PENDAHULUAN
Pancasila merupakan hasil usaha pemikiran manusia Indonesia yang sungguh-sungguh secara sistimatis dan radikal, yang dituangkan dalam suatu rumusan rangkaian kalimat yang mengandung satu pemikiran yang bermakna dan bulat untuk dijadikan dasar, azas dan pedoman atau norma hidup dan kehidupan bersama dalam rangka perumahan satu Negara Indonesia merdeka. Sebagai suatu hasil dari pemikiran, maka Pancasila tidak bisa dilepaskan dari penggalinya sendiri, Soekarno. Tanpa mengikutsertakan Soekarno dalam penjelasan Pancasila adalah sama saja dengan memutus rantai sejarah dan alur pemikiran yang diawali Soekarno. Untuk itu perlu adanya penelusuran lebih jauh mengenai bagaimana kondisi sosio-kultural Soekarno waktu kecil mempengaruhi proses pemikiran dan pandangannya dalam melihat kolonialisme. Bagaimanapun juga terbentuknya Pancasila tidak bisa lepas dari keadaan sosial, politik dan ekonomi rakyat Indonesia dibawah kolonialisme pada waktu itu.
Pertikaian yang terjadi diantara sesama kaum pergerakan Indonesia pada tahun 1920-an menyebabkan Soekarno berusaha keras bagaimana menyatukan berbagai kelompok aliran politik yang ada pada waktu itu. Sedangkan perdebatan tentang dasar negara yang terjadi pada tahun 1945 tidak terlepas dari fragmentasi kehidupan aliran ideologi yang terpolarisasi dalam tiga kekuatan besar yakni Islam (SI-PSI), Nasional (PNI-PNI Baru) dan Komunis (PKI). Pengaruh tokoh dan ideologi partai menguat dan diperjuangkan sebagai dasar negara dalam sidang BPUPKI dan kemudian pada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang pada 7 Agustus 1945 untuk menggantikan BPUPKI. Perdebatan “apakah dasar negara kita, jika merdeka?” memang menghangat di sidang-sidang BPUPKI dan PPKI.
Soekarno-Hatta dan kaum nasionalis berada di barisan terdepan untuk meyakinkan Pancasila sebagai dasar negara yang pas bagi Indonesia yang akan merdeka. Tapi, kelompok tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah, KH. Wahid Hasyim dari NU, dan KH. Achmad Sanusi dari PUI menolak Pancasila dan menginginkan Islam sebagai dasar negara. Puncak dari pemikiran Soekarno dalam menyatukan berbagai aliran utama dalam masyarakat Indonesia menjelang Indonesia merdeka ini adalah lima rumusan saling berkaitan yang diberi nama Pancasila. Disini dapat dikatakan bahwa Pancasila merupakan suatu nota kesepakatan antara golongan nasionalis, kelompok agama Islam dan Kristen-Katolik dalam kehidupan bernegara.
Sebagai salah satu founding fathers Indonesia, pemikiran-pemikiran Soekarno memiliki keistimewaan dibanding tokoh-tokoh Indonesia pada waktu itu. Dasar-dasar pemikiran politik Soekarno memberi akomodasi pada aliran-aliran penting yang hidup di dalam masyarakat, yaitu ke arah mempersatukannya ke dalam suatu “common denominator”, apakah namanya Marhaenisme, Pancasila, atau Nasakom. Untuk keperluan itu, dia memilih apa yang dianggapnya baik atau positif dari masing-masing aliran. Dalam hal ini dia berpegang pada sikap kesediaan untuk memberi dan menerima dari masing-masing aliran atau ideologi yang ada.[1]
Mahathir Mohammad mampu menangkap dengan baik dua kemampuan Soekarno yang telah mengantarkannya untuk melahirkan pikiran-pikiran fundamental berupa konsepsi yang cerdas bagi bangsa Indonesia dan umat manusia. Pertama, Soekarno merupakan orang yang mampu menyelami dan menangkap kondisi dan aspirasi rakyat Indonesia dengan segala kemajemukannya untuk kemudian mempersatukannya sebagai sebuah bangsa. Kedua, Soekarno adalah seorang visioner yang mampu melihat dan memberikan pandangan kedepan yang jauh melampaui jamannya, sehingga dengan demikian mampu memberikan bimbingan dan acuan perjuangan bagi bangsa Indonesia serta umat manusia dalam membangun peradaban dan kesejahteraan hidupnya.
PEMABAHASAN
B. Kerangka Teori
1. Masa Pergulatan Akademik
Dalam mempelajari Soekarno, diperlukan sebuah kunci yang tepat untuk dapat mengetahui dengan jelas bagaimana pola pemikirannya terbentuk. Seorang peneliti Barat, Bernhard Dahm, menjelaskan panjang lebar bagaimana budaya Jawa telah membentuk alur pemikirannya dimasa kanak-kanak.[2] Menurut Dahm, untuk mempelajari Soekarno, adalah dengan memahami ”Mitologi Jawa”, yaitu Konsep kepercayaan masyarakat Jawa sebagaimana tercermin didalam cerita-cerita wayang, ide Ratu Adil, dan Jayabaya.
Frustasi, harapan, dan juru selamat merupakan intisari dari konsep kepercayaan ini. Frustasi yang dalam sebagai akibat penindasan, penjajahan, kezaliman, dan ketidakadilan pada waktu yang sama menyuburkan tumbuhnya harapan dan angan-angan yang tinggi tentang suatu perubahan zaman yang diidam-idamkan. Perubahan zaman itu akan datang bersamaan dengan kehadiran seorang Ratu Adil yang akan menjadi juru selamat mereka dari segala macam bentuk kesengsaraan dan penderitaan akibat penindasan.
2. Masa Perlawanan Terhadap Penjajah/ Kolonialisme
Pertemuannya dengan seorang petani miskin di Bandung telah ikut menciptakan kosep ”Marhaenisme” yang kemudian menjadi alat perjuangannya dalam melawan kolonialisme. Ia melihat perbedaan mendasar antara proletar dengan kaum marhaen di Indonesia. Sehingga istilah proletar kurang cocok untuk diterapkan di Indonesia. Marhaenisme akhirnya menjadi dasar perjuangan dari PNI dan Partindo yang didirikan Soekarno kemudian. Konsep marhaen telah memecahkan suatu masalah yang selama bertahun-tahun merisaukannya. Tahun 1921, dalam suatu kongres Jong Java di Bandung, ia membahas tentang tidak terelakkannya perjuangan kelas dalam masyarakat Indonesia. Ia tidak pernah merasa sesuai dengan pandangan ini, dan konsep marhaen memungkinkan ia lebih menempatkan perjuangan itu kedalam pengertian kelas.[3] Pandangan ini juga menampilkan konsep teoritis bagi situasi Indonesia.
Demokrasi Terpimpin
Soekarno meyakini bahwa sistem multipartai telah menyebabkan negara menjadi lemah karena pada waktu itu telah terjadi konflik ideologis antar partai, sehingga pemerintahan tidak stabil. Dalam keadaan dan krisis-krisis yang melanda kabinet disusul dengan pergolakan-pergolakan di daerah-daerah, Soekarno tampil dengan “konsepsinya” yang dimaksudkan sebagai alternatif terhadap kesulitan-kesulitan politik yang dihadapi pada masa itu. Konsep Demokrasi Terpimpin yang diajukan Soekarno pada Tanggal 21 Februari 1957 dihadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka pada pokoknya berisi:[4]
1. Sistem Demokrasi Parlementer secara barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet Gotong royong yang anggotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya pembentukan “Kabinet Kaki Empat” yang mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI, Masjumi, NU, dan PKI, turut serta didalamnya untuk menciptakan kegotong-royongan nasional.
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini tugas utamanya adalah memberi nasihat kepada kabinet, baik diminta maupun tidak diminta.
4. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, karena penelitian ini akan memecahkan masalah penelitian dengan terlebih dahulu memaparkan keadaan obyek bersangkutan yang sedang diteliti dalam hal ini seseorang dan kemudian ditelaah dan diproses untuk menghasilkan suatu pembahasan yang berujung pada kesimpulan penelitian. Penelitian ini tentu saja akan berupaya untuk merunut alur pemikiran Soekarno hingga sampai pada konsepsi Pancasila, menyatukan berbagai keterangan dan persepsi seputar konsep Pancasila yang dihimpun dari berbagai sumber kepustakaan, serta berusaha menjelaskan perkembangan pemikiran Soekarno dari masa pergerakan hingga ketika memegang kekuasaan pada masa Demokrasi Terpimpin yang dihimpun dari berbagai sumber-sumber kepustakaan dengan satu tujuan yaitu mendapat informasi yang relevan dengan permasalahan dan sesuai dengan yang diinginkan sehingga hasil yang diperoleh dapat menjawab pertanyaan yang muncul.
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur. Bahan-bahan yang diambil sebagai dokumen ataupun data-data yang berasal dari tulisan-tulisan maupun artikel yang terdapat dalam buku-buku, jurnal, makalah, media cetak, artikel-artikel, internet dan sejenisnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Sumber-sumber tersebut dipilih karena dengan media tersebut, suatu hal dapat mewacana dengan lebih konkrit, tercatat dan dapat dipertanggungjawabkan.
HASIL PENELITIAN
Soekarno merupakan orang yang sangat lekat dengan budaya jawa karena ayahnya sendiri adalah orang jawa yang sangat mengagumi dan memahami budaya-budaya jawa terutama cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana. Pemahaman ayahnya atas budaya jawa tersebut diturunkan kepada Soekarno semenjak kecil. Karena pemahamannya yang kuat terhadap cerita-cerita wayang, maka ayah Soekarno memberinya nama Karno. Karno adalah nama tokoh dalam cerita Mahabharata yang berasal dari Kurawa. Dengan memberikan nama Soekarno ini, ayahnya mengharapkan dan berdoa agar Soekarno menjadi seorang patriot, seorang pejuang dan pahlawan besar bagi rakyatnya. Ayahnya juga mengharapkan dan berdoa agar Soekarno menjadi “Karno yang kedua”.[5]
Menurut Bernhard Dahm, Soekarno sangat menggemari tokoh Pandawa yang bernama Bima.[6] Bima adalah seorang ksatria yang mempunyai sifat-sifat tidak mengenal kompromi dengan mereka yang datang diluar golongannya disatu pihak dan pada waktu yang sama bersedia berkompromi dengan mereka yang segolongan dengannya. Soekarno menyerap segi-segi filsafat Jawa ini dari kakek-neneknya di Tulungagung, dari ayahnya di Mojokerto dan juga dari Wagiman, seorang petani miskin yang tinggal didekat Mojokerto.[7] Dalam pidato-pidatonya kemudian, apabila ia ingin menyampaikan pikiran yang lebih pelik kepada khalayak Jawa, ia akan menggunakan kisah dan tokoh-tokoh pewayangan. Selain wayang, orang yang turut membentuk karakternya di masa kanak-kanak adalah seorang perempuan tua yang ikut tinggal bersama dengan keluarga Soekarno, bernama Sarinah.[8] Sarinah adalah orang yang ikut membentuk jiwa dan alam pemikirannya untuk mengenal rakyat kecil dan cinta kasih terhadap rakyat kecil.
Dalam perkembangan selanjutnya, pertemuan dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia semasa dia bersekolah di Surabaya telah membentuk karakter dan cara berpikirnya akan kemerdekaan bangsanya dari kaum penjajah. Tokoh-tokoh tersebut adalah H.O.S Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Ki Hadjar Dewantoro, tokoh-tokoh partai komunis seperti Hendrik Sneevliet, Semaun, dan Alimin, kemudian Douwes Dekker dan Tan Malaka.[9] Kegemarannya akan membaca tulisan-tulisan pengarang asing juga sangat berdampak besar terhadap alur pemikirannya dalam usaha mempersatukan bangsanya untuk mencapai Indonesia merdeka.[10]
Pemikiran politik Soekarno diawali dari tulisannya pada bulan April 1926 dengan judul ”Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” yang dimuat berturut-turut di majalah Indonesia Muda dalam tiga penerbitannya. Dalam tulisan itu, Soekarno menyerukan kepada tiga aliran dominan dalam pergerakan Indonesia saat itu yaitu Nasionalisme, Islam, dan Marxisme untuk bersatu. Sementara itu, sebagai seorang yang berasal dari suku Jawa yang telah dibentuk oleh kebudayaan Jawa serta berakar dalam tradisi kebudayaan Jawa, maka hakikat Jawaisme sangat jelas mewarnai pemikiran Soekarno. Pola dasar pemikiran Soekarno adalah pola dasar tradisional Indonesia yang selalu melihat dan mencari persatuan dan kesatuan yang lebih dalam dan lebih tinggi antara unsur-unsur yang saling bertentangan. Pola dasar yang demikian itu selalu berusaha mencari harmoni dan keseimbangan serta keserasian dalam diri sendiri serta masyarakat sekitarnya sebagai pencerminan dari keserasian kosmos.
Gagasan Soekarno Tentang Pancasila
Ada beberapa segi khas yang dapat ditandai dari pemikiran Soekarno.[11] Pertama, adalah cita-citanya tentang persatuan nasional seperti yang telah diuraikan. Ia menempatkan kepentingan bersama sebagai hal yang paling pokok diantara berbagai aliran pendirian dalam pemikiran kaum nasionalis. Kedua, desakannya untuk menjalankan sikap nonkooperasi bukan hanya sebagai taktik, tetapi sebagai hal yang prinsip. Ia menekankan tentang sia-sianya sikap lunak yang moderat, tentang ketidakmungkinan suatu kompromi dengan imperialisme yang menjadi musuh itu, dan menjelaskan tentang dua kubu yang saling berlawanan antara “sini” dan “sana”, antara “pihak kita” dan “pihak mereka”. Ketiga adalah mengenai konsep Marhaenismenya. Gagasan tentang “rakyat kecil”, si Marhaen mungkin tidak merupakan suatu sumbangan besar yang khas dalam dunia pemikiran politik, tetapi sesungguhnya konsep itu telah menampilkan suatu penilaian yang jujur tentang sifat masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1930-an Soekarno mulai merumuskan konsepnya yang baru yang diberinya nama Marhaenisme. Konsep Marhaenisme ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Karl Marx. Teori perjuangan Marx, yang kemudian dikenal dengan Marxisme banyak berpengaruh dalam benak Soekarno dan menginspirasi Soekarno dalam pemikiran dan tingkah laku politiknya. Bahkan Soekarno kemudian secara jujur mengakui bahwa Marhaenisme yang ia ciptakan adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia, artinya Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi dan masyarakat Indonesia.[12] Dalam perkembangannya Marhaenisme kemudian menjadi dasar perjuangan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partindo yang didirikan Soekarno. Asas Mahaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Sosio-nasionalisme adalah faham yang mengandung faham kebangsaan yang sehat dan berdasarkan perikemanusiaan, persamaan nasib, gotong royong, hidup kemasyarakatan yang sehat, kerjasama untuk mencapai sama bahagia, tidak untuk menggencet dan menghisap. Jadi dalam faham kebangsaan itu harus ada semangat kerjasama dan gotong royong antar bangsa Indonesia dan antara bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sosio-demokrasi adalah faham yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Gagasan ini merupakan reaksi terhadap demokrasi yang muncul di barat pada waktu Soekarno mencetuskan ide ini. Demokrasi di Barat yang dipahami Soekarno adalah Demokrasi yang lebih bersifat liberalistis yang hanya menjamin kebebasan warganya dalam bidang politik saja dan tidak berlaku di bidang ekonomi.[13]
Oleh karena itu supaya tidak terjadi penindasan dan ada kebebasan di bidang ekonomi maka sistem kapitalisme didalam masyarakat itu harus dihapus, karena selama sistem itu masih ada tidak mungkin terjadi kebebasan ekonomi. Rakyat yang mengatur negaranya, perekonomiannya dan kemajuannya supaya segala sesuatunya bisa bersifat adil, tidak membeda-bedakan orang yang satu dengan orang yang lainnya. Rakyat menginginkan berlakunya demokrasi social yaitu terlaksananya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Ia mempunyai prinsip utama yaitu, perikemanusiaan, nasionalisme yang berperikemanusiaan, dan demokrasinyapun harus breperikemanusiaan pula seperti yang dikatakan Gandhi.
Pikiran-pikiran dasar tentang perjuangan rakyat Indonesia melawan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme seperti yang dimaksudkan dalam sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi tersebut, kemudian dinamakan sebagai suatu isme atau ideologi yang menggunakan kata Marhaen sebagai simbol kekuatan rakyat yang berjuang melawan segala sistem yang menindas dan memelaratkan rakyat. Marhaenisme adalah teori politik dan teori perjuangannya rakyat Marhaen, teori untuk mempersatukan semua kekuatan revolusioner untuk membangun kekuasaan, dan teori untuk menggunakan kekuasaan melawan dan menghancurkan sistem yang menyengsarakan rakyat Marhaen. Marhaenisme yang merupakan teori politik dan teori perjuangan bagi rakyat Indonesia memperoleh bentuk formalnya sebagai filsafat dan dasar negara Republik Indonesia yaitu sebagai Pancasila.
Dalam merumuskan Pancasila, Soekarno berusaha menyatukan semua pemikiran dari berbagai tokoh dan golongan serta membuang jauh-jauh kepentingan perorangan, etnik maupun kelompok. Soekarno menyadari sepenuhnya bahwa kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan untuk semua golongan. Menyadari akan kebhinekaan bangsa Indonesia tersebut, Soekarno mengemukakan konsep dasar Pancasila yang didalamnya terkandung semangat “semua buat semua”. Pancasila tidak hanya digunakan sebagai ideologi pemersatu dan sebagai perekat kehidupan dan kepentingan bangsa, tetapi juga sebagai dasar dan filsafat serta pandangan hidup bangsa. Sesuai dengan Tuntutan Budi Nurani Manusia, Pancasila mengandung nilai-nilai ke-Tuhanan, Kemanusiaan (humanisme), Kebangsaan (persatuan), demokrasi dan keadilan. Ini merupakan dasar untuk membangun masyarakat baru Indonesia, yaitu masyarakat sosialis Indonesia.[14]
Prinsip pertama yang menjadi perhatian Soekarno adalah Kebangsaan. Mengenai sila Kebangsaan ini, Soekarno terilhami oleh tulisan Dr. Sun Yat Sen yang berjudul “San Min Chu I” atau “The Three People’s Prinsiples”. Kebangsaan Soekarno semakin matang dengan pengaruh dari Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa “My nationalism is humanity”. Kebangsaan yang diyakini Soekarno adalah Kebangsaan yang berperikemanusiaan, kebangsaan yang tidak meremehkan bangsa lain, kebangsaan yang bukan chauvinisme. Faham bangsa yang dimaksud adalah tidak dibangun atas dasar faham ras, suku bangsa kebudayaan ataupun Agama tertentu.
Nation yang dimaksud juga tidak hanya mendasarkan kepada paham satu kelompok manusia yang bersatu menjadi bangsa karena kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) menurut Ernest Renan, maupun berdasarkan paham persatuan watak yang timbul karena persamaan nasib (“Eine Nation ist aus schik salsgemeinschaft erwachsende Charaktergemeinschaft”) menurut Otto Bauer, yang kedua-duanya menurut Soepomo dan Muh. Yamin sudah “verouderd” atau sudah tua, melainkan harus disatukan dengan prinsip Geopolitik. Jadi Kebangsaan Indonesia adalah seluruh manusia Indonesia yang ditakdirkan oleh Allah SWT mendiami seluruh kepulauan Indonesia antara dua benua dan dua samudera, yang menurut geopolitik tinggal di pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian.[15] Paham Kebangsaan ini berlawanan dengan faham kosmopolitanisme yang menyatakan tidak ada kebangsaan.
Prinsip kedua yang diuraikan Soekarno adalah Internasionalisme. Internasionalisme yang dimaksud disini bukanlah kosmopolitanisme yang tidak menginginkan adanya kebangsaan. Internasionalisme sangat berhubungan dengan prinsip Kebangsaan yang diuraikan Soekarno pada sila pertama. Tujuan Soekarno dengan melontarkan prinsip ini adalah bukan hanya sekedar membangun nasionalisme dalam negeri yang dimerdekakan, melainkan lebih dari itu yaitu untuk membangun kekeluargaan bangsa-bangsa.[16] Dalam era sekarang lebih tepat dikatakan sebagai usaha membangun kerjasama antar bangsa-bangsa dan membangun perdamaian dunia.
Kemudian pada prinsip yang ketiga Soekarno menguraikan dasar Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Dalam penjelasannya, Soekarno mengatakan bahwa negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, melainkan negara ”satu buat semua, semua buat satu”. Soekarno yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Dengan cara mufakat, membicarakan semua permasalahan termasuk agama didalam Badan Perwakilan Rakyat.[17]
Selanjutnya Soekarno menguraikan prinsip yang keempat yaitu Kesejahteraan. Dengan prinsip ”tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka”. Soekarno menjelaskan bahwa Badan Perwakilan belum cukup untuk menjamin kesejahteraan rakyat, karena yang terjadi di Eropa dengan Parlementaire democratie-nya, kaum kapitalis merajalela. Sehingga Soekarno mengusulkan politik economische demokratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.[18]
Prinsip kelima yang diuraikan Soekarno adalah ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Prinsip sila keTuhanan YME tersebut dimaksudkan oleh Soekarno supaya bukan saja bangsa Indonesia berTuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia berTuhan Tuhannya sendiri. Negara memberi kebebasan kepada setiap orang untuk menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa sesuai dengan agama dan keyakinannya. Soekarno telah berpikir kedepan bahwa negara harus memberi kebebasan kepada setiap warganya untuk memeluk agama dan keyakinannya, sebagaimana tuntutan hak-hak asasi manusia.[19]
Meskipun Soekarno menawarkan lima prinsip dasar yang diberinya nama Pancasila, tapi saat itu Soekarno juga menawarkan alternatif dari lima sila ini. Sifat perdamaian dan kebersamaan hasil penggaliannya diungkapkan dalam kesimpulan akhir bahwa kelima prinsip dasar Pancasila tersebut dapat diperas menjadi tiga dan tiga ini dapat diperas menjadi satu prinsip kehidupan rakyat Indonesia, Gotong Royong. Soekarno memeras lima sila tersebut menjadi tiga sila saja yang meliputi:
Socio-Nationalisme (Kebangsaan dan Perikemanusiaan)
Socio-Demokrasi (Demokrasi dan Kesejahteraan)
Ke-Tuhanan
Dari sini tampak jelas terlihat bahwa Soekarno menghidupkan kembali pemikirannya pada akhir tahun 1920-an dimana rumusan pemikiran Soekarno dipakai sebagai asas dalam partai politik yang didirikannya. Menurut Soekarno sendiri, pada 1920-an perkembangan pemikirannya telah mencapai fase yang mantap, yang tidak lagi berubah-ubah. Pada tahun itulah diletakkan dasar-dasar pemikiran politik Soekarno secara mantap, yakni sintesa atas tiga aliran seperti yang telah dijelaskan diatas.
Pancasila merupakan puncak dari perkembangan pemikiran Soekarno yang selalu mencoba untuk mengawinkan semua ide yang ada dan tumbuh didalam masyarakat menjadi suatu ide baru yang lebih tinggi tempatnya dan dapat diterima oleh semua elemen penting yang ada. Pancasila oleh Soekarno diyakini sebagai pengangkatan yang lebih tinggi atau hogere optrekking daripada Declaration of Independence dan Manifesto Komunis karena didalam Declaration of Independence tidak ada keadilan social atau sosialisme sedangkan didalam Manifesto Komunis tidak mengandung Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.[20] Pancasila mengandung keduanya sehingga Soekarno menganggap bahwa Pancasila mempunyai nilai yang lebih tinggi dari Declaration of Independence maupun Manifesto Komunis.
Pancasila Soekarno versi pra kemerdekaan tersebut berkembang “definisinya” ketika Soekarno memegang kekuasaan pada masa Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Soekarno berpidato dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (The Rediscovery of Our Revolution). Isi pidato tersebut kemudian dianggap sebagai Manifesto Politik atau dikenal sebagai Manipol yang kemudian berkembang menjadi Manipol USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional). Menurut Soekarno, Manipol USDEK ini merupakan intisari dari Pancasila yang berisi arah dan tujuan revolusi Indonesia.[21]
Tidak hanya itu, dalam rangka menyatukan seluruh kekuatan nasional yang ada pada waktu itu, pada awal tahun 1960 Soekarno memperkenalkan pemikiran baru untuk melengkapi doktrin revolusinya. Doktrin tersebut bernama NASAKOM yang merupakan akronim dari Nasionalis, Agama, Komunis. Nasakom adalah lambang persatuan atas pencerminan golongan-golongan dalam masyarakat Indonesia yang meliputi golongan nasionalis, agama, dan komunis.
Menurut John D. Legge, sebenarnya ia menghidupkan kembali pemikirannya pada tahun 1926 bahwa kepentingan kaum nasionalis, islam, dan marxis dapat sama dan cocok satu sama lain.[22] Dari sini sebenarnya dapat diketahui bahwa Soekarno tetap konsisten akan tujuannya, yaitu persatuan nasional. Di masa mudanya, pada tahun-tahun 1920-an sampai 1940-an cita-cita persatuan nasional itu ditujukan untuk menggalang kekuatan dalam mengusir kolonialisme di Indonesia dan di masa tuanya pada tahun 1950-an konsep persatuan dari golongan-golongan utama di Indonesia ditujukan untuk melawan imperialisme, suatu bentuk dari kolonialisme modern. Konsepsi-konsepsi seperti Pancasila, Nasakom, Manifesto Politik/ USDEK, dikembangkan Soekarno untuk mendukung cita-cita persatuan nasional yang diperjuangkannya sejak dahulu.
Bernhard Dahm, seorang penulis biografi Soekarno pun mendapat kesan yang sama, bahwa pada pekan-pekan terakhir menjelang turunnya dari dunia politik Indonesia, Soekarno tetap konsisten dengan apa yang diperjuangkannya pada era 1920-an. Dia tetap mengharapkan bahwa di tengah pluralitas yang ada, bangsa Indonesia mampu membina persatuan, dan ia tetap teguh dalam perlawanannya terhadap musuh lamanya, yakni “kolonialisme” dan “imperialisme”. Oleh karena itu pesan pokok Soekarno tetap sama, yaitu disatu pihak melawan imperialisme sampai keakar-akarnya, dan di lain pihak, membangun suatu tatanan baru dengan jalan menyatukan berbagai ideologi yang berbeda kedalam suatu kesatuan yang harmonis.[23]
Menurut Soekarno, Pancasila selain menjadi Dasar Falsafah Negara juga mempunyai fungsi sebagai alat pemersatu dan sekaligus sebagai landasan perjuangan bangsa. PKI hanya menerima Pancasila sebagai kenyataan obyektif yang harus dipakai sebagai landasan dan alat memperkuat diri, selama PKI belum merasa kuat untuk memaksakan ideologi dan konsepsi politiknya. Dalam pengamalan Dasar Falsafah Negara Pancasila untuk mencapai cita-cita revolusi Indonesia ialah masyarakat adil makmur, Soekarno menggunakan konsepsi Nasakom secara mental ideologi yang diharapkan dapat mempersatukan rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai aliran dan paham politik termasuk PKI, tetapi bagi PKI, konsep Nasakom diterima sebagai pengertian fisik yang akan dimanfaatkan sebagai legalitas dalam usaha menuju tujuan revolusi menurut konsepsinya.
PENUTUP
Pertama, arus sentral pemikiran Soekarno adalah persatuan atau nasionalisme. Bersumber pada pemikiran tentang persatuan ini, Soekarno menciptakan Sintesis dari tiga aliran utama dari masyarakat Indonesia waktu itu yakni Nasionalisme, Islam dan Marxisme. pemikiran nasionalisme yang dikembangkan Soekarno pada waktu itu memberikan suatu arah baru bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia karena pada saat itu konsep nasionalisme yang berkembang adalah nasionalisme yang berdasarkan kedaerahan atau kesukuan.
Kedua, pemikiran ini mulai terlihat dalam tulisan pertamanya “Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Kemudian berkembang menjadi sebuah paham Marhaenisme yang tiada lain adalah Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Puncak dari pemikiran yang berkembang sejak tahun 1920-an mencapai bentuknya yang final pada tanggal 1 Juni 1945 yaitu dalam bentuk rumusan Pancasila. Dalam perkembangannya, Pancasila diterjemahkan kedalam Manipol-USDEK yang berisi pokok-pokok dan tujuan Revolusi Indonesia. Dari sini mulai terjadi penyimpangan terhadap Pancasila, Soekarno mulai menggunakan Pancasila untuk tujuan-tujuan politiknya begitu juga masa pemerintahan Soeharto.
Ketiga, lima prinsip dasar Pancasila yang dirumuskan Soekarno merupakan pondasi yang kokoh yang tercipta berdasarkan keadaan social masyarakat Indonesia dan juga hasil dari pemikiran yang luar biasa dari seorang Soekarno yang kaya akan pengetahuan.
REFERENSI
[1] Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia : Kumpulan Karangan, Jakarta : P.T Gramedia, 1978, Hal. 123
[2] Bernhard Dahm, Soekarno and the struggle for Indonesia independence, Ithaca and London : Cornell University Press, 1969
[3] Legge, Op.Cit, hal 90
[4] http//:www.setneg.go.id/index. Tanggal 19 Maret 2008
[5] Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1984, Hal. 37
[6] Menurut Dahm, tokoh yang paling pas untuk memahami Soekarno adalah lewat tokoh wayang Bima ini. Lihat Bernhard Dahm, Soekarno and the struggle for Indonesia independence, Ithaca and London : Cornell University Press, 1969, Hal. 26
[7] Seusai sekolah, Soekarno sering duduk-duduk di pondok Wagiman dan mendengarkan cerita-ceritanya tentang para pahlawan wayang. Lebih jelas lihat John D. Legge, Soekarno: Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Sinar Harapan, 2001, Hal. 33-34
[8] Adams, Op.cit, Hal. 35
[9] Legge, Op.Cit, Hal.55
[10] Adams, Op.cit, Hal. 53-54
[11] Legge, Op.cit, Hal. 120
[12] Ign. Gatut Saksono, Marhaenisme Bung Karno: Marxisme Ala Indonesia, Yogyakarta: Rumah Belajar Yabinkas, 2007, Hal. 62
[13] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi , 1964, Hal. 174
[14] Re-So-Pim (Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional), amanat Presiden RI pada hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1961.
[15] Bambang Rahardjo, Syamsuhadi, Garuda Emas Pancasila Sakti, Jakarta : Yapeta Pusat, 1995, Hal. 53 dan 55
[16] Yapeta Pusat, Ibid, Hal. 58-59
[17] Yapeta Pusat, Ibid , Hal. 59
[18] Yapeta Pusat, Ibid, Hal. 62
[19] Yapeta Pusat, Op.Cit, Hal. 63-64
[20] Amanat Presiden RI pada Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggall 17 Agustus 1960 dengan judul “Jalannya Revolusi Kita”. Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Cetakan ke II. Departemen Penerangan, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Jakarta: Percetakan Negara, hal. 79-80
[21] Pidato Soekarno “Jalannya Revolusi Kita” dalam Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, ibid, Hal. 39-40
[22] Legge, Op.cit, Hal. 393
[23] Dahm, Op.cit, Hal. xii-xiii