Dalam menganalisa dinamika dan perkembangan Islam di setiap tahap perkembangannya, kita tidak boleh mengacuhkan kebenaran bahwa setiap dimanmika selalu berhubungan dan dipengaruhi oleh dinamika sebelumnya. Uraian tentang perkembangan Islam pada Abad 21 merupakan rangkaian sejarah yang tidak akan terlepas dari perkembangan Islam pada abad-abad sebelumnya, abad yang sering dinamakan dengan modernisasi, pembaharuan dan sebagainya. Artinya rantai sejarah adalah mutlak mempengaruhi dinamika suatu hal termasuk Islam.
Bila kita melihat sekilas kembali kepada masa-masa keemasan Islam, kita akan melihat bahwa hal tersebut merupakan dampak dari sejarah yang terjadi pada masa sebelumnya. Hal serupa juga terjadi ketika Islam mengalami keterpurukan, keterbelakangan pengetahuan, mobilitas dan moral ketika masyarakat-masyarakat muslim di negara-negara Asia dijajah oleh negara-negara Barat.
Apa yang terjadi dalam pada Islam pada abad 21 merupakan dampak dari segala hal yang sangat komplek yang terjadi pada abad sebelumnya. Munculnya isu-isu sekularisme, terorisme dan sebagainya yang ramai diperbincangkan pada abad 21 merupakan rangkaian peristiwa yang tidak bisa dilihat dari abad 21 saja. Artinya apa yang terjadi pada abad 21 merupakan rangkaian peristiwa yang tidak bisa dilepaskan dari abad-abad sebelumnya. Namun demikian, adalah menarik untuk mengkaji dinamika Islam pada abad 21. Makalah ini akan mencoba mengupas dinamika dan perkembangan Islam pada abad 21 terkait dengan dinamika sosial, agama, ekonomi, politik dan kebudayaan.
B. Islam dan Isu Globalisasi.
Secara tekstual sejak 14 abad yang lalu Alquran telah menegaskan bahwa Islam adalah ajaran universal, dimana misi serta klaim kebenaran ajarannya melampaui batas-batas suku, etnis, bangsa dan bahasa. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika berbagai seruan Alquran banyak sekali menggunakan ungkapan yang berciri kosmopolitanisme ataupun globalisme. Misalnya saja banyak firman Allah yang memulai seruan-Nya dengan ungkapan "Wahai manusia...." Lebih dari itu, karena Islam kita yakini sebagai agama penutup, maka secara instrinsik jangkauan dakwah Islam mestilah mendunia, bukannya agama suku, rasial dan parokhial sebagaimana agama-agama terdahulu yang hanya dialamatkan pada suatu kaum tertentu.
Secara historis-sosiologis, baru abad sekarang ini umat Islam semakin sadar bahwa Islam benar-benar tertantang memasuki panggung dakwah dan percaturan politik yang berskala global, yang antara lain disebabkan oleh revolusi teknologi transportasi dan informatika serta komunikasi. Ketika sistem informasi dibantu dengan satelit, maka planet bumi seakan menjadi kecil. Barangkali hampir seluruh sudut bumi ini, dapat dipotret oleh manusia dan dalam waktu yang bersamaaan gambar dan berbagai penjelasan detailnya bisa disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.
Masyarakat muslim ternyata keteteran menghadapi globalisasi yang dicanangkan oleh negara-negara Barat. Masyarakat Muslim secara keseluruhan tidak bisa mengimbangi laju budaya, informasi, politik dan ekonomi yang dibawa oleh globalisasi.
Masyarakat-masyarakat Muslim pada abad 21 mengalami keterpurukan bila dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lainya. Ketinggalan-ketinggalan ini merupakan akibat dari perkembangan masyarakat yang tidak dinamis-sekali lagi kejumudan pergerakan itu tentu saja merupakan dampak dari berbagai hal yang terjadi pada masa sebelumnya-, tidak mampu berkompetisi dengan masyarakat lainnya.
Globalisasi yang selalu berkonotasi informasi menguasai segala bentuk kehidupan masyarakat dunia, baik kebudayaan, politik dan ekonomi. Ketika Yahudi memasuki jalur Gaza dan mendirikan pemukiman di tanah Palestina, media informasi yang berbasis di Amerika dan negara Eropa lainnya tidak meyebutnya sebagai teoris. Terjadi kepincangan informasi dalam abad globalisasi yang menyudutkan masyarakat Muslim.
Kepincangan informasi yang terjadi pada abad globalisasi merupakan ketidak mampuan masyarakat muslim bersaing dengan masyarakat Barat dalam teknologi informasi. Ketika pusat-pusat pendidikan teknologi di Barat terus berkembang, pusat pendidikan Islam di Timur Tengah dan di tempat lainnya masih berkutat dengan sejarah, pemikiran tokoh-tokoh terdahulu, perdebatan tentang kehendak tuhan dan manusia, perdebatan tentang akal pertama hingga ke-sepuluh, sistem pendidikan pada masa Abbasiyah dan sebagainya yang menunjukkan bahwa masyarakat muslim hanya mampu bercerita zaman keemasan tanpa bisa bersaing secara praktis di dunia nyata.
Jika kita ikuti berbagi jurnal, buku dan komentar para pakar politik dan kebudayaan, setelah berakhirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, perhatian Barat terhadap Islam kelihatan semakin meningkat, baik dalam kontrol positif maupun negatif. Para pengamat politik internasional, di antara yang paling vokal adalah Samuel P Huntington, mengatakan bahwa kini kontak yang intens antara Barat dan Islam muncul kembali dan sisa-sisa benturan masa lalu ternyata masih laten. Tentu saja pernyataan ini perlu dikaji ulang. Namun yang pasti adanya kebangkitan dunia Islam dan kekhawatiran Barat terhadap dunia Islam merupakan kenyataan yang sulit di ingkari.
C. Dinamika Sosial Islam
Agama.
Berbicara tentang dinamika keagamaan yang muncul dan mencuat dalam masyarakat muslim khususnya di Indonesia, kita tidak bisa mengindahkan fenomena-fenomena munculnya nabi-nabi palsu. Fenomena-fenomena kemunculan oknum yang mengaku dirinya sebagai nabi sampai saat ini hanya terdengar di Indonesia
Orang Indonesia yg mengaku dirinya sebagai nabi adalah sebagai berikut:[1]
1. Ali Taetang, berasal dari Banggai pada tahun 1956 ali taetang mendirikan aliran alian Imamullah. Aliran ini didirikan Haji Ali Taetang Likabu di Dusun Sampekonan, Kecamatan Liang, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Tak ada data pasti jumlah pengikutnya tetapi diduga ribuan orang menjadi anggotanya dan tersebar di seluruh Indonesia. Sebelumnya di daerah ini masyarakat menganut animisme, dinamisme, dan mistik. Secara umum ajaran Alian Imamullah sama dengan Islam tetapi paham ini mempunyai dua penyimpangan pokok yakni kepercayaan terbukanya pintu kenabian setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW sehingga Ali Taetang menyebut diri nabi. Kedua, dia mengubah syahadat rasul.
2. Zikrullah Aulia Allah, berasal dari Sulawesi Tengah. Zikrullah Anak kedua dari istri kedua Taetang ini mengaku mendapat wahyu tentang kenabian melalui mimpi. Aliran Zikrullah Aulia Allah baru berdiri pada 29 Agustus 2004 lalu. Aliran ini merupakan versi terbaru dari aliran Alian Imamullah yang didirikan ayahnya, Ali Taetang Likabu pada 1970-an. Pada saat pendirian aliran itu, Zikrullah mengumumkan kenabiannya di atas mimbar Masjid Barokah, Dusun Sampekonan, Desa Labibi, Kecamatan Liang, Kabupaten Banggai Kepulauan. Saat itu, Zikrullah mengaku telah diangkat Allah menjadi nabi meneruskan almarhum ayahnya Ali Taetang Likabu yang juga mengaku sebagai nabi.
3. Dedi Mulyana alias Eyang Ended, berasal dari Banten. Nabi palsu ini sebenarnya malah dukun cabul. ajaran eyang model ajaran agama yang memastikan tentang kiamat dan membolehkan seks bebas.
4. Lia Eden,dengan sekte kerajaan Tuhan berasal dari Jakarta. Lia yang pintar menggubah puisi mengaku mendapat wahyu dari malaikat Jibril.
5. Ahmad Moshaddeq berasal dari Jakarta mengaku dirinya mendapat perintah dari Allah untuk menyatakan kerasulannya dan memurnikan ajaran Musa, Isa dan Muhammad atau Din Al-Islam melalui mimpi setelah bertapa selama 40 hari 40 malam di salah satu villanya di Gunung Bunder, Bogor pada 23 Juli 2006.
Fenomena-fenomena munculnya nabi palsu ini menunjukkan betapa terbelakangnya pengetahuan keagamaan umat Islam. Selain itu, fenomena ini juga menunjukkan adanya kerinduan tokoh sentral dalam Islam yang mampu membawa perubahan yang signifikan bagi kehidupan ummat Muslim.
Selain fenomena nabi palsu, pertikaian aliran-aliran dalam Islam juga masih sering terjadi. Di Iran, kontak fisik antara penganut Syi’ah dan Sunni masih terdengar di berita hingga sekarang ini.
Politik.
Berbicara hubungan internasional seharusnya berbicara tentang hubungan antar negara, baik dalam kebudayaan, ekonomi, politik dan sebagainya. Akan tetapi, memang selalu terdapat penekanan-penekanan bahwa dalam hubungan negara-negara Eropa dengan negara-negara selain Barat yang dihuni oleh mayoritas masyarakat Muslim merupakan hubungan antara Barat dengan Islam, bukan hubungan negara dengan negara. Setidaknya begitulah yang ada di benak para sarjana muslim.
Ketegangan hubungan Islam dan Barat.
Ketika kita mencermati keseluruhan sisi konfrontasi antara Islam dan Kristen pada Abad pertengahan, menjadi jelas buat kita bahwa pengaruh Islam atas dunia Kristen Eropa lebih besar ketimbang yang selama ini kita sadari. Bersama-sama Islam, Eropa barat tidak saja menikmati produk-produk material dan temuan-temuan teknologi: Islam bukan saja mendorong tumbuhnya intelektualisme Eropa, dalam lapangan-lapangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Di samping itu Islam telah mendorong Eropa untuk membentuk citra baru mengenai dirinya sendiri.[2]
Walaupun mempunyai akar teologis yang sama dan terjadi interaksi selama berabad-abad, hubungan Islam dengan Barat seringkali ditandai dengan saling tidak tahu, saling memberi stereotype, menghina dan konflik.[3]
Invasi kerajaan Islam yang berlangsung begitu cepat di wilayah Eropa -terutama Spanyol, Italia, Sisilia, dan Mediterania, yang disertai perkembangan pesat peradaban Islam-menimbulkan bahaya langsung di pihak Kristen di seluruh dunia, baik secara teologis maupun politis. Seperti yang diamati oleh Maxim Rodinson, “kaum Muslim merupakan ancaman terhadap Kristen Barat jauh sebelum mererka sendiri jadi masalah.[4]
Persamaan teologis yang ada antara Kristen, Yahudi (Yudaisme), dan Islam bisa berwajah ganda: satu sisi bisa menjadi pendorong integrasi, tapi di sisi lain bisa menimbulkan benturan-benturan, karena masing-masing dari mereka saling mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar di hadapan Tuhan, sementara yang lainnya sudah mengalami penyelewengan.
Ketegangan yang paling menonjol dan mempunyai dampak yang berlarut-larut bagi hubungan Islam-Barat adalah Perang Salib. Bagi kaum Muslim misalnya, kenangan mengenai Perang Salib itu tetap hidup dan menjadi representasi Kristen militan yang menendai awal agresi dan imperialisme Barat Kristen, kenangan yang hidup akan permusuhan awal Kristen terhadap Islam.[5]
Ketegangan hubungan ini kemudian diperparah oleh situasi konflik di kawasan Timur Tengah. Dalam pertikaian antara negara-negara Arab melawan Israel pada tahun 1968, Barat secara kasatmata memberikan dukungan terhadap Israel, suatu langkah yang semakin menumbuhkan kebencian Arab (Islam) terhadap Barat.
Dalam konflik Israel-Palestina, Amerika dan sekutu-sekutunya yang sebagian besar negara Barat, cenderung memperlakukan Palestina secara tidak adil. Politik standar ganda Amerika, di satu sisi secara gigih menyuarakan demokrasi dan penegakkan hak-hak asasi manusia (HAM), tapi di sisi lain memberi dukungan agresi Israel terdapa Palestina, telah memunculkan kebencian di negara-negara Islam. Kebencian ini tak jarang diekspresikan dengan tindakan anarkis, atau bahkan teror dan ancaman gangguan keamanan terhadap kepentingan AS dan negara Barat lain.
Artinya, tindakan teror tersebut, kalaulah benar pelakunya adalah para militan Islam, pada hakikatnya tidak terkait dengan doktrin Islam, melainkan lebih karena dampak dari kebijakan politik global yang diwakili AS dan sekutunya yang tidak adil. Dominasi negara adikuasa yang tak terkontrol dan mengabaikan hukum internasional telah berdampak pada lahirnya mekanisme kontrol yang inkonvensional, antara lain dalam bentuk kekerasan dan teror.
Kesimpulan itu sejalan dengan pendapat ilmuwan kelahiran Norwegia yang banyak mendapatkan penghargaan di bidang kemanusiaan dan perdamaian, Johan Galtung. Meskipun dunia saat ini ditandai dengan munculnya aliran-aliran fundamentalisme, namun, menurut Galtung, teror-teror dan kekerasan yang menonjol belakangan, -seperti Teror 11 September 2001 dan lain-lain--terkait dengan globalisasi atau kebijakan luar negeri AS. Dibandingkan serangan yang dilakukan teroris, kata Galtung, terorisme negara yang dilakukan AS jauh lebih berbahaya karena menggabungkan fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Serangan AS terhadap Afghanistan memenuhi kriteria tindakan teroris. Akan halnya teror Bali, Galtung melihat kemungkinan terkait dengan fundamentalisme agama, tapi, kata dia, belum tentu pelakunya fundamentalis Islam.[6]
Di sisi lain, masih banyak juga kalangan umat Islam yang beranggapan bahwa sampai saat ini Perang Salib belum berakhir. Perang yang dilakukan negara-negara Barat melawan Irak, kekerasan yang dilakukan pada kaum muslim di Bosnia dan Chechnya, penerapan sanksi terhadap Libya, memberikan kesan yang kuat pada umat Islam bahwa Perang Salib masih berlangsung.
Dengan dalih bahwa Amerika adalah musuh Islam, Osama bin Laden, dalam pidatonya yang disiarkan al-Jazira Minggu malam (7 Oktober 2001), menyatakan syukur alhamdulillah atas tindakan teror yang meluluhlantakkan menara kembar World Trade Center (WTC) di Manhattan.
Namun demikian, menurut Osama, apa yang Amerika rasakan sekarang (setelah peristiwa 11 September 2001), tidaklah berarti dibandingkan dengan apa yang dirasakan umat Islam selama bertahun-tahun. Bangsa-bangsa Islam masih merasakan penghinaan dan keperihan selama 80 tahun lamanya. Putra-putri mereka dibunuh, darahnya ditumpahkan, pemukimannya diserang, dengan tanpa seorang pun mendengarnya, tak seorang pun memperhatikannya. Jutaan anak di Irak, Pelestina, Bosnia, Chechnya, dan lain-lain dibunuh tanpa dosa. Tank-tank Israel yang didukung AS mencaplok Palestina -di Jenin, Ramallah, Rafah, Bait Jalla, dan tempat-tempat lainnya di wilayah Islam.[7]
Karena itu, Presiden AS, George Walker Bush, pun -entah disengaja atau tidak, atau lantaran merespon pernyataan Osama--menyatakan bahwa perang melawan teroris merupakan crusades (Perang Salib).
Pandangan serta sentimen negatif antara kedua pihak menyebabkan rasa permusuhan yang terpendam. Implikasi dari kondisi semacam ini akan melahirkan prasangka buruk yang sering menjadi hambatan bagi perbaikan hubungan di antara keduanya.
Meskipun agama Islam menurut Al-Quran mengajarkan tentang dirinya sebagai kelanjutan dan perkembangan agama Kristen, kaum Kristen tidak dapat menerima, dan tetap memandang Islam sebagai agama baru dan tampil sebagai tantangan kepada Kristen. Demikian juga sbaliknya, meskipun Kristen -juga Yahudi--disebut dalam Al-Quran sebagai “Ahli Kitab” yang memeluk agama nabi-nabi terdahulu, umat Islam menganggap kedua agama itu telah diselewengkan dan sudah jauh dari perspektif agama yang hanif sebagaimana disebutkan Al-Quran.
Sejatinya, ketika Islam berada dalam masa-masa keemasan pada abad ke-8, populasi Islam dan Kristen Eropa relatif seimbang, masing-masing memiliki sekitar 30 juta penduduk. Bahkan kota-kota di negara Islam saat itu menjadi pusat perekonomian dunia. Waktu itu ada sekitar tigabelas kota Islam dengan lebih dari 50.000 penduduknya, termasuk Iskandaria, Bagdad, Kairo dan Mekah. Sedangkan benua Eropa yang relatif maju hanyalah di wilayah Barat, dan itupun mereka cuma punya kota Roma.
Tak lama setelah Perang Salib berlalu, Eropa sekali lagi harus berhadapan dengan ancaman kekuatan kaum Muslim yang berupa kerajaan Utsmaniyah. Kerajaan ini merupakan salah satu di antara tiga kesultanan besar Muslim abad pertengahan: Utsmaniyah, Safawiyah di Iran, dan Mogul di India.
Setelah merebut Konstantinopel pada tahun 1453, Utsmaniyah mulai membangun negara besar yang benar-bernar terorganisasi, hierarkis, dan efisien. Ibukota negaranya, Istambul, berpenduduk kurang lebioh 700.000, dua kali lebih besar dari penduduk negara lawan, Eropa. Istambul menjadi pusat kekuasaan dan kebudayaan internasional.
Dari Konstantinopel, kerajaan Utsmaniyah terus bergerak menyempurnakan ekspansi atas wilayah Balkan. Dalam setengah abad kemudian Ustmaniyah telah menguasai Yunani, Bosnia, Herzegovina, dan Albania. Kesuksesan Utsmaniyah ini tak lepas dari dukungan politik dari budak-budak kewargaan Bizantium, dan tokoh-tokoh Kristen yang tergabung dalam tugas kemiliteran dan administrasi imperium Ustmaniyah. Kerajaan Ustmaniyah juga melindungi Gereja Ortodoks Yunani dengan konsesi mendapatkan dukungan ndari masyarakat Balkan.[8]
Sayangnya, dalam perjalanan abad-abad berikutnya, disebabkan karena kekalahan dan kehancuran pusat-pusat peradaban Islam, Eropa kembali mendominasi seraya mengembangkan teknologi seperti alat pembajakan modern bagi tekstur tanah yang keras hutan-hutan kawasan Utara benua itu. Jumlah penduduknya pun tumbuh pesat setelah abad ke-10, hingga mencapai sekitar 100 juta pada awal abad ke-17.
Sementara di wilayah Islam, telah terjadi fenomena sebaliknya. Secara geografis, mereka dibatasi dan dikelilingi oleh kegersangan dan keterbatasan sumber daya alam, seperti hutan untuk kebutuhan akan kayu. Jumlah populasi Islam tidak mengalami perkembangan yang berarti hingga berabad-abad. Pada saat Barat mengalami kemajuan tajam pada akhir abad ke-19 dengan kemajuan revolusi industri dan teknologi yang dijalankannya, kawasan Islam masih belum beranjak dari derita keterbelakangannya.
Ada yang berpendapat bahwa awal mula kesulitan yang melilit masyarakat Islam untuk berkembang adalah dikarenakan Islam tidak dilibatkan dalam membangun rute perjalanan laut Afrika hingga Asia, khususnya oleh pelayar Portugis Vasco da Gama, pada akhir abad le-15. Waktu itu da Gama berupaya menyatukan Eropa dan Asia melalui perdagangan lewat jalur samudera yang seluruhnya mengambil jalan pintas rute-rute Jalur Sutera dan Laut Merah Asia Tengah serta Timur Tengah.
Kesulitan semakin mencekik setelah usaha kontrol yang dilakukan Islam terhadap perdagangan samudera Hindia akhirnya jatuh juga pada kekuasaan angkatan laut Eropa yang tangguh. Dan upaya perbaikan perdagangan pada saat yang sama yang dilakukan Islam atas Terusan Suez melalui Laut Merah pada 1869 sudah sangat terlambat. Eropa saat itu telah menang dan akan terus mengontrol Terusan Suez dan perdagangan-perdagangan jalur laut serupa melalui pendudukan militer dan kontrol finansial.
Pada akhir abad ke-19, saat keruntuhan akhir Kerajaan Utsmaniyah di Turki, Eropa memiliki sumber daya alam yang relatif melimpah: batubara, gas-air, kayu, dan biji besi. Sedangkan negara-negara Islam hanya memiliki sedikit dari stok kebutuhan abad ke-19 tersebut untuk menyokong industrialisasi. Sementara penemuan ladang-ladang minyak di negara-negara Islam baru dieksplorasi setelah Eropa telah menggenggam kontrol kolonial. Maka tak perlu disesali jika pada abad ke-20 negara-negara Islam telah kehilangan kontrol atas rute-rute perdagangan, komoditas-komoditas primer seperti minyak, dan bahkan kedaulatan mereka sendiri di banyak wilayah. Negara-negara Islam secara sempurna berada di bawah kontrol Barat.
Kekalahan politik umat Islam yang berdampak pada hubungan Islam-Barat yang tak seimbang, telah mendatangkan blessing in disguise (rahmat terselubung) berupas tumbuhnya kesadaran untuk kembali mengembangkan agamanya melalui pengembangan budaya dan ilmu pengetahun. Maka belakangan ini telah muncul pusat-pusat Islam di berbagai negara-negara Barat.
Pusat-pusat Islam, ditambah migrasi sejumlah kaum Muslim ke negara-negara Barat, dalam beberapa tahun terakhir, telah mendorong tumbuhnya populasi Islam di berbagai negara Eropa sehingga Islam sudah berkembang menjadi agama terbesar kedua setelah Kristen dan menjadi agama dengan kemungkinan perkembangan terbesar. Di negeri Belanda yang berpenduduk sekitar 15 juta jiwa, misalnya, dalam waktu 10 tahun ke depan diperkirakan jumlah kaum Muslim sudah akan menyamai jumlah penganut agama Kristen.
Perkembangan positif dari populasi Islam ini, telah memunculkan upaya-upaya dialog yang konstruktif antara Islam dan Barat. Di negara-negara Eropa, dan juga di Amerika, dialog antara Islam dan Barat terus bergulir dalam berbagai format. Substansinya tetap, mencari titik-titik temu di antara dua peradaban besar itu, agar para pendukungnya dapat terus bergandengan tangan dan bekerja sama untuk meraih masa depan yang lebih cemerlang.
Baik Islam maupun Barat tampaknya sudah menyadari bahwa ekspansi militer, sebagaimana yang dilakukan imperium Islam pada abad pertengahan, dan oleh Barat terhadap negeri-negeri Muslim pada abad ke-19 dan ke-20, telah mewariskan dendam kesumat yang berkepanjangan. Dan, bangsa-bangsa Barat sekarang ini, tentunya tak mau negeri-negeri mereka yang makmur kembali bersimbah darah gara-gara perang bernuansa ras dan agama, seperti yang kini masih terjadi di berbagai tempat lain di dunia, termasuk di Indonesia.
Untuk mencegah meluasnya kemungkinan buruk itu, sekarang ini telah bermunculan lembaga-lembaga di luar sektor negara yang bertujuan mebangun dialog antar-peradaban. Di Indonesia misalnya, lembaga-lembaga seperti International Center for Islam and Pluralism (ICIP), Indonesian Conference of Religious and Peace (ICRP), Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA), Dialog Antar Iman (DIAN), Center for Moderate Muslim (CMM), dan Maarif Institute for Culture and Humanity, yang masing-masing berupaya mengambangkan pemahaman dan peradaban Islam yang ramah dan toleran, diharapkan ikut memberi andil yang signifikan dalam membangun kehidupan bersama yang damai, termasuk dalam hal hubungan Islam dan Barat.
Terorisme
Tidak ada istilah yang serumit “terorisme”. Istilah tersebut bukan sekadar istilah biasa, melainkan wacana baru yang ramai diperbincangkan khalayak dunia dan mempunyai impilikasi besar bagi tatanan politik global. Terorisme bukan sekadar diskursus, akan tetapi sebuah gerakan global yang hinggap di mana pun dan kapan pun.
Bila mengkaji tentang perkembangan politik Islam, khususnya dengan hubungannya dengan negara-negara Barat, maka isu terorisme adalah salah satu isu yang paling menarik. Isu terorisme selalu menjadi alasan negara-negara Barat untuk menyudutkan negara-negara atau kelompok-kelompok Islam demi kemananan dunia.
Saat ini, di mata politik negara Amerika Serikat, Islam identik dengan terorisme. Hegemoni Amerika dalam mengopinikan Islam telah membawa dampak yang sangat besar terhadap Islam.
Tampaknya, lemahnya sikap politik negara-negara muslim telah mendorong beberapa pihak seperti Osamah, Abu Hamzah dan sebagainya untuk melakukan aksi perlawanan atas perlakuan negara Barat terhadap negara-negara Islam dengan kekerasan. Perlawanan yang dilakukan beberapa kelompok ini memang cukup signifikan. Ada ratusan peristiwa “terorisme” yang umumnya ditujukan untuk melawan sikap politik negara-negara Barat, khususnya Amerika, mulai dari serangan terhadap WTC, Pentagon, pemukiman pekerja minyak di Arab Saudi, kedubes-kedubes dan sebagainya.
Islam pada abad 21 harus menghadapi streotip “teroris” yang disandangkan pada dirinya. Streotip ini memang sangat merugikan bagi perkembangan Islam. Serangan Amerika terhadap Afganistan contohnya, yang beralasan untuk memberantas teroris.
Terorisme kian mencuat ke permukaan, tatkala gedung pencakar langit, World Trade Center (WTC) dan gedung Pentagon, New York, hancur-lebur diserang sebuah kelompok, yang sampai detik ini masih misterius. Jaringan internasional al-Qaedah sering disebut-disebut sebagai aktor di balik aksi penyerangan tersebut. Pada titik ini, terorisme kian dipertanyakan dan dipersoalkan.
Pengeboman bus turis asing di Kairo, penembakan para turis di Luxor, Mesir, pengeboman kedubes AS di Kenya dan insiden yang serupa merupakan salah satu bentuk aksi-aksi terorisme. Pada titik ini, terorisme mendapatkan sorotan serius dari masyarakat dunia, bahwa cara-cara yang ditempuh para teroris dapat mewujudkan instabilitas, kekacauan dan kegelisahan yang berkepanjangan. Masyarakat senantiasa dihantui perasaan was-was dan tidak aman.[9]
Ekonomi.
Sebagai salah satu fondasi kehidupan masyarakat, ekonomi Barat juga mendominasi dunia perekonomian Islam. Pusat-pusat industri terbesar di dunia tidak ditemukan di negara-negara yang dihuni masyarakat Islam. Bahkan industri-industri besar yang terdapat di negara-negara Muslim tidak lepas dari campur tangan orang-orang Eropa. Lebih menyedihkan lagi, industri perminyakan yang seharusnya dikuasai penuh oleh masyarakat Islam ternyata tunduk di bawah kebijakan perekonomian Barat. Di Arab Saudi, terdapat sebuah pemukiman yang dikhususkan untuk enginer perminyakan yang berasal dari Eropa. Di Indonesia, tambang Emas terbesar dimiliki oleh orang-orang Amerika.
Pada tataran yang lebih mikro, daya beli masyarakat Islam masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan masyarakat Eropa. Standar kehidupan masyarakat muslim jauh di bawah standar kehidupan masyarakat Eropa. Sekali lagi, salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah fakta bahwa segala yang bercorak Barat laku dijual di pasaran.
Pendidikan
Adalah susah untuk menjelaskan bagaimana dinamika pendidikan Islam berkembang pada abad 21, kecuali hanya sebatas opini-opini, karena abad 21 memang baru saja dimulai. Kita hanya bisa memperkirakan bagaimana dinamika pendidikan Islam nantinya.
Namun dapat dikatakan bahwa apabila pendidikan Islam hanya berkutat pada masalah romatisme kemenangan Islam pada masa lampau, maka masyarakat muslim pada abad 21 tidak akan jauh berbeda kondisinya dengan kondisi satu hingga dua abad silam. Di lingkaran pendidikan Islam, kita sering mendapatkan kajian tentang bagaimana konstribusi Islam atas kejaan Barat, tanpa memikirkan bagaimana sebaliknya. Pendidikan Islam-layaknya sekarang ini-akan bercorak pendidikan masyarakat yang lebih maju seperti pada masyarakat Eropa.
Masyarakat Sosial
Salah satu akibat dari globalisasi adalah interaksi budaya. Pertukaran budaya yang dibatasi oleh batas-batas negara merupakan salah satu aspek yang sering dan bahkan lazim dalam hubungan dua kebudyaan yang berbeda. Pada abad ke-20, Media massa secara sederhana telah menjadi alat imperialisme kultural, yang sebelumnya dilakukan melalui interaksi perorangan seperti melalui perdagangan, missi relijius, misi diplomatis dan perdagangan, penaklukan, pembelian teroterial dan pemberian hadiah, juga akan membawa kultur dominan kepada kultur minoritas di daerah tersebut. [10]
Dengan melihat ke belakang, seperti pada awal tahun 1972, diadakanlah conferrensi Unesco yang merupakan bentuk perhatian dalam hal dominasi media Barat dalam membentuk opini dunia. Kemampuan media massa untuk diserap oleh masyarakat merupakan salah satu bentuk hegemoni Barat di masa lalu, hal ini diidentifikasi sebagai sumber utama dominasi kultural Barat atas Timur yang ini kemudian mengkibatkan munculnya detoriorasi nilai kebudaayaan dalam masyarakat dunia dunia ke-tiga.
Maraknya sajian-sajian budaya dan gaya hidup yang disajikan kepada masyarakat muslim menyebabkan masyarakat Muslim pada abad 21 seolah kehilangan identitas kebudayaannya. Media massa internasional yang berhasil menyentuh masyarakat-masyarakat di lain benua tidak hanya menyajikan politik akan tetapi juga gaya hidup dan kebudayaan.
Pengaruh kebudayaan Barat terhadap Islam tidak terbatas kepada kelompok-kelompok khusus masyarakat akan tetapi semua lapisan, akademis, ulama, anak-anak, remaja maupun dewasa, dalam hal berkomunikasi, bertindak, berpakaian dan berpikir.
Di dalam tataran masyarakat, identitas kebudayaan Islam dikalahkan oleh identitas kebudayaan Barat. Konten-konten kebudayaan Islami nampaknya hanya bisa bertahan dalam tingkat kehidupan personal masyarakat Muslim atau paling tidak di dalam keluarga.Kebudayaan keTimuran yang sering dikatakan sebagai kebudayaan Islam tidak mampu bersaing dan bertahan di dalam diri masyarakat muslim.
D. Penutup.
Kajian menarik dinamika perkembangan Islam abad 21 terfokus kepada beberapa isu yang mencuat dalam Islam dan di luar kalangan Islam yang terkait dengannya, seperti isu terorisme, ketegangan hubungan antara Islam dengan Barat, dominasi Barat atas Islam dalam ekonomi, politik dan kebudayaan. Isu penting lainnya yang menjadi sorotan pemerhati perkembangan Islam khususnya dalam hubungannya dengan Barat adalah media informasi yang menjadi sarana dan perluasan ide-ide dan kebudayaan Barat.
Tampaknya, Islam harus berusaha keras untuk bisa menghadapi abad 21 yang penuh dengan tantangan teknologi dan informasi global yang mengalir tidak seimbang. Kegagalan ummat muslim dalam berkompetisi dengan masyarakat lainnya merupakan dampak dari stagnasi pemikiran dan pergerakan Islam pada abad-abad sebelumnya.
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Makalah| Perkembangan Islam Abad 21 dalam sejarah, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini. |
Daftar Pustaka dan Footnote