Aneka Ragam Makalah

Makalah Pembentukan Sistem Fiqh



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
A. Pendahuluan

Syari’at dan fiqh merupakan dua istilah yang sering dipahami sama, bahkan ada sebagian orang memahami terbalik. Artinya ada sebagian yang menyangka suatu hukum itu syari’at, padahal bila dilihat dari segi terminologi ia termasuk dalam kategori fiqh. Hal tersebut sering terjadi karena dua istilah itu sudah lazim digunakan dan orang tidak lagi mempersoalkan pengertian dari dua istilah tersebut. Padahal penggunaan dua istilah yang tidak benar akan mempengaruhi secara phisikologis dan hukum terhadap pribadi orang yang menggunakannya.

Syari’ah, menurut Fazlur Rahman, jalan yang ditetapkan oleh Tuhan di mana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak Tuhan. Sedangkan Fiqh merupakan hasil yang digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih terhadap sumber hukum Islam, baik berupa al-Qur’an maupun Hadis.

Dalam periode paling awal setelah Rasulullah, dikenal dua sumber atau metode untuk menjelaskan Syari’ah. Yang pertama adalah sumber tradisional, yang sudah diketahui otoritasnya, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang berfungsi sebagai dasar-dasarnya. Tetapi karena sumber otoritatif yang diketahui tersebut jelas tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus berkembang dari generasi-generasi berikutnya, maka prinsip kedua yang berupa akal dan pemahaman manusia hampir sejak mulanya sudah diakui. Prinsip pertama disebut “ilmu” (dalam bahasa Arab: ‘ilm bukan ‘pengetahuan’ seperti yang kadang-kadang telah diartikan; prinsip kedua disebut ‘pengertian atau ‘pemahaman’ (dalam bahasa Arab: fiqh). Dari Prinsip kedua, yakni akal dan pemahaman, atau ‘ilm dan fiqh melahirkan metode Ijma dan Qiyas dalam penetapan hukum Islam.

Dari sinilah, makalah ini mencoba membahas mengenai perkembangan istilah sehingga fiqh menjadi sebuah displin ilmu yang sistematis, dan kemunculan berbagai aliran-aliran hukum Islam yang menjadikan fiqh lebih tersistem, misalnya dalam bentuk kitab, maupun pengembangan keilmuan, seperti ushul fiqh-nya asy-Syafi’i.

B. Pembahasan

1. Perkembangan Istilah Fiqh hingga terbentuk menjadi Sistem Fiqh

A. Qodri Azizy mengutip pendapat Fazlur Rahman dalam bukunya Islam, bahwa di dalam sejarahnya, istilah fiqh mengalami perkembangan yang mencakup setidaknya tiga fase. Pertama, istilah fiqh berarti “paham” (fahm/understanding) yang menjadi kebalikan dari, dan sekaligus menjadi suplemen terhadap istilah “ilm” (menerima pelajaran) terhadap nash, yakni al-Qur’an dan sunnah atau hadis Nabi, yang keduanya ini sering disebut the authoritative given. Ilm dimaksudkan dengan “menerima pelajaran”, oleh karena proses memperoleh ilm itu melalui riwayat penerimaan, seperti menerima esensi ayat Al-Qur’an atau sunnah/hadis Nabi. Penerimaan Al-Qur’an atau sunnah/hadis Nabi ini bukan melalui pemikiran, perkiraan, atau pemahaman, namun berupa penerimaan melalui riwayat. Ini berbeda dengan memberi hukum terhadap suatu kasus dengan cara menafsirkan salah satu ayat Al-Qur’an atau sunnah Nabi. Dalam tahap ini, fiqh dipakai untuk memahami dan membuat deduksi dari makna ayat-ayat Al-Qur’an atau sunnah Nabi tadi. Dengan demikian, fiqh identik dengan ra’y (pendapat pribadi dari fuqaha’ atau ahli fiqh). Dengan kata lain, fiqh mengacu pada proses aktivitas untuk memahami atau menafsirkan Al-Qur’an atau sunnah Nabi. Sedangkan ilm mengacu pada proses “menerima pelajaran” tentang Al-Qur’an atau sunnah Nabi atau mengacu pada esensi Al-Qur’an atau sunnah Nabi itu sendiri. Jadi, dalam fase ini, fiqh adalah identik dengan ra’y sebagai kebalikan ilm yang identik dengan riwayah.

Sehingga ada istilah mengatakan bahwa al-fiqhu huwa al-fahmu, fikih itu adalah pemahaman. Pemahaman seorang fuqaha’ (ulama) mengenai hukum-hukum amaliyah dari nash Al-Qur’an maupun hadis melalui nalar (ijtihad).

Kedua, fiqh dan ilm keduanya mengacu pada pengetahuan (knowledge) yang berarti menjadi identik. Oleh Karena, kita dapatkan istilah “ilmu agama” atau fiqh tentang materi agama”. Di sini fiqh mengacu pada pemikiran tentang agama atau pengetahuan tentang agama secara umum yang meliputi ilmu kalam, tasauf, dan lainnya, tidak hanya pengetahuan yang berkaitan dengan hukum. Dalam fase inilah kita diberitahu tentang buku berjudul al-Fiqh al-Akbar (Fiqh Maha Besar) karya Abu Hanifah, yang berisi teologi dan tidak mencakup masalah hukum, kecuali satu baris mengenai mash al-khuffayn (mengusap dua khuff [semacam kaus kaki terdiri dari kulit] tanpa harus membasuh kaki dalam berwudu). Dalam fase ini, hal-hal yang berkaitan dengan tasawwuf juga disebut fiqh. Akan tetapi, perlu kita perhatikn bahwa meskipun fiqh mencakup aspek-aspek selain hokum, ada cirri utama yang tetap menunjukkan karakter utamanya, yaitu berupa intelektual atau pemikiran.

Ketiga, fiqh berarti suatu jenis disiplin dari jenis-jenis pengetahuan Islam atau ilmu-ilmu keislaman. Yakni, hanya disiplin “hukum Islam” --ada yang menyebutnya dengan “hukum positif Islam—atau “ilmu hukum Islam”. Sebagai sebuah disiplin berarti meupakan sebuah produk: yaitu, pada hakikatnya merupakan suatu pengetahuan produk fuqaha’ atau mujtahid.

Pada fase ini, (bermula sekitar pertengahan abad ke-2 H/8 M), menurut Fazlur Rahman, telah terjadi perubahan yang radikal dalam sifat fiqh, yang berubah dari wujudnya sebagai suatu kegiatan pribadi menjadi berarti suatu displin yang berstruktur serta kumpulan pengetahuan yang dihasilkannya. Kumpulan pengetahuan tersebut dengan demikian distandardisir dan dimapankan sebagai suatu sistem yang obyektif. Fiqh berubah menjadi suatu ‘ilm. Sementara dalam tahap pertama orang menyatakan ‘kita harus menggunakan fiqh (pemahaman) maka sekarang orang harus mengatakan ‘kita harus “belajar” atau “mempelajari” fiqh.

Fase ini, mulai bermunculan kitab-kitam fiqh yang tersusun secara sistematis. Kitab fiqh bukan lagi berisi tentang ilmu kalam, tasauf, dan lain sebagainya, tapi hanyalah berisi persoalan-persoalan hukum, ibadah amaliyah, atau hokum Islam positif.

2. Aliran-aliran hukum Islam (Masa Imam Mujtahid)

Bila pada masa nabi sumber fiqh adalah Al-Qur’an, maka pada masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan ijtihad sebagai sumber hukum penetapan fiqh. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqh dengan menggunakan sunah dan ijtihad ini sudah begitu berkembang dan meluas. Dalam kadar penerimaan dua sumber itu terlihat kecenderungan mengarah pada dua bentuk.

Pertama, dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan hadis nabi dibandingkan dengan menggunakan ijithad, meskipun keduanya tetap dijadikan sumber. Kelompok ini biasa disebut “Ahl al-Hadis}” Kelompok ini lebih banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya Madinah.

Kedua, dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis, meskipun hadis juga banyak digunakan. Kelompok ini disebut “Ahl al-Ra’yi” . Kelompok ini lebih banyak mengambil tempat di wilayah Irak, khususnya Kufah dan Basrah.

Munculnya dua kecenderungan ini dapat dipahami, terutama karena adanya dua latar belakang historis dan sosial yang berbeda. Ahl al-Hadis muncul di wilayah Hijaz karena Hijaz khususnya Madinah dan Mekah adalah wilayah tempat nabi bermukim dalam mengembangkan Islam. Dengan demikian orang-orang Islam di wilayah ini lebih banyak mengetahui hadis dari nabi. Sebaliknya, di Irak atau Kufah, karena jauhnya lokasi dari wilayah kehidupan nabi, maka pengetahuan mereka akan hadis nabi tidak sebanyak yang diperoleh orang Islam di Hijaz. Di samping itu kehidupan sosial dan mu’amalat begitu las serta kompleks karena lokasinya yang lebih maju dari Hijaz. Untuk mengatasi itu semua mereka lebih banyak dan lebih sering menggunakan ijtihad dalam penetapan fiqh. Ijtihad itu pun tidak lagi terbatas pada penggunaan metode qiya>s sebagaimana berlaku pada masa sebelumnya. Kedua aliran ini sama-sama berkembang dengan pesat. Masing-masing melahirkan madrasah-madrasah fiqh dan menghasilkan para ahli fiqh.

Kelompok “Ahl al-Hadis” menonjolkan dua madrasah yaitu madrasah Madinah dan madrasah Mekah. Dari madrasah Madinah dam Mekah ini muncul seoran mujtahid besar ahli hadis, yaitu Malik bin Anas (w.179 H/705 M) yang kemudian diikuti kelompok besar yang disebut Mazhab Malikiyyah.

Ahl al-Ra’yi menampilkan dua madrasah besar, yaitu Madrasah Kufah dan Madrasah Basrah di wilayah Irak. Dari Madrasah Kufah muncul mujtahid, seperti: ‘Aqamah ibn Qeis, Masruk bin Ajda’, Ubaidah ibnu Umar, Aswad ibn Yazid al-Nakha’i, Said Ibn Zubair, Amir al-Sya’bi. Sedangkan Madrasah Basrah menghasilkan mujtahid yang terbesar, yaitu Anas ibn Malik. Dari para fuqaha’ Madrasah Irak ini muncul mujtahid besar Ahl al-Ra’yi yaitu Abu Hanifah (w. 150 H/ 767 M) dengan banyak pengikutnya, yang disebut ulama Mazhab Hanafiyyah.

Kemudian, pada pertengahan abad kedua Hijriyah tampil seseorang mujtahid besar yang pernah menggali pengetahuan dan pengalaman dari Madrasah Hijaz dan juga Madrasah Irak, yaitu Abu Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi’i.

Imam Syafi’i (w. 204 H/ 819 M) mencoba mengambil jalan tengah antara pendapat kelompok Ahl al-Hadis dan Ahl al-Ra’yi. Beliau menggunakan lebih banyak sumber ra’yu, tetapi tidak seluas yang digunakan Ahl al-Ra’yi , dan dalam waktu yang sama banyak pula menggunakan sumber hadis, tetapi tidak seluas yang digunakan Ahl al-Hadis. Ia mengambil sikap kompromi danpengembangan antara aliran ra’yu dan aliran hadis }. Metode Imam Syafi’i ini berkembang dengan pesat dan mempunyai pengikut yang banyak, baik di Irak maupun di Mesir, yang kemudian disebut Madzab Syafi’iyyah.

Diantara pengikut terkemuka Imam Syafi’i yang kemudian lebih mewarnai pendapatnya dengan hadis ialah Ahmad bin Hanbal (w.241H/ 885 M), yang kemudian mempunyai banyak pengikut, yang disebut Mazhab Hanabilah. Di samping itu, tampil pula mujtahid yang dalam pemahaman ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak berpedoman kepada zahir lafaz dan menghindarkan diri dari membawa pemahamannya keluar (dibalik) lahir lafaz. Tokoh yang masyhur pengembang cara pemikiran ini adalah Daud bin Ali (w. 269 H/8 M) yang juga mempunyai banyak pengikut, dan berkembang sampai waktu ini. Aliran ini kemudian disebut Mazhab Zahiriyyah. 

Kelima aliran tersebut berada dalam lingkup aliran kalam ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran fiqh yang juga muncul pada masa ini adalah Mazhab Syi’ah yang dapat bertahan sampai waktu ini. Madzah terbesar kelompok ini, adalah Mazhab Syi’ah Imamiyah. Periode ini ditandai oleh beberapa kegiatan ijtihad yang menghasilkan fiqh dalam bentuknya yang mengagumkan.

Pertama, kegiatan menetapkan metode berpikir dalam memahami sumber hukum. Untuk maksud ini para ulama menyusun kaidah-kaidah yang dapat mengarahkan mereka dalam usaha mengistinbathkan hukum dari dalil yang sudah ada. Kaidah ini kemudian disebut Ushul Fiqh. Ushul fiqh yang telah tersusun dalam bentuk ilmu yng sistematis muncul dalam karya Imam Syafi’i yang bernama al-Risalah.

Kedua, kegiatan penetapan istilah-istilah hukum yang digunakan dalam fiqh. Untuk memudahkan umat Islam dalam memahami perintah dan larangan syara’, ulama mukallaf mencoba memberi istilah terhadap setiap hukum syara’ yang berkenaan tingkah laku mukallaf. Misalnya istilah wajib, sunat, makruh, haram dan mubah, dan seterusnya. Ketiga, menyusun kitab fiqh secara sistematis, yang tersusun dalam bab dan fasal; bagian dan sub bagian yang mencakup semua masalah hukum, baik yang berkenaan dalam hubungannya dengan Allah, maupun hubungannya dengan manusia dan alam lingkungannya; masing-masing sesuai dengan metode dan cara berpikir imam mujtahidnya.  

C. Kesimpulan

Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa ada tiga tahap dalam perkembangan istilah fiq., Pertama, bermula dari sebuah aktivitas untuk memahami atau menafsirkan Al-Qur’an atau sunnah Nabi, sehingga fiqh identik dengan ra’y (pendapat pribadi dari fuqaha’ atau ahli fiqh), kedua, istilah fiqh mengacu pada pemikiran tentang agama atau pengetahuan tentang agama secara umum yang meliputi ilmu kalam, tasauf, dan lainnya, tidak hanya pengetahuan yang berkaitan dengan hokum, dan ketiga, istilah fiqh berubah dari suatu kegiatan pribadi dalam memahami Al-Qur’an dan Sunah Nabi menjadi suatu displin yang berstruktur serta kumpulan pengetahuan yang dihasilkannya, ada yang menyebut sebagai hukum Islam, yang secara khusus membahas persoalan-persoalan ibadah amaliyah, bukan lagi ilmu kalam, tasauf, dan lain sebagainya.

Perkembangan istilah ini tak lepas dari peran para mujtahidin (periode Imam Mujtahidin) dalam menggunakan akal dan pemahaman dari setiap persoalan yang belum ada di Al-Qur’an maupun Sunah (hadis Nabi), sehingga terjadi pembentukan sistem fiqh, munculnya berbagai aliran-aliran hukum, tersusunnya kitab-kitab fiqh, dan tersusunnya kaidah-kaidah hokum Islam, yang kita kenal dengan ushul fiqh.

Fiqh yang merupakan hasil penalaran mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum amaliyah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad-akan terus berkembang sesuai dengan perubahan dan persoalan zaman. Di samping itu, faktor kekuasaan/politik juga sangat berperan dengan adanya penetapan hukum Islam, salah satunya bertujuan untuk mendukung kekuasaan saat itu.

Fazlur Rahman mencontohkan bahwa pada masa khalifah pertama (kira-kira 40 H/660 M), hokum tak bisa dipisahkan atau bahkan dibedakan dari pemerintah. Karena itu, pada masa ini legislasi, secara sopan santun saja boleh dikatakan dilakukan oleh khalifah sendiri, karena dalam prakteknya hal iu dilakukan oleh umat pada umumnya atau oleh anggota-anggota masyarakat yang senior. Akan tetapi, pada masa Daulat Umayyah, pemerintah mengambil bentuk otokrasi yang berkuasa yang menjadi jelas berbeda dari rakyat. Penguasa-penguasa Umayyah melaksanakan pemerintahannya dari Damaskus, dengan mengambil pedoman terutama dari Qur’an dan Sunah, tetapi dengan penafsiran oleh penasihat-penasihat dan pejabat-pejabat pemerintahan dengan prinsip kepentingan sendiri dan dalam sinaran prakte-praktek local di setiap propinsi negeri yang berbeda-beda.


Daftar Pustaka
  • Rahman. Fazlur. 2000. Islam. Bandung: Penerbit Pustaka. Cetakan IV.
  • Syarifuddin. Amir 2005. Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. Cet. III.
  • Syalabi, Muhammad. 1969. al-Madkhal fi Ta’rif bi al-Fiqih a-Islami, Beirut: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyyah.
  • www. Acehinstitute.org_satriwan_BAB IV_kontekstualisasi_Fiqh.

Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijinkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Makalah Pembentukan Sistem Fiqh, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved