Aneka Ragam Makalah

Sejarah Perkembangan Sistem Politik Indonesia



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Fungsi Lembaga Yudikatif dalam Menjalankan Sistem Politik Indonesia dari Masa Orde Lama Orde Baru sampai Masa Reformasi 

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Badan Yudikatif Indonesia berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Di Indonesia, kini dikenal adanya 3 badang yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan tersebut. Badan-badan itu adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Kekuasaan Negara yang absolute (mutlak) yahng menguasain seluruh bidang kehidupan negara sentalistik dalam satu kekuasaan akan melahhirkan hasil yang tidak efektif dan efisien bahkan cenderung menyimpang dari konstitusi dan peraturan yang berlaku. Untuk itu kenyataan ini mendorong para filosof untuk mencari solusi mengenai upaya distribusi kekuasaan agar merata dan tidak menumpuk pada satu orang atau institusi kekuasaan saja. Pemikiran yang dilahirkan oleh para filosof tersebut adalah salah satunya berupa teori Trias Politica.

Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan negara perlu dilakukan pemisahan dalam 3 bagian yaitu kekuasaan Legislative ,Eksekutif dan yudikatif. Pemisahan ini ditujukan untuk menciptakan efekstivitas dan evisiensi serta transparansi pelaksanaan kekuasaan dalam negara sehingga tujuan nasional suatu negara dapat terwujud dengan maksimal.Khusus mengenai Yudikatif adalah fungsi untuk mengadili penyelewengan peraturan yang telah dibuat oleh legislative dan dilaksanakan oleh eksekutif. Dalam sejarahnya, Indonesia telah mengalami rotasi pergantian kekuasaan. Ini ditandai dengan adanya masa kekuasaan yang dikenal dengan 3 masa, yaitu masa Orde Lama, masa Orde Baru, dan masa Orde Reformasi. Disetiap masa memiliki ciri khas kekuasaan yang berbeda-beda. Dari perbedaan setiap masa, dapat dilihat cara dalam menerapkan kekuasaannya terhadap lembaga-lembaga yang terdapat pada masa itu. Kekuasaan Yudikatif mungkin juga berbeda perananya dalam setiap adanya 3 masa kekuasaan tersebut. Maka disini kami penulis menulis makalah dengan judul “ fungsi lembaga yudikatif dalam sistem politik Indonesia dari masa orde lama, orde baru sampai Reformasi” 

BAB II LANDASAN KONSEPTUAL

A. TEORI SISTEM POLITIK

Analisis Sistem Politik Menurut Almound

Menurut Almond, sistem politik adalah sistem interaksi yang terdapat dalam semua masyarakat yang bebas dan merdeka yang melaksanakan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi (baik dalam masyarakat ataupun berhadap-hadapan dengan masyarakat lainnya). Almond menggunakan pendekatan perbandingan dalam menganalisa jenis sistem politik, yang mana harus melalui tiga tahap, yaitu:
  • Tahap mencari informasi tentang sobjek. Ahli ilmu politik memiliki perhatian yang fokus kepada sistem politik secara keseluruhan, termasuk bagian-bagian (unit-unit), seperti badan legislatif, birokrasi, partai, dan lembaga-lembaga politik lain.
  • Memilah-milah informasi yang didapat pada tahap satu berdasarkan klasifikasi tertentu. Dengan begitu dapat diketahui perbedaan suatu sistem politik yang satu dengan sistem politik yang lain.
  • Dengan menganalisa hasil pengklasifikasian itu dapat dilihat keteraturan (regularities) dan ubungan-hubungan di antara berbagai variabel dalam masing-masing sistem politik.
Menurut Almound sistem politik di bagi menjadi dua yaitu sistem politik otoriter tradisional dan sistem politik modern. Sistem politik tradisional, pembagian kerja tidak jelas, satu struktur bisa banyak fungsi. Sebaliknya sistem politik modern, pembagian kerja jelas dan spesialisasi.


Ciri sistem politk menurut Gabriel A. Almond

1. Semua sistem politik mempunyai sturukut politik
2. Semua sistem politik, baik yang modern maupun primitif, menjalankan fungsi yang sama walaupun frekuensinya berbeda yang disebabkan oleh perbedaan struktur. Kemudian sistem politik ini strukturnya dapat diperbandingkan, bagaimana fungsi fungsi dari sistem-sistem politik itu dijalankan dan bagaimana pula cara/gaya melaksanakannya.
3. Semua struktur politik mempunyai sifat multi-fungsional, betapapun terspesialisasinya sistem itu.
4. Semua sistem politik adalah merupakan sistem campuran apabila dipandang dari pengertian kebudayaan.


Menurut Almound faktor yang mempengaruhi kemampuan Sistem Politik meliputi 4 faktor

1. Elit Politik
- respon, tindakan, dan tujuan elit politik
2. Sumber Material
- materi, sarana, dan prasarana
3. Aparat organisasi
- Misalnya kinerja aparat birokrasi, anggota legislatif, yudikatif
4. Tingkat dukungan terhadap sistem politik
- Membayar pajak
- Kepatuhan lain

Kelembagaan politik dan sistem politik
Menurut Gabriel A Almond setidaknya ada 6 struktur atau lembaga politik dalam sistem politik yakni:
1. Kelompok Kepentingan
2. Parpol
3. Legislatif
4. Eksekutif
5. Yudikatif
6. Birokrasi

Namun demikian, kita juga dapat menempatkan kelembagaan dan kebijakan lain sebagai bagian dari struktur sistem politik, yakni (1) Militer dan (2) Politik luar negeri. Pendekatan struktural-fungsional memfokuskan perhatian kepada peran, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan elit-elit, kelompok, dan kelembagaan tersebut dalam sistem politik, baik pada proses input, konversi, output, hingga feedback.


Konsep Politik Almond

Keunggulan dan kelemahan pendekatan yang dikembangkan oleh Almound dan Easton. Keunggulan dari kedua ragam pendekatan yang dikembangkan oleh Easton dan Almond antara lain adalah:

  • Dalam membuat analisis politik, Easton dan Almond selalu peka akan kompleksitas antara sistem politik dengan sistem sosial yang lebih besar, yang mana sistem politik adalah sub-sistemnya.
  • Kesederhanaan pendekatan. Konsep ini dapat dipakai untuk menganalisis berbagai macam sistem politik, demokratis atau otoriter, tradisional atau modern, dan sebagainya. Konsep Easton dan Almon berasumsi bahwa semua sitem memproses komponen-komponen yang sama sehingga kedua pendekatan itu bermanfaat dalam upaya mencari metode analisis dan pembandingan sistem politik yang seragam.
  • Konsep yang diajukan oleh Almond memberi arahan untuk mencari data baru yang dapat meluaskan cakrawala perhatian ke masyarakat non-Barat dan non-”modern”.
  • Kelemahan dari konsep atau pendekatan yang dikembangkan oleh Easton dan Almond:
  • Analisis yang dikemukakan (baik sistem maupun struktural-fungsional) tidak memberikan rumusan yang terbukti secara empirik (tidak menghasilkan teori).
  • Tidak menjelaskan hubungan sebab-akibat. Kedua pendekatan itu lebih mentitikberatkan pada penjelasan analisis.
  • Analisis struktural-fungsional Almond memiliki masalah ketidakjelasan konsep tentang fungsi. Almond tidak menjelaskan garis-garis yang membatasi fungsi-fungsi dalam masyarakat politik.
  • Kedua pendekatan itu dikritik karena sangat dipengaruhi oleh ideologi demokrasi-liberal Barat. Terlihat jelas pada asumsi Almond yang mengatakan bahwa fungsi-fungsi yang ada di sistem politik di Barat pasti juga ada di sistem non-Barat.
  • Kedua pendekatan itu juga dikritik kecenderungan ideologisnya karena cara memandang masyarakat yang terlalu organismik. Easton dan Almond menyamakan masyarakat dengan organisme, yang selalu terlibat dalam proses diferensiasi dan koordinasi. Selain itu mereka juga memandang masyarakat sebagai makhluk biologis yang selalu mencari keseimbangan dan keselarasan.
Lembaga Yudikatif

Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan peradilan di mana kekuasaan ini menjaga undang-undang, peraturan-peraturan dan ketentuan hukum lainnya benar-benar ditaati, yaitu dengan menjatuhkan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum/undang-undang. Selain itu Yudikatif juga bertugas untuk memberikan keputusan dengan adil sengeketa-sengketa sipil yang diajukan ke pengadilan untuk diputuskan.1 Badan Yudikatif dalam Negara-negara Demokratis

Common Law

Terdapat di negara-negara Anglo Saxon dan memulai pertumbuhan di Inggris pada Abad Pertengahan. Sistem ini berdasarkan prinsip bahwa di samping undang-undang yang dibuat oleh parlemen (yang dinamakan statue law) masih terdapat peraturan-peraturan lain yang merupakan common law, yaitu kumpulan keputusan yang dalam zaman lalu telah dirumuskan oleh hakim. Di negara-negara dengan sistem common law, tidak ada suatu sistem huukum yang telah dibukukan (dikodifisir). Dalam hal ini common law mirip dengan sistem Hukum Perdata Adat tak tertulis.

Civil Law

Terdapat banyak di Negara Eropa Barat Kontinental. Dalam sistem ini, hukum telah lama tersusun rapi, dengan kata lain penciptaan hukum secara sengaja oleh hakim adalah tidak mungkin. Hakim hanya mengadili perkara berdasarkan hukum yang termuat dalam kodifikasi saja. Di negara federal kedudukan badan yudikatif, terutama pengadilan federal, mendapat kedudukan yang lebih istimewa daripada negara kesatuan karena biasanya mendapat tugas menyelsaikan persoalan-persoalan konstitusional yang telah timbul antara negara federal dengan Negara bagian, atau antarnegara-negara bagian. Sedangkan persoalan seperti itu tidak ditemukan di ngara kesatuan.

BAB III PEMBAHASAN
SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM POLITIK INDONESIA

A. Perkembangan Sistem Politik dari Masa Orde Lama sampai Masa Reformasi

1. Orde Lama ( Demokrasi Parlementer )

Era 1950-1959 adalah era di mana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959 Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.

Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, atau dikenal dengan UUDS 1950, adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan "sementara", karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru hingga berlarut-larut.

Sistem Pemerintahan Parlementer

Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara lain:
A. Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.

B. Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP – KNIP Didasarkan pada konstitusi RIS. Pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah system parlementer cabinet semu (Quasy Parlementary). Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukan cabinet parlementer murni karena dalam system parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.

Landasannya adalah UUD ’50 pengganti konstitusi RIS ’49. Sistem Pemerintahan yang dianut adalah parlementer cabinet dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu. Ciri-ciri:
a. Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
b. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
c. Presiden berhak membubarkan DPR.
d. Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.


Orde Lama ( Demokrasi Terpimpin )

Demokrasi terpimpin selalu diasosiasikan dengan kepemimpinan Sukarno yang otoriter. Hal itu berawal dari gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959 yang akhirnya mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu dikeluarkan dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin. Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan KSAD. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama.

Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib parpol ditentukan oleh presiden (10 parpol yang diakui). Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat.

Semua lembaga yang pernah ada dibubarkan oleh Presiden dan diganti dengan orang-orang pilihan Presiden sendiri. Presiden Soekarno mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup, berkembangnya ideologi NASAKOM, dan Indonesia keluar dari organisasi dunia yaitu PBB. Sebagai akhir dari masa demokrasi terpimpin adalah dengan adanya pemberontakan PKI pada tahun 1965.

2. Orde Baru

Pada saat orde baru suharto menjabat sebagai Presiden ditandai dengan adanya Supersemar. Saat orde baru pemerintah ORBA bertekat untuk menjalankan UUD 1945 dan pancasila secara murni dan konsekuwen. Pada saat orde baru mEenggunakan sistem demokrasi pancasila yang di bawah kepemimpinan Suharto dan menganut sistem presidensial. Pada saat kepemimpinan Suharto begitu kuatnya kepemimpinan atau kekuasaan presiden dalam menopang dan mengatur seluruh proses politik, dan itu semua mengakibatkan terjadinya sentralistik kekuasaan pada presiden.

Akibat dari kuatnya kekuasaan Presiden atas pemerintahan maka indikator dari demokrasi tidak terlaksana, yaitu rotasi kekuasaan eksekutif tidak ada, rekruitmen politik di batasi, KKN merajalela. Kepemimpinan suharto banyak sekali diwarnai dengan adanya lobi politik yang tidak sehat. Maka dapat disimpulkan bahwa memang benar hubungan komunikasi pribadi lebih menentukan dibandingkan dengan saluran komunikasi formal. Kemacetan yang dialami sistem politik Indonesia saat itu menunjukkan bahwa pada akhirnya komunikasi antar partai politik yang mendudukkan wakilnya di DPR/MPR tak lagi bisa menampung aspirasi rakyat.

Contoh yang paling lengkap adalah bagaimana kekuasaan politik

Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proses komunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan, presiden. Badan legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain hanya mendukung presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota DPR/MPR akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal dan kritis. Setelah masyarkat indonesia bosan tentang sistem politik yang dijalankan pada saat ORBA maka puncaknya atas tuntutan seluruh masa ( dimotori oleh Mahasiswa maka tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh Wapres Prof.B.J Habibi. 

3. ORDE REFORMASI

Setelah masa ORBA telah runtuh maka kemudian munculah masa reformasi, pada saat masa reformasi masih menggunakan demokrasi pancasila dan menganut sitem pemerintahan presidensial. Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.

Saat masa reformasi kemerdekaan dan kebebasan pers sebagai media komunikasi politik yang efektif di sahkan, tidak seperti pada saat ORBA yang diliput pers hanya kebaikannya pemerintah saja yang diberitakan.
Dalam era reformasi ini upaya untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam kegiatan pemerintah semakin terbuka, sehingga sosialisasi politik pun berjalan dengan baik. Pemerintahan era reformasi merupakan awal untuk menjadi negara yang demokratis, yang sesuai dengan Amandemen UUD 1945 untuk mengatur kekuasaan dalam negara agar lebih demokratis.

Dengan tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik, masyarakat semakin tahu hak dan kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai sebuah masukan kedalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tidak aneh. Salah satu manifestasi itu adalah keberanian umat Islam untuk mendirikan partai, sesuatu yang tabu dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa. Puncak pengekangan itu terlihat dari paket UU Politik dimana asas tunggal partai adalah Pancasila.

Dalam tempo singkat partai-partai berbasiskan Islam bermunculan mulai dari kalangan pendukungnya Nahdhatul Ulama sampai dengan Muhammadiyah. Apakah mereka mampu menampilkan sebuah format komunikasi politik yang bisa memikat umat dalam pemilu mendatang ? Pertanyaan ini sangat menentukan karena pemilu mendatang akan cenderung mengutamakan sifat-sifat distrik dibandingkan proporsional. Konsekuensinya, partai harus memiliki orang-orang yang mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan partainya kehadapan masyarakat.

Jika pemerintah sudah berangsur-angsur membuka diri dan memberikan banyak isyarat tentang keterbukaannya, maka partai-partai pun sudah seyogyanya menampilkan sebuah aksi yang lebih dewasa dan bukannya emosional. Persaingan memperebutkan suara akan lebih ketat karena puluhan partai akan terjun dalam kampanye untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya di DPR tingkat daerah atau pusat.


BAB IV PEMBAHASAN DINAMIKA PERKEMBANGAN YUDIKATIF DARI ORDE LAMA SAMPAI REFORMASI

1. Perkembangan Kekuasaan Yudikatif dari Masa Orde Lama sampai Reformasi
  • Orde Lama ( Masa Demokrasi Terpimpin )
Pada masa demokrasi terpimpin telah terjadi penyelewengan – penyelewengan terhadap asas kebebasan badan yudikatif seperti yang ditetapkan oleh undang – undang dasar 1945 yaitu dengan dikeluarkannya Undang – Undang No. 19 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang dalam pasal 19 undang – undang itu dinyatakan : Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa ata kepentingan masyarakat yang mendesak, presiden dapat ikut turut campur tangan dalam soal pengadilan. Di dalam penjelasan umum undang undang itu dinyatakan bahwa trias politika tidak mempunyai tempat sama sekali dalam hukum nasional Indonesia karena kita berada dalam revolusi, dan dikatakan selanjutnya bahwa pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang – undang. Nyatalah disini bahwa isi undang – undang itu bertentangan sekali dengan isi dan jiwa undang – undang dasar 1945. Oleh karena itu tepatlah bahwa MPRS sebagai lembaga negara tertinggi dalam sidangnya yang ke-4 antara lain telah mengeluarkan ketetapan MPRS No.XIX Tahun 1966, tentang peninjauan kembali produk - produk legislatif negara di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan undang – undang dasar 1945.sesuai dengan asas kebebasan badan yudikatif seperti tercantum dalam undang – undang No. 14 Tahun 1970 pasal 4 ayat 3 menentukan bahwa “ segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak – pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal tersebut dalam undang – undang dasar.

Pada masa Orde Lama proses pengangkatan (rekrutmen) Hakim Agung melibatkan ketiga lembaga tinggi negara yaitu eksekutif (Presiden) dan Menteri Kehakiman, yudikatif (MA) dan legislatif (DPR). Aturan ini khusus ditetapkan bagi pemilihan Hakim Agung, sedangkan dalam pemilihan hakim biasa hanya melibatkan pihak yudikatif dan eksekutif. Dalam Pasal 4-11 Ayat (2) KRIS ditetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan hakim Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden atas anjuran DPR dari sekurang-kurangnya 2 (dua) calon bagi tiap-tiap pengangkatan. Pengangkatan (pemilihan) Hakim Agung pada masa Orde Lama meski melibatkan lembaga negara lainnya yakni DPR, namun keputusan akhir tetaplah berada di tangan eksekutif (Presiden).

Salah satu penyimpangan dan politisasi dalam pemilihan Hakim Agung yang sekaligus memperlihatkan begitu berkuasanya eksekutif (Kepala Negara) saat itu adalah dengan diangkat dan ditetapkannya Ketua MA sebagai penasehat hukum Presiden dengan pangkat Menteri berdasarkan Per. Pres. 4/1962, LN 38). Meskipun Ketua MA pada saat itu berkilah bahwa ia tidak akan menjadi pejabat eksekutif dan menjadi alat dari pemerintah, namun dalam kenyataannya MA telah kehilangan kebebasannya dan kemandiriannya.
  • Orde Baru
Diharapkan bahwa dengan adanya wewenang judical review ini, dijamin tidak terulang kembali penyelewengan – penyelewengan yang dilakukan oleh Ir. Soekarno pada masa demokrasi terpimpin. Akan tetapi rupanya pemerintah berpendapat lain, seperti terbukti dari undang – undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan – ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang menggantikan Undang – Undang No.19 Tahun 1964. Melihat pasal 26 Undang – Undang No. 14 Tahun 1970 yang mengatur hak mahkamah agung untuk menguji dan menyatakan tidak sah semua peraturan perundangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang – undang, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pedoman kita dalam hal ini adalah sesuai dengan pasal 130 Undang undang dasar RIS dan pasal 95 Undang – Undang Dasar Sementara 1950 bahwa “ Undang – Undang tidak dapat di ganggu gugat”. Berarti hanya Undang – Undang Dasar dan Ketetapan MPR(S) yang dapat memberi ketentuan apakah Mahkamah Agung berhak menguji undang – undang atau tidak. Tidak disebut hak menguji ini dalam Undang Undang dasar 1945 dan dalam ketetapan MPR(S) yang dapat mengaturnya sebagai suatu perwujudan dari hubungan hukum antara alat perlengkapan Negara yang ada dalam negara, berarti bahwa undang – undang ini ( undang – undang pokok ketentuan kehakiman ) tidak dapat memberikan kepada mahkamah agung kewenangan hak menguji, apalagi secara materiil undang – undang terhadap undang – undang dasar. Hanya undang – undang dasar ataupun ketetapan MPR(S) yang dapat memberikan ketentuan.

Pemilihan anggota Yudikatif dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahdep. Status Ketua Mahkamah Agung sudah tidak menjadi menteri. Hakim agung yang berhasil dipilih umumnya didasarkan pada kualitas yang tidak jelas. Adanya indikasi praktek droping nama dengan cara hakim agung biasanya akan memberikan usulan nama kepada ketua Mahkamah Agung dengan harapan Ketua Mahkamah Agung akan memberikan perhatian kepada kandidat dan memasukkan namanya dalam daftar. Adanya indikasi jaringan, petemanan, hubungan keluarga dan sebagainya yang mengakibatkan pemelihan dilakuakan tidak secara objektif. Beberapa hakim yang ada yang memiliki hubungan satu samalain, misalnya memiliki latar belakang sosial atau keluarga yang sama. Hubungan seperti ini seringkali mempengaruhi proses penentuan daftar nama yang dususun ketua Mahkamah Agung. Adanya Indikasi praktik-praktik suap sengan cara memberikan hadiah atau membayar sejumlah uang yang dilakuarkan oleh seseorang yang ingin dicalonkan. dalam prakteknya yudikatif masih didominasi oleh eksekutif, dibuktikan dengan setiap mempresentasikan calon hakim harus disertai memasukkan nama-nama dari militer maupun kejaksaan. Sehingga dalam prakteknya pun masih didominasi eksekutif. Kekuasaan yudikatif tidak bisa memeriksa eksekutif, masalnya kasus – kasus yang menyangkut presiden, prakteknya presiden diatas lembaga yudikatif. Adanya asas judicial review, sekalipun diakui adanya hak menguji untuk aturan yang lebih rendah dari UU (Pasal 26 UU Nomor 14 Tahun 1970). 
  • Masa Reformasi
Kekuasaan kehakiman di Indonesia banyak mengalami perubahan sejak masa reformasi. Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 November 2001, mengenai bab kekuasaan kehakiman BAB IX memuat beberapa perubahan ( Pasal 24A, 24B, 24C ) amandemen menyebutkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terdiri atas Mahkamah agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah agung bertugas untuk menguji peraturan perundangan dibawah UU terhadap UU. Sedangkan Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji UU terhadap UUD45.

a. Mahkamah Konstitusi (MK)

berwenang untuk :
1). mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk :
• menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (Judicial Review)
• memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara
• memutuskan pembubaran partai politk
• memutuskan perselisihan tentang pemilihan umum

2). Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) presiden dan/atau wakil presieden aras permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadp Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.

b. Mahkamah Agung (MA)

Kewenangannya adalah menyelenggarakan kekuasaan peradilan yang berada dilingkunan peradilan umum, militer, agama, dan tata usaha Negara. MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi. Calon hakim diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Ketua dan wakil ketua MA dipilih dari dan oleh hakim agung, Hakim agung dipilih berdasarkan kualitasnya. Keputusan mahkamah agung terlepas dari kekuasaan eksekutif. Mahkamah agung bisa Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) presiden dan/atau wakil presieden aras permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela. kedudukan yudikatif, eksekutif, legislatif sama, jadi peran yudikatif tidak bisa dipengaruhi oleh eksekutif atau legislatif, yudikatif berdiri sendiri.

PERAN LEMBAGA YUDIKATIF DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA
MENURUT  (GABRIEL ALMOND)
  • Rekruitmen politik: pemilihan anggota lembaga yudikatif dilakukan oleh eksekutif secara langsung, dan status ketua Mahkamah Agung diberi status menteri.
  • Sosialisasi politik: didominasi oleh eksekutif karena, ketua mahkamah Agung menjadi bagian dari eksekutif, dan pengadilan pun juga tidak terlepas dari kekuasaan eksekutif.
  • Komunikasi politik: didominasi oleh Presiden, karena presiden dapat ikut campur tangan, juga kekuasaan yudikatif tidak bebas dari kekuasaan eksekutif
  • Rekruitmen politik: pemilihan anggota Yudikatif dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahdep. Status Ketua Mahkamah Agung sudah tidak menjadi menteri. Hakim agung yang berhasil dipilih umumnya didasarkan pada kualitas yang tidak jelas. Adanya indikasi praktek droping nama dengan cara hakim agung biasanya akan memberikan usulan nama kepada ketua Mahkamah Agung dengan harapan Ketua Mahkamah Agung akan memberikan perhatian kepada kandidat dan memasukkan namanya dalam daftar. Adanya indikasi jaringan, petemanan, hubungan keluarga dan sebagainya yang mengakibatkan pemelihan dilakuakan tidak secara objektif. Beberapa hakim yang ada yang memiliki hubungan satu samalain, misalnya memiliki latar belakang sosial atau keluarga yang sama. Hubungan seperti ini seringkali mempengaruhi proses penentuan daftar nama yang dususun ketua Mahkamah Agung. Adanya Indikasi praktik-praktik suap sengan cara memberikan hadiah atau membeyar sejumlah uang yang dilakuakan oleh seseorang yang ingin dicalonkan.
  • Sosialisasi politik: dalam prakteknya yudikatif masih didominasi oleh eksekutif, dibuktikan dengan setiap mempresentasikan calon hakim harus disertai memasukkan nama-nama dari militer maupun kejaksaan. Sehingga dalam prakteknya pun masih didominasi eksekutif.
  • Komunikasi politik: kekuasaan yudikatif tidak bisa memeriksa eksekutif, masalnya kasus – kasus yang menyangkut presiden, prakteknya presiden diatas lembaga yudikatif. 
  • Adanya asas judicial review, sekalipun diakui adanya hak menguji untuk aturan yang lebih rendah dari UU (Pasal 26 UU Nomor 14 Tahun 1970). • Rekruitmen politik: penetapan calon hakim dilakukan oleh Ahkamah Agung, hakim agung dipilih berdasarkan kualitasnya.
  • Sosialisasi politik: keputusan mahkamah agung terlepas dari kekuasaan eksekutif. Mahkamah agung bisa Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) presiden dan/atau wakil presieden aras permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.
  • Komunikasi politik: kedudukan yudikatif, eksekutif, legislatif sama, jadi peran yudikatif tidak bisa dipengaruhi oleh eksekutif atau legislatif, yudikatif berdiri sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
  • Gabriel Almond and G Bingham Powell, Comparative Politics: A Developmental Approach. New Delhi, Oxford dan IBH Publishing Company, 1976, p. 167. 
  • Mochtar Pabottinggi, “Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik” dalamIndonesia dan Komunikasi Politik, Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (eds). Jakarta, Gramedia, 1993, p. 54.
  • Maria Farida Indrati S., “ILMU PERUNDANG-UNDANGAN 1, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan”, 2007:113
  • Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
____________
1. (Maria Farida Indrati S., “ILMU PERUNDANG-UNDANGAN 1, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan”, 2007:113)


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved