Aneka Ragam Makalah

Pragmatisme William James



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Bahwa di dalam kehidupan negeri yang relatif masih muda (Amerika Serikat), kita telah mendapati orang-orang yang terkemuka di bidang ini. Untuk itu muncullah William James, James tidak hanya memiliki pemahaman eksistensi yang membuatnya sebagai teman kontemporer kita, tetapi ia juga memiliki beberapa pandangan penting yang dapat membantu ketika kita mencari arti kehidupan di dunia kebebasan secara lebih spesifik, dan James sangat terkesan dengan signifikansi positif dari kehidupan beragama manusia, dan ia membuat usulan yang mungkin membantu kita dalam menilai kesadaran kita tentang Tuhan, untuk itu marilah kita kupas tentang ide-ide James.


A. Pengertian Pragmatisme

Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari kata Yunani. Makna pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Dan aliran ini menekankan pada praktik dalam mengadakan pembuktian pembenaran dari sesuatu hal yang dapat dilihat dari tindakannya yang praktis atau dari segi kegunaan.

Menurut pragmatisme, berpikir itu mengabdi pada tindakan, dan tugas pikir itu untuk bertindak. Hal ini mengakibatkan tindakan-tindakan itu menjadi kriteria berpikir dan kegunaan. Dengan kata lain, hasil dari tindakan itu menjadi suatu kebenaran.

Sebagai aliran filsafat, pragmatisme berpendapat bahwa pengetahuan mencari, bukan sekedar untuk tahu demi tahu, melainkan untuk mengerti masyarakat dan dunia. Pengetahuan bukan sekedar objek pengertian, permenungan atau kontemplasi, tetapi untuk berbuat sesuatu bagi kebaikan, peningkatan serta kemajuan masyarakat dunia. Pragmatisme lebih memprioritaskan tindakan daripada pengetahuan dan ajaran, dan kenyataan pengalaman hidup di lapangan daripada prinsip muluk-muluk yang melayang di dunia. Oleh karena itu, prinsip untuk menilai pemikiran, gagasan, teori, kebijakan, pernyataan tidak hanya cukup berdasarkan logisnya dan bagusnya rumusan-rumusan tetapi berdasarkan dapat-tidaknya dibuktikan, dilaksanakan dan mendatangkan hasil.


B. Biografi William James

William James lahir pada tanggal 11 Januari 1984 di New York City. Ayahnya, seorang kaya raya yang mandiri, adalah seorang penulis masalah-masalah teologis. Masa pendidikan awal James terkadang terganggu, ia mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang luas dan bervariasi, ia dapat belajar bahasa Perancis dan Jerman. Pada tahun 19864, ia sangat tertarik pada seni, tetapi sains menang dan ia masuk Harvard Medical School dengan mendapatkan gelar M.D pada tahun 1869. Pada tahun 1872 ia menjadi seorang guru psikologi di Harvard. Dorongan dan pluralisme dari komunitas akademik ini terbukti menjadi latar belakang bagi James. Di samping menaruh perhatian pada struktur tubuh, ia terpukau dengan persoalan struktur pikiran dan emosi manusia dan berbagai variasi pengalaman manusia. Ia juga disulitkan dengan masalah yang berkenaan dengan perdebatan antara kebebasan dan determinisme, kemungkinan kebenaran pasti, dan realitas Tuhan.

Pada tahun 1875, ia mengajar kursus psikologi, dan ia mulai memberikan kursus filsafat di Harvard, tentang esai-esai yang mengenai perdebatan determinisme-kebebasan, sifat rasionalisme dan kesesuaian antara sains dan agama pada tahun 1880-an.



C. Karya-karya William James

Karya-karya yang paling penting dimana ide-ide ini dikembangkan mencakup beberapa hal, yakni :

1. The will to be believe, (1897)

2. The Variety of Religious Experience (1902)

3. Pragmatism (1907)

4. A Pluralistic Universe (1909)

5. Essay in Radikal Empirism (1912), setelah James meninggal.


D. Pemikiran William James

Untuk menjelaskan pandangan-pandangan yang dikemukakan James, kita harus mulai dengan teorinya tentang kesadaran, yang sebagian besar dikembangkan secara lengkap di dalam The Principles of Psychology. James percaya bahwa psikologi dan filsafat erat-terkait melalui cara berikut: keduanya perlu menekankan deskripsi tentang pengalaman manusia dan juga tujuan menemukan penjelasan kausal.

Setelah menerbitkan The Principles of Psychology, James mempersembahkan dirinya lebih lanjut di dalam penjelajahan filosofis. Namun, ini tidak berarti bahwa ia memutuskan diri dari perhatian awalnya pada psikologi dan fisiologi. Dalam kenyataannya, karya filosofisnya dapat dipandang mengambil beberapa cabang sentral dari penekanan awalnya pada satu ide : bahwa kesadaran manusia adalah sebuah kekuatan aktif, selektif, bertujuan, yang dengannya manusia membentuk sebuah lingkungan yang religius dan lunak menjadi pola-pola yang bermakna. Dari fondasi ini, tulisan-tulisan lima belas tahun terakhir dari hidup James berpusat pada (1) arti penting pilihan dalam menentukan kepercayaan kita, (2) penilaian tentang hidup religius manusia, (3) hakikat makna dan kebenaran, dan (4) perkembangan sebuah metafisika pluralistik (yakni sebuah pandangan yang menekankan otonomi dan independensi hal-hal individual di alam semesta, hubungan dan ketergantungannya satu sama lain).

Ia juga meletakkan prinsip ini ke dalam praktek dan menunjukkan lima karakteristik dasar kesadaran dan pikiran kita, yaitu :

1. Pikiran bersifat personal-pengalaman diatur, keduanya memiliki seseorang.

2. Pikiran dan pengalaman berada di dalam perubahan yang konstan. Tidak ada dua pengalaman yang pernah identik, “sebuah keadaan yang telah berlaku tidak akan pernah kembali dan identik dengan apa yang sebelumnya”. James tidak mengingkari bahwa mengalami obyek yang sama sekali, tapi pengalaman kita tentang sebuah obyek memiliki sifat yang berbeda pada kesempatan-kesempatan yang berbeda.

3. Ada keberlanjutan dan juga perubahan di dalam pikiran dan pengalaman

4. Pikiran bersifat kognitif, dan pikiran berkenaan dengan sesuatu selain dirinya sendiri

5. Kesadaran bersifat selektif, kesadaran berkonsentrasi pada beberapa hal dan mengingkari beberapa hal yang lain.

Pemikiran James tentang karya-karyanya

Sikap yang dianut James digambarkan di dalam esainya “The Will to Believe”. Di dalam esai ini, ia menegaskan bahwa ada waktu-waktu ketika kita dihadapkan pada situasi di mana kita harus membuat keputusan tanpa memiliki semua bukti yang mungkin kita kuasai. Kehidupan tidak selalu memberi kita kemewahan menunggu hingga kita mendapatkan data yang meyakinkan, yang mendukung jalan tindakan yang benar. Tujuan James adalah menggambarkan beberapa karakteristik dasar situasi semacam itu, dan mempertahankan pandangan bahwa arah tindakan rasional di lingkungan ini tidaklah berarti melarikan diri dari realitas dengan mengklaim perlunya keharusan menunggu bukti yang lebih obyektif sebelum memutuskan apa yang harus dilakukan.

The Varieties of Religious Experiences memuat usaha besar James untuk menilai arti agama dalam kehidupan manusia. Seperti Nietzsche, James menilai agama dari segi kontribusinya pada keutamaan manusia, tetapi kesimpulan yang diambil James berbeda dari para filosof Jerman pada masanya. Perbedaan ini sebagian besar dikarenakan fakta bahwa ideal James lebih demokratis dibandingkan ideal Nietzsche. James tentu memuji nilai individu-individu yang istimewa, tetapi ia memberi penekanan yang lebih jelas dan lebih kuat pada arti penting dan integritas setiap kehidupan manusia, perlunya manusia bekerja bersama guna menghasilkan yang terbaik, dan kebutuhan untuk menetapkan sebuah lingkungan di mana kebebasan personal dan kesatuan sosial melengkapi satu sama lain.

Di dalam bukunya Pragmatism, James membicarakan konsep pragmatis tentang kebenaran dalam satu bab. Di dalam The Meaning of Truth ia menjelaskan bahwa sekurang-kurangnya ada delapan hal yang disalahpahami orang tentang ajarannya. Suatu kritik, misalnya, mengatakan bahwa pragmatisme hanya menerangkan bagaimana kebenaran datang; tidak menjelaskan apa kebenaran itu sesungguhnya.

Karangannya, Essay in Radical Empirism a Pluralistic Universe, dan karyanya, Some Problems of Philosophy, membicarakan pertumbuhan pandangannya tentang pragmatisme di dalam metafisika dan epistemologi. Pragmatisme, menurut pendapatnya, memberikan suatu jalan untuk membicarakan filsafat dengan melalui pemecahan lewat pengalaman indera. Akan tetapi, ini ternyata tidak mencukupi untuk James karena ia menyadari bahwa pragmatisme juga mampu menghubungkan satu dengan lainnya. Jawaban yang harus diberikan ialah mengenai pandangan yang pasti tentang alam semesta. Pandangan ini tentu saja suatu metafisika.

Pemikiran William James adalah empirisme yang radikal atau empirisis yang pragmatis. Kepribadiannya dan pandangannya tentang manusia memerlukan suatu filsafat yang dapat berlaku adil pada perasaan keagamaan, moral dan kepentingan manusia terdalam. Ia memerlukan suatu filsafat yang pantas, yang dapat menghadapi kenyataan secara terus terang. Ia mencurigai setiap sistem filsafat yang murni intelektual atau yang mengaku benar secara absolut. Filsafat yang tidak selesai serta tidak absolut, itulah filsafat yang diakuinya, tetapi filsafat itu harus menyertai kehidupan manusia dan masa depannya. Filsafat harus membantu manusia menyelesaikan masalah yang dihadapinya, memberikan kepada manusia harapan yang optimistis dalam kehidupan yang vital.

Bahwa pragmatisme James itu bersifat voluntaristis, penekanannya pada pentingnya faktor usaha dan kesukarelaan dalam keputusan dan memperjelas sesuatu.

Tentang etikanya

Bahwa kaum pragmatis berpendapat bahwa yang baik adalah yang dapat dilaksanakan dan dipraktekkan, mendatangkan yang positif dan kemajuan hidup. Karena itu, baik-buruknya perilaku dan cara hidup dinilai atas dasar praktisnya, akibat tampaknya, dampak positifnya, manfaatnya bagi orang yang bersangkutan.


KESIMPULAN

Bahwa dalam pemikiran William James ada beberapa pemikiran atau karya-karya yang disitu telah menguraikan berbagai pendapatnya satu persatu tentang karya-karya tersebut, di antaranya yaitu : 1) The Will to Believe, di situ James bertujuan hanya untuk menggambarkan beberapa karakteristik dan mempertahankan pandangan bahwa arah tindakan yang rasional. 2) The Varieties of Religious Experience, dia memuat tentang nilai arti agama dalam kehidupan manusia. 3) Pragmatism, dia menjelaskan tentang kebenaran datang, tetapi tidak menjelaskan apa kebenaran yang sesungguhnya. 4) Essay in Radical Empirism A Pluralistic Universe, tentang pragmatisme di dalam metafisika, dan epistemologi. 5) Dia membicarakan tentang manusia memerlukan suatu filsafat yang dapat berlaku adil pada agama, moral.


DAFTAR PUSTAKA

A. Mangun Harjono, Isme-isme dari A sampai Z, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 1997.

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003.

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.

John K. Roth, Persoalan-persoalan Filsafat Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.


di 5:44 AM Label: Etika, filsafat, Pemikiran, pragmatisme, William James
Link ke posting ini
Email This
BlogThis!
Share to Twitter
Share to Facebook

October 24, 2009
FILSAFAT MODERN ABAD 20
FILSAFAT MODERN ABAD 20

Dunia Barat abad kedua puluh berbeda sekali dengan abad kesembilan belas. Bukan saja karena semua perubahan teknis dan ekonomis serta kedua perang dunia yang menghancurkan banyak negara, melainkan juga karena gaya hidup, bentuk seni, jenis musik dan cara berpikir sama sekali berbeda.

Sering dikatakan bahwa dalam pemikiran abad kedua puluh, heterogenitas dan kuantitas aliran-aliran lebih menonjol daripada kualitas mereka. Jumlah aliran dan perselisihan pendapat memang besar, tetapi di tengah semua kekacauan masih tetap menonjol beberapa pemikir yang penting.

Salah satu sebab heterogenitas filsafat abad kedua puluh adalah “profesionalisme” yang semakin besar. Kebanyakan filsuf abad kedua puluh merupakan spesialis-spesialis dalam matematika, fisika, psikologi, sosiologi dan ekonomi. Jelas bahwa titik pangkal yang khas ini juga membawa sutau cara berpikir yang khas dan suatu perhatian untuk masalah-masalah yang khas pula.


Pragmatisme

Pragmatisme diambil dari kata pragma (bahasa Yunani), yang berarti tindakan, perbuatan. Kata pragmatisme sering diucapkan orang-orang yang menyebutkan kata itu dalam pengertian praktis. Sebenarnya istilah pragmatisme lebih banyak berarti sebagai metode untuk memperjelas suatu konsep ketimbang sebagai suatu doktrin kefilsafatan.[1]

Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce, filosof Amerika yang pertama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat, tetapi pengertian pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates, Aristoteles.[2]

Aliran pragmatisme timbul di Amerika dengan tokohnya yang terutama : William James dan John Deawey.

1. William James

Dalam bukunya The Meaning of Truth, James menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam praktek, ada yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.

Nilai konsep atau pertimbangan kita, tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya. Artinya tergantung pada keberhasilan perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar bila bermanfaat bagi pelakunya, memperkaya hidup dan kemungkinan-kemungkinannya.[3]

Menurut James, dunia tidak dapat diterangkan dengan berpangkal pada satu asas saja. Dunia adalah dunia yang terdiri dari banyak hal yang saling bertentangan.

2. John Deawey

Menurutnya, tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran Metafisis yang tidak ada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara kritis.

Menurut John Deawey tidak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan, segera berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka dari itu berpikir tidak lain daripada alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metode induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral.[4]


Filsafat Hidup

Henri Bergson (1859-1941). Menurut Bergson, hidup merupakan tenaga eksplosif yang telah ada sejak permulaan dunia. Kemudian terus berkembang dengan penentangan materi. Bergson meyakini adanya evaluasi yang dipandangnya sebagai suatu perkembangan yang menciptakan, yang meliputi semua kesadaran, semua hidup, semua kenyataan dimana di dalam perkembangannya senantiasa menciptakan bentuk-bentuk yang baru dengan menghasilkan kekayaan baru pula.[5]

Filsafat Bergson disebut sebagai filsafat hidup, karena Bergson mendasarkan filsafatnya pada kenyataan bahwa yang ada adalah gerak, hidup, berubah terus. Filsafat Bergson merupakan perlawanan terhadap pandangan pada waktu itu (abad 19 dan permulaan abad 20) yang menaruh penghargaan yang berlebih-lebihan terhadap pengetahuan rasional.

Bergson, filsafatnya kembali pada pemikiran Metafisis dan anti rasionalis, dan menciptakan filsafat intuisi. Fungsi intuisi ialah untuk mengenal hakekat pribadi dengan lebih murni dan dapat mengenali seluruh hakekat kenyataan. Hakekat kenyataan baik dari pribadi maupun dari seluruh kenyataan oleh intuisi dilihat sebagai “kelangsungan murni” atau “masa murni”.

Intuisi yang dimaksudkan Bergson, lain dari perasaan perseorangan atau sentimen. Baginya filosof bukanlah seorang sentimentalis, bukanlah orang perasaan, melainkan seorang ahli pikir yang intuitif.[6]


Fenomenologi

Edmund Husserl (1859-1938) adalah pelopor filsafat fenomenologi yang sangat berpengaruh. Fenomenologi adalah suatu filsafat yang menggunakan suatu metode fenomenologi dalam usahanya memahami suatu kenyataan. Bahwa dalam menghadapi suatu kenyataan kita menjumpai gejala-gejala (fenomena) yang belum tentu bahwa pengertian kita tentang sesuatu itu betul sama sekali.

Adapun usaha untuk mencapai hakekat segala sesuatu itu dengan jalan reduksi (penyaringan). Husserl mengemukakan tiga macam reduksi atau penyaringan, yaitu :

1. Reduksi Fenomenologis

Di dalam reduksi fenomenologis, kita harus melakukan penyaringan terhadap semua pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud agar mendapatkan fenomena yang semurni-murninya. Telah dikemukakan, bahwa barang-barang yang nampak kepada kita, yang lebih kita pentingkan ialah apa yang menampakkan diri yang segera kita anggap sebagai realitas di luar kita. Fenomena atau gejala yang menyodorkan diri sebagai hal yang nyata ada itu tidak boleh kita terima begitu saja. Keputusan itu harus ditangguhkan terlebih dahulu atau ditempatkan di antara tanda kurung dahulu. Sesudah itu harus memandang atau menilik apa yang kita alam di alam kesadaran kita. Kalau tindakan ini berhasil kita akan menemukan phenomenon atau gejala yang sebenarnya kita dengan demikian mengenal gejala dalam dirinya sendiri.

2. Reduksi Eidetis

Yaitu penyaringan atau penempatan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidos (intisari/hakekat gejala/fenomena). Kita melihat hakekat sesuatu. Inilah pengertian yang sejati.

3. Reduksi Transendental

Dalam reduksi transendental yang harus ditempatkan di antara tanda kurung ialah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak ada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subyek sendiri, dengan lain kata, metode fenomenologi itu diterapkan pada subyeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran yang murni.[7]


Eksistensialisme

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala kehidupan dengan berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia.

Kata eksistensi berasal dari kata ex (keluar) dan sistensi (berdiri, menempatkan). Jadi, eksistensi diartikan manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya dan sibuk dengan dunia di luarnya.[8]

Martin Heidegger (1905) dengan bukunya Sein Und Zeit (1927).

Menurutnya, persoalan berada hanya dapat dijawab melalui ontologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode untuk ini adalah metode fenomenologis. Jadi yang penting adalah menemukan arti berada itu. Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil tempat di tengah-tengah dunia sekitarnya.[9]

Keberadaan manusia adalah “berada di dalam dunia”. Maka ia dapat memberi tempat kepada benda-benda yang di sekitarnya, ia dapat bertemu dengan benda-benda itu dan dengan manusia-manusia lain dapat bergaul dan berkomunikasi dengan semuanya.

Menurut Heidegger, manusia tidak menciptakan dirinya sendiri, ia dilemparkan ke dalam keberadaan. Tetapi, walau manusia keberadaannya tidak mengadakan sendiri, bahkan merupakan keberadaan yang terlempar, manusia tetap harus bertanggungjawab atas keberadaannya itu.

Di dalam hidup sehari-hari manusia bereksistensi, tidak yang sebenarnya. Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya itu menghadapi hidup yang semu, hidupnya orang banyak. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai satu kesatuan. Dengan ketekunan mengikuti kata hatinya itulah cara bereksistensi yang sebenarnya guna mencapai eksistensi yang sebenarnya.[10]

Jean Paul Sartre (1905- …)

Cukup lama ia menjadi pemikir paling populer di Eropa. Eksistensialisme-nya menjadi suatu gaya hidup. Bersama teman-temannya Sartre menerbitkan majalah Les Temps Modernes (Jaman Modern) yang menjadi corong bicara filsafat eksistensialistis, dan sekaligus dari suatu orientasi politik dan kultural.[11]

Dialah yang menyebabkan eksistensialisme menjadi tersebar, bahkan menjadi semacam mode, sekalipun pendiri eksistensialisme bukan dia, melainkan Soren Aabye Kierkegaard. Ia mengajarkan bahwa yang ada ialah “akal individual”. Ia telah memperkenalkan istilah eksistensi yang memegang peranan penting dalam filsafat abad ke-20. Pandangan tentang pentingnya arti manusia sebagai pribadi inilah yang menjadi intisari filsafat yang dikembangkan oleh Sartre dalam nama eksistensinya.

Bagi Sartre, segala berada secara ini, “segala berada” dalam diri (I’efre en soi) adalah memuakkan (nauseant). Benda-bend yang berada demikian, kalau kita tidak memberikan arti apa-apa, dalam keadaannya sendiri, nampak memuakkan.

Adapun yang termasuk “berada untuk dirinya sendiri” (I’efre pour soi) adalah berada yang dengan sadar akan dirinya, yaitu cara berada manusia. Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya, ia bertanggungjawab atas fakta bahwa ia ada.

Eksistensi walaupun kebebasan, namun tergantung juga kepada hal yang lain. Sebab sekali kita bebas di dalam pemilihan, kita terikat pada pemilihan itu, serta harus berbuat serta memikul akibat perbuatan itu. Maka tidak ada kebebasan yang mutlak. Kita bebas, tetapi justru itulah kecemasan kita.

Gabriel Marcel (1889-1973). Bukunya yang bersifat eksistensialis Exsistence et Obyektivite (1924). Dalam filsafatnya ia menyatakan, bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama dengan orang lain. Tetapi manusia memiliki kebebasan yang bersifat otonom. Ia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh kejasmaniannya. Dari luar ia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari dalam ia dikuasai oleh jasmaninya.

Manusia bukanlah makhluk yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses). Ia selalu menghadapi obyek yang harus diusahakan seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain.

Perjalanan manusia ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang tidak ada. Perjuangan manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara “berada” dan “tidak berada”. Maka manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut kepada kematian. Tapi sebesarnya kemenangan kematian hanyalah semu saja, sebab hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan guna mengatasi kematian. Di dalam cinta kasih dan kesetiaan ada kepastian, bahwa ada engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menembus kematian. Adanya harapan menunjukkan, bahwa kemenangan kematian adalah semu.

Ajaran tentang harapan ini menjadi puncak ajaran Marcel. Harapan ini menunjuk adanya “Engkau Yang Tertinggi” (Toi Supreme), yang tidak dapat dijadikan obyek manusia.[12]


KESIMPULAN

Filsafat abad 20 disebut filsafat dewasa ini (contemporary) dengan ciri-ciri bahwa rasio yang ada pada masa-masa sebelum masa itu dianggap sebagai potensi kebenaran, mulai ditinggalkan. Dan oleh karena itu orang mengalihkan pandangannya ke potensi-potensi yang bukan rasio, misalnya ke intuisi.

Pada abad ini muncul beberapa aliran filsafat, pragmatisme yang memberikan penilaian sesuatu pada nilai kontannya. Fenomenologi, suatu filsafat yang menggunakan suatu metode fenomenologi dalam usahanya memahami suatu kenyataan. Filsafat hidup yang berdasarkan filsafatnya pada kenyataan bahwa yang ada adalah gerak, hidup, berubah terus. Eksistensialisme yang memandang segala gejala kehidupan dengan berpangkal pada eksistensi.
Daftar Pustaka dan Footnote
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

A. Mangun Harjono, Isme-isme dari A sampai Z, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 1997.

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003.

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.

John K. Roth, Persoalan-persoalan Filsafat Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Pragmatisme William James oleh makalah-ibnu : , anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved