Aneka Ragam Makalah

Makalah Teologi Dalam Islam Al Nurbainin



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !

Makalah Teologi Dalam Islam Al Nurbainin

Ilmu yang digunakan untuk menetapkan aqidah-aqidah diniyah yang di dalamnya diterangkan segala yang disampaikan Rasul dari Allah tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya agama di dunia ini. Para Ulama di setiap umat berusaha memelihara agama dan meneguhkannya dengan aneka macam dalil yang dapat mereka kemukakan. Tegasnya, ilmu Kalam ini dimiliki oleh semua umat hanya saja dalam kenyataannyalah yang berbeda-beda. Ada yang lemah, kuat, sempit, ada yang luas menurut keadaan masa dan hal-hal yang mempengaruhi perkembangan umat, seperti tumbuhnya bermacam-macam pembahasan.

Adapun ilmu yang menetapkan aqidah-aqidah Islamiyah dengan jalan mengemukakan dalil-dalil dan mempertahankan dalil-dalil itu, maka ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya Islam, dan ia dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang mempengaruhi jalan pimikiran umat Islam dan keadaan-keadaan mereka. Seluruh agama samawi di turunkan Allah ke muka bumi ini menempatkan teologi pada posisi sentral. Begitu juga Islam, ajaran yang terpenting dari Islam ialah ajaran Kalam yang menjadi dasar dari segala dasar disini ialah pengakuan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa. Di samping ini, menjadi dasar pula soal kerasulan, wahyu, kitab suci al-Qur’an, soal mukmin dan muslim, soal orang kafir dan musyrik, hubungan makhluk, terutama manusia dengan pencipta, soal akhir hidup manusia yaitu surga dan neraka, dan lain sebagainya. Semua masalah ini di bahas oleh ilmu Kalam yang dalam istilah baratnya disebut teologi. [1] 

Masalah ini menarik untuk di bahas, karena pada masa Rasul sampai dengan masa Khalifah Usman Ibn Affan problem teologis [2] di kalangan umat Islam belum begitu diperdebatkan. Persoalan teologi timbul setelah khalifah yang ke empat yaitu Ali Ibn Abi Thalib. Hal itu disebabkan oleh persoalan arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah Ibn Abi Sofyan dan kelompok yang menolak arbitrase tersebut. Sehingga lambat laun terkristalisasi dalam berbagai bentuk aliran teologi dengan berbagai macam tokoh dan pendekatannya masing-masing.

B. Makalah ini membahas secara historis mengenai masalah tersebut, hanya bersikisar dalam pengertian teologi, Tauhid, Kalam, Ushul Al-Din dan lain-lain sejarah kemunculan persoalan-persoalan teologi/Kalam dalam Islam serta sebab perbedaan pendapat dalam bidang politik dan pemerintahan di kalangan kaum muslimin.

C. Pengertian Istilah Teologi, Tauhid, Kalam, Ushul Al-Din dan Lain-Lain

Perkataan Tauhid berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhidan. Asal arti tauhid adalah meng-Esakan, maksudnya mengi’tikatkan bahwa Allah adalah Esa. [3]

Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi, ilmu Kalam adalah ilmu berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggukan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli Sunnah. [4]

Selain itu ada pula ada yang mengatakan bahwa ilmu Kalam adalah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan dengan bukti-bukti yang meyakinkan. [5] Di dalam ilmu ini di bahas tentang cara ma’rifah (mengetahui secara mendalam) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti guna mencapai kebahagian hidup abadi. [6] Ilmu ini termasuk induk ilmu agama dan paling utama bahkan paling mulia, karena berkaitan dengan zat Allah, zat para rasul-Nya.

Berdasarkan batasan tersebut terlihat bahwa teologi adalah ilmu yang pada intinya berhubungan dengan masalah ketuhanan. Hal ini tidaklah salah, karena secara harfiah teologi berasal dari kata teo yang berarti Tuhan dan logi yang berarti ilmu. [7]

Namun dalam perkembangan selanjutnya ilmu Kalam/Teologi juga berbicara tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah iman, kufr, musyrik, murtad; masalah kehidupan akhirat dengan berbagai kenikmatan atau penderitaannya; hal-hal yang membawa pada semakin tebal dan tipisnya iman; hal-hal yang berkaitan dengan Kalamullah yakni al-Qur’an; status orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya. Sejalan dengan perkembangan ruang lingkup pembahasan ilmu ini, maka Kalam terkadang di namai pula ilmu Tauhid, ilmu Usuluddin, ilmu ‘Aqaid, dan ilmu ketuhanan. Dinamai ilmu Tauhid, karena ilmu ini mengajak orang agar meyakini dan mempercayai hanya pada satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Selanjutnya dinamai ilmu Usuluddin, karena ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan, yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan; dinamai pula ilmu ‘Aqaid, karena dengan ilmu ini seseorang diharapkan agar meyakini dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya pada Allah sebagai Tuhan. [8]

Abu Hanifah menyebut nama ilmu Kalam ini dengan Fiqh al-Akbar. Menurut persepsinya, hukum Islam yang dikenal dengan istilah Fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama, Fiqh al-Akbar, membahas keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, Fiqh al-Ashghar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang saja. [9]

Ilmu ini dinamakan juga dengan ilmu Kalam, sedangkan ulama-ulama yang mengakatannya dinamakan Mutakallimin, atau ulama Kalam.

Adapun sebabnya dinamakan ilmu Tauhid dengan ilmu Kalam adalah:

Karena problema-problema yang diperselisihkan para Ulama-ulama Islam dalam ilmu ini, menyebabkan umat Islam terpecah dalam beberapa golongan, ialah masalah Kalam Allah yang kita bacakan (al-Qur’an), apakah dia makhluk (diciptakan), ataukah qadim (bukan diciptakan).

Materi-materi ilmu ini adalah merupakan teori-teori Kalam, tidak ada diantaranya yang diwujudkan ke dalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota.

Ilmu ini di dalamnya menerangkan cara atau jalan menetapkan dalil untuk pokok-pokok aqidah serupa dengan ilmu mantiq. Karenanya dinamakan ilmu ini dengan nama yang sama maknanya dengan mantiq yaitu Kalam.

Ulama-ulama mutaakhkhirin membahas dalam ilmu ini masalah-masalah yang tidak dibahas oleh Ulama Salaf, seperti pentakwilan ayat-ayat mutasyabihat, pembahasan tentang pengertian qada, tentang Kalam dan lain-lain, oleh kerena itu maka ilmu ini dinamakan dengan ilmu Kalam. Dan istilah ilmu Kalam baru terkenal di masa Bani Abbasiyah sesudah terjadi banyak perdebatan, pertukaran pikiran dan bercampur masalah-masalah tauhid dengan problema-problema filsafat, seperti mengatakan maddah (materi), susunan tubuh, hukum-hukum jauhar (zat), sifat dan lain-lain. [10]

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Kalam/Teologi ialah ilmu yang secara khusus membahas tentang masalah ketuhanan serta berbagai masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan. Dengan demikian, seseorang yang mempelajarinya dapat mengetahui bagaimana cara-cara untuk memiliki keimanan dan bagaimana pula cara menjaga keimanan tersebut agar tidak hilang atau rusak.

D. Sejarah Kemunculan Persoalan-Persoalan Teologi/Kalam dalam Islam

Pada zaman Rasulullah, tauhid sebagai ilmu belum dikenal orang, sekalipun para ulama sependapat bahwa tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam ajaran Islam. Karena ketauhidan zaman Nabi ditanamkan oleh beliau melalui sikap dan tingkah laku bertauhid dan bila muncul suatu masalah dapat ditanyakan langsung kepada Nabi sendiri.

Tauhid sebagai ilmu baru dikenal jauh sesudah wafatnya Rasulullah. Istilah ilmu tauhid baru disebut-sebut orang pada abad ke 3 H. atau tepatnya pada zaman Khalifah al-Makmun dan sebelumnya permasalahan yang berhubungan dengan ketauhidan ini termasuk bagian dari al-Fiqhu Fiddin sebagai imbangan dari al-Fiqhu Fil Ilmi. Kehadiran Tauhid sebagai ilmu merupakan hasil dari pengkajian para ulama dari apa yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an dan al-Hadis dan orang yang dianggab pemula dalam menyusun Ilmu Tauhid adalah Abu Hasan Ali al-Asy’ari (260-324 H/873- 935 M). [11]

Agak janggal kalau dikatakan bahwa dalam Islam, sebagai agama, persoalan yang mula-mula timbul adalah dalam bidang politik bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat memjadi persoalan teologi. Supaya masalah ini jelas terlebih dahulu kita lihat sejarah, tegasnya dalam pase perkembangannya. [12]

Sewaktu Nabi mulai menyiarkan agama Islam di Mekkah, beliau belum dapat membentuk suatu masyarakat yang kuat lagi berdiri sendiri. Umat Islam diwaktu itu masih dalam keadaan lemah, tidak sanggup menentang kekuasaan yang dipegang kaum pedagang Quraisy yang ada di Mekkah. Akhirnya Nabi bersama sahabat dan umat Islam lainnya, terpaksa meninggalkan Mekkah dan pindah ke Madinah dan tiba di sana pada 24 September 622 M. [13]

Di Madinah keadaan Nabi dan umat Islam mengalami perubahan yang besar. Kalau di Mekkah mereka sebelumnya merupakan umat yang lemah dan tertindas, di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik dan merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi Muhammad disamping menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan dalam masyarakat yang baru dibentuk itu yang sebelumnya di Madinah tidak ada kekuasaan politik yang akhirnya merupakan suatu negara yang daerah kekuasaannya diakhir zaman Nabi meliputi seluruh semenanjung Arabia. Dengan kata lain, di Madinah Nabi Muhammad tidak hanya mempunyai sifat Rasulullah, tetapi juga mempunyai sifat kepala negara. [14]

Ketika beliau wafat 8 Juni 632 M, beliau mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan itu. Dalam kedudukan beliau sebagai Rasul, tentu tidak dapat diganti. Jadi tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu Nabi wafat sibuk memikirkan penggati beliau untuk mengepalai negara yang baru terbentuk itu. Timbullah soal Khalifah, yaitu soal pengganti Nabi sebagai kepala negara. [15]

Sebagaimana kita ketahui dari sejarah pengganti beliau yang pertama adalah Abu Bakar tahun 632 M. Abu Bakar menjadi kepala negara pada waktu itu dengan memakai gelar Khalifah, yang arti lafzinya ialah pengganti. Kemudian setelah Abu Bakar wafat, Umar Ibn Khattab menggantikan beliau sebagai Khalifah yang kedua. Usman Ibn Affan selanjutnya menjadi Khalifah pada tahun 634 M yang ketiga dan pada pemerintahannyalah mulai timbul persoalan-persoalan politik. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tidak kuat untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh dalam masyarakat Arab pada waktu itu. Ia mengangkat mereka menjadi Gubernur-gubernur di daerah-daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar, Khalifah yang dikenal sebagai orang yang kuat dan tidak memikirkan kepentingan sendiri atau kepentingan keluarganya, diberentikan oleh Usman. Politik nepotisme ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntung bagi kedudukan Usman sebagai Khalifah. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya mendukung Usman, akhirnya berpaling. Orang-orang yang ingin menjadi Khalifah atau orang-orang yang ingin calonnya menjadi Khalifah mulai pula menangguk di air yang keruh dari yang timbul itu. Di daerah-daerah timbul perasaan tidak senang. Di Mesir Amr Ibn al-Ash diberentikan sebagai Gubernur dan diganti dengan Ibn Abi Sarh, salah seorang dari anggota keluarga Usman. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, lima ratus pembrontak bergerak dari Mesir menuju Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh Wardan bin Samurah yaitu salah seorang pemberontak dari Mesir. [16]

Setelah Usman wafat pada 17 Juni 656 M, Ali Ibn Abi Thalib, diangkat sebagai Khalifah yang keempat di Mesjid Nabawi Madinah pada 24 Juni 656 M. Tetapi ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah, terutama Talhah dan Zabeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Sehingga terjadi perang antara Ali dengan Aisyah pada 9 Desembar 656 M, Thalhah dan Zubeir yang dikenal dengan perang Jamal, dinamakan perang Jamal karena Aisyah waktu itu menunggangi unta, dalam peperangan tersebut Talhah dan Zubeir dapat dikalahkan bahkan Talhah dan Zubeir mati terbunuh, sedang Aisyah dikirim kembali ke Mekkah. [17]

Tantangan kedua datang dari Mu’awiyah pada 28 Juli 657 M, Gubernur Damaskus yang merupakan anggota keluarga dekat Usman Ibn Affan. Mu’awiyah juga tidak mengakui Ali sebagai Khalifah. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur tangan dalam pembunuhan Usman, karena salah satu dari pemuka pemberontak Mesir yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Usman adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat dari Ali. Dan pula Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad diangkat menjadi Gubernur Mesir. [18]

Antara kedua golongan akhirnya terjadi peperangan di Siffin (Irak), yang terkenal dengan perang Siffin pada 1 Shafar 37 H. Tentara Ali dapat memdesak tentara Mu’awiyah, tetapi tangan kanan Mu’awiyah yaitu Amr Ibn Ash yang terkenal sebagai orang yang licik minta berdamai dengan mengangkatkan al-Quran ke atas. Imam-imam yang ada dipihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan rapat umum/hakam (arbitrase) pada bulan Januari 659 M di Adhruh. [19]

Sejarah mengatakan antara keduanya terdapat kesepakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, yaitu Ali dan mu’awiyah. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr Ibn al-Ash, mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan al-Asy’ari, tapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. [20]

Peristiwa ini menguntungkan bagi Mu’awiyah. Yang legal menjadi khalifah sebenarnya hanyalah Ali, sedangkan mu’awiyah kedudukannya hanyalah sebagai Gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau keputusan ini ditolak Ali dan tidak mau meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh pada 24 Januari 661 M ketika ia dalam perjalanan menuju mesjid Kufah yang dilakukan oleh seorang pengikut Khawarij yaitu Abd al-Rahman Ibn Muljam. [21]

Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin al-Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, Sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat di putuskan melalui tahkim/arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. La hukma illa Allah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau la hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. [22]

Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah, dan oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golangan mereka inilah dalam sejarah Islam, terkenal dengan nama Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders. [23]

Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan Kalam. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, Amr bin al-Ash, Abu Musa al-Asy’ari, adalah kafir, karena al-Quran mengatakan:   

Artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (Q.S. al- Maidah: 44). [24]

Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah. Karena keempat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam, yaitu murtad, mereka mesti dibunuh. Maka kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali Ibn Abi Talib yang berhasil dalam tugasnya. [25]

Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Quran, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib kaba’ir atau capital sinners, juga dipandang kafir. [26]

Persoalan orang-orang berbuat dosa inilah kemudian mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan Kalam selanjutnya dalam Islam. Persoalannya ialah: Masihkah ia bisa dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu?

Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam yaitu:

1. Aliran Khawarij, mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan oleh karena itu wajib dibunuh.

2. Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.

3. Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah baina manzilatain (posisi diantara dua posisi). [27]

Di luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah. Menurut Watt, Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dengan Mu’awiyah yang di kenal dengan perang Siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali kemudian disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali kemudian disebut Khawarij. [28]

Dalam Islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan perbuatannya. [29]

Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama dari golongan Hanbali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hanbal. Mereka yang menentang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M). Di samping aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini di dirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan teologi al-Maturidiyah. [30]

Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, al-Dahlawi tampak lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan perdapat. Penekanan senadapun pernah dikatakan Imam Munawir. Ia mengatakan bahwa perbedaan pendapat di dalam Islam lebih dilatar belakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan krebilitas seseorang sebagai figur pembuat keputusan. Lain lagi yang dikatakan oleh Umar Sulaiman al-Syakar. Ia lebih menekankan objek keputusan sebagai pemicu terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya ada tiga persoalan yang menjadi objek perbedaan pendapat, yaitu persoalan keyakinan (aqa’id), persoalan syariah dan persoalan politik. [31]

Bertolak dari tiga pandangan di atas, perbedaan pendapat di dalam masalah objek teologi sebenarnya berkaitan erat dengan cara (metode) berpikir aliaran-aliran ilmu Kalam dalam menguraikan objek pengkajian (persoalan-persoalan Kalam). Perbedaan metode berpikir secara garis besar dapat di katagorikan menjadi dua macam, yaitu kerangka berpikir rasional dan metode berpikir tradisional. [32]

E. Sebab Perbedaan Pendapat dalam Bidang Politik dan Pemerintahan di Kalangan Kaum Muslimin

1. Fanatisme (‘Ashabiyyah) Arab

Fanatisme Arab merupakan salah satu sebab, bahkan sebab terpenting, lahirnya perbedaan pendapat yang mengakibatkan perpecahan umat. Sesungguhnya Islam telah menyatakan perang terhadap fanatisme di dalam beberapa nash al-Qur’an maupun hadis. Misalnya, dalam firman Allah Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal… (QS. al-Hujarat: 13).

Sabda Nabi Artinya: Bukanlah dari golongan kami orang-orang yang menyerukan untuk bersikap fanatik.

Artinya: Semua kamu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada keistimewaan bagi bangsa Arab terhadap bangsa yang lain kecuali dari segi ketakwaan.

Pada masa Nabi, rasa fanatisme itu teredam dengan penjelasan-penjelasan di atas. Hal itu berlanjut sampai masa pemerintahan Khalifah Uman Ibn Affan. Baru pada akhir pemerintahannya kekuatan fanatisme ini mulai bangkit kembali, dimulia dengan timbulnya pertentangan antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim. Sesudah itu, muncul pertentangan antara golongan Khawarij dan golongan yang lain. Pertentangan antara kedua golongan ini merupakan pertentangan lama yang pernah terjadi di masa jahiliah anatara kabilah-kabilah Rabi’ dan kabilah-kabilah Mudhar. Pertentangan ini dapat diredam untuk sementara ketika agama Islam datang sampai akhirnya muncul kembali karena disulut oleh tersebarnya mazhab Khawarij di kalangan kabilah Rabi’. [33]

2. Perebutan kekhalifahan.

Sebab pokok yang menimbulkan pertentangan di bidang politik ialah perbedaan perdapat tentang masalah siapa yang paling berhak menggantikan Nabi dalam memimpin umatnya. Masalah ini timbul langsung setelah Nabi wafat. Kelompok Anshar mengatakan, “Kamilah yang menyambut dan membantu Nabi. Maka, kamilah yang paling berhak menjadi khalifah”. Golongan Muhajirin mengatakan pula, “Kami lebih dahulu dalam hal itu. Maka, kamilah yang paling berhak”. Kekuatan iman golongan Anshar dapat meredakan pertentangan itu tanpa insiden apapun. Namun setelah peristiwa itu, perbedaan pendapat mengenai persoalan kekhalifahan semakin tajam. Inti persoalan itu ialah siapa yang paling berhak memangku kedudukan itu: apakah dia berasal dari kabilah Quraisy secara keseluruhan, ataukah hanya dari keturunan tertentu saja, dan ataukah setiap orang Islam tanpa membeda-bedakan golongan dan keturunan karena semuanya sama di sisi Allah sebagaimana digariskan di dalam firman-Nya Artinya: Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu. (Q. S. al-Hujarat: 13).

Sabda Nabi Artinya: Tidak ada keistimewaan bangsa Arab terhadap bangsa lain kecuali dari sisi ketaqwaannya.

Dalam menjawab persoalan itu kaum muslimin terpecah menjadi kelompok Khawarij dan Syi’ah dan lain-lain. [34]

3. Pergaulan kaum Muslimin dengan penganut berbagai agama terdahulu dan masuknya sebagian mereka ke dalam Islam

Penganut agama terdahulu, yaitu Yahudi, Nashrani dan Majusi banyak yang memeluk agama Islam, tapi dalam benak mereka masih tersisa pemikiran-pemikiran keagamaan yang mereka anut sebelumnya dan itu menguasai perasaan mereka. Karenanya, mereka berpikir tentang hakikat-hakikat ajaran Islam dalam perspektif keyakinan lama. Mereka memunculkan di tengah-tengah kaum Muslimin permasalahan keagamaan yang muncul dalam agama mereka, seperti masalah keterpaksaan dan kebebasan berkehendak (al-jabr wa al-ikhtiyar), serta sifat-sifat Allah: apakah sifat-sifat itu sesuatu yang lain dari zat-Nya, ataukah sifat-sifat dan zat itu sama. [35]

Perlu ditegaskan bahwa sebagian mereka memeluk Islam dengan niat yang ikhlas, tetapi dalam benak mereka masih tersimpan sisa-sisa pemikiran keagamaan sebelumnya. Sebagian lagi memeluk Islam hanya lahirnya saja, tetapi bathinnya menyimpan sesuatu yang lain. Masuknya kelompok ini dalam Islam hanya menciptakan kekacauan pada ajaran agama dan mengembangkan pemikiran agama yang sesat. Karena itu, dikalangan kaum Muslimin ditemukan orang-orang yang menyebarkan berbagai maksud jahat, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang zindiq (paham yang mengatakan bahwa alam kekal, tidak percaya adanya hari kiamat dan keesaan tuhan) dan lainnya dalam bentuk dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang menyesatkan. [36]

Berkaitan dengan hal ini, Ibn Hazm menerangkan dalam kitabnya al-fashl fi al-Milal wa al-Nihal sebagai berikut:

“Sebab pokok keluarnya manyoritas kelompok ini dari agama Islam ialah adanya anggapan orang-orang Persia bahwa mereka memiliki kerajaan yang paling luas dan penguasa semua bangsa. Mereka memandang mulia diri sendiri sehingga menamakan diri mereka sebagai orang-orang merdeka dan pribumi, sementara semua orang lain adalah hamba mereka. Ketika kekuasaan mereka diambil alih oleh orang-orang Arab yang kekuatannya tidak pernah mereka perhitungkan sama sekali, mereka sangat terpukul, sehingga selalu berusaha untuk memerangi Islam. Akan tetapi dalam setiap usaha itu Allah selalu memenangkan yang haq. Karenanya, sebagian mereka berpura-pura memeluk Islam dan Ahl al-Tasyayyu’ (Partai Ali) berpura-pura memcintai Ahlulbait serta mencaci maki para penganiaya Ali, kemudian menghukumi mereka sebagai orang kafir”. [37]

Sekalipun memusatkan perhatian pada contoh Partai Ali seperti Saba’yyah, yaitu pengikut Abdullah Ibn Saba’, uraian di atas berlaku pula pada beberapa kelompok yang lain. Dalam sikap kelompok selalu ada orang-orang semacam mereka, seperti Ibn al-Ruwandi dalam kelompok Mu’tazilah. Demikian pula dalam kelompok Musyabbihah dan Mujassimah. [38]

4. Adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an.

Allah berfirman yang artinya: Dialah yang menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepada (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Dan adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan unuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (al-Qu’an), semuanya dari sisi Tuhan kami”. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal. (Q. S. Ali Imran: 7).

Dari ayat di atas diketahui adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an antara lain merupakan ujian dari Allah terhadap kekuatan iman orang yang beriman. Keberadaan ayat-ayat ini menjadi sebab terjadinya penbedaan pendapat di kalangan ulama tetntang makna yang sebenarnya.

Banyak ulama yang berusaha mencari takwil ayat-ayat itu dan mencapai hakikat makna-maknanya. Akibatnya, mereka berbeda pendapat mengenai takwil yang sebenarnya. Ada pula ulama yang sengaja menjauhi pentakwilan ayat-ayat tersebut dan menyerahkan makna yang sebenarnya kepada Allah sambil berdoa: Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. (Q. S. Ali-Imran: 8).



DAFTAR PUSTAKA

  • Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006.
  • Anwar, Rosihon dan Razak, Abdul, Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
  • Hitti, K. Philip, History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.
  • Hanafi, A., Teologi Islam Ilmu Kalam, cet. III. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
  • Jassar-al, Muhammad bin Husen, al-Hushun al-hamadiyah li al-Muhafadzah ‘Ala al-‘Aqaid al-Islamiya. Bandung: syirkah al-Ma’arif, t.t.
  • Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jilid, I. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985.
  • _____________, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 2008.
  • Nata, Abuddin H., metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
  • Syahrastani-al, Abi al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin Abi Baskar Ahmad, al- Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar -Fikr. t.t.
  • Shiddieqy-Ash, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, cet. I. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
  • Yusuf, Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
  • Watt, Montgomery W., Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim. Jakarta: P3M, 1987.
  • Zahrah Abu, Muhammad Imam, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos Publising House, 1996.

----------------
[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985), Jilid, I, h. 30.

[2] Sesungguhnya pada masa Rasul persoalan teologis sudah dibicarakan, namun masih bersifat sederhana, baru kemudian pada masa pemerintahan khalifah Rasyidin yang terakhir persoalan teologis baru dibicarakan secara mendalam. Walaupun pada awalnya problem yang pertama muncul bukan dalam bidang teologis, tetapi dalam bidang politik yang akhirnya bermuara kepada problem teologis. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 1.

[3] H. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 1989), h. 494.

[4] A. Hanafi, Teologi Islam Ilmu Kalam, cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 10.
[5] Husen bin Muhammad al-Jassar, al-Hushun al-hamadiyah li al-Muhafadzah ‘Ala al-‘Aqaid al-Islamiyah, (Bandung: syirkah al-Ma’arif, t.t.), h. 7.
[6] Ibid., h. 7.
[7] H. Abuddin Nata, metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 269.
[8] Nata, metodologi, h. 269.
[9] Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 13.

[10] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 10.

[11] Hanafi, Teologi Islam, h. 11.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, cet. v, (Jakarta: UI-Press, 2008), h. 3.

[13] Ibid., h. 4.
[14] Ibid.
[15] Ibid., h. 5.
[16] Ibid., h. 6.
[17] Ibid.
[18] Ibid., h. 7.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 227.
[22] Ibid., h. 8.
[23] W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), h. 10.
[24] Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006), h. 153.
[25] Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran, h. 9.
[26] Ibid.
[27] Watt, Pemikiran Teologi, h. 8.

[28] Abi al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin Abi Baskar Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr. t.t), h. 114.

[29] Ibid. h. 9.
[30] Ibid.
[31] Ibid., h. 32.
[32] Yunan yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 16-17.
[33] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos Publising House, 1996), h. 7.

[34] Ibid.
[35] Ibid., h. 8.
[36] Ibid., h. 9.
[37] Ibid.
[38] Ibid.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved