Makalah: Definisi Action Manga Dan Teori Bahasa Visual Dalam Komik Dan Manga
PEMBAHASAN
1. Pengertian Manga
Kata manga sendiri merupakan bahasa Jepang untuk komik. Komik sendiri menurut penulis adalah gambar bercerita yang sekuensial (berturutan). Meskipun komik dan manga memiliki arti harfiah yang sama, penulis menekankan penggunaan kata manga terbatas pada komik asal Jepang saja. Sejalan dengan hal ini, penulis pun menggunakan istilah mangaka untuk komikus yang membuat manga.
Adapun action manga, sesuai dengan namanya, adalah manga yang memiliki daya tarik dalam hal action. Action di sini penulis artikan sebagai adegan-adegan seru dan dramatis dalam manga. Adegan-adegan ini memiliki visual yang kuat sehingga mampu memukau pembacanya.. Yang termasuk ke dalam adegan action adalah seperti: adegan pertempuran atau pertarungan, adegan kejar-kejaran, adegan konflik dan konfrontasi, adegan bencana alam, adegan kecelakaan, dan adegan-adegan dramatis lainnya.
Peneliti komik dari Amerika, Scott Mc Cloud, menyebutkan dalam beberapa bukunya bahwa manga bahkan menginspirasi komik-komik Amerika sendiri pada masa 80-an yang kala itu genre mainstream-nya adalah superhero[1]. Mc Cloud menyebutkan gaya manga dalam bercerita jauh di atas komik-komik Amerika, khususnya dalam hal melibatkan partisipasi pembacanya. Beberapa kelebihan manga saat itu seperti penggunaan speedline untuk menggambarkan gerakan, transisi panel yang berbeda, kematangan genre, dan lain-lain, diadopsi oleh beberapa komikus Amerika dalam karya-karya mereka. Saat ini bahkan ada manga buatan Amerika, meskipun hal itu masih kontroversial. Biar bagaimana pun, perbedaan bahasa visual lah yang menyebabkan terjadinya asimilasi budaya seperti hal di atas.
2 Bahasa Visual dalam Komik dan Manga
Karena komik merupakan media visual, bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan pemirsanya adalah bahasa visual. Meskipun bahasa visual yang digunakan dalam komik dapat berbeda tergantung dengan latar belakang budaya dan semacamnya, tujuan dasarnya tetaplah sama yaitu bercerita. Sejak manusia bercerita satu sama lain, para pencerita selalu menginginkan dua hal dari pemirsa mereka. Mereka ingin pemirsa memahami cerita mereka ingin pemirsa ”mendengarkan” sampai selesai. Untuk mencapai tujuan pertama, diperlukan cara berkomunikasi yang jelas sedangkan untuk mencapai tujuan kedua, dibutuhkan pemahaman tentang elemen-elemen yang dapat membujuk pemirsa agar tetap memperhatikan. Dalam komik, cerita tersebut dituangkan dalam bentuk rangkaian visual (citra) dan bisa juga dilengkapi kata-kata. Penggabungan antara kejelasan dan komunikasi merupakan syarat utama agar suatu komik dapat mencapai tujuan utamanya untuk bercerita.
1 Lima Konsep Pemilihan dalam Berkomunikasi Melalui Komik
Komik merupakan aliran pilihan yang berkesinambungan, terdiri dari pencitraan, alur cerita, dialog, komposisi, gestur, dan bermacam pilihan lainnya. Pilihan-pilihan itu terbagi menjadi lima tipe dasar[2]:
- Pilihan Momen
- Pilihan Bingkai
- Pilihan Citra
- Pilihan Kata
- Pilihan Alur
Pemilihan momen adalah memilih momen-momen yang ingin ditampilkan ke dalam panel dan momen-momen yang harus dibuang. Ditambah dengan pemilihan transisi panel yang baik, komikus dapat menghemat panel demi efisiensi, menambah panel demi penekanan, mengatur intensitas cerita, dan hal-hal lainnya.
Pemilihan bingkai adalah tahap ketika komikus menentukan seberapa dekat bingkai sebuah aksi untuk menunjukkan rincian yang pantas atau seberapa jauh bingkai agar pembaca dapat melihat tempat aksi berlangsung dan mungkin membangkitkan kesan berada di tempat kejadian. Proses ini ditentukan oleh faktor-faktor komposisi seperti cropping (tata pandang), balance (keseimbangan), dan tilt (kemiringan), yang memengaruhi tanggapan pembaca terhadap dunia di dalam komik serta posisi mereka di sana. Dalam proses cropping misal, komikus memilih pegambilan sudut pandang atas/tengah/bawah maupun close up/middle shot/long shot. Sedangkan dalam balance, komikus mengatur rana agar keseimbangan fokus dalam panel tepat. Adapun tilt digunakan untuk memberi efek tertentu seperti kesan gerak maupun dramatis.
Memilih bingkai momen dalam komik sama seperti memilih bingkai sudut kamera dalam fotografi dan film. Perbedaannya tentu saja adalah ukuran, bentuk, dan posisi dalam panel komik. Dibandingkan dengan fotografi dan film, bingkai dalam komik jauh lebih beragam dalam bentuk panel-panel yang diatur. Meskipun demikian fungsi pemilihan bingkai sama saja dengan pada fotografi dan film yaitu sebagai alat untuk mengarahkan pembaca ke titik yang tepat.
Pemilihan citra adalah bagaimana komikus mengisi bingkai dengan gambar yang membawa dunia cerita yang ia buat ke dalam bentuk rupa yang terlihat hidup. Pemilihan citra untuk komik tentu saja berbeda-beda sesuai dengan ”gaya” setiap komikus, ada yang realis-naturalis, ada yang kartun, dan lain-lain. Tentu saja apapun gaya yang dipilih masing-masing komikus, yang utama dan yang terpenting adalah bagaimana berkomunikasi dengan cepat, jelas, dan tepat kepada pembaca. Untuk komik bergenre tertentu mungkin lebih tepat pemilihan gaya realis sedangkan untuk genre yang lain gaya kartun lebih cocok. Tentu saja perihal pemilihan citra ini tidak hanya terbatas pada karakter komik saja melainkan meliputi background dan detil-detilnya. Pemilihan citra yang baik akan sangat mempengaruhi kesan pembaca terhadap dunia di dalam komik itu sendiri.
Meskipun dalam kasus-kasus tertentu ada komik yang murni gambar namun karena sebagian besar komik menggunakan gambar sekaligus kata, maka pemilihan kata menjadi hal yang penting selain pemilihan citra. Kata membawa ketegasan yang tiada banding dalam komik, tak ada kesamaran makna citra yang tak bisa dijelaskan oleh kata. Ada beberapa konsep dan nama tertentu yang hanya dapat dijelaskan dengan kata-kata. Tentu saja ketika komik menampilkan percakapan, kata-kata menjadi sangat penting. Selama ribuan tahun, kata telah digunakan untuk bercerita dan berhasil melakukannya tanpa bantuan gambar. Namun dalam komik, baik kata maupun gambar harus bekerja sama dengan baik. Pada akhirnya ketika gambar memberikan solusi lebih baik daripada kata, komikus dapat menyingkirkan kata.
Dalam komik, kata dapat muncul dalam beberapa hal. Pertama, kata dapat menjadi narasi untuk menjelaskan gambar. Kemudian kedua, kata dapat berperan maksimal sebagai dialog atau percakapan dalam komik. Hal ini terwujud dalam bentuk balon kata dan semacamnya. Yang ketiga, kata juga dapat mengambil fungsi sound effect (efek suara) untuk membuat pembaca ”mendengar” bunyi yang terjadi dalam komik. Yang terakhir, kata dapat menjadi bagian langsung dari gambar sebagai bentuk terintegrasi. Sebagai contoh adalah penggunaan kata dalam gambar rumah makan atau gapura desa, dan lain-lain.
Terakhir, pemilihan alur dalam komik sangat berkaitan dengan tata panel. Tujuan utama pemilihan alur adalah untuk menuntun pembaca mengikuti jalan cerita komik dari awal sampai akhir. Dalam komik, alur baca yang baik ditentukan dengan pengaturan panel ke panel yang tepat, baik itu penempatan panel maupun jarak antar penel. Di berbagai negara, alur baca yang disepakati oleh komikus dan pembaca melalui perjanjian tidak tertulis adalah dari kiri-kanan dan dari atas-bawah. Dalam manga, alur kiri-kanan menjadi kanan-kiri. Oleh karena itu pengaturan alur yang baik dapat menuntun pembaca untuk menyusuri panel demi panel, dari awal sampai akhir, tanpa menyebabkan kebingungan, sesuai naluri alamiah setiap pembaca, entah yang menggunakan alur kiri-kanan ataupun sebaliknya.
Lima pilihan ini bukanlah tahap-tahap pembuatan komik yang harus dijalankan berurutan. Setiap komikus biasanya menukar-nukar urutan sesuai kebutuhan mereka. Keputusan pemilihan momen, bingkai, dan alur biasanya ditentukan dalam tahap perencanaan komik, sementara pemilihan citra dan kata ditentukan dalam proses akhir. Pada akhirnya, pembuatan suatu komik merupakan serangkaian keputusan. Memilih momen yang tepat untuk dituangkan dalam panel, membingkai aksi dan menuntun mata pembaca, memilih kata dan gambar yang saling melengkapi, serta mengaturnya alur yang memudahkan pembaca dalam mengikuti cerita dari awal sampai akhir. Penguasaan teknik, penjiwaan, intuisi, serta pengalaman setiap komikus dalam memutuskan pilihan-pilihan tersebut menentukan enak tidaknya komik buatan mereka dibaca.
2 Gaya Bercerita Manga
Sebelumnya penulis menyebutkan bagaimana di tahun 80-an komik Jepang alias manga telah menginspirasi komik Amerika. Menurut analisa Mc Cloud, setidaknya ada delapan teknik bercerita manga yang tidak dapat ditemukan dalam main stream komik superhero pada saat itu[3], meliputi:
- Wajah dan figur sederhana emotif yang memancing identifikasi pembaca.[4]
- Kematangan genre, pemahaman cara bercerita yang unik mendorong terciptanya ratusan genre seperti olahraga, roman, fiksi ilmiah, fantasi, bisnis, horor, komedi, dan lain-lain.
- Kesan tempat yang kuat. Rincian lingkungan yang dipicu ingatan inderawi dan ketika dipertemukan dengan karakter ikonik memancing efek masking[5]. Sekartun apapun gaya gambar karakter dalam manga, latar belakang (background) tempatnya cenderung realis.
- Rancangan karakter yang sangat beragam, menampilkan tipe wajah dan tubuh yang berbeda dan sering menggunakan arketip yang kita kenal.
- Seringnya penggunaan ”panel bisu” dipadukan dengan transisi aspek ke aspek, mendorong pembaca menyusun kepingan informasi rupa dari setiap adegan.
- Rincian dunia nyata sampai hal-hal kecil. Sebuah apresiasi untuk keindahan yang remeh temeh dan kaitan nilai-nilainya kepada pengalaman sehari-hari pembaca, bahkan dalam cerita fantastis atau melodramatis.
- Gerak subjektif. Menggunakan latar yang tidak jelas dengan efek speed line dan semacamnya untuk membuat pembaca merasa bergerak bersama si karakter, bukan hanya menonton gerakan dari podium.
- Efek ekspresif dan emosional yang beragam seperti latar ekspresionistis, karikatur subjektif dan montase. Semua menyediakan jendela bagi pembaca untuk melihat yang dirasakan si karakter.
Masing-masing teknik memberikan pengalaman yang berbeda namun dengan mempelajari reaksi pembaca dan melihat peran manga dalam masyarakat Jepang, dapat disimpulkan suatu tema umum. Semua teknik itu seolah-olah dikeluarkan demi satu tujuan. Entah itu melalui wajah ikonik dan keragaman arketip rupa yang harus diisi oleh pembaca untuk meresapi karakter, atau pemandangan bisu yang menempatkan pembaca dalam sebuah dunia, atau kaitan tidak langsung dengan pengalaman nyata dan ketertarikan pembaca, atau perlengkapan garafis yang menggerakkan pembaca secara emosional, juga bergerak secara harfiah, semua teknik tersebut memancing partisipasi pembaca. Sebuah rasa menjadi bagian cerita, bukan hanya memperhatikan dari jauh. Dari semua format, pemasaran, dan perbedaan kultur Amerika-Jepang, ciri-ciri yang disebutkan di ataslah yang mendorong keberhasilan manga di kampung halaman mereka dan juga di Amerika.
3 Kerangka Komik dan Manga
Cerita dalam komik sama halnya dengan cerita pada film dan novel, memiliki pembagian-pembagian adegan. Secara garis besar, cerita komik pun dibagi menjadi 4 bagian meliputi:
1. Perkenalan
2. Komplikasi
3. Klimaks
4. Penyelesaian
Sebagai permulaan suatu cerita komik biasanya adalah sebuah perkenalan tentang tokoh utama dan permasalahannya. Perkenalan ini meliputi: siapakah dia, bagaimana tampilannya, di mana setting komiknya, apa yang menjadi tujuan si tokoh, konflik apa yang dialaminya, bagaimana hubungannya dengan tokoh-tokoh lain, dan informasi-informasi lain yang diperlukan pembaca untuk memahami karakter dan dunia di dalam komik secara garis besar. Untuk menarik pembaca biasanya pada bagian perkenalan ini dalam action manga dibuat seatraktif mungkin. Hal ini dilakukan untuk memberi kesan yang ”wah” pada pembaca agar terus mengikuti cerita sampai akhir.
Bagian selanjutnya adalah komplikasi di mana masalah yang dihadapi sang protagonis semakin pelik. Tokoh antagonis pun semakin terasa pengaruhnya pada bagian ini dan sang protagonis dihadapkan dengan pilihan besar untuk menghadapi sang antagonis atau melarikan diri. Kemelut pun terjadi ketika tokoh protagonis berhadapan langsung dengan tokoh antagonis. Mereka siap ”bertempur” langsung.
Klimaks boleh dibilang merupakan bagian terseru dalam suatu cerita komik. Karena sang protagonis biasanya memilih untuk menghadapi antagonis secara langsung, maka terjadilah ”pertempuran” antara keduanya. Idealisme yang dibawa masing-masing yang saling bertentangan kemudian dipertaruhkan. Masing-masing pihak mengeluarkan kemampuan terbaik mereka.
Selanjutnya tergantung dari komikusnya sendiri, namun biasanya sang protagonis berhasil mengalahkan sang antagonis. Prinsip yang ia bawa berhasil ditegakkan dan hal ini tergolong penyelesaian yang happy ending. Setelah itu ketegangan pun menurun, sang protagonis pun memutuskan apa yang akan dilakukannya setelahnya. Namun ada juga komikus yang sengaja memilih bad ending di mana justru sang antagonis yang berhasil menundukkan protagonis, atau kedua-duanya kalah. Tak menutup kemungkinan adanya ending yang ”menggantung” di mana tidak jelas apakah cerita sudah selesai atau masih berlanjut.
Dalam action-adventure manga yang biasanya diterbitkan berseri dengan seri yang panjang, cerita keseluruhan dibagi kedalam beberapa cerita bagian. Kesetiap cerita bagian itu biasanya terdiri dari sekian chapter. Oleh karena itu pembagian adegan dilakukan per cerita bagian. Wajarnya setiap manga sampai benar-benar tamat memiliki banyak klimaks tergantung banyaknya cerita bagian. Klimaks utama terdapat pada cerita bagian yang terakhir. Sebagai contoh dalam manga paling terkenal ”Dragon Ball” ada beberapa cerita bagian meliputi: ” Tenka Ichi Budokai Arc”, ”Red Ribbon Arc”, ”Pikkoro Arc”, ”Saiyan Attack Arc”, ”Namec dan Freeza Arc”, ”Android Arc”, ”Cell Arc”, dan terakhir ”Bhu Arc”.
Seperti halnya cerita dalam film dan novel, pada komik pun dikenal ada yang namanya alur. Ada tiga alur yang kita ketahui, yaitu: alur maju; alur mundur; dan alur gabungan. Sampai saat ini biasanya alur gabungan lah yang paling sering digunakan oleh mangaka dalam manga mereka. Alasannya adalah penggunaan alur ini sangat fleksibel di mana di pertengahan cerita mangaka bisa melakukan kilas balik masa lalu suatu tokoh untuk memperjelas cerita, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
- Scott Mc Cloud, “Membuat Komik”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008
- Understanding Comics, Memahami Komik”, Scott Mc Cloud, KPG, Jakarta, 2001
Footnote
__________________
__________________
[1] Scott Mc Cloud, “Membuat Komik”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 219.
[2] Ibid, hlm. 9-39.
[3] Ibid, hlm. 215-223.
[4] Penjelasan lebih lanjut baca “Understanding Comics, Memahami Komik”, Scott Mc Cloud, KPG, Jakarta, 2001, hlm. 29-45.
[5] Perbedaan gaya antara karakter dengan background, meskipun tetap saja terlihat terpadu.