A. PENDAHULUAN
Madrasah-madrasah selama pra-kemerdekaan, pada dasarnya belum menunjukkan keseragaman dalam berbagai hal seperti masa belajar, penjenjang, dan kurikulum. Dalam perbandingan antara bobot mata pelajaran agama dan umum, juga berbeda-beda antara satu madrasah dengan madrasah lainnya.
Periode 1994 sampai dengan sekarang idealnya mrngangkat lembaga pendidikan madrasah sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. Madrasah dari tingkatan ibtidaiyah, tsanawiyah sampai aliyah memiliki kurikulum yang sama dengan sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan pendidikan menengah, ditambah dengan ciri keislamannya yang tertuang dalam kurikulum yaitu memiliki mata pelajaran agama yang lebih. Civil effect madrasah juga menjadi sama dengan yang dimiliki sekolah-sekolah hasil bentukan Departemen Pendidikan Nasional.
Madrasah pada priode ini berada di bawah naungan UUSP No. 2 Tahun 1989 dan diatur oleh PP No. 28 dan 29. Selanjutnya, untuk menindak lanjuti pelaksanaan PP itu, Menteri PDK dan Menteri Agama mengeluarkan surat keputusan masing-masing. Menteri PDK mengeluarkan SK No. 0489/U/1992 tentang Sekolah Umum. Sedangkan Menteri Agama mengeluarkan SK No. 370 Tahun 1993 tentang Madrasah Aliyah, serta SK No. 373 Tahun 1993 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah Umum (MAU) dan SK No. 374 Tahun 1993 tentang Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK).
B. PEMBAHASAN
A. Lulusan Pendidikan Islam
Setelah proklamasi kemerdekaan R.I., madrasah berjalan sesuai dengan kemampuan para pengasuh dan masyarakat pendukungnya masing-masing. BP KNPI menganjurkan agar pendidikan di madrasah berjalan terus dan dipercepat,[1] sertadiberikan subsidi.[2] Di samping itu, ijazah dari madrasah swasta (MIS) dihargai[3] dan diakui sama dengan ijazah dari madrasah negeri (MIN), serta tamatannya memiliki civil effect yang sama dengan madrasah negeri.[4]
Pembaharuan madrasah telah dimulai sejak Orde Lama (1945-1965). Tahun1958/1959, misalnya, Departemen Agama melakukan upaya pembaharuan sistempendidikan di madrasah dengan memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB)dengan spesifikasi: lama belajar 8 tahun (berarti 8 kelas) untuk murid usia 6 sampai 14 tahun, bertujuan untuk menunjang kemajuan ekonomi, industri dan transmigrasi,materi meliputi pengetahuan agama, umum dan keterampilan, dan berbasis padapembangunan masyarakat pedesaan ( rural development ).[5] Guna memenuhi tenagaguru di MWB-MWB tadi, di dirikanlah Pusat Pelatihan Guru MWB di Pacet, Cianjur, Jawa Barat. Pusat Pelatihan ini bersifat nasional. Peserta pelatihan adalah para tamatanPGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) di seluruh Indonesia. Kurikulum pelatihanmencakup pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan dan koperasi. Ada pulapendidikan olah raga dan agama.[6] Sayangnya, MWB ini tidak berjalan sebagaimanadiharapkan, hanya bertahan beberapa tahun saja. Karena faktor keterbatasan sarana,peralatan, guru, respons masyarakat yang kurang dan pihak penyelenggara madrasahyang tidak profesional, [7] maka program ini tidak berlanjut.
Pada masa awal Orde Baru, antara tahun 1967 sampai 1970, dilakukanpenegerian di lingkungan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Peraturan Menteri Agama No.7/1952 tanggal 23 Juli 1952 tentang pemberian bantuan kepada madrasah rendah dan lanjutan (MI dan MTs), yang kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Agama (waktu itu K.H.Wahib Wahab) No.2/1960 dengan ketetapan mengenai bentuk bantuan (hadiah, sokongan atau tunjangan),syarat-syarat memperoleh bantuan, cara penetapan pemberian bantuan, pengawasan dan kewajiban perguruanagama Islam, pengubahan dan penghentian pemberian bantuan dan pelaksanaan pemberian bantuan. Lihatjuga: Deliar Noer, “Administration of Islam in Indonesia” dalam Monograph Series. Publication No. 58. NewYork: Southeast Asian Program, Cornell University, 1978. serta merubah nama dan struktur Madrasah Negeri. [8] Selanjutnya, tahun 1975, melalui SKB 3 Menteri, madrasah ditingkatkan mutu pendidikannya.[9] Berangkat dari SKB 3 Menteri tersebut PAI perguruan agama menjadi sejajardengan sekolah umum. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum, lulusan madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum mulai darijenjang Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, status dan kedudukan madrasah jugasama dengan sekolah.[10]
Sebagai konsekuensi adanya SKB 3 Menteri ini adalah bahwa seluruh madrasah harus melakukan perubahan kurikulum dimana 70 % merupakanilmu pengetahuan umum dan 30 % ilmu pengetahuan agama. Dengan ini pula diharapkan LPI dapat meningkatkan kualitasnya, sehingga mampu berkompetisi dengan sekolah umum.[11] Bedanya, madrasah berada di bawah payung Departemen Agama, sementara sekolah di bawah Departemen Pendidikan Nasional, di sampingadanya perbedaan proporsi materi pelajaran agama Islam di dua lembaga tersebut.Posisi madrasah ini dipertegas kembali dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 BabIV pasal 11 ayat 6 tentang pendidikan keagamaan, yang kemudian dijabarkan dalamPeraturan Pemerintah maupun Keputusan Menteri, bahwa MI, MTs, dan MA masing-masing termasuk SD, SLTP, dan SMU yang berciri khas agama Islam dan di selenggarakan oleh Departemen Agama.[12] Tanggungjawab atas pengelolaan madrasah dilimpahkan kepada Menteri Agama.[13] Siswa berhak memperoleh pendidikanagama sesuai dengan agama yang dianut[14] apabila dalam satu kelas di suatusekolah terdapat sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang siswa yang memeluk agamatertentu, pendidikan agama siswa yang bersangkutan wajib diberikan di kelastersebut,[15] sementara bagi siswa yang tidak memeluk agama yang sedang diajarkanpada saat berlangsungnya pelajaran agama di kelas itu diberi kebebasan.[16]
Kurikulumdan bahan kajian yang diberikan di madrasah minimal sama dengan di sekolah, disamping bahan kajian lain yang diberikan pada madrasah tersebut.[17] Kurikulum di Bab IX pasal 25 dan 26. Isi kurikulum SD wajib memuat sekurang-kurangnya bahan kajiandan pelajaran: pendidikan Pancasila, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia,membaca dan menulis, Matematika (termasuk berhitung), pengantar sains dan teknologi, ilmu bumi, kerajinantangan dan kesenian, pendidikan jasmani dan kesehatan, sejarah nasional, dan menggambar. Sedang isi pasal 5. Bandingkan juga dengan kebijakan sebelumnya, Peraturan Bersama MenteriPendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No.17678/Kab tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) danNo.K/1/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama) tentang Peraturan Pendidikan Agama di Sekolah-sekolah Negeripasal 4 ayat 3, bahwa murid dalam suatu kelas yang memeluk agama lain daripada agama yang sedang di ajarkan pada suatu waktu tertentu, dan murid-murid yang meskipun memeluk agama yang sedang diajarkantetapi tidak mendapat izin dari orang tuanya untuk mengikuti pelajaran itu, boleh meninggalkan kelasnyaselama jam pelajaran agama itu.
Madrasah belakangan di modernisir melalui upaya Departemen Agama untuk menyusunbuku panduan guru mata pelajaran umum yang bernuansa Islam,[18] atau buku pelajarankeislaman yang bernuansa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, meskipun dalamrealisasinya masih dihadang oleh kendala teknis-operasional berupa SDM dan fasilitas.Belum lagi kendala klasik yang berkaitan dengan ketidakadilan alokasi dana untuk madrasah dari Departemen Agama bila dibandingkan dengan alokasi dana untuk sekolah umum dari Departemen Pendidikan Nasional. [19]
Walaupun saat ini kondisi madrasah telah mengalami perubahan biladibandingkan dengan masa awal kemunculannya hingga akhir Orde Baru, namunperbedaan mencolok masih dijumpai oleh madrasah bila dibandingkan kondisinyadengan sekolah umum. Bagaimana peran dan kondisi madrasah saat ini? Berikut iniadalah uraian tentang gambaran umum madrasah dimaksud.
B. Gambaran Umum Kondisi Pendidikan Islam
1. Data Kelembagaan Madrasah Pendidikan Islam
Pendataan secara terpadu terhadap lembaga pendidikan yang bernaung dibawah Departemen Agama, yakni madrasah, sudah dimulai sejak tahun 1998.Saat ini, pendataan tersebut ditangani oleh Bagian Data dan Informasi PendidikanSetditjen Kelembagaan Agama Islam. Jumlah lembaga yang berhasil didata daritahun ke tahun menunjukkan adanya peningkatan yang cukup pesat. Perkembanganjumlah madrasah yang berhasil didata sepanjang tahun 2001 hingga 2004 disajikanpada beberapa grafik berikut:
kurikulum SLTP wajib memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran sebagaimana yang diberikandi tingkat SD di atas ditambah dengan pelajaran Bahasa Inggris (SK Menteri Menteri Pendidikan danKebudayaan (sekarang Menteri Pendidikan Nasional) No. 054/U/1993 tentang SLTP Bab IX pasal 19 dan20), sementara isi kurikulum SMU wajib memuat bahan kajian dan mata pelajaran sebagaimana diberikan ditingkat SLTP di atas, ditambah beberapa mata pelajaran: ekonomi, geografi, sosiologi, kimia, fisika, biologi,dan bahasa asing. Baik di SLTP mapun SMU dapat menambah mata pelajaran sesuai dengan keadaanlingkungan dan ciri khas SLTP yang bersangkutan dengan tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secaranasional dan tidak menyimpang dari tujuan pendidikan nasional
2. Peserta Didik (Siswa) Pendidikan Islam
Saat ini total siswa pada madrasah adalah 6.022.965 jiwa mulai dari tingkat MI hingga MA. Pada tingkat MI siswa berjumlah 3.152.665 atau 12.1% dari jumlahpenduduk usia sekolah 7 – 12 tahun, pada tingkat MTs siswa berjumlah 2.129.564atau 15.9 dari jumlah penduduk usia sekolah 13 – 15 tahun, pada tingkat MA siswaberjumlah 744.736 atau 5,7 % dari jumlah penduduk usia sekolah 16 – 18 tahun.Perkembangan jumlah siswa dari tahun 2001 hingga 2004 pada grafik berikut ini : Grafik 3. Perkembangan jumlah siswa sejak tahun 2001 hingga 2004 pertumbuhan tersebut secara rata-rata lebih tinggi dibandingkan denganpertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini menunjukkan adanya indikasi keinginanmasyarakat yang lebih tinggi untuk menyekolahkan anaknya dimadrasahdibandingkan sekolah umum.Dari rasio rombongan belajar (rasio jumlah siswa per rombonganbelajar), terlihat bahwa rasio pada tingkat MTs lebih tinggi daripada MI dan MA.Rasio rombel pada tingkat MTs 33,9; pada tingkat MA 32,1 dan pada tingkat MI21,3. Daya serap madrasah terhadap siswa baru yang mendaftar termasuk tinggi.Pada tingkat MI tahun 04/05 daya serap mencapai 97,0% dari jumlah pendaftaryang ada. Hal ini berarti terdapat 3,0% dari pendaftar yang tidak dapat diserap olehMI. Sementara pada tingkat MA, daya serap pada tahun 04/05 91,3% yang berartiterdapat 8,7% dari para siswa calon pendaftar tidak dapat diserap.Beragamnya kualitas input siswa baru pada madrasah dapat dilihat padatabel 2.9 sampai 2.11 (Jumlah Pendaftar dan Siswa Baru Berdasarkan AsalSekolah). Pada tingkat MI, sebagian besar (47,8%) siswa baru langsung dari orangtua yang berarti bahwa mereka tidak melalui pendidikan pra sekolah. Siswa baruyang melalui pendidikan TK Islam sebanyak 40,0% dan sisanya sebanyak 12,3%melalui pendidikan TK Umum.Pada tingkat MTs, sebagian besar siswa baru berasal dari SD Negeri(mencapai 70,6%) disusul dari MI Swasta sebanyak 21,5%; MI Negeri sebanyak 5,6% dan SD swasta sebanyak 2,2%. Pada tingkat MA, siswa baru sebagian besarberasal dari MTs Swasta (mencapai 47,6%) disusul SMP Negeri sebanyak 23,1%;MTs Negeri sebanyak 21,0% dan SMP Swasta sebanyak 8,3%. Hal inimenunjukkan bahwa pada tingkat MTs dan MA juga banyak diminati oleh paralulusan dari sekolah umum.Lulusan MI, sebagian besar melanjutkan pendidikan yang lebih tinggimencapai 88.7% yang tersebar pada MTs, SMP dan Pondok Pesantren.
Lulusan yang melanjutkan MTs sebanyak 49.3%; SMP sebanyak 29.5% dan Pondok Pesantren sebanyak 9.9%. Sedangkan yang yang lainnya sebanyak 10.4% tidak diketahui Lulusan MTs yang melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi sebanyak 63.9% yang tersebar pada MA, SMA dan Pondok Pesantren. Sebanyak 8.2%melakukan pendidikan informal melalui kursus-kursus dan bekerja, sedangkan yanglainnya sebanyak 27.9 tidak diketahui. Lulusan yang melanjutkan MA sebanyak 39.5%; SMA sebanyak 37.8% dan Pondok Pesantren sebanyak 11.4%. LulusanMA yang melanjutkan Perguruan Tinggi yang terdaftar pada PTAI sebanyak 21.6%dan PTU sebanyak 14.0%.Dari penjelasan sebelumnya diperoleh informasi bahwa siswa baru padatingkat MI sebagian besar adalah siswa yang yang belum melalui pendidikan prasekolah. Hal ini menjadi salah satu kendala yang menyebabkan tingkat pengulangpada MI masih tinggi. Jika dibandingkan dengan MTs dan MA, maka dapatdikatakan bahwa tingkat pengulang pada MI mencapai 2.6 % untuk MTS 0.2% danuntuk MA 0.2 %, dari data diatas pengulang untuk MI mencapai 10 kali lebihtinggi dibandingkan MTs dan MA.Secara umum bahwa tingkat putus sekolah pada tingkat MTs dan MAlebih tinggi dibandingkan MI. Selain itu juga terlihat bahwa tingkat putus sekolahpada MTs dan MA ada sedikit kenaikan sedangkan pada MI terus menurun. Salahsatu penyebab tingginya tingkat putus sekolah pada MTs dan MA adalahkemampuan sosial ekonomi orangtua. Orangtua siswa pada madrasah sebagianbesar (mencapai 84%) berasal dari golongan kurang mampu (pendapatan dibawah UMR).
3. Guru Madrasah Pendidikan Islam
Guru yang mengajar pada madrasah dari tingkat MI hingga MA berjumlah524.679 yang terdiri dari Guru PNS sebanyak 71.422 (13.61%) dan guru Non-PNSsebanyak 453.257 (86.39%). Banyaknya jumlah guru Non-PNS karena banyaknyalembaga madrasah yang berstatus swasta yang langsung dikelola oleh masyarakat.
4. Fasilitas Ruang Belajar
Ruang kelas yang dalam kondisi baik (layak untuk digunakan) hanya 55,6%atau berjumlah sekitar 126.095 dari tingkat MI hingga MA. Jumlah ini sangat tidak sesuai bila dibandingkan dengan jumlah rombongan belajar yang harus dilayaniberjumlah 233.776. Dari angka tersebut jelaslah bahwa hanya 53,9% rombonganbelajar yang dapat dilayani dengan ruang kelas yang memadai. Sedangkan sisanyasebanyak 46,1% rombongan belajar menggunakan ruang kelas yang kurangmemadai. Grafik 5. Kondisi Ruang Kelas.Dari data yang dikumpulkan terlihat bahwa jumlah madrasah yangmenyelenggarakan pendidikan secara kombinasi (pagi dan siang) mencapai 5.9%.Yang berarti terdapat sebanyak 2.376 madrasah terpaksa menggunakan waktu pagisampai sore hari untuk menyelenggarakan pendidikan karena kekurangan ruangkelas. Madrasah yang menyelenggarakan pendidikan pada siang hari sebanyak 14.1% dan sebanyak 80,0% madrasah menyelenggarakan pendidikan dipagi hari.Untuk mengatasi kondisi yang demikian, maka perlu peran pemerintah dalammemberikan bantuan kepada madrasah untuk mendirikan ruang kelas baru ataumemperbaiki ruang kelas yang rusak.Keterbatasan lain nampak bada dukungan dana dari Pemerintah kepadamadrasah swasta yang relatif kecil. Namun demikian madrasah masih tetapmembutuhkan kemitraan dengan Pemerintah, terutama sekali untuk memperolehpengakuan dan status madrasah, serta bantuan keuangan dan bahan pelajaran. semua keterbatasan di atas merupakan problema yang dihadapi oleh madrasahhingga saat ini.
C. Problematika Guru Madrasah dalam Pendidikan Islam
Lebih dari 80% madrasah berstatus swasta. Kurikulum dan sistem akreditasi madrasah berada dalam payung Departemen Agama. Hanya sedikit madrasah yang menerima bantuan dari Pemerintah dalam bentuk dana, buku teks, dan guru. Walaupun begitu, dukungan Pemerintah kini kian meningkat seiring dengan komitmen Pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Yang perlu diapresiasi adalah madrasah swasta yang menyelenggarakan pendidikan dasar tanpa mendapat bantuan berarti dari Pemerintah. Di sini perlu dibuat rencana kebijakan yang jelas untuk memperluas bantuan kepada madrasah swasta secara sistematis dan jangka panjangmelalui rumusan kriteria bantuan yang cermat. Sebab, pendidikan dasar merupakan hak konstitusional tiap anak mengingat pelaksanaan program wajib belajar tidak bisa mengesampingkan peran madrasah swasta.Dari kondisi madrasah sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat dianalisisbeberapa problema yang dihadapi oleh madrasah (termasuk gurunya). Fasli Jalalmengemukakan isu-isu yang menjadi problema utama madrasah dalam beberapa hal:
Pertama, kebanyakan peserta didik madrasah berasal dari kelompok masyarakat dengan income rendah sementara kebanyakan madrasah berada di daerah pedesaan, akibatnya, tanpa bantuan dari pihak Pemerintah maka madrasah swasta akan semakin terpuruk.
Kedua, rendahnya kualitas guru madrasah. Masih sering dijumpai guru madrasah yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya, terutama sekali guru madrasah untuk bidang studi Sains, Matematika dan bahasa Inggris yang masih jauh dari memuaskan. Belum lagi masalah banyaknya guru madrasah yang berstatus sebagai Guru Tidak Tetap atau GTT yang sering menimbulkan problema kurangnyaketersediaan guru dan SDM. Rata-rata sekitar 65% guru madrasah memiliki kualitasakademik Diploma 3 atau di atasnya, sementara sekitar 40% guru madrasah masihmengajar bidang studi yang bukan termasuk keahliannya. Selain itu, sekitar 46% gurumadrasah swasta berstatus Tidaj Tetap (GTT). Rasio Guru Tetap madrasah adalah 1 :81 siswa, atau hanya 10% saja guru yang berstatus tetap (GT) dimana kebanyakan dari mereka itu adalah lulusan dari IAIN, UIN atau PTAI yang tidak memiliki latar belakangyang kuat dalam mengajar Sains, Matematika atau bahasa Inggris. Selain itu, lebih dari60 % guru madrasah mengajar bidang studi yang tidak sesuai dengan keahliannya.
Ketiga, di banyak provinsi menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan pesertadidik baru di bawah angka 150 orang. Jumlah peserta didik yang kecil menunjukkankondisi yang tidak ekonomis, apalagi bila diingat bahwa biaya pendidikan madrasahmasih mengandalkan pemasukan dari masyarakat setempat yang umumnya miskin.
Keempat, sebagian besar madrasah menghadapi masalah kurangnya fasilitasperpustakaan dan laboratorium. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah meningkatkanfasilitas madrasah dalam bentuk Madrasah Model. Sekitar 25 MI, 70 MTs, dan 15 MAtelah dikembangkan menjadi Madrasah Model. Madrasah Model dilengkapi dengan asilitas laboratorium dan perpustakaan yang memadai, dimana pendanaannya diperolehdari bantuan proyek ADB. Meskipun begitu, keberhasilan madrasah tersebut masihbelum teruji sepenuhnya.
Kelima, bahan ajar tidak memadai. Peserta didik madrasah umumnya yangterakhir menerima sisa buku ajar gratis dari Diknas melalui sistem pengiriman yangdidanai oleh Diknas. Berdasarkan sampel survey yang dilakukan pada tahun 1997-1998dapat diketahui bahwa sekitar 30% siswa MTs yang menerima buku ajar dari kurikulumbaru setelah pertengahan semester berjalan, dan sekitar 30% siswa membeli bukuajarnya sendiri, sisanya 40% siswa hanya mengandalkan pada catatan pelajaran dikelas. Keadaan ini berubah sejak adanya proyek penerapan buku ajar yang baru. Secarabertahap kemampuan siswa memiliki buku ajar mulai membaik. Meskipun begitu,buku-buku referensi ang sebagiannya merupakan buku ajar dan bahan bacaan masihkurang memadai dalam koleksi buku di perpustakaan.Dalam hal MTs swasta yang umumnya menerima pendaftaran peserta didik dari kalangan ekonomi rendah, keadaannya semakin memprihatinkan. Beberapa kelas MTsswasta yang dikunjungi menunjukkan bahwa kurang dari 5 siswa dalam kelas yangmemiliki buku ajar. Kebijakan Pemerintah menekankan pada pencapaian kesetaraanakses dan peningkatan kualitas pendidikan madrasah untuk menyetarakannya denganSMP. Hal ini tentu saja memerlukan masukan yang tepat bagi MTs dan ketersediaanbuku teks bagi mereka, baik negeri maupun swasta, yang setaraf dengan siswa di SMP.
Keenam, kebijakan yang tidak mendukung peningkatan mutu guru madrasahserta ketersediaan sarana prasarana. Umumnya lulusan pendidikan itu tergantung padafaktor masukan peserta didik yang meliputi tingkat kecerdasan siswa, latar belakangsosial-ekonomi orang tua, lingkungan keluarga, kualitas dan pengalaman guru,ketersediaan buku teks, rekan sejawat, manajemen sekolah, dan lain-lain. Walaupunpengaruh dari masukan tersebut masih dipertanyakan dalam penelitian, namun masukanyang setaraf tentu akan dicapai secara bertahap dalam menuju ke keluaran (lulusan)yang setaraf pula. Saat ini, kualitas dan kuantitas input di madrasah masih di bawahsekolah umum. Misalnya saja, dalam hal sekolah umum yang dikelola oleh Diknas,ketersediaan satu orang guru SMP adalah untuk rasio 19 siswa, sementara bila dibandingkan dengan MTs Negeri maka satu orang guru rasionya adalah 30 siswa.Lebih parah lagi halnya dengan MTs Swasta, dimana satu orang guru rasionya adalah81 siswa, padahal di lingkungan SMP Swasta satu orang guru rasionya adalah 22 siswa.Terlebih lagi, dalam hal ketersediaan guru di lingkungan Depag masih jauh kualitasnyakarena hanya 30% dari kepala madrasah adalah lulusan SLTA. Dengan demikian,upaya up grading guru madrasah merupakan tantangan serius dan merupakan syaratmendasar bagi perbaikan mutu pendidikan dan penentu bagi berhasilnya penerapankurikulum baru. Kesenjangan yang sama terjadi antara SMP dengan MTs dalam halketersediaan fasilitas fisik yang memadai bagi laboratorium, perpustakaan, buku teks,dan seterusnya.
Ketujuh, lemahnya sistem evaluasi di madrasah. Upaya untuk membenahikualitas proses belajar mengajar di madrasah juga diperlukan. Selain itu, faktual bahwasistem evaluasi yang ada di madrasah saat ini belum dapat membedakan antara berbagaitingkat belajar siswa, dengan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang siknifikan antarapersentase siswa yang lulus sekolah dengan perbedaan mutu input mereka.
Kedelapan, lemahnya supervisi pendidikan. Di lingkungan madrasah terdapat654 pengawas bagi lebih dari 8000 MTs yang tersebar di lebih dari 299 provinsi dankabupaten. Ironisnya, sekitar 36% dari pengawas tersebut memiliki kualifikasi di bawahS-1. Kebanyakan dari mereka tidak terlatih dan tidak memiliki keahlian tentangsupervisi. Anggaran untuk perjalanan mereka tergolong rendah, sehingga praktis tidak ada sistem pengawasan pendidikan.
D. Jenjang karir Guru Madrasah dalam Menghadapi Sertifikasi Guru
1. Kebijakan Sertifikasi Guru Melalui Jalur Pendidikan
Kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru tidak lepas dari faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikannasional. Dalam konteks global, kualitas SDM Indonesia tergolong amat rendah biladibandingkah dengan negera-negara lain, bahkan bila dibandingkan dengan negaratetangga dalam lingkup ASEAN. Data Human Development Index yang dikeluarkanoleh UNDP tahun 2003 menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 112dari 175 negara. Bagaimana dengan kondisi guru secara nasional? Dari rekapitulasidata statistik Diknas menunjukkan bahwa 50,51 % guru SD berijazah di bawah D-2,sisanya 49,49 % berijazah D-2 ke atas. Sedang guru SLTP berijazah D-3 (Diploma3) 33,67 %, guru SLTP berijazah D-3, dan sisanya 66,33 % berijazah D-3 ke atas(Balitbang Diknas 2002). Guru yang layak mengajar hanya 50,7 % untuk jenjangSD, 64,1 % untuk SLTP, dan 67,1 % untuk SMU (Kompas, 3 Pebruari 2006: 7).
Faktor ekonomi juga ikut berpengaruh. Sejak krisis ekonomi yang melandaIndonesia pada tahun 1997, kemampuan daya beli masyarat menurut, harga barangmelambung tinggi, dan biaya pendidikan semakin tak terjangkau oleh kebanyakanmasyarakat. Sementara itu, kebijakan Pemerintah terkait dengan peningkatananggaran pendidikan belum mampu mengatasi problema ini. Baru pada tahun 2003Pemerintah membuat komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan nasionalmelalui UU Sissiknas No. 20 Tahun 2003. UU ini memuat banyak hal terkaitdengan pendidik, dalam hal ini guru dan dosen, serta hal-hal yang mengatur tentangpembenahan mutu pendidikan nasional. UU ini diteruskan dengan hadirnyakebijakan yang mengatur tentang guru dan dosen terutama dalam rangkameningkatkan profesionalismenya melalui progran sertifikasi.Siapa sebenarnya guru tersebut? Apa yang dimaksud dengan sertifikasi? Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab I tentang Ketentuan Umum pasal 1disebutkan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagaiguru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator,dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalammenyelenggarakan pendidikan.Sedang dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab Itentang Ketentuan Umum pasal 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dinijalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. SedangSertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.Dengan demikian, sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yangdiberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Dengan demikian, proses pembelajaran dalam program ini perlu memperhatikanhal-hal berikut.
1. Program pendidikan diselenggarakan selama-lamanya 2 (dua)semester.
2. Pengembangan bahan ajar dilakukan berdasarkan standar isi kurikulumdengan mempertimbangkan kondisi setempat.
3. Dalam proses pembelajaran, dosenmampu berperan sebagai model guru SD atau SMP, sehingga peserta didik mendapat gambaran nyata tentang perilaku guru yang harus ditampilkan ketikamengajar.
4. Kegiatan pembelajaran menerapkan pendekatan yang dapat melibatkanpeserta didik dalam pemerolehan konsep dan makna materi kajian melaluipengalaman langsung dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan.
5.Kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara bervariasi, sehingga memungkinkanterbentuknya dampak instruksional dan dampak pengiring, seperti keterbukaan,kemampuan kerjasama, berpikir kritis, dan saling menghargai.
6. Kegiatanpembelajaran memanfaatkan media dan sumber belajar yang dapat menumbuhkankreativitas peserta didik untuk memilih alternatif media dan sumber belajar yangsesuai dengan kebutuhan siswa dari yang paling sederhana sampai yang palingcanggih saat berada di sekolah.
Persyaratan peserta dan prosedur rekrutmennya diatur sebagai berikut:
1. Sertifikasi melalui jalur pendidikan diorientasikan bagi guru yunior yangberprestasi dan mengajar pada pendidikan dasar (SD dan SMP).
2. Peserta diusulkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota.
3. Seleksi peserta terdiri atas seleksi administratif dan seleksi akademik. Seleksiadministratif dilakukan oleh dinas pendidikan Kabupaten/Kota sedangkanseleksi akademik dilakukan oleh LPTK difasilitasi oleh Ditjen Dikti.
Persyaratan peserta sertifikasi melalui jalur pendidikan adalah sebagai berikut.
1. Memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV)dari program studi yang terakreditasi.
2. Mengajar di sekolah umum di bawah binaan Departemen Pendidikan Nasional.
3. Guru PNS yang mengajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan olehPemerintah Daerah atau guru yang diperbantukan pada satuan pendidikan yangdiselenggarakan oleh masyarakat
4. Guru bukan PNS, yaitu guru tetap yayasan (GTY) atau guru yang mengajar padasatuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah .
5. Memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).
6. Guru SD yang meliputi guru kelas dan guru Pendidikan Jasmani. Guru kelasdiutamakan yang memiliki latar belakang pendidikan S1 PGSD atau S1kependidikan lainnya, sedangkan guru Pendidikan Jasmani diutamakan yangmemiliki latar belakang S1 keolahragaan.
7. Guru SMP (bidang studi PKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika,IPA, IPS, Kesenian, Pendidikan Jasmani, dan guru bimbingan konseling) diutamakan yang mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya.Memiliki masa kerja sebagai guru minimal 5 tahun dengan usia maksimal 40 tahun pada saat mendaftar .9
Memiliki prestasi akademik/non akademik dan karya pengembangan profesi ditingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional yang diselenggarakan olehpemerintah pusat, pemerintah daerah maupun organisasi/lembaga.10. Bersedia mengikuti pendidikan selama 2 semester dan meninggalkan tugasmengajar.11. Disetujui oleh dinas pendidikan kabupaten/kota dengan pertimbangan prosespembelajaran di sekolah tidak terganggu.Agar lebih jelasnya, prosedur yang harus dilalui leh guru madrasah dalammengikuti program sertifikasi guru melalui jalur pendidikan.
1. Program pendidikan diselenggarakan selama-lamanya 2 (dua)semester.
2. Pengembangan bahan ajar dilakukan berdasarkan standar isi kurikulumdengan mempertimbangkan kondisi setempat.
3. Dalam proses pembelajaran, dosenmampu berperan sebagai model guru SD atau SMP, sehingga peserta didik mendapat gambaran nyata tentang perilaku guru yang harus ditampilkan ketikamengajar.
4. Kegiatan pembelajaran menerapkan pendekatan yang dapat melibatkanpeserta didik dalam pemerolehan konsep dan makna materi kajian melaluipengalaman langsung dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan.
5.Kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara bervariasi, sehingga memungkinkanterbentuknya dampak instruksional dan dampak pengiring, seperti keterbukaan,kemampuan kerjasama, berpikir kritis, dan saling menghargai.
6. Kegiatanpembelajaran memanfaatkan media dan sumber belajar yang dapat menumbuhkankreativitas peserta didik untuk memilih alternatif media dan sumber belajar yangsesuai dengan kebutuhan siswa dari yang paling sederhana sampai yang palingcanggih saat berada di sekolah.
Persyaratan peserta dan prosedur rekrutmennya diatur sebagai berikut:
1. Sertifikasi melalui jalur pendidikan diorientasikan bagi guru yunior yangberprestasi dan mengajar pada pendidikan dasar (SD dan SMP).
2. Peserta diusulkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota.
3. Seleksi peserta terdiri atas seleksi administratif dan seleksi akademik. Seleksiadministratif dilakukan oleh dinas pendidikan Kabupaten/Kota sedangkanseleksi akademik dilakukan oleh LPTK difasilitasi oleh Ditjen Dikti.
Persyaratan peserta sertifikasi melalui jalur pendidikan adalah sebagai berikut.
1. Memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV)dari program studi yang terakreditasi.
2. Mengajar di sekolah umum di bawah binaan Departemen Pendidikan Nasional.
3. Guru PNS yang mengajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan olehPemerintah Daerah atau guru yang diperbantukan pada satuan pendidikan yangdiselenggarakan oleh masyarakat
4. Guru bukan PNS, yaitu guru tetap yayasan (GTY) atau guru yang mengajar padasatuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah .
5. Memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).
6. Guru SD yang meliputi guru kelas dan guru Pendidikan Jasmani. Guru kelasdiutamakan yang memiliki latar belakang pendidikan S1 PGSD atau S1kependidikan lainnya, sedangkan guru Pendidikan Jasmani diutamakan yangmemiliki latar belakang S1 keolahragaan.
7. Guru SMP (bidang studi PKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika,IPA, IPS, Kesenian, Pendidikan Jasmani, dan guru bimbingan konseling) diutamakan yang mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya.Memiliki masa kerja sebagai guru minimal 5 tahun dengan usia maksimal 40 tahun pada saat mendaftar .9
Memiliki prestasi akademik/non akademik dan karya pengembangan profesi ditingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional yang diselenggarakan olehpemerintah pusat, pemerintah daerah maupun organisasi/lembaga.10. Bersedia mengikuti pendidikan selama 2 semester dan meninggalkan tugasmengajar.11. Disetujui oleh dinas pendidikan kabupaten/kota dengan pertimbangan prosespembelajaran di sekolah tidak terganggu.Agar lebih jelasnya, prosedur yang harus dilalui leh guru madrasah dalammengikuti program sertifikasi guru melalui jalur pendidikan.
2. Kesiapan Guru Madrasah
Bila diperhatikan bahwa kebijakan tentang sertifikasi guru madrasah dalam jabatan melalui jalur pendidikan ini diperuntukkan bagi mereka yang tidak mengikuti sertifikasi jalur portofolio, dan dipersyaratkan bahwa mereka adalah gurumuda yang berkualifikasi sarjana S-1 dan sudah mengajar minimal lima tahun sertamemiliki prestasi, maka hal ini sulit dipenuhi oleh guru madrasah. Kembali kepadakondisi dan problema yang dihadapi oleh guru madrasah sebagaimana diuraikansebelumnya yang menunjukkan rendahnya kualitas akademik mereka biladibandingkan dengan guru di sekolah umum yang lebih siap mengikuti programsertifikasi guru jalur pendidikan.Ditengah pengaruh globalisasi, lembaga pendidikan Islam khususnyamadrasah masih harus menghadapi berbagai tantangan. Di antaranya, bagaimanamadrasah dapat setara, dan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah umum.Menurut Malik, Kepala Balitbang Agama DKI Jakarta, kini sudah saatnya,madrasah bisa memainkan peran penting dalam kehidupan global, tanpa kehilanganciri khas serta jati dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam. Menurutnya, sebagailembaga pendidikan tertua di Indonesia, perkembangan lembaga pendidikan Islamkhususnya madrasah, masih sering diperlakukan diskriminatif.
Padahal, sebagainegara yang mayoritas muslim seperti Indonesia, tidak pantas madrasah diposisikansebagai lembaga pendidikan 'kelas dua'. Depag melalui balai penelitiannya terusberupaya menyetarakan madrasah dengan lembaga pendidikan umum, memberikanpeluang kepada guru dan siswa siswi madrasah, untuk melanjutkan pendidikan diperguruan tinggi umum. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyasmenyatakan, profesionalisme guru agama perlu terus dikembangkan, salah satunyadengan memberikan sertifikasi kepada guru sebagai tolak ukur peningkatanprofesionalisme. "Sertifikasi guru saat ini bisa menjadi salah satu tolak ukur dariprofesionalisme seorang guru, terutama guru agama, untuk selalu meningkatkankemampuannya.Kualifikasi pendidikan guru madrasah sampai saat ini masih relatif rendah.Hal ini terlihat pada grafik dibawah ini.
Persebaran tingkat pendidikan gurumadrasah menumpuk pada jenjang SLTA, D2 dan S1 atau lebih. Pada tingkat MI kualifikasi guru sebagian besar berada pada SLTA dan D2. Tingkat MTs dan MAsebagian besar kualifikasi pendidikan guru sudah mencapai S1 atau lebih. Grafik 5. Kualifikasi Pendidikan Guru Madrasah Tahun 2004Kualifikasi guru MI yang sudah memenuhi standar (D2 atau lebih)berjumlah 49.5% dan yang belum memenuhi standar sebanyak 50.5%. Pada tingkatMTs yang sudah memenuhi standar (D3 atau lebih) sebanyak 66.2% dan yangbelum memenuhi standar sebanyak 33.8%. Pada tingkat MA yang sudah memenuhistandar (S1 atau lebih) sebanyak 72.0% dan yang belum sebanyak 28.0%
Padahal, sebagainegara yang mayoritas muslim seperti Indonesia, tidak pantas madrasah diposisikansebagai lembaga pendidikan 'kelas dua'. Depag melalui balai penelitiannya terusberupaya menyetarakan madrasah dengan lembaga pendidikan umum, memberikanpeluang kepada guru dan siswa siswi madrasah, untuk melanjutkan pendidikan diperguruan tinggi umum. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyasmenyatakan, profesionalisme guru agama perlu terus dikembangkan, salah satunyadengan memberikan sertifikasi kepada guru sebagai tolak ukur peningkatanprofesionalisme. "Sertifikasi guru saat ini bisa menjadi salah satu tolak ukur dariprofesionalisme seorang guru, terutama guru agama, untuk selalu meningkatkankemampuannya.Kualifikasi pendidikan guru madrasah sampai saat ini masih relatif rendah.Hal ini terlihat pada grafik dibawah ini.
Persebaran tingkat pendidikan gurumadrasah menumpuk pada jenjang SLTA, D2 dan S1 atau lebih. Pada tingkat MI kualifikasi guru sebagian besar berada pada SLTA dan D2. Tingkat MTs dan MAsebagian besar kualifikasi pendidikan guru sudah mencapai S1 atau lebih. Grafik 5. Kualifikasi Pendidikan Guru Madrasah Tahun 2004Kualifikasi guru MI yang sudah memenuhi standar (D2 atau lebih)berjumlah 49.5% dan yang belum memenuhi standar sebanyak 50.5%. Pada tingkatMTs yang sudah memenuhi standar (D3 atau lebih) sebanyak 66.2% dan yangbelum memenuhi standar sebanyak 33.8%. Pada tingkat MA yang sudah memenuhistandar (S1 atau lebih) sebanyak 72.0% dan yang belum sebanyak 28.0%
Daftar Pustaka dan Footnote
- Abdul Rachman Shaleh. Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi dan Aksi. Jakarta:Gemawind Pancaperkasa, 2000.
- Ace Suryani dan H.A.R. Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung:Remaja Rosdakarya, 1993.
- Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk dan Masa Depannya (Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
- Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999
- Deliar Noer. “Administration of Islam in Indonesia” dalam Monograph Series. PublicationNo. 58. New
- York: Southeast Asian Program, Cornell University, 1978.
- Djumhur, I. dan Danasuparta. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu, 1976.Ensiklopedi Islam 3. Jakarta: PT
- Ichtiar Baru van Hoeve, 1993.
- Fadjar, A. Malik. “Membangun Madrasah Sebagai Wahana Peradaban Modern”, dalamDawam Rahardjo (Ed.),
- Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional. Jakarta:Intermasa, 1997.
- Fadjar, A. Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1999
- Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.). IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta: Logos,2002.
- Haidar Putra Daulay, “Pesantren, Sekolah dan Madrasah: Tinjauan dari Sudut KurikulumPendidikan Islam”
- dalam Hasil penelitian (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, tidak diterbitkan, 1991.
- Husni Rahim. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 2001.
- Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi pertama (Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
____________________
[1] Keputusan BP KNPI No.15 tanggal 22 Desember 1945. Lihat Muljanto Sumardi, BibliografiPendidikan Islam di Indonesia: 1945-1975, (Jakarta: Lembaga Penelitian Ilmu Agama dan KemasyarakatanBadan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, 1976), h.108. juga A. Malik Fadjar, op.cit., 73; dan Timur Djaelani, op. cit., h.38.
[2] Keputusan BP KNPI tanggal 27 Desember 1945 dan Peraturan Menteri Agama No.3 tanggal 19 Desember 1946. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.108, 113; juga Timur Djaelani, op. cit., h.
39. bantuankepada madrasah ini terus berlanjut sampai setelah munculnya UUPP No.4 Tahun 1950, yakni melalui
[3] Peraturan Menteri Agama No.107 tahun 1964 tentang penghargaan Madrasah Ibtidaiyah Swasta(MIS) 1951-1963. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.117.
[4] Peraturan Menteri Agama No.2 tahun 1965 tentang pengakuan persamaan MIS dengan MIN danpersamaan ijazahnya, dan Peraturan Menteri Agama No.3 tahun 1967 tentang civil effect tamatan madrasah.Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.117-118. Juga Timur Djaelani, op. cit., h.41.
[5] Timur Djaelani, op. cit., h.40; juga I. Djumhur, op. cit., h.226-230; juga A. Malik Fadjar, op. cit., 27-28. Juga Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2001), h.58. MWB inimerupakan penjabaran atas UUPP No.4 Tahun 1950 pasal 10 ayat 2 yang berbunyi: “belajar di sekolah agamayang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”. Lihat jugaMalik Fadjar, “Membangun Madrasah Sebagai Wahana Peradaban Modern”, dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional (Jakarta: Intermasa, 1997), h.151.
[6] Malik Fadjar, “Membangun Madrasah Sebagai Wahana Peradaban Modern”, op. cit., h.151-152.
[7] Haidar Putra Daulay, op. cit., h.341
[8] Penegerian MTs dan MA mengikuti Peraturan Menteri Agama No.29 tahun 1967 dan KeputusanMenteri Agama No.213 tahun 1970 tanggal 14 September 1970 tentang penghentian penegerian sekolah-sekolah dan madrasah swasta. Sedang perubahan nama dan struktur madrasah mengikuti Keputusan MenteriAgama No.52 tahun 1971 tentang perubahan nama-nama & struktur dan kurikulum Madrasah Negeri danSekolah Dinas. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit.,
h.118-119. Lihat juga Husni Rahim, op. cit., h.55.Azyumardi Azra menyebutkan bahwa penegrian madrasah ini telah dilakukan sejan 1950-an oleh DepartemenAgama. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta:Logos, 1999), h.103.
[9] Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri P dan K, dan Menteri Dalam Negeri (SKB 3Menteri) No. 06/1975, 037/U/1975 dan 36/1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Perludiketahui bahwa latar belakang munculnya SKB 3 Menteri ini adalah karena sikap pemerintah waktu itu yangbermaksud mengintegrasikan pengelolaan madrasah dari Departemen Agama ke Departemen Pendidikan danKebudayaan, sebagaimana dapat dilihat dalam kebijakan Kepres No.34/1972 yang kemudian dipertegasdengan Inpres No.15/1974 tentang tanggungjawab fungsional dan latihan. Namun, Kepres tersebut mendapatreaksi keras dari kaum Muslimin yang menyelenggarakan pendidikan madrasah. Maka dibentuklahMusyawarah Kerja Majlis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) bersama MenteriAgama, waktu itu adalah Dr. Mukti Ali, yang berusaha mengambil jalan tengah agar madrasah berada dibawah pengelolaan Departemen Agama. Dari situ lalu dicapai kompromi dengan hadirnya SKB 3 Menteri1975 dimaksud dengan isi tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Lebih lanjut lihat FuadJabali dan Jamhari (Ed.), IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2002), h.122-123.
[10] A. Malik Fadjar, “Madrasah dan Tantangan Modernitas”, op. cit., h.5-6 dan 38. Lihat juga SKBdua Menteri No.0299/U/1984 dan No.45 Tahun 1984 tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum SekolahUmum dan Kurikulum Madrasah Bab V pasal 11 ayat 1-5. Disebutkan bahwa: 1) peserta didik sekolahumum dapat pindah ke madrasah atau sebaliknya sesuai dengan tingkat dan jenjang pendidikannya denganpenyesuaian yang diperlukan. 2) Lulusan sekolah umum dapat melanjutkan pendidikannya ke madrasah,kejuruan agama atau keguruan agama sesuai dengan jenjang pendidikannya. 3) STTB/ijazah sekolah umumdan madrasah dari jenjang pendidikan yang sama mempunyai kedudukan setaraf. 4) Lulusan SekolahMenengah Umum Tingkat Atas dapat melanjutkan pendidikannya ke Institut Agama Islam Negeri sesuaidengan program yang diikuti dan persyaratan yang berlaku. Dan 5) Lulusan madrasah tingkat menengah atasdapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi umum sesuai dengan program yang diikuti dan persyaratan yangberlaku. Lihat juga: M. Arifin, Kapita Selecta Pendidikan: Umum dan Agama (Semarang: Toha Putra,[1981]), h.97. Lihat juga Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), op. cit., h.123.
[11] M. Irsyad Djuwaeni, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam (Jakarta: Karsa Utama Mandiri danPB Mathla’ul Anwar, 1998), h.53-54.
[12] PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (SD dan SLTP) Bab III pasal 4 ayat 3,Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 0478/U/1992 tentang Sekolah Dasar (SD) Bab Ipasal 1 ayat 2, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 054/U/1993 tentang SekolahMenengah Lanjutan Pertama (SLTP) Bab III pasal 1 ayat 5, dan Keputusan Menteri Pendidikan danKebudayaan R. I. No. 0489/0/1992 tentang Pendidikan Menengah Umum (SMU) Bab I pasal 1 ayat 6.
[13] PP No.28 Tahun 1900 Bab VI pasal 10 ayat 1 dan 2; dan PP No.29 Tahun 1990 Bab VI pasal 11ayat 2 dan 3.
[14] PP No.28 Tahun 1990 Bab VIII pasal 16 ayat 2 dan PP No.29 Tahun 1990 Bab VIII pasal 17 ayat2.
[15] Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 0487/U/1992 tentang Sekolah Dasar(SD) Bab V pasal 9 ayat 2. Bandingkan dengan kebijakan sebelumnya, Peraturan Bersama MenteriPendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No.17678/Kab tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) danNo.K/1/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama) tentang Peraturan Pendidikan Agama di Sekolah-sekolah Negeripasal 4 yang menyebutkan bahwa: 1) Pendidikan Agama diberikan menurut agama murid masing-masing, 2)Pendidikan Agama baru diberikan kepada suatu kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya sepuluhorang, yang menganut suatu macam agama. Lihat juga Abdul Rachman Shaleh, op. cit., h.11, 14.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), op. cit., h.125.
[19] Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), op. cit., h.126-127. Hasil studi ADB bekerjasama dengan Comparative Education Center Universitas Hong Kong menunjukkan perbedaan alokasi dana yangmencolok. Rentang pengeluaran rata-rata murid SDN per tahun Rp. 190.000,oo-Rp. 304.000,oo; sedang MINRp. 139.000,oo-Rp.225.000,oo, dan MIS Rp. 87.000,oo-Rp.163.000,oo per murid per tahun. Untuk SLTPNper tahun adalah Rp. 418.000,oo-Rp. 572.000,oo, berbeda jauh dengan murid MTs yaitu Rp.185.000,oo-Rp.380.000,oo per murid per tahun.