Hijrah Rasulullah saw, tempat turunnya wahyu, tempat tumbuhnya Islam, tempat berkumpulnya para sahabat. Atas alasan inilah bahwa kebeneran dalam arti kebeneran yang berasal dari Rasulullah tidak akan ditinggalkan oleh para sahabat dan masyarakat Madinah.
  2. Bahwa masyarakat Madinah menyaksikan peristiwa turunnya wahyu, mendengarkan takwil langsung dari Rasulullah saw dan lebih mengetahui tentang keadaan dan kondisi Rasulullah.
  3. Bahwa riwayat yang berasal dari masyarakat Madinah lebih diutamakan ketimbang masyarakat lainnya, karena itu Ijma’ mereka juga lebih diutamakan daripada ijma’ yang lainnya.

Perdebatan tentang Ijma’ Ahli Madinah tidak hanya terjadi antara pengikut mazhab selain mazhab Maliki, tapi juga di kalangan pengikut Malik sendiri Para pengikut Imam Malik sendiri berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud oleh Malik dalam Ijma’ Ahli Madinah. Sebagian menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Imam Malik dalam Ijma’ Ahli Madinah hanyalah sebatas tarjih riwayat yang berasal dari masyarakat Madinah dibandingkan dengan yang lainnya. Sementara yang lainnya menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Malik adalah bahwa Ijma’ Ahli Madinah lebih utama ketimbang ijma’ yang lainnya tapi tidak dilarang untuk menyalahinya. [9]

Pengikutnya yang lain memberi batasan terhadap siapa saja yang dimaksud dengan Ahli Madinah. Ada yang menyatakan bahwa Ahli Madinah yang dimaksud oleh Malik adalah para sahabat Rasulullah saw. Lebih sempit lagi ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah Fuqaha yang tujuh saja.

Lebih rinci, al-Baji menyatakan bahwa kehujjahan Ijma’ Ahli Madinah hanya bisa dipakai ketika Ijma’ tersebut diriwayatkan secara memadai seperti dalam masalah sha’ dan mudd, adzan dan iqamat, tidak perlunya zakat untuk sayur-sayuran seperti yang terlihat dalam tradisi hukum masyarakat Madinah pada masa Rasulullah saw, karena seandainya ada tradisi hukum yang berubah saat itu, maka Rasulullah pasti mengetahuinya. Sementara dalam hal-hal lain seperti dalam masalah ijtihad, maka Ijma’ Ahli Madinah setara dengan yang lainnya.[10]

Pendapat yang cukup terkenal mengenai perdebatan tentang Ijma’ Ahli Madinah adalah pendapat Abdul Wahab Khalaf yang menyatakan bahwa Ijma’ Ahli Madinah terbagi kepada dua macam, yakni Ijma’ yang bersifat naqli’I dan istidlali.[11]

Ijma’ Ahli Madinah yang bersifat naqli terbagi kepada tiga macam. Yang pertama adalah yang memang ditransmisikan dengan metode yang benar dari Rasulullah saw baik perkataan, perbuatan ataupun keputusan seperti dalam kasus al-mud dan sha’, adzan dan iqamat dan sebagainya. Yang kedua adalah tradisi atau apapun bentuknya yang ditransmisikan secara bersambung oleh masyarakat Madinah seperti dalam kasusu pembebasan budak, tidak mengambil zakat dari sayur-sayuran dan sebagainya.

Abdul Wahab Khalaf menyatakan bahwa ijma’ dalam bentuk yang pertama bisa dijadikan sebagai hujjah yang wajib diikuti oleh para ahli hukum. Bila ada khabar ahad atau qiyas yang bertentangan dengan ijma’ Ahli Madinah tersebut, maka Ijma’ Ahli Madinahlah yang harus diikuti.

Sedangkan yang kedua, yakni Ijma’ Ahli Madinah yang istidlali terdapat perbedaan pendapat di dalamnya. Sebagian ahli hukum seperti Abu yA’qub ar-Razi dan al-Qadi Abu Bakar, at-Thiyalisi, Abul Faraj, al-Abhari menyebutkan bahwa Ijma’ Ahli Madinah yang istidlali tidak dianggap sebagai ijma’ dan bukan pendapat Malik juga tidak terdapat dalam mazhab Maliki. Sementara ahli hukum yang lainnya, seperti murid-murid Syafi’I menganggap bahwa Ijma’ Ahli Madinah yang bersifat istidlali dirajihkan ketika bertentangan dengan khabar ahad dan qiyas. Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang menganggapnya sebagai hujjah tapi tidak salah untuk tidak mengikutinya seperti yang diutarakan oleh Abul Husein bin Umar.[12]

Pendapat ahli hukum lainnya yang berkenaan dengan Ijma’ Ahli Madinah adalah pendapat Ibnu Taimiyah yang menulis kajian terbatas terhadap Ijma’ Ahli Madinah yakni Sihhatu Madzhabi Ahli Madinah” . Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa Ijma’ Ahli Madinah dapat diklasifikasi kepada empat tingkatan yakni:

  • Ijma’ Ahli Madinah yang menstransmisikan suatu materi hukum langsung dari Rasulullah saw seperti kasus ukuran satu mud dan sha’. Ijma’ Ahli Madinah ini merupakan hujjah bagi Syafi’I, Ahmad dan Hanbali.
  • Ijma’ Ahli Madinah yang tercermin dalam tradisi kuno masyarakat Madinah sebelum terbunuhnya Utsman. Ijma’ Ahli Madinah tersebut merupakan hujjah bagi Malik dan Syafi’i. sementara itu Ahmad dan Hanbali menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh khalifah rasyidah bisa dijadikan hujjah.
  • Yang ketiga adalah bahwa apabila ada dua dalil yang bertentangan dalam suatu masalah, seperti dua hadis atau dua qiyas, sementara tidak diketahui yang mana paling kuat di antara keduanya. Dalam hal ini, Malik dan Syafi’I menyatakan bahwa dalil yang dipakai adalah salah satu dari keduanya yang dikuatkan dengan Ijma’ Ahli Madinah. Lain halnya dengan Abu Hanifah yang mengatakan bahwa Ijma’ Ahli Madinah tidak bisa menguatkan salah satu dari keduanya. Sementara itu dalam Mazhab Ahmad terdapat dua pendapat yakni pendapat Abu Ya’la dan Ibnu Uqail yang sependapat dengan Abu Hanifah dan Abu Khattab yang menyetujui pendapat Malik. Diduga bahwa pendapat Abul Khattab inilah yang pakai oleh Ahmad.
  • Ijma’ Ahli Madinah yang tercermin dalam tradisi masyarakat Madinah mutaakhhir (setelah pembunuhan Utsman),

Perdebatan tentang Ijma’ Ahli Madinah dan kekuatannya sebagai sumber hukum adalah menarik bagi penulis. Hal itu dikarenakan bahwa ternyata konsep Ijma’ Ahli Madinah yang mencakup batasan-batasan yang jelas menurut Imam Malik yang dengan semangat mempopulerkan Ijma’ Ahli Madinah tidak diketemukan di dalam literatur-literatur ushul fiqh maupun fiqh.

Penulis juga tertarik untuk mengkaji alasan-alasan kuat imam Malik dalam menetapkan Ijma’ Ahli Madinah sebagai sumber hukum dan hujjah, juga Iijma’ Ahli Madinah yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh Malik.

B. Rumusan Masalah

Dari paparan latar belakang masalah di atas, yang menjadi permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: “apakah konsep Ijma’ Ahli Madinah menurut Imam Malik?”.

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka peneliti membatasi pembahasan ini sebagai berikut:
  • Apakah konsep Ijma’ Ahli Madinah menurut Malik?
  • Mengapa Ijma’ Ahli Madinah dijadikan sebagai hujjah dan sumber hukum oleh Malik?
  • Apa contoh-contoh Ijma’ Ahli Madinah? 

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, peneliti berupaya untuk mendekripsikan tentang tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui konsep Ijma’ Ahli Madinah menurut Malik.
2. Untuk mengetahui mengapa Ijma’ Ahli Madinah dijadikan sebagai hujjah dan sumber hukum oleh Malik.
3. Untuk mengetahui contoh-contoh Ijma’ Ahli Madinah?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam pengembangan wawasan kepada mahasiswa dan masyarakat untuk lebih menghayati, mengkaji, memahami dan mengamalkan fikih, terutama hukum perkawinan pasca talak tiga secara baik dan benar di dalam komunitas masyarakat. Di samping itu sebagai pengembangan wawasan ilmu pengetahuan baik dikalangan akademisi dan masyarakat umum lainnya serta masyarakat Kota Langsa khususnya. Penelitian akan lebih berguna lagi manakala Kota Langsa yang nota bene sebagai bagian dari kawasan Nanggroe Aceh Darussalam, di mana pemerintah daerah mempunyai kepentingan besar untuk menerapkan hukum-hukum Islam secara kaffah dan mengaplikasikan dalam masyarakat luas. Setidaknya penelitian ini menjadi masukan-masukan tambahan karena langsung bersumber dari masyarakat itu sendiri.

Ada dua hal yang sangat berguna dari penelitian ini, pertama; manfaat keilmuan (teoritis), yakni penelitian ini akan memberikan wawasan fikih. Kedua; manfaat praktis, yakni penelitian ini akan memberi manfaat yang penting tentang metode-metode yang efektif, di mana pemerintah daerah dapat menerapkan nilai-nilai hukum Islam secara konsekwen kedalam masyarakatnya.

E. Penegasan Istilah

Untuk memudahkan pemahaman dan menghidari berbagai penafsisran mengenai maksud judul yang berkaitan dengannya, maka penulis perlu untuk menjelaskan maksud dari istilah-istilah yang digunakan tersebut, yaitu:

1. Pergeseran.

Secara bahasa pergeseran berarti “peralihan, perpindahan dan pergantian”.18 Pergeseran yang dimaksud adalah peralihan atau perpindahan yang dilakukan oleh Dewan Fatwa Al-Jam’iyatul Washliyah adalah dalam metode istinba¯ yang digunakan ketika menetapkan fatwanya. Pergeseran ini terjadi sejak Mukhtamar XVIII di Bandung tahun 1997, yaitu dengan berubahnya terhadap prinsip dari “menganut mazhab Syafi’i” menjadi “bermazhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dengan mengutamakan mazhab Sy±fi’i”.

Adapun arti “menganut mazhab Sy±fi’i” adalah Pertama, bahwa segala usaha yang digerakkan atas nama organisasi, harus berlaku dalam batas-batas hukum fikih menurut mazhab Sy±fi’i. Kedua, bahwa segala perbedaan pendapat yang terjadi dalam keorganisasian, maka yang menjadi ketentuan-ketentuan dalam hukum fikih haruslah diputuskan sesuai dengan mazhab Sy±fi’i.19 Sedangkan arti “bermazhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dengan mengutamakan mazhab Sy±fi’i” adalah pada dasarnya, fatwa yang dikeluarkan Oleh Dewan Fatwa adalah menurut mazhab Sy±fi’i. Namun, mengenai kasus/masalah yang hukumnya dalam mazhab Sy±fi’i ketika kondisi tertentu, ta’a©©ur atau ta’assur untuk diamalkan, maka bisa mengikuti pendapat mazhab di luar Sy±fi’i asalkan masih dari kalangan mazhab Ahlus Sunah Wal Jama’ah. 20

2. Istinba¯ al-A¥k±m

Secara bahasa istinb±¯ berasal dari kata nab±¯a yang berarti “mengeluarkan atau melahirkan”.21 Jika kata istinb±¯ dihubungkan dengan al-A¥k±m (hukum-hukum), berarti adalah “upaya menarik hukum dari Alquran dan Sunnah dengan jalan ijtihad”. 22

3. Fatwa

Secara bahasa fatwa adalah berasal dari bahasa arab yaitu fatwa yang berarti “jawaban pertanyaan hukum”.23 Sedangkan menurut pengertian hukum syara’, fatwa adalah menjelaskan hukum syara’ dalam persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik yang bertanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik perorangan maupun kolektif. 24

F. Landasan Konsepsional

Ayat-ayat Alqur’an dalam menunjukkan pengertiannya mengunakan berbagai cara, ada yang tegas dan ada yang tidak, ada yang melalui arti bahasanya dan ada pula yang melalui maksud hukumnya, dan terkadang terdapat perbenturan antara satu dalil dengan dalil lain yang memerlukan penyelesaian. Usul fikih menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Alqur’an dan Sunah cara inilah yang disebut dengan istinb±¯.

Secara garis besar metode istinb±¯ dibagi kepada dua bagian, yaitu:25

1. Metode istinb±¯ dari segi kebahasaan (qaw±’id al-Lughawiyah).

Untuk memahami teks-teks kebahasaan ini para ulama telah menyusun semacam “semantik” yang digunakan dalam praktik penalaran fikih. Bahasa Arab menyampaikan pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasannya. Untuk itu para ahlinya membuat beberapa kategori lafaz untuk memahami teks tersebut antara lain dari segi amar, nah³ dan takhy³r, dari segi ‘±mm dan kh±ss, mu¯laq dan muqayyad, dari segi mantq dan mafhm dan dari segi w±«i¥ dan ghair al- wa«i¥ serta dari segi hakikat dan majaznya. 26

2. Metode Penetapan Hukum Melalui Maq±¡Id Syariah (al-Qaw±id al-U¡liyah al-Tasyri’iyah). 27

Menurut pandangan ahli ushul fikih bahwa nas Alquran dan Sunah itu selain menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya, juga dengan ruh tasyri’nya atau maq±sid al-Syari’ah. Melalui maq±sid al-Syari’ah inilah kemudian teks-teks hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh Alquran dan Sunah. Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan metode istinb±¯ seperti dengan qiy±s, isti¥s±n, masla¥ah mursalah dan ‘uruf.

Abdul W±hhab Khall±f menegaskan bahwa maq±sid al-Syari’ah adalah hal sangat penting untuk memahami redaksi Alquran dan Sunah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentang dan sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung Alquran dan Sunah secara kajian kebahasaan. 28

Al-Sy±tib³ adalah ahli usul fikih yang membahas teori maq±sid al-Syari’ah secara khusus sistematis dan jelas dalam kitabnya al-Muw±faqat. Sebagaimana ulama sebelumnya, ia juga membagi peringkat maslahat menjadi tiga peringkat yaitu «arriyyat, ¥ajiyyat dan ta¥siniyat. Yang dimaksud dengan maslahat baginya adalah memelihara lima aspek utama yaitu, hif§ al-D³n (memelihara agama), hif§ al-Nafs (memelihara jiwa), hif§ al-‘Aql (memelihara akal), hif§ al-Nasl (memelihara keturunan) dan hif§ al-M±l (memelihara harta). 29

Selanjutnya fatwa sendiri adalah salah di antara dari sekian banyak produk yang dihasilkan. Menurut Ahmad Rafiq, jika dalam sepanjang sejarah hukum Islam itu selalu diasosiasikan sebagai produk yang dihasilkan oleh fikih yang merupakan produk ijtihad para imam mujtahid dengan metode istinb±¯ al-A¥k±m, kemudian dalam perkembangan produk pemikiran selanjutnya, tidak lagi didominasi oleh fikih, sebab setidaknya masih ada lagi tiga jenis produk hukum Islam lainnya, yaitu: 30

Pertama, Fatwa yaitu hasil ijtihad seorang mufti sehubungan dengan sebuah persoalan hukum yang diajukan kepadanya. Jadi fatwa itu sendiri lebih khusus dari pada fikih atau ijtihad secara umum. Sebab, boleh jadi sebuah fatwa yang dikeluarkan itu sudah dirumuskan dalam fikih, hanya saja belum dipahami oleh orang meminta fatwa. 31

Kedua, Undang-undang (Qanun) yaitu peraturan yang dibuat oleh badan legislatif (sul¯an al-Tasyri’iyyah) yang mengikat kepada setiap warga negara di mana undang-undang itu sendiri adalah hasil dari ijtihad kolektif (Jama’i).

Ketiga, Keputusan Pengadilan (al-Q±«a’), produk pemikiran ini merupakan keputusan hakim pengadilan berdasarkan pemeriksaan perkara di depan persidangan. Dalam istilah teknisnya disebut sebagai al-Qa«± yang dikeluarkan oleh badan yang diberi kewenangan untuk itu (wilayah al-Qa«±).32

Berdasarkan penjelasan di atas dipahami bahwa fatwa merupakan produk hukum Islam yang dihasilkan dengan metode istinb±¯. Namun berbeda dengan ijtihad, fatwa dihasilkan dengan memilih pendapat mazhab tertentu atau dengan metode istinb±¯ para ulama mazhab.33 Demikian halnya dengan metode fatwa yang dihasilkan dalam setiap fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Fatwa al-Washliyah tetap mengacu dengan metode-metode yang digunakan para ulama mazhab, khususnya dengan bermazhabkan Sy±fi’i.

Sebagai organisasi yang telah menetapkan dalam AD-nya mengutamakan mazhab Sy±fi’i, Dewan Fatwa al-Washliyah diharuskan mengikuti pola penetapan hukum dan fatwa sebagaimana yang ditetapkan para ulama Sy±fi’i dengan memperpegangi kitab-kitab fikih mu’tabarah. Hal ini hanya dilakukan dalam keadaan normal, tidak dalam kepentingan mendesak dan tidak pula untuk kepentingan maslahat semata saja. Namun dalam keadaan tertentu, bisa tidak mengikuti ketentuan yang ada dalam mazhab Sy±fi’i.

Dalam menghadapi masalah-masalah aktual, Dewan Fatwa mempunyai dua pilihan, yaitu: 34

Pertama, tetap berpegang kepada mazhab Sy±fi’i dan mengabaikan kenyataan dan tidak merespon tuntutan zaman. Hal ini dilakukan jika dalam pengimplementasi dan aplikasi hasil fatwa itu dianggap tidak ta’assur atau tidak ta’©©ur umumnya bagi masyarakat dan khususnya bagi pengikut al-Washliyah.

Namun jika ternyata fatwa itu tidak dapat diamalkan atau bermasalah, maka Dewan Fatwa mengambil alternatif yang kedua, yaitu dengan merespon tuntutan zaman dan mencarikan solusinya dengan mengikuti pendapat berbagai mazhab fikih Sunni lainnya. Ini adalah sebuah pergeseran yang telah dilakukan oleh Dewan Fatwa al-Washliyah.

Secara faktual, pergeseran ini terlihat dari fatwa yang dikeluarkan tahun 1998 tentang masalah “pendistribusian zakat untuk pembangunan madrasah dan masjid” dengan mengambil bagian dari f³ sab³lillah, dengan tidak merujuk kepada pendapat mazhab Sy±fi’i. Pendapat ini dikeluarkan dengan ijtihad anggota Dewan Fatwa sendiri. Jika diteliti lebih jauh pendapat ini sebenarnya mengikuti ulama yang meluaskan makna f³ sab³lillah, bukan saja untuk perang di jalan Allah, tetapi juga untuk semua bentuk kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan di jalan Allah dan kepentingan umum.35 Sedangkan dalam mazhab Sy±fi’i f³ sab³lillah, dimaknakan hanya untuk semua kegiatan perang di jalan Allah saja, pendapat ini juga diperpegangi oleh jumhur ulama. Jika mazhab Sy±fi’i ini diterapkan tentu bisa menghilangkan bagian f³ sab³lillah, sebab sangat kecil kemungkinan untuk menemukan kriteria f³ sab³lillah seperti yang dipahami mazhab Sy±fi’i.

Dalam persoalan ¯awaf ifa«ah bagi wanita haid, Dewan Fatwa juga mengikuti pendapat mazhab ¦an±fi 36 yang membolehkannya dengan catatan harus menutupi tempat keluarnya haid dengan baik, agar tidak mengotori masjid. Sedangkan menurut mazhab Sy±fi’i, ¯awaf adalah ibadah seperti shalat yang harus dalam keadaan suci dan wanita yang haid itu tidak boleh melaksanakan ¯awaf, sebab sedang berhadas besar. Namun, jika pendapat mazhab Sy±fi’i yang kemudian diperpegangi, maka akan menimbulkan tidak sahnya haji seseorang, sebab ¯awaf ifa«ah merupakan rukun haji. Implikasinya adalah akan sia-sialah orang yang menunaikan hajinya dengan materi yang cukup besar, apalagi jika haidnya belum habis pada waktu pelaksanaan ¯awaf ifa«ahnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Dewan Fatwa lebih memilih pendapat mazhab ¦an±fi yang lebih maslahat.

Tentang hukum bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya ketika melakukan ¯awaf, fatwa al-Washliyah juga membolehkan untuk mengamalkan mazhab M±liki yang menyatakan bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya tanpa syahwat tidak membatalkan wu«u’.37 Sedangkan menurut mazhab Syafi’³ persentuhan itu dapat membatalkan wu«u’ secara mutlak, baik adanya syahwat maupun tidak. Jika pendapat mazhab Sy±fi’i ini yang diamalkan akan menimbulkan kesulitan bagi yang sedang ¯awaf, sebab ¯awaf dilakukan banyak orang baik laki-laki dan perempuan dan akan sangat sulit untuk tidak bersentuhan antara satu dengan lainnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Dewan Fatwa lebih memilih pendapat mazhab M±liki.

Uraian di atas secara umum telah mendeskripsikan tentang adanya sebuah pergeseran fatwa al-Washliyah yang telah berupaya untuk membuka diri, lebih responsif terhadap perkembangan zaman, tidak kaku dengan hanya berpegang kepada mazhab tertentu saja. Hal ini sebuah keharusan yang harus dilakukan oleh al-Washliyah agar bisa diterima bukan saja oleh warga al-Washliyah sendiri, tetapi juga umat Islam secara umum.

G. Kajian Terdahulu

Penelitian tentang al-Washliyah sebagai organisasi agama yang terbesar di Sumatera Utara belum banyak dilakukan dibandingkan dengan organisasi-organisasi besar lainnya, khususnya organisasi yang lahir di pulau Jawa. Seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, beberapa kajian yang telah dilakukan tentang al-Washliyah antara lain adalah:

Buku yang ditulis oleh Nu’man Sulaiman tahun 1956, seorang ulama dan penulis kreatif al-Washliyah. Buku ini merupakan kado peringatan ¼ abad al-Washliyah berjudul ”Peringatan ¼ Abad Al-Jam’iyatul Washliyah”. Buku ini berisikan sejarah perkembangan dan keberhasilan yang telah dicapai al-Washliyah selama perjalanan 25 tahun.

Kemudian Hasbalah Taib pada tahun 1993, juga meneliti tentang al-Washliyah yang memfokuskan pada penelitian Universitas al-Washliyah (UNIVA) dengan judul “Universitas al-Washliyah Medan Lembaga Pengkaderan Ulama di Sumatera Utara”. Penelitian yang untuk memperingati Universitas al-Washliyah yang ke-34 ini, menyoroti peranan UNIVA dalam upaya menyiapkan tenaga-tenaga ahli dalam bidang dakwah Islam di Sumatera Utara.

Selanjutnya disertasi Chalijah Hasanuddin tahun 1986, yang kemudian dibukukan (1988) yang berjudul “Al-Jam’iyatul Washliyah Api dalam Sekam”. Penelitian ini memfokuskan tentang penyebaran Islam melalui dakwah yang disampaikan para da’i al-Washliyah khusunya di masyarakat Tapanuli Utara yang masih menganut pelbegu. Penelitian ini dibatasi tahun 1930-1942, menurutnya ini dilakukan untuk mempersempit ruang lingkup penelitian agar dapat menjangkau sasaran lebih dalam, juga dengan pertimbangan bahwa tahun 1942 Indonesia beralih kekuasaan dari Belanda ke Jepang yang pada masa pemerintahan Jepang ini al-Washliyah kurang bergerak.

Dalam bentuk tesis ada penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Amin tahun 2000 dengan judul“Kualitas Hadis Dalam Fatwa al-Washliyah 1998 Studi Kritik Sanad”. Penelitinya ingin melihat tentang tingkat dan kualitas hadis yang dijadikan dasar istinb±¯ al-A¥k±m dalam menghasilkan fatwa oleh Dewan Fatwa al-Washliyah.

Selanjutnya tesis yang ditulis oleh Kholidah Nst tahun 2000 berjudul “Metode Ijtihad Al-Washliyah Priode Tahun 1988-1998”. Tesis tersebut membahas tentang bagaimana Dewan Fatwa menyelesaikan berbagai permasalahan hukum yang muncul di masyarakat pada umumnya dan warga al-Washliyah khususnya pada priode 1988 dan 1998 dan juga sejauh mana Dewan Fatwa konsisten mengikuti mazhab Sy±fi’i sebagai rujukannya.

Tahun 2002 ada tesis Muaz Tanjung berjudul “Pendidikan Islam di Medan Pada Awal Abad Ke-20; Studi Historis Tentang Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) 1918-1942”. Meskipun objek penelitiannya tentang lembaga pendidikan MIT. Akan tetapi penelitian ini juga ada relevansinya dengan sejarah awal berdirinya al-Jam’iyatul Washliyah, sebab al-Washliyah didirikan oleh kelompok studi dari murid-murid di MIT (kemudian murid-murid MIT inilah yang menjadi pengurus al-Washliyah). Nama al-Washliyah sendiri diberi nama oleh H. Mahmud Yunus ketua MIT (kemudian menjadi penasehat al-Washliyah).

H. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif rasionalistik yang bersifat deskriptif kasuistik. Metode kualitatif rasionalistik maksudnya adalah bahwa penelitian ini lebih menekankan analisis pada proses penyimpulkan deduktif dan induktif dalam sebuah dinamika hubungan antara fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah yang dibangun dengan kemampuan argumentasi secara logis. Sedangkan kualitatif deskriptif kasuistik adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkaitan dengan suatu fase sfesifik atau khas dari keseluruhan personalitas.

Dalam penelitian deskriptif kasuistik subjek penelitiannya bisa bersifat individu, kelompok atau lembaga dan bisa juga masyarakat, dengan cara menggambarkan dan menjelaskan variabel masa lalu atau masa sekarang. Penelitian ini difokuskan kepada lembaga Dewan Fatwa al-Washliyah, yaitu tentang terjadinya pergeseran yang dilakukan dalam metode istinb±¯ untuk menghasilkan fatwa. Pergeseran itu sendiri terjadi setelah tahun 1997, sehingga penelitian berupaya untuk menjelaskan secara akurat dan sistematis tentang bagaimana metode yang digunakan oleh Dewana Fatwa dalam melakukan istinb±¯ sebelum dan sesudah tahun 1997.



2. Sumber Data

Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah dari mana subjek dari sebuah data itu dapat diperoleh. Karena penelitian ini mengggunakan teknik wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data itu disebut dengan responden. Selain itu penelitian ini juga menggunakan dokumentasi dan catatan, sehingga dokumen atau catatan itu juga menjadi bagian dari sumber data. Peneliti membagi sumber penelitian ini pada tiga sumber, yaitu sumber primer, sekunder dan tertier.

a. Sumber data primer, yaitu sumber data pokok yang diperoleh secara langsung pada subjek sebagai sumber pokok informasi yang dicari. Dalam hal ini data primer berupa hasil fatwa-fatwa yang pernah dikeluarkan oleh Dewan Fatwa al-Jam’iyatul Washliyah, dan semua buku-buku yang berkaitan dengan Dewan Fatwa, serta wawancara yang sifatnya informal sebagai sumber pendukung dan pelengkap dari data yang tidak diketemukan.

b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data tambahan yang melengkapi sumber primer di atas yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu semua buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, berupa AD/ART al-Washliyah dan sebagainya.

c. Sumber data tertier, yaitu sumber pendukung atau pelengkap sumber primer maupun sekunder antara lain: Ensiklopedi, Kamus serta Mu’jam.


3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini secara umum dapat dibagi kepada:

a. Dokumetasi

Dokumentasi ini berasal dari suber atau bahan tertulis, dan dokumentasi yang yang digunakan sebagai sumber bahan informasi adalah dokumen yang bersifat internal yanga terdiri dari laporan-laporan dan keputusan-keputusan yang pernah dihasilkan oleh lembaga fatwa Dewan Fatwa al-Washliyah yang berupa hasil kumpulan fatwa-fatwa tahun 1988 dan 1998 serta pedoman dalam prosedur penetapan fatwa dari Dewan Fatwa.

b. Wawancara.

Penelitian dalam bentuk ini dilakukan karena keterbatasan data yang ada serta untuk menemukan data-data yang tidak ada di dalam sumber fatwa. Pemilihan teknik ini dilakukan karena didasarkan pada dua faktor: Pertama: peneliti melihat bahwa dalam penelitian ini adalah untuk menggali dan menemukan data tentang bagian cara ber istinb±¯ yang dilakukan oleh Dewan Fatwa sebelum dan sesudah tahun 1997, dan pandangan merupakan bagian dari pengetahuan seseorang yang tersirat, maka wawancara dianggap teknik yang apalagi ampuh dalam mengungkapkan hal tersebut. Kedua: karena penelitian ini difokuskan pada subjek-subjek yang memiliki pengalaman dam sekaligus merupakan anggota Dewan Fatwa, di mana pengalaman merupakan peristiwa masa lampau, maka teknik ini pula akan mampu mengakomodir data-data yang bersifat lintas waktu seperti ini.

Adapun jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak terstrukur, meskipun sebenarnya peneliti telah mempunyai rancangan pertanyaan yang akan diajukan kepada sember untuk menjawab permasalahan cara istinb±¯ dan semua permasalahan yang terkait dengan Dewan Fatwa sebelum dan sesudah tahun 1997. Akan tetapi urutan, waktu dan lamanya pertanyaan serta bentuk-bentuk dari pertanyaan ini tidak ditetapkan secara terikat sebelum pelaksanaan wawancara. Wawancara ini ditempuh agar terciptanya suasana keluwesan dalam wawancara, juga dapat pelengkap bisa saja berkembang dan muncul pada saat berlangsungnya wawancara.

4. Pengolahan dan Analisa Data

Setelah data seluruhnya telah terkumpul baik dari hasil wawancara maupun dari dokumentasi yang terkait dengan Dewan Fatwa al-Wasliyah, maka langkah berikutnya adalah mengolah data secara selektif. Penganalisaan menggunakan metode content analysis (analisa isi), dengan maksud agar peneliti dapat menjadikan sumber-sumber fatwa ataupun statement pendapat dari tokoh-tokoh al-Washliyah sekaligus mengambil dan membuatnya berdasarkan isi pernyataan itu. Teknik ini dilakukan untuk memberikan pengetahuan, membentuk wawasan baru serta menyajikan fakta. Selain itu, peneliti juga mengunakan metode deskriptif untuk menguraikan dan menggambarkan sesuatu apa adanya. Kemudian metode deskriptif ini dikombinasikan dengan metode komparatif, yaitu dengan membandingkan pendapat ulama mazhab dari sebuah temuan fatwa yang dihasilkan setelah tahun 1997. Hal ini dilakukan alas an utama mengapa pada sebuah kasus fatwa dari Dewan Fatwa al-Washliyah itu tidak merujuk kepada mazhab Sy±fi’i, tetapi merujuk kepada mazhab lain.

Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Imam Malik | Kosep Ijma' Ahli Madinah, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.

Footnote

[1] Hal ini bisa dilihat pada kajian Marshal Hodgson, The Venture of Islam jil. I. (Chicago: Chichago University Press, 1974), h. 318.

[2] Adalah‘Umar ‘Abd al-Aziz (w.101 H) untuk pertama kalinya yang mempunyai inisiatif melakukan kodifikasi hadis secara resmi, dengan mengirim surat edaran kepada para gubernur di daerah agar menunjuk ulama di tempat masing-masing untuk menghimpun hadis-hadis secara khusus serta menelitinya, untuk mementukan hadis ¡ah³h dan hadis yang tidak ¡ah³h.

أنظر ما كان من حديث رسول الله صل الله عليه وسلم فا كتبه فإنى خِفْتُ دروس العلم وذهاب العلماء ولا تقبل إلا حديث النبىٌَ صل الله عليه وسلم ولتفشوا العلم ولتجلسوا حتى يعلم من لا يعلم فإن العلم لا يهلك حتى يكون سرا

“Periksalah apa yang ada dari hadis Nabi SAW., lalu tulislah, karena aku khawatir akan hilangnya ilmu dan meninggalnya ulama. Janganlah engkau terima, kecuali hadis Nabi SAW. Sebarkanlah ilmu dan selenggarakan majlis ilmu, sehingga orang yang tak berilmu menjadi berilmu, sesungguhnya ilmu itu tidak akan hilang sebelum ia menjadi sesuatu yang rahasia (disembunyikan)”, lihat Muhammad ibn Ismail al-Bukhari. ¢a¥³¥ al-Bukh±r³ (Mesir: D±r al-Ihy± al-Kutub al-‘Arab³yah,t.th.),jil.I. hlm.30.

Di antara gubernur yang tanggap terhadap surat tersebut ialah Abu Bakr ibn Hazm, gubermur Madinah. Ia menugaskan Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w.124H) agar menyeleksi segala yang dinisbahkan kepada Nabi SAW. sejak perintah itu dikeluarkan, kegiatan ilmiah ituberlanjut sampai abad ke 4 dan ke-5 H, sekalipun pemerintahan Islam seringkali berganti dari satu dinasti ke dinasti Islam yang lain dan ibukota negara berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain.

Kodifikasi hadis atau Tadw³n al-¦ad³s pada periode ini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala negara, dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dibidangnya. Bukan yang dilakukan secara perorangan untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi dimasa Nabi saw.

Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Hazm agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Ansari murid kepercayaan Siti Aisyah) dan Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr yang dinilai sebagai orang banyak mengetahui hadis dari pada orang lain. Lihat Muhammad Ajjaj Al Khatib. As Sunnah Qabla Tadwin (Beirut: D±r al-Fikr,1971), hal.329, juga Mustafa As-Siba'i, As Sunnah Wa Makanatuha Fi tasyri'I al Islam (Kairo: D±r al-Qaum³yah, 1949), hlm. 102.





[3] Kota Garnisun berarti kota militer, yang mungkin dalam bahasa arab disebut dengan fusthot

[4] Marshal Hodgson, The Venture of Islam jil. I. (Chicago: Chichago University Press, 1974), h. 318.

[5] Dalam term Ushul Fiqh sering disebut dengan amal Ahli Madinah.

[6] Abdullah Ahmad An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suedy (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 48.

[7] Surat ini dikutip dari Tarikh al-Fiqh al-Islami karya Muhammad Yusuf Musa, h. 203-204 dalam Mushtafa SA’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al- Qawa’id al-Ushuliyah fi Ihktilaf al-Fuqaha’ (Beirut: Muassah ar-Risalah, 1981), h. 457.

[8] Alasan-alasan ini dikutip dari al-Ihkam karya al-Amidi oleh Mushtafa SA’id al-Khin, ibid, h. 458-459.

[9] Al-Amidi, al-Ihkam, juz I, h. 125.

[10] Irsyadul Fuhul, h. 82.

[11] Musthafa SA’id al-Khin, Atsar, h. 459.

[12] Irsyad al-Fuhul, h. 82.

18 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 361.

19 Nukman Sulaiman, Peringatan ¼ Abad Al-Jam’iyatul Washliyah, h. 342.

20 Hasil-Hasil Sidang Dewan Fatwa Al-Jam’iyatul Washliyah Tahun 1998, h. 3-4.

21 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1191.

22 Satria Efendi M Zein, Ushul Fikih (Jakarta: Kencana, 2005), h. 177.

23 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 983.

24 Yusuf al-Qardhawi, al-Fatwa bain al-Indib±t wa al-Tasayyb, terj. Fatwa Ketelitian dan Kecerobohan (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 5.

25 Satria Efendi M Zein, Ushul Fikih, h. 177-178.

26 Ibid.

27 Al-Juwain³ adalah ahli ushul fikih pertama yang menekankan pentingnya memahami maq±sid al-Syari’ah dalam menetapkan hukum. Lihat: al-Juwain³, Al-Burh±n Fi U¡l al-Fikih, Jilid I (Kairo: D±r al-An¡ar, 1400 H), h. 295. Kemudian kerangka berpikir al-Juwain³ dikembangkan muridnya al-Ghazali dalam kitabnya Syif±’ al-Ghal³l, Lihat: Al-Ghaz±l³, Syif±’ al-Ghal³l (Baghd±d: Matba’ah al-Irsy±d, 1971), h. 159. Ahli ushul selanjutnya yang secara khusus membahasnya adalah ‘Izzu al-D³n ‘Abdi al-Sal±m dalam kitabnya Qaw±id al-A¥k±m. Lihat: ‘Izzu al-D³n ‘Abdi al-Sal±m, Qaw±id al-A¥k±m f³ Mas±li¥ al-An±m, Jilid I (Kairo: al-Istiqam±t, t.th), h. 9. Kemudian teori ini dikembangkan dan dibahas secara khusus, sistematis dan jelas oleh Al-Sy±tib³ seorang ulama mazhab M±liki dalam kitabnya al-Muw±fakat yang dalam kitabnya tersebut ia menghabiskan sepertiga pembahasan secara khusus. Sehingga ia lebih dikenal sebagai ulama yang mengembangkan teori maq±sid al-Syari’ah daripada ulama lainnya.

28 Abdul Wa¥¥±b al-Khall±f, Ilm U¡l al-Fikih (Kuwait: D±r al-Qalam, t.th), h. 200.

29 Al-Sya¯ib³, al-Muw±faqat f³ U£l al-A¥k±m, Jilid II (Beirt: D±r al-Fikr, 1347 H), h. 4-5.

30 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2000), h. 8.

31 Pada awal abad ke-19 fatwa-fatwa itu dikeluarkan secara individual, lalu pada abad ke-20 fatwa itu lebih banyak dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa dari organisasi-organisasi Islam.

32 Sebagai pelaksana undang-undang/hukum di negara, atau disebut sebagai pelaksana hukum. Sepanjang sejarah Islam, hakim disebut dengan al-Q±«i, kata al-Q±«i berasal dari kata al-Q±«a yang secara etimologi ”memutuskan”, sedangkan secara terminologi al-Q±«i (hakim) adalah: menghilangkan permusuhan dan memutuskan pertentangan. Lihat Wahbah al-Zuhail³, al-Fikih al-Isl±m³ wa Adillatuhu, Juz IV (Bairt: D±r al-Fikr, 1988), h. 480. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III (Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), h. 70

33 Menurut Fathurrahman Djamil, fatwa ini dinamakan dengan ijtih±d intiq±’³ atau ijtihad tarji¥³, yaitu pola ijtihad yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat ahli fikih terdahulu. Menurutnya, bahwa dalam menghadapi persoalan kontemporer, selain ijtih±d intiq±’³ atau ijtihad tarji¥³, juga sangat dibutuhkan metode ijtih±d insy±’³, yaitu usaha mengambil kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang belum ada dibahas oleh para ahli fikih terdahulu. Dalam hal ini ijtih±d jama’³ (kolektif) mutlak diperlukan, karena keterbatasan pengetahuan seseorang disertai semakin ketatnya displin ilmu. Maka ijtih±d far« (individual) mengenai sebuah kasus yang baru, kemungkinan besar akan membawa kekeliruan. Lihat: Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, h. 31.

34 Ramli Abdul Wahid, “Pedoman Penetapan Fatwa: Pemikiran Responsif Terhadap Masalah-Masalah Aktual”, h. 7.

35 Wahbah al-Zuhail³, al-Fikih al-Isl±m³ Wa Adillatuhu, Juz II ( Bairt: D±r al-Fikr, 1998), h. 875. Alauddin Ab³ Bakar ibn Mas’ud al-K±s±n³, Bad±'i a¡-¢an±'i, Juz II (Bairt: D±r al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), h. 667.

36 Wahbah al-Zuhail³, al-Fikih al-Isl±m³ Wa Adillatuhu, Juz III, h. 148.

37 Ibid, Juz I, h. 274.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved