Aneka Ragam Makalah

Makalah Pendidikan Politik Serta Pendidikan Islam



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
BAB I
PENDAHULUAN

Sejak kedatangan agama Islam di Aceh dan di Nusantara, Islam sudah menggunakan dakwah dan pendidikan sebagai sarana untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat di seluruh wilayah atau daerah. Dalam proses penyampaian Islam, para penyiar agama Islam secara berkelanjutan mempergunakan pendidikan untuk merubah pemikiran masyarakat sebagai pemeluk agama Hindu pada saat itu untuk menjadi penganut Islam. Dalam proses sosialisasi Islam melalui pendidikan selain dilakukan oleh masyarakat sendiri, juga dilakukan oleh pemerintah atau sekurang-kurangnya mendapat bantuan dari pemerintah dalam berbagai bentuk dan dimensi. Pendidikan yang memperoleh bantuan tersebut akan terjadi proses dan saling mempengaruhi. Pemerintah memperoleh lulusan yang mampu menjawab keperluannya dan pendidikan mendapatkan untuk mendukung kelancaran proses pendidikan tersebut, oleh karena itu pendidikan tidak dapat dipisahkan pemerintah atau dengan politik. Saling ketergantungan ini disebutkan sebagai politik pendidikan. Menurut Abudin Nata, corak arah dan tujuan pendidikan selanjutnya ditentukan oleh corak politik yang ditentukan oleh pemerintah, inilah yang dikenal dengan politik pendidikan.

Keberhasilan pendidikan bagi sebuah bangsa atau sangat tergantung dengan keseriusan politik pemerintah, apabila sistem politik yang dipergunakan oleh Negara tersebut stabil, maka kualitas outcome pendidikanpun lebih baik dan sebaliknya. Peningkatan kualitas pendidikan bukanlah tugas yang ringan, karena tidak hanya berkaitan dengan permasalahan teknis, tetapi mencakup berbagai persoalan yang rumit dan kompleks, sehingga menuntut manajemen pendidikan saat ini belum mendapat perhatian yang maksimal dari pelaksana politik pendidikan atau pemerintah. Lemahnya kepedulian dan kebijakan pendidikan yang belum memihak kepada manajemen pendidikan memberikan dampak yang signifikan, terhadap pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) di masyarakat. Belum berfungsi secara maksimal mesin politik formal sehingga berpengaruh terhadap politik pendidikan di Negara ini. Oleh karena itu, pemahaman politik pendidikan dalam perspektif Islam mutlak diperlukan.

Politik dan pendidikan bagaikan dua sisi mata uang yang saling berkaitan, khususnya dalam membuat kebijakan proses pendidikan. Politik bukan hanya berkaitan dengan pelaksanaan kekuasaan negara saja, namun politik juga sangat menentukan keberhasilan dan kesuksesan pendidikan warga negara atau masyarakat. Apabila keputusan politik pendidikan tidak mendukung pendidikan secara signifikan, terutama dalam bidang anggaran pendidikan yang dialokasikan rendah, kesejahteraan para pendidik terabaikan maka secara otomatis berpengaruh terhadap outcome pendidikan. Alokasi dana pendidikan yang tersedia di APBN tahun 2010 yang lalu ditetapkan sejumlah 20%, namun setelah dilakukan penelitian belum mencapai 20 % atau di bawah 20% saja. Ini salah satu contoh politik pendidikan yang terjadi di Indonesia, namun belum optimal memihak kepada masyarakat. 

Politik penyelenggaraan pendidikan dalm suatu masyarakat selalu dilatarbelakangi oleh pertimbangan-pertimbangan subjektif masing-masing masyarakat, misalnya filosofi, politik, sosial, dan lain-lainnya. Apabila pertimbangan-pertimbangan tersebut dimengerti secara utuh akan mendukung pendidikan secara mantap, karena proses dan praktik pendidikan merupakan bentuk aktualisasi keinginan warga negara atau masyarakat. Manakala keinginan masyarakat adalah merupakan sebuah cita-cita sosial ( social ideals). Untuk mewujudkan cita-cita sosial tersebut memerlukan politik pendidikan yang kokoh dan integrated atau komprehensif.


BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN POLITIK DAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendidikan Islam

Jika ditelaah secara mendalam bahwa pendidikan dalam perspektif Islam merupakan sebuah kewajiban yang wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Muslim baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Dalam Islam, pendidikan (tarbiyyah) terdiri dari empat unsur, yaitu:

a. Menjaga dan memelihara fitrah (kesucian) anak sampai dewasa
b. Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya
c. Menggunakan seara maksimal potensi yang dimiliki
d. Dilaksanakan secara bertahap

Pendidikan dalam pandangan Islam adalah suatu usaha untuk mengubah manusia dengan pengetahuan, tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan ideologi dan prinsip Islam. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam merupakan proses mendekatkan manusia kepada tingkat kesempurnaannya dan mengembangkan kemampuan yang dipandu oleh Ideologi Islam, atau menjadi insan yang paripurna seperti yang diharapkan oleh Kementrian pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Tujuan pendidikan dalam Islam juga menciptakan SDM yang berkepribadian Islami, dalam artian berfikir harus berdasarkan kepada nilai-nilai yang ada dalam islam. Oleh Karena itu pendidikan dakam Islam bukan hanya proses transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian Islami, dalam artian berfikir harus berdasarkan kepada nilai-nilai yang ada dalam Islam. Oleh karena itu pendidikan dalam Islam bukan hanya proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) saja akan tetapi juga berfungsi sebagai transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), hal ini berkaitan dengan kepribadian guru dan dosen dapat dicontohi oleh para peserta didik. Apabila peserta didik tidak mampu mempunyai kepribadian yang baik berarti proses pendidikan pada hari ini mengalami kegagalan, ini merupakan problem pendidikan yang kita hadapi di Negara Republik Indonesia. Jadi, pendidikan dalam Islam bukan semata-mata melakukan transfer of Knowledge, tetapi memperhatikan apakah ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau tidak.[1]


B. Hubungan Politik dan Pendidikan

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di sstem sosial politik di setiap Negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi . Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuwan.[2]

Didunia Islam, keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan pendidikan dalam upaya memperkuat posisi sosial politik kelompok dan pengikutnya. Dalam analisisnya tentang pendidikan pada masa Islam klasik, Rasyid (1994) menyimpulkan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu, menurut Rasyid, tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi, keuangan, dan kurikulum (1994 : 3). Dia menulis sebagai berikut:

Tidak dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan kepada uluran tangan para penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku (Rasyid, 1994 : 6).

Kenyataan ini dapat dilihat dari pendirian beberapa lembaga pendidikan Islam di Timur Tengah justru disponsori oleh penguasa politik.

Diantara lembaga pendidikan Islam yang menjadi corong pesan-pesan politik, menurut Rasyid (1994 : 6), adalah madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Madrasah ini terkenal dengan munculnya pemikir besar seperti al-Ghazali yang telah mentransfer ilmu pengetahuan sehingga lahir berbagai kaum intelektual Islam dan melahirkan berbagai Guru besar dalam bidang ilmu pengetahuan. [3]

Dia menyimpulkan dari analisis terhadap kasus Madrasah Nizhamiyah sebagai berikut:

Kedudukan politik di dalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan. Tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti syariat tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berfungsi mengayomi dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah (Rasyid, 1994 : 15).

Kutipan di atas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan pendidikan di dalam Islam tampak demikian erat. Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini dapat dipahami, karena tujuan pemerintahan Islam, menurut Abdul Gaffar Aziz (1993 : 95), adalah “menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan melaksanakan syariat. Syariat tidak akan berjalan bila umat tidak memahami ajaran Islam.

Selain karena faktor religius bahwa agama Islam sangat menjunjung aktivitas kependidikan, perhatian besar pada pemimpin Islam terhadap masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran lembaga-lembaga pendidikan dalam penyampaian misi-misi politik. Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideologi negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Syalabi mencatat bahwa Khalifah al-Makmum memolitisasi majelis munazharah di istananya dalam rangka menyebarkan paham Mu’tazilah yang merupakan mazhab resmi negara waktu itu. Puncak dari tindakan al-Makmum, menurut Sjalabi, adalah peristiwa inquisisi, yaitu penyelidikan atau interogasi (al-Mihna) terhadap para ulama dan pejabat penting. Kepada mereka ditanyakan apakah Alquran itu qadim atau hadis (dikutip dalam Rasyid, 1994 : 16). Melalui inkuisi para ulama, pilar penopang lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan secara tidak langsung dipaksa menerima paham Mu’tazilah, ideologi resmi penguasa.

Pendidikan Islam tidak hanya berjasa menghasilkan para pejuang yang militan dan memperluas peta politik, tetapi juga para ulama yang berhasil membangun masyarakat yang sadar hukum. Seiring dengan perluasan peta politik dan pertambahan pemeluk Islam, juga terjadi perkembangan lembaga (institusi) pendidikan dalam jumlah maupun varietasnya. Di dalam sejarah Islam tercatat bahwa pusat pendidikan yang pertama kali muncul adalah rumah Arqam ibn Abi Arqam, yakni ketika nabi masih berada di Makkah (Rasyid, 1994 : 24). Selanjutnya pada masa Bani Umayah, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut sudah lebih variatif dengan lahirnya Kuttab dan dijadikan rumah-rumah pembesar kerajaan sebagai tempat belajar.

Para penguasa Islam, Rasyid (1994 : 33) menyimpulkan, senantiasa terlibat langsung dalam persoalan pendidikan. Menurutnya, ada dua alasan utama mengapa para penguasa Muslim sangat peduli dengan pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama yang totaliter jam’i, mencakup semua aspek kehidupan seorang Muslim mulai dari makan dan minum, tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai pada ibadat semuanya diatur oleh Syariat. Untuk mengetahui bagaimana hidup yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat dengan kegiatan pendidikan. Kedua, karena motivasi politik, sebab didalam Islam antara politik dan agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa Muslim sering menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham keagamaan. Inilah yang dilakukan Dinasti Buwaih, Fatimiyah, dan Khalifah al-Makmun. Dengan kekuasan mereka menanamkan ideologi negara dengan tujuan lahirnya kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum sehingga memudahkan pengaturan masalah-masalah kenegaraan. [4]

Dalam perjalanan sejarah antara pendidikan dan politik bukanlah sesuatu yang baru. Sejak zaman Plato dan Aristoteles serta para pemikir politik telah memberikan perhatian yang cukup signifikan dalam persoalan politik. Kenyataan ini dapat dilihat dalam sebuah ungkapan mereka, As is a state, so is the school atau what you want is the state, you must put into the school. Selain itu terdapat teori yang dominan dalam demokrasi yang mengasumsikan, bahwa pendidikan adalah sebuah korelasi bagi suatu tatanan demokratis.[5]

Di negara-negara Barat, begitu juga kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politik ini dimulai oleh Plato dalam bukunya republic. Walaupun utamanya membahas berbagai persoalan kenegaraan, buku tersebut juga membahas hubungan antara ideologi dan institusi negara dengan tujuan dan metode pendidikan. Berikut ini adalah kesan mendalam Allan Bloom (1987 : 30) tentang republic :

For me (republic is) the book on education, because it really enplains to me what I experience as a man and a teacher, ana I have almost always used it to point out what we should not hope for, as a teaching of moderation and resignation.

Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, Sekolah adalah suatu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tangan kelompok-kelompok eliter yang secara terus menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik. Keduanya seakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Walaupun sangat umum dan singkat, analisis Plato tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan pendidikan dikalangan generasi ilmuwan generasi berikutnya.

Dalam ungkapan Abernethy dan Coomber (1965 : 287), education and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan). Menurut mereka (1965 : 289), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the political rola of the intelligentsia). Kesempatan dan prestasi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat, menurut mereka, dapat memengaruhi akses kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Perbedaan signifikan antar berbagai kelompok masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan dapat dilihat pada distribusi kekuasaan politik dan ekonomi dan kesempatan kerja, khususnya pada sektor pelayanan publik. Di negara-negara pasca kolonial, kelompok masyarakat yang mendapat privilase pendidikan lebih mampu melakukan konsolidasi kekuatan, lalu muncul menjadi kelompok penguasa yang menguasai partai-partai politik dan sektor pelayanan publik. Privilase atau diskriminasi pendidikan bisa terjadi karena alasan-alasan budaya atau agama.

Diskriminasi seperti ini sangat nyata dalam kebijakan pendidikan pemerintah kolonial. Belanda di Indonesia. Penulis mencatat beberapa karakteristik kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda : kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif, dan self-morning, diarahkan semata-mata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan pendidikan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, yaitu (1) menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok Muslim dan kelompok non Muslim; (2) menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari kelas menengah ke atas dan kelompok angkatan muda Indonesia yang berasal dari keluarga biasa; (3) menciptakan polarisasi sosial tanpa memedulikan kemampuan kerja mereka; dan (4) menghambat perkembangan kaum pribumi (Sirozi, 1998 : 17-29). Pada masa awal kemerdekaan, kaum nasionalis dapat menguasai birokrasi dan sektor-sektor strategis. [6]

Sedangkan menurut Dawan Raharjo, di Indonesia munculnya madrasah merupakan konsekuensi dari proses modernisasi surau yang cenderung disebabkan oleh terjadinya tarik menarik antara sistem pendidikan tradisional dengan munculnya lembaga pendidikan modern di Barat .[7] Namun, disadari oleh Bapak Pendidikan Republik Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantara, bahwa peran ulama telah melahirkan sistem budaya kerakyatan yang bercorak kemasyarakatan dan politik serta spiritual. Hal ini terbukti, banyak alumni pesantren yang melanjutkan studinya ke berbagai universitas terkemuka baik di dalam maupun di luar negeri. Madrasah di Indonesia, yang dikelola oleh suatu organisasi sosial kemasyarakatan banayk dipengaruhi oleh orientasi organisasi tersebut. Madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah lebih bersifat ala Muhammadiyah. Demikian juga halnya dengan madrasah yang dikelola oleh NU orientasi pendidikannya lebih menitikberatkan pada kemurnian mazhab dan lain sebagainya.[8]

Konsekuensi dari keragaman orientasi pendidikan tersebut adalah munculnya para tokoh formal dan informal, yang memiliki pemikiran dan pergerakan politik yang berbeda .[9] Ada yang berfikir lebih modernis, fundamentalis, tradisionalis, dan nasionalis. Meskipun perilaku politik seorang tokoh semata-mata tidak hanya ditentukan oleh institusi pendidikan tertentu, melainkan ada faktor lain yang juga berperan seperti lingkungan, sosiokultural, potensi berfikir dan lain sebagainya. Pengaruh suatu institusi pendidikan cukup berarti dalam membentuk karakter dan kepribadian masyarakat sehingga mempunyai paradigm berfikir yang berbeda.

Secara umum, bahwa pendidikan dalam konteks poltik Indonesia pada masa Orde Baru, jelas hanya berorientasi dan mengabdi kepada kepentingan Negara dan penguasa. Penciptaan manusia penganalis sebagaimana dicanangkan Daud Yusuf, dalam prakteknya justru merupakan proses pengibirian kebebasan akademik dan kreativitas mahasiswa, serta melahirkan para birokrat kampus yang kerdil dan kurang percaya diri. Sehingga hasilnya adalah generasi yang apatis dengan lingkungan sekitar namun pemahaman, sangat self-centered. Mereka jelas bukan manusia yang dicita-citakan Muhammad Hatta dimana pencerahan, dan penyadaran akan hak dan kewajibannya sebagai anak bangsa menjadi landasan kiprahnya.

Reformasi yang telah bergulir, semestinya dapat merintis jalan bagi pemulihan kembali demokratisasi, yang selama beberapa dasawarsa mengalami diskontuinitas. Termasuk dalam hal ini adalah upaya mengembalikan fungsi dan pean pendidikan sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa yang termaksud dalam konstitusi, yang diformulasikan dalam kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembenahan secara fundamental terhadap Sistem Pendidikan Nasional merupakan hal yang harus dimulai dari tataran yang paling dasar yaitu merumuskan visi sampai dengan implementasi dalam kurikulum. Pada tataran paling dasar , tujuan pendidikan untuk membentuk kepribadian manusia Indonesia yang tercerahkan dan memiliki tanggung jawab, merupakan substansinya. Dengan landasan visi seperti ini, maka pendidikan tidak lagi hanya ditujukan untuk memproduksi manusia terpelajar dan berkeahlian demi melayani keperluan pasar tenaga kerja manusia untuk mengontrol, mengeksploitasi, dan berkuasa, tetapi yang dipentingkan adalah pertumbuhan manusia berbudaya yang dapat menghayati dan memahami kehidupan bersama, sebagai komunitas mengada (the community of being) yang saling terkait satu sama lain dalam mewujudkan berbagai aktivitas yang diperlukan oleh Negara dan bangsa.

Untuk mewujudkan visi semacam itu diperlukan proses pendidikan yang menggunakan pendekatan pendidikan demokratis. Bukan lagi proses searah (one way communication). Sebagaimana yang kita temukan di ruang-ruang kelas mulai dari Taman Kanak-kanak sampai ke pendidikan tinggi., proses belajar mengajar bukan lagi proses pencekokan murid/mahasiswa dengan berbagai materi yang terkesan sangat normative bahkan sakral, tapi merupakan proses dialektika antara para pelakunya, dengan mempersalahkan fenomena-fenomena yang hangat dalam masyarakat. Akhirnya dengan perombakan Sistem Pendidikan Nasional itulah, kita berharap pendidikan di Indonesia akan menjadi faktor utama dalam proses menjadikan bangsa yang modern (insan kamil dan berakhlaqul karimah).[10]

a. Pendidikan dan Dunia Kerja

Pendidikan dan dunia kerja memiliki hubungan yang sangat kompleks. Salah satu inovasi paling radikal yang disebabkan oleh pendidikan adalah meningkatnya ambisi pribadi. Pendidikanlah yang membuat jutaan anak petani di negara-negara berkembang menilai rendah profesi sebagai petani dan bermigrasi ke daerah perkotaan untuk mendapatkan pekerjaan yang dinilai lebih menjanjikan, baik dari segi ekonomi maupun prestise sosial. Mereka pergi meninggalkan desa-desa sub sistem untuk memburu pekerjaan yang mereka nilai lebih pantas buat mereka, meskipun harus bermigrasi jauh meninggalkan kampung halaman dan basis sosio-kultural mereka. [11]

Namun, tingkat pendidikan dan keterampilan yang tidak memadai sering membuat mereka gagal dan perburuan mereka ke wilayah perkotaan sering berakhir dengan kekecewaan. Untuk mempertahankan ambisi dan atau menghindari rasa malu pulang kampung dengan kegagalan, banyak diantara mereka yang memaksakan diri tinggal di kota meskipun harus mengarungi hidup dengan kondisi seadanya. Hal ini tampak jelas dalam kehidupan para buruh yang tinggal disekitar wilayah Jakarta Bogor Tanggerang Bekasi (Jabotabek). Banyak di antara mereka yang hidup dengan upah rendah dan tinggal di rumah sewaan yang sangat sederhana. Akibatnya, semakin hari semakin banyak warga perkotaan yang menyandang perdikat pengangguran. Kelompok pengangguran ini sering kali menjadi “dinamit politik” yang dengan mudah dapat dipicu olah kelompok-kelompok politik tertentu untuk mendapatkan keuntungan politik. Para buru sering kali menjadi elemen utama dalam berbagai unjuk rasa politik.

Masalah pengangguran menjadi ujian penting bagi pemerintah di Negara-negara berkembang. Mereka dituntut untuk mengimbangi keberhasilan pendidikan dengan ketersediaan lapangan kerja. Di satu pihak, ekspansi pendidikan turut serta melahirkan instabilitas karena pendidikan melahirkan tuntutan yang sering kali tidak dapat dijawab oleh sistem politik. Di pihak lain, tersedianya pendidikan yang cukup disemua jenjang adalah persyaratan yang diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik. Hanya dengan sumber daya manusia yang terlatih dan kesempatan kerja yang memadai pemerintah dan birokrasinya dapat memenuhi tuntutan publik, dan hanya publik yang terdidik yang dapat diminta turut serta bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa (nation building). [12]

Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi pada semua dataran, baik pada dataran filosofis maupun dataran kebijakan. Misalnya, filsafat pendidikan disuatu negara sering kali merupakan refleksi prinsip ideologis yang diadopsi oleh negara tersebut. Di Indonesia, misalnya filsafat pendidikan nasional adalah artikulasi peadagogis dari nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 pada dataran kebijakan, sangat sulit memisahkan antara kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah disuatu negara dengan persepsi dan kepercayaan politik yang ada pada pemerintah tersebut. Abernethy dan Coombe (1965 : 287) menulis sebagai berikut :

A government’s education policy reflects, and sometimes betrays, its view of society or political creed. The formulation of policy, being a function of government, is essentially part of the political process, as are the demands made on goverments by the public for its revision ( kebijakan pendidikan suatu pemerintahan merefleksikan dan terkadang merusak pandangannya terhadap masyarakat atau keyakinan politik. Sebagai fungsi pemerintahan, formulasi kebijakan secara esensial merupakan bagian dari proses politik, sebagai tuntutan-tuntutan publik terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan.

Pada gilirannya, implementari dari suatu kebijakan pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Berbagai kebijakan pendidikan berdampak langsung pada akses, minat, dan kepentingan pendidikan para stakeholder pendidikan, terutama orang tua dan peserta didik, dan masyarakat pada umumnya. Abernethy dan Coombe (1965 : 287) mencatat empat aspek. Kehidupan masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan – kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah, yaitu lapangan kerja, mobilitas sosial, ide-ide, dan sikap. Mereka menulis

And the implementation of education policy has political consequences by affecting, among other things, types and levels of employment, social mobility, and the ideas and attitudes of population (dan implementasi kebijakan pendidikan memiliki berbagai konsekuensi politik dengan mempengaruhi antara lain jenis dan jenjang pekerjaan, mobilitas sosial, dan ide-ide dan sikap-sikap masyarakat).

Dinamika hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dalam suatu masyarakat terus meningkat, seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Di negara-negara berkembang, dinamika tersebut cenderung lebih tinggi karena perubahan-perubahan di negara-negara tersebut terjadi lebih intens. Intensitas perubahan tersebut sangat nyata dalam proses yang menghantarkan negara-negara jajahan menuju kemerdekaan. Abernethy dan Coombe (1965 : 287) mengamati hal-hal berikut ini.

In general, the political significance of education in contemporary societies increases with the degree of change a society in undergoing. The massive changes which developing countries have already experienced and those, whether induced of not, which are in process, render all the more conspicous the reciprocal relationship between politics and education in these areas (secara umum, signifikansi politik pendidikan dalam masyarakat kontemporer meningkat dengan derajat perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Perubahan-perubahan besar yang telah dialami oleh negara-negara berkembang dan perubahan-perubahan, baik yang disengaja atau tidak disengaja, yang sedang berproses, semuanya memperlihatkan hubungan timbal balik antara politik dan pendidikan).

Kutipan di atas paling tidak menggambarkan tiga hal. Pertama, eratnya hubungan antara dunia pendidikan dan dunia politik. Kedua, besarnya pengaruh hubungan tersebut terhadap tatanan kehidupan sosial politik masyarakat. Ketiga, besarnya peran persekolahan modern dalam keruntuhan kolonilalisme. Abernethy dan Coombe (1965 : 287) menulis sebagai berikut :

Impressive evidence of this relationship (between education and politics) may be found in the progress of colonies towards independence. The contribution of western education to the eclipses of western colonialism is now fairly well understood, at least schematically (bukti impresif tentang hubungan (antara pendidikan dan politik) dapat dilihat pada perjalanan negara-negara jajahan menuju kemerdekaan. Kontribusi pendidikan Barat terhadap keterpurukan kolonialisme Barat saat ini cukup dimengerti, paling tidak secara skematik).

Para penghancur kolonialisme adalah para pemimpin yang didik disekolah-sekolah kolonial. Abernethy dan Coombe (1965 : 287) menambahkan penjelasan sebagai berikut :

The crux of the matter is that the sucessive generations of who becoma nationalist leaders had attended colonial schools and metropolitan universities. The values, the vocabulary, and the organizational methods the derived from the political traditions of the west were employed, successfully in the long run, in combating colonial rule (inti persoalan adalah dari generasi ke generasi para pemimpin nasionalis adalah mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah kolonial dan universitas-universitas metropolitan. Nilai-nilai, kosa kata, dan metode-metode organisasi yang mereka contoh dari tradisi politik di Barat mereka terapkan dan sukses dalam jangka waktu lama untuk menyerang penguasa kolonial).

Besarnya peran sistem persekolahan dalam meruntuhkan kolonialisme terlihat jelas dalam pengalaman bangsa Indonesia. Pada satu sisi, kebijakan politik pemerintah kolonial, politik etis, misalnya, telah memperluas akses pendidikan bagi kaum pribumi, khususnya para aktivitas nasionalis. Pada sisi lain, bekal pendidikan yang diperoleh telah memperluas wawasan sosial politik mereka dan pada saat yang sama memperkuat sentimen kebangsaan mereka. Wawasan dan sentimen kebangsaan itulah yang kemudian memacu aktivitas politik mereka dan menumbuhkan semangat perlawanan mereka terhadap pemerintah kolonial pada waktu itu.

Pemerintah kolonial pada waktu itu tentu saja berharap bahwa bekal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan loyalitas tokoh-tokoh pribumi. Namun, kenyataan berkata lain, tokoh-tokoh tersebut justru berkembang menjadi figur utama dalam gerakan nasionalis yang menggugat kolinialisme. Inilah yang terjadi pada sosok Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo dan tokoh-tokoh Nasionalis lainnya. Terlepas dari berbagai implikasi sosial politik yang menyertainya, pengalaman pendidikan dan kiprah politik tokoh-tokoh Nasionalis tersebut mempertegas eratnya hubungan antara pendidikan dan politik. [13]


C. Fungsi Politik Institusi Pendidikan

Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen sosialisasi politik. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat dimana individu-individu, terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan tentang sistem politik, dan sejenis peran politik yang diharapkan dari mereka.

Bab ini menjelaskan beberapa fungsi politik pendidikan besar segala implikasinya, baik terhadap dinamika kehidupan politik dan pendidikan itu sendiri maupun implikasinya terhadan tatanan kehidupan masyarakat pada umumnya.

a. Institusi Pendidikan Sebagai Alat Kekuasaan

Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran, terutama kurikulum dan bahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan pada kepentingan politik tertentu. Eliot (1959 : 1046) menulis sebagai berikut :

Although political power is centered in groups and inviduals, its effectiveness and use are shaped by institutions. The institutional patter of public education may seem firmly fixed, firmly enough, certainly, so that any proposal, to have a chance of success, must appear to conform to it (walaupun kekuasaan politik terpusat pada berbagai kelompok dan individu, efektivitas dan kegunaannya dibentuk oleh berbagai institusi. Pola institusional pendidikan publik mungkin saja tampak kokoh, cukup mantap, sehingga untuk dapat berhasil, setiap proposal perlu menyesuaikan diri dengannya).

Eliot (1959 : 1047) menambahkan bahwa salah satu komponen terpenting pendidikan, kurikulum, misalnya, dapat menjadi media sosialisasi politik. Menurutnya, kurikulum disuatu lembaga pendidikan memiliki tiga sumber utama. Pertama, pendapat kelompok profesional pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh institusi-institusi pelatihan guru dan sering kali merefleksikan atau mengadaptasi ide dari individu-individu yang didewa-dewakan, seperti John Dewey, John Lock, dan Wiliam Stern. Kedua, kebutuhan akan dana. Kebutuhan ini sering menyebabkan terjadinya modifikasi program untuk mengantisipasi tuntutan publik. Ketiga, aktivitas kelompok-kelompok berpengaruh, seperti sosiasi industri, perserikatan, dan beberapa organisasi kebangsaan yang memiliki semangat patriotik. Berbagai kelompok tersebut sering memengaruhi isi kurikulum dan sulit dicegah. Fungsi politik pendidikan secara khusus juga dapat diaktualisasikan melalui proses pembelajaran. Menurut Massialas (1969a : 18-79 dan 1969b : 155), proses pembelajaran bisa bersifat kognitif (misalnya, mendapatkan pengetahuan dasar tentang suatu sistem), bisa bersifat afektif (misalnya, mengetahui sikap-sikap positif dan negatif terhadap penguasa atau simbol-simbol), bisa bersifat evaluatif (misalnya, menilai peran-peran politik berdasarkan standar tertentu), atau bisa bersifat motivatif (misalnya, penanaman rasa ingin berpartisipasi). Sebagian besar unsur-unsur pembelajaran tersebut dapat dirancang dan diarahkan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan politik tertentu.

Di banyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik sangat menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (curriculum content) pendidikan. Dinegara-negara komunis, misalnya, metode brain washing digunakan secara luas untuk membentuk pola pikir kaum muda, agar sejalan dengan doktrin komunisme. [14]

Dari generasi ke generasi negarawan dan pemimpin politik telah menyadari dampak yang dapat ditimbulkan oleh sistem pendidikan terhadap kehidupan politik. Mereka menyadari bahwa negara tidak dapat mengabaikan sekolah jika ingin mencapai tujuan-tujuannya, termasuk tujuan untuk mempertahankan kekuasaan. Mengingat besarnya peluang untuk mengarahkan berbagai unsur kependidikan pada kebutuhan politik tertentu, tidak heran apabila pendidikan sering kali memainkan peran sentral dalam menentukan arah perubahan politik.

Stabilisasi atau transformasi politik banyak ditentukan oleh faktor pendidikan. Manakala terjadi tranformasi radikal dalam sistem politik, misalnya setelah revolusi Prancis dan Rusia, salah satu langkah utama yang dilakukan oleh para penguasa disana adalah menata sistem pendidikan. Penguasa yang baru dengan cepat berusaha mereformasi dan menerapkan sistem pendidikan yang sesuai dengan tujuan-tujuannya. Para penguasa yang baru naik tahta saat itu menyadari sepenuhnya bahwa keberhasilan dan kontinuitas rezim mereka berkaitan dengan ide-ide dan pola-pola perilaku yang ditransmisi melalui fasilitas kependidikan. Kesadaran ini mungkin saja salah, tetapi ini adalah suatu persoalan hubungan antara pendidikan dan politik yang memerlukan penjelasan melalui penelitian terencana. Penjelasan atas persoalan tersebut akan dapat mengungkapkan kontribusi pendidikan terhadap integrasi dan ketahanan sistem politik.

Di Indonesia, misalnya, daya tahan rezim Soeharto selama 32 tahun banyak melibatkan kebijakan-kebijakan kontroversial dalam bidang pendidikan, baik menyangkut pengelolaan maupun kurikulum dan kegiatan pembelajaran. Misalnya, kebijakan tentang kurikulum Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan kebijakan tentang seragam sekolah, khususnya tentang hak mengenakan jilbab bagi siswi di sekolah umum. Kebijakan-kebijakan tersebut banyak dipengaruhi oleh tekad bulat para penguasa rezim untuk menjadikan Indonesia sebagai negara sekular berlandaskan Pancasila. Bahan ajar untuk bidang studi sejarah, agama dan kenegaraan didisain sedemikian rupa, sesuai dengan visi dan misi politik penguasa rezim. Di Malaysia, konflik pribadi antara Mahathir Muhamamd dan Anwar Ibrahim berimplikasi pada kebijakan pemerintah terhadap Universitas Islam Antara Bangsa atau International Islamic University Malaysia (IIUM) dimana Anwar Ibrahim adalah salah seorang pendirinya. Sejak konflik tersebut merebak, berbagai kegiatan dilingkungan universitas tersebut mendapat pengawasan ketat dari pemerintah Mahathir. Untuk mencegah berkembangnya sikap anti pemerintah di perguruan tinggi tersebut, pemerintah Mahathir telah melakukan pengawasan ketat terhadap kegiatan akademik di kampus IIUM. Sebagai implikasi dari kebijakan pemerintah Mahathir terhadap para para pelaku terorisme dan kelompok-kelompok Islam garis keras di negeri itu, telah dilakukan pengurangan subsidi terhadap sekolah-sekolah agama yang ada disana.

Di Indonesia, hal serupa terjadi dalam kasus pelarangan oleh pemerintah Orde Baru terhadap rencana keluarga Bung Karno untuk mendirikan Universitas Bung Karno di Jakarta. Pertentangan politik antara rezim Orde Baru dengan keluarga Bung Karno ternyata terbawa kedalam wilayah kebijakan pendidikan.

Era reformasi yang ditandai dengan kejatuhan rezim Soeharto pada 1998 telah membawa perubahan mendasar pada beberapa aspek pengelolaan Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu aspek perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan sistem pendidikan nasional dari paradigma sentralisasi ke desentralisasi. Jika selama masa Orde Baru otoritas pendidikan di Kabupaten dan kota hanya merupakan perpanjangan tangan dari otoritas pendidikan pusat dan provinsi, maka pada era reformasi sekarang ini otoritas pendidikan kabupaten dan kota dituntut lebih aktif dan kreatif dalam menata sistem pendidikan masing-masing. Inilah semangat otonimasi yang tergambar dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah.

Untuk menunjang proses otonomisasi, sekolah-sekolah yang sebelumnya hanya merupakan unit pelaksana yang hanya menerima berbagai kebijakan kependidikan yang ditetapkan oleh otoritas pendidikan di pusat dan daerah, saat ini diharapkan lebih memiliki kemampuan self-sufficient dan selfulfilment. Inilah salah satu alasan mengapa sejak 1998 pihak Departeman Pendidikan Nasional telah menjalankan pilot project penerapan School Based Management (SBM) di sejumlah sekolah diseluruh Indonesia. Untuk memperkuat daya dukung sektor pendidikan terhadap gerakan reformasi dan mendongkrak daya saing sumber daya manusia nasional, otoritas pendidikan di Indonesia, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, telah berketetapan untuk meninggalkan content based curriculum dan memberlakukan competency based curriculum. Untuk memacu partisipasi pada stakeholder pendidikan, pihak Departemen Pendidikan Nasional juga telah mengembangkan konsep community based education. Saat ini disekolah-sekolah telah dibentuk Komite Sekolah dan Komite Madrasah telah dibentuk komite Madrasah yang keanggotaannya merupakan perwakilan dari para stakeholder. Untuk mem-back up pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dalam mendisain dan mengembangkan program-program pendidikan, maka dibeberapa provinsi sudah dibentuk Dewan Pertimbangan Pendidikan Daerah yang keanggotaannya terdiri dari para pakar pendidikan yang ada di daerah.

Di tingkat perguruan tinggi, pemerintah juga telah memberlakukan kebijakan serupa melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 dengan nama lima perguruan tinggi utama (Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gajah Mada, Universitas Diponegoro, dan Universitas Pajajaran) telah dijadikan sebagai pilot project perguruan tinggi berbadan hukum, bahwa lima perguruan tinggi tersebut berubah status dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dengan perubahan status tersebut diberi kebebasan untuk mencari, memanfaatkan dan mengembangkan dana serta program perkuliahan. Pengelolaan dana pada BHMN diharapkan tidak lagi bersifat project oriented, tetapi profit oriented. Para pimpinan BHMN diberi kebebasan sepenuhnya untuk mengembangkan sumber-sumber dana, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai akademik.[15]


D. Perguruan Tinggi Dan Pendidikan Politik

Pendidikan politik sebagaimana diharapkan, berlangsung paling intens pada tingkat perguruan tinggi (universitas). Kenyataan ini bisa dengan mudah dan dapat dipahami secara komprehensif. Universitas memiliki mahasiswa yang sudah matang dan siap untuk terlibat secara langsung dalam proses-proses politik yang ada. Kemudian, dari segi lain, mahasiswa merupakan bagian atau lapisan masyarakat yang potensial untuk menjadi lahan rekruitmen politik, karena itu, mereka sebenarnya sangat rawan terhadap manipulasi politik.[16] Namun, penting untuk dicatat, bahwa masyarakat harus menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan terhadap keterlibatan dan peran mahasiswa dalam politik, karena hal ini sangat menentukan untuk terjadinya perubahan rezim. Sejarah perpolitikan di Indonesia telah membuktikan bahwa peralihan kekuasaan dari rezim Orde Baru kepada era reformasi, itu adalah sebagai wujud partisipasi politik mahasiswa. Azyumardi mengatakan, bahwa aktivitas politik mahasiswa itu muncul terutama bukan disebabkan pendidikan politik yang diperoleh di universitas, melainkan lebih bersumber dari lembaga-lembaga ekstrauniversitas, khususnya organisasi-organisasi mahasiswa off-campus. Hasil penelitian di beberapa Negara berkembang (Nigeria, Kolombia, dan Panama) hanya sepertiga dari jumlah mahasiswa secara keseluruhan yang sangat tertarik pada politik. Bahkan, mahasiswa yang radikal secara politik itu hanya merupakan minoritas yang amat kecil, berkisar dari 0.3 persen sampai 4 persen di beberapa Negara tertentu (Donal K.Emmerson,1997).

Dengan demikian, jelas bahwa aktivitas politik mahasiswa bukanlah fenomena yang sederhana. Seperti dijelaskan di atas, pendidikan politik berlangsung melalui sistem dan kelembagaan pendidikan merupakan satu variable penting dalam proses pembangunan politik. Betapa besar peran mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan politik dari rezim Orde Baru sampai dengan Pasca Reformasi. Berbagai kelompok dan wadah yang terbentuk di kalangan mahasiswa sebagian besar memperlihatkan sikap kepeduliannya terhadap proses-proses pembangunan politik dalam Negara Indonesia.


E. Pendidik Politik Generasi Muda

Kaum muda, khususnya pemuda pergerakan di Indonesia yang telah menunjukkan peranan aktif dalam sejarah perjuangan bangsa di hampir setiap zaman yang berbeda, untuk masa kini masih perlu meningkatkan kemampuannya, baik di sektor pendidikan formal, maupun di sektor pendidikan politik sebagai kader-kader bangsa dalam rangka regenerasi kepemimpinan politik.

Peranan pemuda dalam pembangunan politik Indonesia sebagai suatu angkatan yang berusia strategis, baik di masa lalu, masa kini dan esok tak diragukan lagi merupakan potensi dominan yang ikut menentukan jalannya sejarah Republik Proklamasi.

Berdasarkan asumsi tersebut kita dapat membenarkan usaha-usaha pemerintah yang serius dalam menangani pembinaan generasi mudah. Dalam rangka penyusunan suatu kebijaksanaan nasional tentang kepemudaan secara menyeluruh dan terpadu, sebagai yang ditetapkan GBHN, maka Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan Keputusan No. 0323/U/1978 tanggal 28 Oktober 1978 (bertepatan dengan HUT 50 tahun Sumpah Pemuda) tentang Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda. [17]

Arah dan tujuan pembinaan generasi muda tersebut adalah demi pengembangan keselarasan dan keutuhan hubungan antara : Manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai insan yang ber-Ketuhanan, beriman dan bertaqwa kepada-Nya, serta mengamalkan ajaran-ajaran-Nya berbudi pekerti luhur dan bermoral Pancasila, juga antara manusia dan masyarakatnya, sebagai insan sosial-budaya, sosial politik dan sosial ekonomi. Manusia perorangan, sebagai pribadi, yang merupakan insan biologis, insan intelek dan insan kerja yang mampu mengembangkan bakat jasmaniah dan rohaniah.

Tujuan pembinaan dan pengembangan generasi muda menurut pola dasar tersebut diatas, adalah :

(1) Memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa sesuai dengan jiwa dan semangat Sumpah Pemuda 1928.
(2) Mewujudkan kader penerus perjuangan bangsa dan pembangunan nasional.[18]

Strategi pembinaan dan pengembangan generasi muda sebagaimana diungkapkan dalam GBHN produk MPR tahun 1978 adalah :

(1) Pembinaan generasi muda diarahkan untuk mempersiapkan kader penerus perjuangan bangsa dan pembangunan nasional dengan memberikan bekal keterampilan, kesegaran jasmani, daya kreasi, patriotisme, idealisme dan budi pekerti luhur. Untuk itu perlu diciptakan iklim yang sehat, sehingga memungkinkan kreativitas generasi muda berkembang secara wajar dan bertanggung jawab.

(2) Pengembangan wadah pembinaan generasi muda seperti sekolah, organisasi fungsional pemuda seperti KNPI, Pramuka, organisasi olah raga dan lain-lainnya perlu terus ditingkatkan.

(3) Perlu diwujudkan suatu kebijaksanaan nasional tentang kepemudaan secara menyeluruh dan terpadu.

Sementara itu sasaran pembinaan dan pengembangan generasi muda, meliputi :

(1) Pembinaan kerohanian, kepribadian dan kebudayaan. Agar generasi muda benar-benar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur dan berkepribadian Pancasila.

(2) Sasaran pembinaan jasmaniah, agar generasi muda memiliki jasmani yang sehat, segar dan tangkas serta terampil, yang mampu melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya.

(3) Sasaran pembinaan dan pengembangan intelek, adalah agar generasi muda mampu berfikir secara rasional, untuk menyerap dan mendayagunakan ilmu dan teknologi sesuai dengan perkembangan bangsa-bangsa didunia.

(4) Sasaran pembinaan dan pengembangan kerja dan profesi adalah agar generasi muda mampu menjadi tenaga kerja yang produktif dan kreatif guna menciptakan lapangan kerja dan berwiraswasta serta bertanggung jawab.

(5) Sasaran pembinaan ideologi adalah agar generasi muda menjadi penerus perjuangan bangsa dan pembangunan nasional dalam rangka pencapaian cita-cita nasional.

(6) Sasaran pembinaan patriotisme dan disiplin nasional agar generasi muda mampu menjadi patriot bangsa yang cinta kepada tanah air dan bangsa Indonesia.

(7) Sasaran pembinaan dan pengembangan kepemimpinan agar generasi muda mampu menjadi kader-kader pemimpin bangsanya yang cakap, bijaksana, berkepribadian, bertanggung jawab, dan penuh pengabdian.

Generasi muda ABRI adalah bagian dari generasi muda pada umumnya, karenanya pembinaannya pun tidak dapat terlepas dari pola pembinaan dan pengembangan generasi muda yang telah diuraikan di atas, namun tentunya dengan pembinaan dan pengembangan yang lebih khusus sesuai dengan tugas dan fungsi ABRI baik sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan negara maupun kekuatan sosial.

Selain itu, menurut Jenderal Purnawirawan Surono yang adalah Ketua Umum DHN Angkatan 45 (Pusat), mungkin hanya ABRI satu-satunya lembaga yang sejak penyusunan Doktrin-Doktrin TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU, dan POLRI dahulu hingga keluarnya Doktrin Hankamnas/ABRI “catur dharma eka karma” secara konsepsional telah merumuskan pola-pola kepemimpinan ABRI. Kita mengetahui bahwa dalam seminar TNI-AD ke II di SESKOAD Bandung dalam bulan Maret 1972, telah dibahas mendalam masalah bagaimana cara melestarikan nilai-nilai 45 dan nilai-nilai TNI kepada generasi muda ABRI antara lain nilai-nilai kepemimpinan ABRI yang terdiri dari 11 azas kepemimpinan. Seminar tersebut sebagaimana diketahui telah menelorkan produk berupa “Dharma Pusaka 45”.

Salah satu sarana pembinaan generasi muda dalam rangka mempersiapkan diri menyongsong hari depan bangsa adalah dengan memberinya program pendidikan politik.

Pengertian pendidikan politik menurut Surono adalah setiap upaya untuk memasyarakatkan politik, dalam arti mencerdaskan kehidupan rakyat dalam hal bernegara dan berbangsa, serta meningkatkan kepekaan rakyat akan hak, kewajiban dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara. [19]

Karena pendidikan politik dalam hubungan ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, maka politik dalam hal ini bukanlah berarti politik dalam artinya yang sempit, yakni untuk mengejar tujuan kenegaraan yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok sosial politik tertentu, melainkan politik dalam artinya yang sangat luas, yang meliputi segala aspek kehidupan bangsa dan negara, baik di bidang ideologi dan politik, maupun di bidang ekonomi, sosial, hukum, kebudayaan, agama, pertahanan keamanan dan lain sebagainya.

“Saya sengaja menjelaskan hal tersebut karena pada khalayak ramai masalah ini sering diperdebatkan, dan bahan disalah tafsirkan sebagai suatu indoktrinasi politik agama baru. Hal ini dapat kita mengerti karena sebagai akibat masa perjuangan yang lalu dimana sebelum tahun 1966 politik pernah merajai kehidupan bangsa, dan kemudian menjerumuskan kehidupan bangsa dalam lembah kehancuran sebagai akibat kesalahan fatal G.30.S/PKI, maka semenjak era Orde Baru dan kemudian dengan dimulainya Repelita I pada tahun 1969, sementara di kalangan masyarakat hingga sekarang masih terdapat sisa-sisa rasa takut terhadap kehidupan politik, atau “political phobia”, lanjut Surono. [20]

a. Sifat, cara dan sasaran pendidikan politik

Seperti juga halnya dengan program pendidikan pada umumnya yang bersifat lanjut terus seumur hidup manusia (life-long), juga pendidikan politik harus bersifat terus berlanjut seumur hidup manusia.

Oleh karena pendidikan politik berlangsung seumur hidup, sebagaimana pendidikan umum, maka pendidikan politik harus menjadi beban dan tanggung jawab yang harus dipikul bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat. Bahkan dalam kehidupan politik dan pendidikan politik peranan masyarakat sangat menentukan.

Pendidikan politik dapat ditempuh melalui 2 cara, yakni secara formal dan non formal.

Cara formal ialah cara pendidikan melalui bangku sekolah, kursus-kursus. Cara non formal ialah cara pendidikan dilingkungan keluarga dan masyarakat luas. [21]

Sebagaimana telah diungkapkan oleh Presiden Soeharto dalam salah satu Pidato kenegaraannya, dasawarsa ini setelah lebih dari 1 generasi memegang kendali kenegaraan, angkatan 45 secara bertahap telah mulai melimpahkan tanggungjawabanya kepada generasi yang lebih muda, yang sering kita sebut dengan generasi penerus, yakni mereka yang akan meneruskan perjuangan bangsa dan pembangunan nasional. Dikatakan bertahap karena pelimpahan tugas dan tanggungjawab kenegaraan ini tidak dapat berlaku sekaligus, dalam arti pada saat yang sama semua orang yang berasal dari Angkatan 45 sekaligus digantikan oleh generasi yang lebih muda. Peralihan generasi dan tanggung jawab dilaksanakan melalui proses evolusi dan bukan melalui suatu revolusi, karena proses peralihan generasi itu sendiri adalah alamiah dan manusiawi. Justru karena dilakukan secara bertahap itulah segi kontinuitasnya dapat kita percepat atau kita perlambat, karena semisal buah ara di pohon, ia matang secara alamiah, tidak dapat kita percepat atau kita perlambat. Buah durian pun apabila sudah matang, ia akan jatuh sendiri. Yang penting bagi generasi yang lebih tua ialah untuk menjaga agar pohon itu tumbuh subur hingga berbuah dan matang dipohonnya.

b. Landasan dasar Pendidikan Politik Generasi Muda

Sebagai telah dikemukakan di atas, maksud pendidikan politik ialah untuk meningkatkan kesadaran setiap warga negara termasuk generasi muda umumnya, dan pemuda pergerakan khususnya, dalam berbangsa dan bernegara. Landasan utama dan yang terutama dalam rangka pendidikan politik bagi segenap masyarakat Indonesia adalah usaha sosialisasi Pancasila dan UUD 1945, demi terciptanya suasana dan harapan yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa kita. Disamping itu usaha untuk lebih memasyarakatkan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi nasional serta UUD 1945 tersebut adalah jawaban atas tantangan masa depan, agar tidak lagi terulang berbagai kemelut nasional yang diakibatkan oleh konflik-konflik ideologis.

Sebagaimana diungkapkan Presiden Soeharto, sejarah telah membuktikan bahwa tiap kali Pancasila dan UUD 1945 berusaha untuk diselewengkan oleh golongan-golongan tertentu yang menganut paham dan atau ideologi asing yang tidak sesuai dengan kepribadian dan sosiokultural bangsa kita, maka pada waktu itupun bangsa kita berada di ambang kehancuran.

Oleh karena itu, dengan berlakunya ketentuan perundang-undangan, dimana setiap organisasi sosial politik di Indonesia hanya akan menggunakan landasan atau satu azas yaitu Pancasila (UU-RI No. 5 Tahun 1985), diharapkan pengalaman-pengalaman sejarah masa lalu tersebut tidak akan terulang lagi. Hal ini pun merupakan upaya untuk meringankan beban-beban masa depan yang akan dipikul oleh generasi muda bangsa Indonesia di dalam perjalanan sejarahnya. [22]

Gerakan Pramuka lahir sebagai sebuah keputusan politik, hal mana didahului dengan keputusan politik MPRS tahun 1960 yang berupaya membersihkan sisa-sisa paham Baden Powell pada organisasi kepanduan. Penamaan Pramuka pun lebih berbau politis karena pada saat itu di sebagian negara komunis menyelenggarakan pendidikan kepanduan dengan nama pionir, dan pramuka dipandang sebagai padanan kata dari pioner dibandingkan pandu. Pramuka diartikan sebagai selalu dimuka (pioner). Sedangkan pandu sendiri merupakan terjemahan dari scout yang merupakan gagasan dari Baden Powell dan diartikan sebagai orang yang senantiasa memandu atau menolong. Karena keputusan politik itulah maka organisasi ini sekarang lebih dikenal dengan pramuka daripada pandu.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Ketua Kwartir Nasional pertama yang kemudian menerjemahkan pramuka sebagai praja muda karana dipandang sebagai upaya untuk mengeliminir istilah pramuka dari padanan kata pioner yang lebih berbau komunis pada saat itu. Konon terbitnya Keputusan Presiden nomor 238 Tahun 1961 juga penuh dengan pergulatan politik, bahkan dokumen ini tidak ditandatangani oleh Soekarno namun oleh Pejabat Presiden Ir. H. Djuanda pada tanggal 20 Mei 1961. Pada saat itu Presiden Soekarno sedang melawat ke luar negeri, pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa tidak menunggu Presiden pulang ke tanah air dan segenting itukah penandatanganan penyatuan puluhan organisasi kepanduan ke dalam Gerakan Pramuka sehingga tanpa harus menunggu kepulangan Soekarno? Pertanyaan yang sampai sekarang belum dijelaskan kepada publik secara gamblang. Konon versi keputusan presiden yang akhirnya diterbitkan berbeda dengan draf yang masuk ke staf kepresidenan. Adalah H. Mutahar yang memberikan informasi adanya draf yang berbeda itu kepada Sri Sultan dan akhirnya mendesak Pejabat Presiden untuk segera menandatangani Keputusan Presiden 238 tahun 1961 sebagaimana kita kenal sekarang ini.

Namun demikian pada tanggal 14 Agustus 1961 toh akhirnya Presiden Soekarno menyerahkan panji-panji Gerakan Pramuka kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang pertama. Tanggal itulah yang kemudian diperingati menjadi Hari Pramuka. Jika pada awalnya terdapat keputusan politik untuk membersihkan sisa-sisa paham Baden Powell, maka tugas yang diemban Sri Sultan adalah membersihkan pengaruh komunis pada tubuh Gerakan Pramuka. Karena pada proses awal pembentukannya Gerakan Pramuka dipandang sebagai organisasi yang potensial bagi komunis untuk mengembangkan sayapnya.

Pergulatan politik itulah yang akhirnya membawa Gerakan Pramuka masuk di sekolah pada awal masa orde baru. Dikhawatirkan akan ditunggangi oleh eks-PKI, maka Gerakan Pramuka dititipkan di sekolah. Sehingga bermunculan Gugusdepan yang berpangkalan di sekolah sebagaimana kita kenal sekarang ini. Dan ini akhirnya menjadi gerakan yang sifatnya masif bahkan siswa diwajibkan mengikuti kegiatan kepramukaan atau minimal menggunakan seragam pramuka pada hari tertentu di sekolah.

Pemasalahan pendidikan kepramukaan di sekolah menyebabkan penerapan sistem beregu dan sistem tanda kecakapan sebagai roh utama pendidikan kepramukaan menjadi sulit karena keterbatasan jumlah pembina. Bagaimana mungkin sistem beregu dan sistem tanda kecakapan dapat dijalankan oleh satu orang pembina yang menghadapi ratusan peserta didik karena siswa di sekolah diwajibkan mengikuti pendidikan kepramukaan? Akhirnya pendekatan klasikal yang paling mungkin diterapkan, yang pada gilirannya latihan kepramukaan menjadi pelajaran kepramukaan.

Karena itulah dalam rangka revitalisasi Gerakan Pramuka menurut hemat saya pertama kali yang perlu dilakukan adalah revitalisasi organisasi Gerakan Pramuka dengan mengembalikan gugusdepan ke masyarakat. Gugusdepan berbasis masyarakat akan lebih fleksibel dalam menerapkan metode kepramukaan hal mana ketika gugusdepan berada di sekolah metode kepramukaan sebagai ciri utama pendidikan kepramukaan tereliminasi sehingga pendidikan kepramukaan kehilangan jati dirinya.

Ketika gugusdepan berbasis di masyarakat maka keanggotaan tidak lagi bersifat masif dan organisasi akan lebih mampu mengurusi anggota. Pembina akan lebih optimal dan intensif melakukan proses pendidikan kepramukaan yang berkualitas berdasarkan metode pendidikan kepramukaan. Gugusdepan berbasis masyarakat juga akan mengoptimalkan pergaulan teman sebaya di lingkungan anak, remaja dan pemuda peserta pendidikan kepramukaan. Pada tataran inilah Gerakan Pramuka akan lebih mampu menjadikan organisasinya sebagai sebuah gerakan dalam membangun karakter bangsa.[23]


F. Negara Sebagai Penyelenggara Pendidikan

Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengurus dan mengatur segala aspek yang berkaitan dengan pendidikan yang diterapkan, negara wajib mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh warganegara secara mudah. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda “Seorang Imam (Khalifah/Kepala Negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat; ia akan diminta pertanggung-jawaban atas urusan rakyatnya (HR. Al-Bukhari dan Muslim)”

Berkenaan dengan hadis tersebut diatas, di Damaskus pada abad ke-6 Hijriah didirikan Perguruan Tinggi An-Nuriah oleh Khalifah Nuruddin Muhammad Zanky. Dilembaga ini terdapat berbagai fasilitas pendidikan seperti, ruang diskusi, ruang belajar, perpustakaan yang lengkap, laboratorium, semunya dipersiapkan oleh Negara. Disamping itu, juga terdapat asrama mahasiswa dan asrama dosen dan lain sebagainya. Kesemuanya disiapkan untuk memudahkan para mahasiswa untuk melakukan penelitian dan pengkajian sehingga kreativitas untuk mencapai daya ciptanya yang diperlukan oleh masyarakat. [24]


G. Kekuatan Sosial Politik dan Organisasi Kemasyarakatan

Dalam membicarakan kekuatan sosial dan politik dan organisasi kemasyarakatan perlu diperhatikan undang-undang baru di bidang politik, yang dikeluarkan pada tahun 1985.

Lima undang-undang baru dibidang politik sebagai berikut : [25]

a. Undang-undang No. 1 Tahun 1985 tentang Perubahan Asas Undang-undang Pemilu.
  1. Pemantapan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 
  2. Dasar pikiran, tujuan, asas dan sistem Pemilu tidak berubah. 
  3. Pemberian peranan yang lebih efektif kepada ketiga organisasi kekuatan sosial dan politik dalam kegiatan pelaksanaan dan pengawasan Pemilu. 
  4. Tanda gambar mengungkapkan bahwa organisasi yang bersangkutan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas. 
  5. Tema kampanye Pemilu adalah program tiap organisasi peserta Pemilu yang berhubungan dengan Pembangunan Nasional sebagai pengamalan Pancasila. 
b. Undang-undang No. 2 Tahun 1985 Tentang Perubahan Asas Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR-DPR

c. Undang-undang No. 3 tahun 1985 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 3 Tahun 1975.
d. Undang-undang No. 5 tahun 1985 tentang Referendum
e. Undang-undang No. 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan


Pancasila Sebagai Satu-Satunya Asas

Setiap organisasi kekuatan sosial dan politik (Parpol dan Golkar) dan organisasi kemasyarakatan, yang telah mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya (AD-ART) diharapkan secara konsekuen dan jujur mengaktualisasikan didalam kehidupan yang nyata ditengah-tengah masyarakat. Ini telah diterima, tanpa perlu dipertanyakan atau dibahas kembali.

Lembaga tertinggi negara dan lembaga-lembaga tinggi negara, bekerja secara demokratis dan tetap berorientasi kepada kepentingan rakyat. Untuk menjamin hak-hak demokrasi daripada rakyat diupayakan dan diusahakan.

(1) Penciptaan suasana yang memungkinkan ketentuan-ketentuan sosial dan politik turut ambil bagian dan sama hak didalam berkampanye didalam pemilihan umum.

(2) Pendidikan politik yang menjangkau sebanyak mungkin rakyat Indonesia. Sebab, makin tinggi kesadaran dan pengetahuan politik rakyat makin hiduplah demokrasi, rakyat makin sadar akan hak dan tanggung jawab sebagai warga negara yang baik (sosialisasi politik).

(3) Penyiapan kader-kader pemimpin politik (regenerasi) yang memiliki sikap dan jiwa demokrasi, yang tanggap atas aspirasi rakyat, yang mau dan mampu memperjuangkan kepentingan rakyat.

(4) Pengemban musyawarah untuk mufakat dalam mengambil keputusan dan penyelesaian perbedaan pendapat dengan memupuk kesediaan menerima sesuatu keputusan dengan iktikad baik dan pembinaan penyelesaian konflik secara demokratis sehingga konflik tidak menjadi unsur pemecah persatuan melainkan menjadi unsur dinamis melahirkan konsensus untuk kemajuan bersama.

(5) Penciptaan suasana yang memungkinkan rakyat menjalankan kontrol (pengawasan) dan kritik yang membangun, dengan cara yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia. [26]


Undang-Undang di Bidang Politik

Pembangunan di bidang politik di era reformasi bertujuan untuk membangun kehidupan politik yang demokratis dan stabil dengan sasaran menegakkan kembali secepatnya wibawa dan legitimasi pemerintah, didukung oleh partisipasi dan kepercayaan rakyat, serta menciptakan suasana yang kondusif guna terjaminnya ketenangan, kententeraman dan ketertiban masyarakat luas, baik diperkotaan maupun di pedesaan.

Undang-undang tentang kekuatan sosial politik dan organisasi kemasyarakatan pada tahun 1985 tidak sesuai dengan era reformasi dewasa ini, yaitu lima undang-undang baru dibidang politik.

Pada tanggal 1 Februari 1999 pemerintah mengesahkan tiga undang-undang di bidang politik yang terdiri dari Undang-undang Nomor 2 tahun 1999 tentang partai politik, undang-undang nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum, dan undang-undang nomor 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan majelis permusyawaratan Rakyat, dewan perwakilan rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah.

a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang partai politik
b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 antang pemilihan umum

c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. [27]


Pendidikan Agama Sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional

Dalam UU 2 Tahun 1989 status pendidikan agama menjadi meningkat dengan ditetapkannya pendidikan agama salah satu dari tiga mata pelajaran yang wajib diberikan pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Tiga mata pelajaran itu adalah Pancasila, Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan. Dalam UU No 20 Tahun 2003, kedudukan pendidikan agama itu menjadi lebih kokoh lagi dengan ditetapkannya status pendidikan agama menjadi hak peserta didik. Peserta didik berhak memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya serta diajarkan oleh oleh pendidik yang seagama

Pada mulanya pembiayaan pendidikan Islam diupayakan oleh individu-individu penyebar ajaran Islam di Indonesia. Beberapa dekade setelahnya muncul kerajaan-kerajaan Islam yang mendukung penuh pembiayaan pendidikan agama. Namun pada masa pemerintahan kolonial pendidikan Islam dianggap sebagai pendidikan liar sehingga sejak saat itu pembiyaan pendidikan diupayakan dari swadaya masyarakat.

Setelah masa kemerdekaan pendidikan Islam belum mendapat bantuan berarti dari pemerintah. Orde Lama dan Orde Baru belum sepenuhnya mempertimbangkan lembaga pendidikan Islam sebagai bagian dari aset negara. Hingga pada masa pemerintahan reformasi terbit UU Sisdiknas tahun 2003 yang memberi harapan pada pendidikan Islam untuk mendapatkan anggaran yang setara dengan lembaga pendidikan lainnya dari pemerintah.

Saran
1. Perlu ditingkatkannya peran serta (keterlibatan) masyarakat dalam membantu tercapainya tujuan pendidikan Islam

2. Perlunya konsep pendanaan yang kreatif bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam demi menjamin keberlangsungan proses pendidikan.

3. Perlunya peningkatan bantuan dana bagi madrasah swasta dan pesantren. sebagai perbandingan di Australia, semua sekolah swasta mendapat bantuan dari pemerintah sebesar 76% dari anggaran biaya, yang pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada kepala sekolah yang dibantu oleh Dewan Sekolah, dan untuk sekolah negeri 90% dana ditanggung oleh pemerintah.

Langkah-langkah strategis dalam rangka mengembangkan kebijaksanaan agar madrasah pada gilirannya menjadi sekolah umum dapat diwujudkan setelah berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagai pelaksana undang-undang tersebut di dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dalam Bab III pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa: “Sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama yang berciri khas Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah”. Demikian pula halnya dengan madrasah aliyah. Namun pada masa ini pendidikan Islam belum dikatakan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional tetapi hanya satu bagian/urusan yang berada di bawah Departemen agama.

Selanjutnya harapan baru muncul seiring dengan bergulirnya era reformasi yang menuntut penataan ulang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian melahirkan sistem otonomi daerah. Otonomi Daerah memberi peluang pada lembaga-lembaga pendidikan untuk lebih mandiri dengan tetap berharap bantuan pemerintah meski dalam era ini pemerintah daerah dan pusat hanya berperan sebagai funding agency, pemicu dana, untuk selanjutnya sekolah sendiri yang mengembangkannya.

Pada era otonomi ini lahir pula UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. UU Sisdiknas baru ini berusaha menempatkan madrasah ekuivalen dengan sekolah termasuk dalam perlakukan anggarannya. Dalam UU Sisdiknas 2003 ini pesantren juga dinyatakan sebagai bagian dari subsistem pendidikan nasional.

Saat lembaga pendidikan Islam telah mendapatkan bantuan pembiayaan yang cukup signifikan dari pemerintah. Di samping itu, madrasah dan pesantren juga didorong untuk mengelola pembiayaan pendidikannya berbasis madrasah dan pesantren. Metode ini mencakup tiga kegiatan poko yang harus diupayakan oleh para pengelola lembaga pendidikan Islam yaitu: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pertanggungjawaban. Terkait dengan sumber pendanaan, saat ini rata-rata anggaran lembaga pendidikan Islam diperoleh dari:


KESIMPULAN

Pendidikan dan politik merupakan dua hal yang seiring sejalan dalam mencerdaskan bangsa. Kedua-duanya tidak berjalan sendiri-sendiri akan tetapi saling berhubungan atau berkaitan. Pendidikan menyiapkan sumber daya manusia untuk mengurus politik dan negara. Negara mengalokasikan biaya untuk mendukung kecancaran proses pendidikan. Dalam perspektif Islam keterlibatan Negara untuk membangun dan mendukung proses pembelajaran diberbagai lembaga pendidikan mutlak dibutuhkan.

Transformasi nilai-nilai politik melalui institusi pendidikan melalui intervensi dalam perbuatan kebijakan pendidikan di Indonesia sangat kuat, bahkan institusi pendidikan merupakan wilayah politik negara dan pemerintahan, walaupun demikian perhatian negara untuk bidang pendidikan belum menggembirakan. Anggaran yang dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebanyak 20 persen masih jauh dari kebutuhan pendidikan. Di samping itu, kesejahteraan para pendidikpun belum merata dialokasikan di seluruh negara.

Daftar Pustaka dan Footnote
  • Jamaluddin, et.al, Proceedings International Conference :Islamic Education and Leadership, (Bandung,:Ciptapustaka Media Perintis ,2011)
  •  M.Sirozi, Politik Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
  •  Azyumardi Azra, Perguruan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (sebuah pengantar) dalam Charles Michael Stanton, Perguruan Tinggi Dalam Islam,Terj. H.Afandi dan Hasan Asari,( Logos: Jakarta, 1994)
  • Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia,(Yayasan Risalah: Jakarta,1983)
  • Surono, Pembinaan Generasi Muda Dalam Rangka Menyongsong Peralihan Generasi, dalam Majalah “Gema Angkatan 45”,Edisi 66/70 Juli-September ,1982
  • Eddy Kurniadi, Peranan Pemuda dalam Pembangunan Politik di Indonesia, (Angkasa: Bandung,1987
_________________
[1] Jamaluddin, et.al, Proceedings International Conference :Islamic Education and Leadership, (Bandung,:Ciptapustaka Media Perintis ,2011), Cet II, h,192-193

[2] M.Sirozi, Politik Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h,1
[3] Jamaluddin, Islamic Education, h,188
[4] Sirozi, Politik Pendidikan,h,6

[5] Lihat:Azyumardi Azra, Perguruan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (sebuah pengantar) dalam Charles Michael Stanton, Perguruan Tinggi Dalam Islam,Terj. H.Afandi dan Hasan Asari,( Logos: Jakarta, 1994)

[6] Sirozi, Politik Pendidikan,h,6-9

[7] Lihat :M.Dawam Raharjo, Intelektual, Intelejensia dan Perilaku Politik, Risalah Cendikiawan Muslim, (Mizan: Bandung, 1993),h,192

[8] Jamaluddin, Islamic Aducation, h,188
[9] Lihat: Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia,(Yayasan Risalah: Jakarta,1983),h,6-7
[10] Jamaluddin, Islamic Aducation, h,188
[11] Sirozi, Politik Pendidikan,h,10
[12] Sirozi, Politik Pendidikan,h,12
[13] Sirozi, Politik Pendidikan,h,15
[14] Sirozi, Politik Pendidikan,h,37-39
[15] Sirozi, Politik Pendidikan,h,43
[16] Azyumardi, Perguruan Tinggi Islam, h,23

[17] Lihat: Surono, Pembinaan Generasi Muda Dalam Rangka Menyongsong Peralihan Generasi, dalam Majalah “Gema Angkatan 45”,Edisi 66/70 Juli-September ,1982,h,3

[18] Eddy Kurniadi, Peranan Pemuda dalam Pembangunan Politik di Indonesia, (Angkasa: Bandung,1987,h,240

[19] Kurniadi, Peranan Pemuda, h,242
[20] Kurniadi, Peranan Pemuda,242
[21] Kurniadi, Peranan Pemuda,243
[22] Kurniadi, Peranan Pemuda,243-245
[23] Dimuat di Harian “Kedaulatan Rakyat” tanggal 15 Agustus 2011, Pinggir Krasak, h. 12
[24] Jamaluddin, Islamic Aducation, h,193

[25] A.W.Widjaja, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Pancasila Pada Perguruan Tinggi,edisi revisi, (Raja Grafindo Persada,Jakarta: 2002),Cet II,h,225-230

[26] Widjaja, Pedoman Pelaksanaan,h,230-231
[27] Widjaja, Pedoman Pelaksanaan,h,231-234


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved