A. Imamah (Kepemimpinan)
Pada bagian awal dari kitabnya al-Mawardi menyebutkan bahwa imamah/ kekhilafahan dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam mengurus urusan agama dan mengatur kehidupan dunia.[1] Yang di maksudkan oleh al-Mawardi dengan Imam adalah khalifah, raja, sulthan atau kepala negara. Dalam hal ini Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara di samping baju politik. Menurutnya Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan negara, disertai dengan mandat politik. Dengan demikian seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak pemimpin politik.[2] Dalam teorinya al-Mawardi tidak mendikotomikan antara pemimpin politik dan pemimpin agama. Sejarah juga telah menunjukkan bahwa Rasulullah saw ketika memimpin negara Madinah selain sebagai pembawa ajaran Tuhan, juga sebagai pemimpin negara.
B. Cara Pemilihan atau Seleksi Imam
Al-Mawardi mengemukakan pendapatnya tentang pemerintahan terbentuk melalui dua kelompok. Pertama ahl al-ikhtiyar yaitu mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Dan kedua, ahl al-imamah yaitu mereka yang berhak memangku jabatan kepala pemerintahan. Bagi ahl al-ikhtiyar padanya harus memiliki tiga syarat: (1) memiliki sikap adil; (2) Memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi imam; (3) Bijaksana dan idealis dalam menentukan pilihannya, siapa yang lebih pantas dan terbilang jujur dalam memimpin umat Islam.[3] Namun siapa yang berhak menjadi anggota ahl al-ikhtiyar dan bagaimana cara rekrutmen anggota tersebut tidak dijelaskan lebih jauh oleh Mawardi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, ahl al-ikhtiyar atau ahl al-hall wa al-‘aqd [4] bahkan berada dibawah pengaruh kepala negara, karena kepala negaralah yang mengangkat mereka. Oleh karenanya, mereka cenderung bersifat akomodatif terhadap kekuasaan. ahl al-hall wa al-‘aqd tidak lebih hanya sekedar alat legitimasi ambisi politik penguasa atas tindak tanduknya. Karena dipilih oleh penguasa, ahl al-hall wa al-‘aqd tidak mencerminkan dirinya sebagai wakil rakyat. Keberadaannya tidak banyak membawa perubahan kembali ke tradisi syura yang efektif berjalan hanya selama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun.[5]
Ahl al-imamah sebagai orang yang berhak menjadi pemimpin, menurut Mawardi harus memiliki tujuh syarat:
(1) Sikap adil dengan segala persyaratannya
(2) Memiliki ilmu pengetahuan yang memadai untuk berijtihad
(3) Sehat pendengaran, pengelihatan, dan lisannya
(4) Utuh anggota-anggota tubuhnya
(5) memiliki wawasan yang baik untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum
(6) Keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan menghadapi musuh
(7) Keturunan Quraisy.[6]
Dalam mengangkat kepala pemerintahan terdapat dua cara. Pertama, cara pemilihan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang duduk dalam ahl al-halli wa al-‘aqdi atau ahl al-ikhtiyar yakni para ulama cendikiawan dan pemuka masyarakat. Kedua, dengan cara penunjukkan atau wasiat oleh kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Kalau pengangkatan melalui pemilihan, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama tentang jumlah peserta dalam pemilihan itu.
Menurut Mawardi, mengapa pengangkatan imam atau khalifah dapat dilakukan dengan penunjukan atau wasiat oleh imam yang sebelumnya, dasarnya yang pertama adalah karena Umar bin Khattab menjadi khalifah melalui penunjukkan oleh pendahulunya, yaitu Abu Bakar. Demikian pula halnya Usman. Enam anggota “dewan formatur” yang memilihnya sebagai khalifah adalah ditunjuk oleh pendahulunya, Umar bin Khattab. Dalam hal pengangkatan imam melalui penunjukkan atau wasiat oleh imam yang berkuasa, al-Mawardi menyatakan bahwa sebelum menunjuk calon penggantinya, seorang imam harus berusaha agar yang ditunjuknya itu benar-benar berhak untuk mendapatkan kepercayaan dan kehormatan yang tinggi dan orang yang betul-betul paling memenuhi syarat. Kalau yang ditunjuk sebagai calon pengganti itu bukan anak atau ayah sendiri, maka terdapat perbedaan pendapat, yaitu apakah imam boleh melaksanakan bai’at sendiri atau tidak. Sekelompok ulama berpendapat tidak boleh tidak dibenarkan imam seorang diri melaksanakan bai’at anak atau ayahnya sendiri. Dia harus bermusyawarah dengan ahl al-ikhtiyar dan mengikuti nasehat mereka. Kelompok ulama kedua mengemukakan bahwa imam seorang diri berhak melaksanakan bai’at kepada anak atau ayahnya sendiri sebagai putra mahkota. Bukankah dia waktu itu pemimpin umat. Sedangkan kelompok yang ketiga berpendapat bahwa kalau yang ditunjuk sebagai putra mahkota itu ayahnya, imam dapat melaksanakan bai’at seorang diri. Tetapi tidak demikian halnya kalau yang ditunjuk sebagai putra mahkota itu anaknya.[7]
Dari uraian tentang beberapa cara pengangkatan imam, baik yang melalui pemilihan maupun penunjukkan, al-Mawardi hanya mengemukakan berbagai pendapat tanpa memberikan preferensi atau pilihannya. Sikap kehati-hatiannya tersebut didasarkan pada fakta sejarah yang menunjukkan tidak ditemukannya suatu sistem yang baku tentang pengangkatan kepala negara yang dapat dikatakan pasti bahwa itulah sistem Islami.
C. Tentang Wazir
Al-Mawardi membagi wazir menjadi dua bentuk, pertama wazir tafwidh, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan berbagai kebijaksanaan kenegaraan. Ia juga merupakan koordinator kepala-kepala departeman. Wazir ini dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri. Karena besarnya kekuasaan wazir tawfidh ini, maka orang yang menduduki jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan khalifah. Kedua, wazir tanfidz, yaitu wazir yang hanya bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan yang digariskan oleh wazir tawfidh. Ia tidak berwenang menentukan kebijaksanaan sendiri.[8]
Pada masa pemerintahan al-Mu’tashim, ketika khalifah tidak begitu berkuasa lagi, wazir-wazir berubah fungsi menjadi tentara pengawal yang terdiri dari orang-orang Turki. Begitu kuatnya kekuasaan mereka di pusat pemerintahan (Baghdad), sehingga khalifah hanya menjadi boneka. Mereka dapat mengangkat dan menjatuhkan khalifah sekehendak hatinya. Panglima tentara pengawal yang bergelar Amir al-Umara’ atau Sulthan[9] inilah pada dasarnya yang berkuasa di ibukota pemerintahan.
Khalifah-khalifah tunduk pada kemauan mereka dan tidak bisa berbuat apa-apa. Namun yang menarik, panglima tersebut tidak berani mengadakan kudeta merebut kursi kekhalifahan dari keluarga Abbasiyyah, meskipun khalifah sudah lemah dan tidak berdaya. Padahal kesempatan dan kemampuan untuk itu mereka miliki. Barangkali pandangan Sunni tentang al-Aimmah min Quraisy (kepemimpinan umat dipegang oleh suku Quraisy) tetap mereka pegang teguh. Mereka merasa tidak syar’i kalau menjadi khalifah karena bukan termasuk keturunan Quraisy. Kalau mereka melakukan kudeta merebut kekuasaan, tentu akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka merasa lebih aman berperan di belakang layar mengendalikan khalifah.[10]
D. Teori Kontrak Sosial
Suatu hal yang menarik dari gagasan ketatanegaraan Mawardi adalah hubungan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al-Ikhtiyar dan imam atau kepala negara itu merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu kontrak atau persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Oleh karenanya maka imam, selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan untuk menuntut loyalitas penuh dari mereka, ia sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya, seperti memberikan perlindungan kepada mereka dan mengelola kepentingan mereka dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Al-Mawardi mengemukakan teori kontraknya itu pada abad XI, sedangkan di Eropa teori kontrak sosial baru muncul untuk pertama kalinya pada abad XVI.[11]
Dalam hal ini al-Mawardi mengatakan bahwa apabila imam atau kepala negara telah melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada umat, berarti ia telah menunaikan hak Allah berkenaan dengan hak dan tanggung jawab ummat. Dan saat yang demikian imam mempunyai dua macam hak terhadap ummat, yaitu hak untuk ditaati dan hak dibela selama imam tidak menyimpang dari dari garis yang telah ditetapkan.[12]
Sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara kepala negara dengan rakyatnya (kontrak sosial). Dari perjanjian itu lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, rakyat yang telah memberikan kekuasaan dan sebagian haknya kepada kepala negara berhak menurunkan kepala negara, bila ia dipandang tidak mampu lagi menjalankan pemerintahan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.[13] Sesuai dengan teorinya ini, Mawardi tidak menganggap kekuasaan kepala negara sebagai sesuatu yang suci. Namun demikian, Mawardi juga menekankan kepatuhan terhadap kepala negara yang telah dipilih. Kepatuhan ini tidak hanya terhadap kepala negara yang adil, tetapi juga yang jahat (fajir). Untuk mendukung pernyataan ini, mawardi mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:[14]
Akan ada kelak pemimpin-pemimpin kamu sesudahku. Di antara mereka ada yang baik dan memimpinmu dengan kebaikan. Tapi ada juga yang jahat dan memimpinmu dengan kejahatannya. Dengarkanlah dan patuhilah mereka sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, maka kebaikannya untuk kamu dan untuk mereka. Tetapi kalau mereka berbuat jahat, maka (akibat baiknya) untuk kamu dan kejahatannya kembali kepada mereka.
E. Mekanisme Pengangkatan dan Pembebasan/Pemecatan Imam
Al-Mawardi menyebutkan salah satu tugas penting dari lembaga pemilihan adalah mengadakan penelitian lebih dahulu terhadap kandidat kepala pemerintahan apakah ia telah memenuhi syarat atau tidak yang diajukan oleh lembaga wewenang ini. Jika telah memenuhi persyaratan si calon diminta kesediaannya lalu ditetapkan sebagai kepala pemerintahan dengan ijtihad atas dasar pemilihan yang diikuti dengan pembai’atan. Dalam pembai’atan tidak ada unsur paksaan, rakyat yang telah membai’atnya harus menaatinya. Tetapi di antara yang membai’atnya tidak setuju kepada kepala pemerintahan terpilih, karena pengangkatannya atas dasar persetujuan orang banyak, maka jabatan kepala pemerintahan harus diserahkan kepada orang yang dipandang lebih berhak memegang jabatan terhormat itu.
Mengenai pembebasan imam dari jabatannya, al-Mawardi menegaskan kemungkinan pembebasan kepala negara dari jabatannya bila ia menyimpang dari keadilan, kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya, atau tidak dapat menjalankan tugasnya karena dikuasai oleh orang-orang dekatnya atau tertawan. namun begitu, al-Mawardi juga berpendapat bahwa penyimpangan kepala negara tidak secara otomatis menyebabkan penurunan dari jabatannya, apabila ia dapat mendukung tindakannya secara logis. Di samping itu, al-Mawardi juga tidak membicarakan bagaimana mekanisme pembebasan kepala negara dari jabatannya dan siapa yang berhak melakukannya. Pandangan Mawardi ini menempatkan kepala negara pada kedudukan yang kuat dan rakyat pada posisi yang lemah. Dalam masalah ini, rakyat tidak berperan banyak untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan kepala negara.
PENUTUP
Demikian sekilas pandangan dan konsep politik Islam al-Mawardi. Konsepnya tentang perlunya pendirian negara tidak hanya didasarkan pada dalil akal tetapi juga didasarkan pada hukum syara’ menimbulkan sebuah pemahaman yang baru dan berharga. Konsep-konsepnya tentang tata negara, bagaimana seorang pemimpin harus dipilih, persyaratan-persyaratan untuk menjadi pemimpin, perjanjian dan kesepakatan antara orang yang dipilih dengan yang memilih, merupakan bagian dari pemikirannya yang brilian. Namun sebagai sebuah pemikiran tentunya akan terdapat beberapa kelemahan atau kekurangan yang harus dipecahkan bersama dan dicari solusinya.
REFERENSI
[1] Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sultaniyah wa al-Wilayah ad-Diniyyah,,Kairo, tp, 1973
[2] Sjadzali, Op cit., h. 63
[3] Hamidullah dkk, Politik Islam konsepsi dan Dokumentasi, alih bahasa: Jamaluddin Kafie, Cs., Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 146
[4] Yaitu mereka yang dipercaya dan diberi wewenang oleh kaum muslim untuk menentukan urusan umat. Mereka inilah orang-orang yang mewakili umat dan mereka juga harus bertanggung jawab atau menanggung dosa apabila tidak menunaikan kewajiban sebagaimana mestinya. Kelompok ini dalam konteks pemerintahan Indonesia bisa disebut MPR
[5] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001, h. 111
[6] Al-Mawardi, Op cit., h. 6
[7] Sjadzali, Op cit, h. 65
[8] al-Mawardi, Op cit., h. 22
[9] Kata “sulthan” merupakan kata benda abstrak dari bahasa Arab yang berarti kekuasaan atau pemerintah. Konon sebutan sulthan telah diberikan untuk pertama kalinya oleh khalifah Harun al-Rasyid kepada wazirnya. Penggunaan kata sulthan baru diakui secara resmi pada abad ke-11 ketika digunakan oleh dinasti Turki yang dikenal sebagai sebutan “Saljuk Yang Agung”. Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa: Ihsan Ali-Fauzi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, h. 73
[10] Iqbal, Op cit., h. 90
[11] Munawir, Op cit., h. 67
[12] Muhibbin, Hadis-Hadis Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. 33
[13] Iqbal, Op cit., h. 109
[14] al-Mawardi, Op cit., h. 6