Pendahuluan
DAFTAR PUSTAKA
[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996, hal 235
[2] 2 Ahmad Muhammad Subhi, al-Falsafah al-Akhlaqiyah fi al-fikr al-Islami, (Mesir : Dar al-Maarif, 1969), hal. 209
[3] Abuddin Nata, op.cit, hal. 236
[4] Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan 1981/1982, hal 158
[5] Departemen agama, Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1993, hal 262
[6] Moh. Gallib, at Thasawuf al Muqarran, Mesir ; Maktabah Nahdah, tt hal 53
[7] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta PT Grafindo Persada, 1996, hal 62
[8] Dep Agama, op.cit, hal 264
[9] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta Bulan Bintang 1978, hal 53
[10] Lois Ma’luf, al munjid fil lughah, Beirut, al maktabah al katholikiyah, 1956, hal 597
[11] Abuddin Nata, op.cit, hal 231
[12] ibid, hal 232
[13] Mustafa Zahri, kunci Memahami Tasawuf, Surabaya ; Bina Ilmu, 1985, hal 234
[14] Ibid, hal 233
[15] Al Qusyairiy, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta ; Bulan Bintang 1983, hal 81
[16] Harusn Nasution, Op.cit, hal 73
[17] Mohamad ‘Iyad al Syathi, Makanah al Tasawuf wa al Sufiyah fi al Islam, Kairo ; al ‘Arabiy, tt, hal 100
[18] Al Kalabazi, Al Ta’aruf Madzhab al Tasawuf, Kairo Maktabah al Kulliyahal al Anhadiah, 1969, hal 152
[19] Harun nasution, op.cit hal 78
[20] Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, op.cit, hal 160
[21] Abuddin nata, op.cit, hal 235
[22] Ibid
[23] ibid hal 237
[24] Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta ; Rajawali Press, 1994, hal 308
[25] Harun Nasution, op.cit, hal 92-93
[26] Departemen Agama, Qur’an dan Terjemahannya, 1985
[27] Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, op.cit, hal 160
[28] Harun Nasution, op.cit, hal 84
[29] Abd Qodir Mahmud, Al Falsafah al Saufiyah fi al Islam, Kairo Dar al Fikr Al Arabiy, 1966, hal 310
[30] Ibid
[31] Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Kairo dar at Tsaqafah li al nasyr wat Tauzi’ 1983, terjmh Ahmad Rafi’ Usmani (bandung Pustaka 1997, hal 117
[32] Departemen Agama, op.cit hal 263
[33] Departemen Agama, Al Qur'an dan terjemahnya, hal 886
[34] E.J Brills, First Encyclopaedia Of Islam, Vol.3, Leiden-New York-Koln (1993) hal. 239
[35] Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam,The University of North Carolina Press, USA (1999), hal. 66
[36] Reynold A. Nicholson, Al-Hallaj, Encyclopediaof Religion and Ethics. Charles Scribners Son, New York (tt), hal. 481
[37] lathiful Khuluq, The Notion of Love of god in al Hallaj dalam the Dynamic of Islamic Civilization, Titian Ilahi Press, yogyakarta, hal 90
[38] L. Massignon, The Encyclopedia of Islam, Luzac and co., London (tt), hal. 99
[39] Lhatiful Khuluq, Op.cit
[40] Reynold A. Nicholson, loc.cit
[41] Lhatiful Khuluq, op.cit hal 91
[42] abdul Baqi S, al Hallaj : Syahid al Tasawuf Islamiy, Maktabah al Ilmiyah, Kairo (1961) hal 361
[43] prof DR Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta (1992) hal 90.
[44] Herbert Mason, Al Hallaj, Curzon Press, New Dhelhi (1945), hal 5
[45] abdul Qadir Mahmud, Al Falsafah As Shufiyah fil Islam, Dar Al Fikri al Arabiy, Kairo (tt) hal 336
[46] abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta (2002), hal 239-240
[47] Abdul Qadir Mahmud, Loc. cit
[48] Muhammad Sayyid galyand, Qadhaya at Thasawuf fi Dho’I al Kitab was Sunnah, Maktabah Al Syabab, Mesir 1989
[49] Annemarie Schimmel, Op.Cit, hal 72
[50] Harun Nasution, Op. Cit, hal 88
[51] ibid hal, 90
[52] Hamka, tasawuf ; Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta (1984) Cet XI, hal 120
[53] Al Baghdadiy, Al farq Bainal Firaq, Dar al Ma’rifah, Beirut (tt), hal 82
[54] Al Hujwiri, Kasf al mahjuub, terjemahan Suwardjo Muttahhari dan Abdul Hadi (kasy al Mahjuub ; Risalah persia Tertua Tentang Tasawuf), Mizan, Bandung (1993), hal 231
[55] DR Abul Wafa’ al Ghanimiy at Taftazaniy, Al Madkhal Illa at Tasawuf al Islamiy, Dar Ats Tsaqafah, Kairo (1989)
[56] DR Abuddin Nata, op.cit, 244
[57] DR Harun Nasution, Op.Cit, hal 87
[58] DR Abuddin Nata, Loc.cit
[59] Ibnu Khalkan, Wafayaat al A’yaan, Boolaq, 1299 H, juz I, hal 184
[60] ibid hal 184
[61] DR Abul Wafa’ al Ghanimiy at Taftazaniy, op.cit hal 125
[62] Abu Abdur Rahman as Sullamiy, Thabaqat ash Shufiyah, maktabh al Khanjiy, Kairo (1969)
Dalam makalah sederhana ini, penulis mencoba membahas keadaan dan sejarah dua sufi besar terkenal hingga nama dan sejarahnya di masa kini masih sering di bahas para sejarawan. Adalah Abu Yazid Bustami dan mansur al Hallaj dua orang sufi yang pada masanya telah menambah goresan keanekaragaman bentuk tasawuf. Bustami dengan ajaran al ittihadnya telah dikembangkan oleh Al Hallaj melalui ajarannya al hulul. Kedua bentuk ajaran ini tidak memiliki banyak perbedaan, karena Al halaj meneruskan jejak seniornya Bustami. Ideology ini pernah menebar hingga ke Asia tenggara khususnya di Indonesia. Di Indonesia tasawuf bukanlah benda asing. Pada masa sejarah tertentu ia malah telah mempribumi dan anggun. Hamzah fanzuri dan Syeikh Siti Jenar di jawa adalah dua dari sekian banyak nama sufi yang selalu saja berada pada bibir sejarah Islam Indonesia. Riwayat Syeikh Siti Jenar malahan sering disejalurkan dengan kisah-kisah Mansur Al Hallaj, walaupun ada perbedaan bobot zaman dan ungkapan kesufiannya. Namun keduanya memiliki dimensi politik dalam menerima hukuman matinya. Jika Al Hallaj terlibat ke dalam gerakan syiah garis keras Al Qaramithah sebagaimana dibuktikan dalam pengadilannya, Syeikh Siti Jenar terlibat pada penghimpunan kekuatan unutk melawan Negara Islam Indonesia Demak.
Abu Yazid Bustami
Abu Yazid al-Bustami (wafat 874 M) adalah seorang ahli sufi yang terkenal di
Persia sekitar abad ketiga hijriyah. Ia disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan faham fana’ dan baqa’[1]. Nama kecilnya adalah Thaifur. Sebelum ia mendalami tasawuf ia mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi. Ia memperingatkan manusia agar tidak terpedaya dengan seseorang sebelum melihat sebagaimana ia melakukan perintah dan meninggalkan larangan Tuhan, menjaga ketentuan-ketentuan dan melaksanakan syari’at-Nya. Selengkapnya perkataan beliau adalah :
لو نظرتم الي رجل اعطى كرامات حتى يرتقي في الهوء فلا تغتروا به حتي تنظروا كيف تجدونه عند االامر والنهي وحفظ الحدود واداء الشريعة
“Kalau kamu melihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syari’at dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at”.[2]
Setelah ia mendalami tasawuf, ia memunculkan faham baqa’ dan fana’, dimana apabila ia telah fana’ dan mencapai baqa’ maka keluarlah kata-kata yang ganjil yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan[3]. Ia sering dipandang pula sebagai sufi “yang mabuk” lantaran ia terlalu jauh mengucapkan kalimat ketuhanan dalam dirinya.
Paham ini mendapat tanggapan yang berbeda dikalangan para ulama. Banyak yang pro maupun kontra. Perbedaan sikap ini terutama dikalangan ulama sufi dan dikalangan ulama fiqh. Oleh sebab itu penulis merasa tertarik untuk membahas hal ini dalam sebuah makalah singkat yang fokusnya terutama pada tokoh pendiri, pokok-pokok ajaran dan beberapa analisa terhadap ajaran-ajarannya yang dikembangkannya.
B. Riwayat Hidup Bustami
Al-Bustami atau dalam beberapa tulisan disebut juga Bistomi, Bustomi dan Bastomi sering juga disebut Bayazid[4]. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur ibn Surusyam. Ia lahir diwilayah Qum di Persia Barat Laut tahun 188-261 H/804-875 M. Ia adalah putra seorang ayah yang menganut keyakinan Zoroastria. Ayahnya Isa ibn Surusyam adalah pemuka masyarakat di Biston dan ibunya dikenal sebgai zahid (orang yang meninggalkan keduniaan) dan kakaknya Surusyam sebelum memeluk Islam adalah penganut agama Majusi[5].
Al Bustami mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi lalu kemudian mendalami tasawuf. Sebagian besar kehidupan “sufi” dan “abid”nya dilaluinya di Biston. Ia selalu mendapat tekanan dari para ulama Mutakallimin (Teolog) serta
Penduduk di kota kelahirannya yang tidak mengizinkan ia tinggal menyebabkan ia terusir dari negerinya sampai akhirnya wafat pada tahun 261 H bertepatan dengan tahun 875 M[6].
Al-Bustami tidak meninggalkan karangan atau tulisan tetapi ia terkenal lantaran ucapan-ucapannya. Terkadang ungkapannya dipandang sebagai al-syathahat atau ungkapan ketuhanan misalnya ungkapannya :
“Maha suci Aku, Maha suci Aku, betapa besar keagungan-Ku” yang belakangan dikumpulkan dalam kitab al-Luma (buku pancaran sinar) yang ditulis oleh al-Sarraj[7]. Setelah ia wafat para ahli sufi masih banyak mengunjungi makam al-Bustami, misalnya al-Hujwiri, bahkan sejumlah ahli sufi lainnya menaruh hormatterhadap al-Bustami meski bukan berarti mereka menerima kalimat-kalimatnya tanpa koreksi.
Pengikut al-Bustami kemuidian mengembangkan ajaran tasawufdengan membentuk suatu aliran tarikat bernama Taifuriyah yang diambil dari nisbah al-Bustami yakni Taifur. Pengaruh terikat ini masih dapat dilihat dibeberapa dunia Islam seperti Zaousfana’, Maghrib (meliputi Maroko, al-Jazair, Tunisia), Chittagong dan Bangladesh. Makam al-Bustami terletak ditengah kota Biston dan dijadikan objek ziarah oleh masyarakat. Sebagian masyarakat mempercayai sebagai wali atau orang yang memiliki kekaramatan. Sultan Moghul, Muhammad Khudabanda memberi kubahpada makamnya pada tahun 713 H / 1313 M atas saran penasehat agama sultan bernama Syaikh Syafaruddin[8].
C. Pokok Ajaran Tasawuf al-Bustami : al-Fana’, al-Baqa’, dan al-Ittihad
Ahli sufi berpendapat bahwa terdapat dua aliran tasawuf pada abad ketiga hijriah. Pertama,aliran sufi ynag pendapat-pendapatnya moderat, tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah atau dengan kata lain tasawuf yang mengacu kepada syari’at dan para sufinya adalah para ulama terkenal serta tasawufnya didominasi oleh ciri-ciri normal. Kedua, adalah aliran sufi yang terpesona dengan keadaan-keadaan fana’ sering mengucapkan kata-kata yang ganjil yang terkenal dengan nama syathahat, yaitu ucapan-ucapan ganjil yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia berada digerbang ittihad[9]. Mereka menumbuhkan konsep-konsep manusia melebur dengan Allah yang disebut ittihad ataupun hulul dan ciri-ciri aliran ini cenderung metafisis.
Diantara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan adalah Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.
Dari segi bahasa al-Fana’ berarti binasa[10], Fana’ berbeda dengan al-Fasad (rusak). Fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain[11]. Menurut ahli sufi, arti Fana’ adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazimnya digunakan pada diri. Fana’juga berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela[12].
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam makhluk[13]. Selain itu Fana’ juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin.
Sebagai akibat dari Fana’ adalah Baqa’, secara harfiah Baqa’ berarti kekal sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini menurut ahli tasawuf datang beriringan sebgaimana ungkapan mereka :”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah yangkekal”. Juga ungkapan mereka : “Tasawuf itu adalah mereka Fana’ dari dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran mereka bersama Allah”.[14]
Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya.
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya[15].
Diantara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengaqn mata sanubarinya[16].
Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs[17].
Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani.
Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materimanusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.
Al-Kalabazi (wafat 380 H) menjelaskan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa berlangsung terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan menghentikan organ-organ tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai hamba Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka bumi[18].
Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka : “Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan”[19].
Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun[20].
Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku”[21]. Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama Tuhan.
Al-Bustami ketika telah Fana’ dan mencapai Baqa’ maka dia mengucapkan kata-kata ganjil seperti :
“ Tidak ada Tuhan melainkan aku, sembahlah aku, Maha suci aku, Maha suci aku, Maha besar aku”[22].
Selanjutnya diceritakan bahwa seorang lelaki lewat rumah Abu Yazid (al-Bustami) dan mengetok pintu, Abu Yazid bertanya : “Siapa yang engkau cari ?” jawabnya : “Abu Yazid”. Lalu Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”[23].
Ittihad ini dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf) bagi orang yang toleran, akan tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini dipandang sebagai suatu kekufuran. Faham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud.
Ittihad juga adalah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj (lahir 224 H / 858 M) dengan fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi : a) penyatuan substansial antara jasad dan ruh; b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri manusia; c) inkarnasi suatu aksiden dalam substansinya; d) penyatuan bentuk dengan materi pertama dan e) hubungan antara suatu benda dengan tempatnya[24].
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah. Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.
Faham sufi yang juga dekat dengan faham Ittihad ini adalah dengan faham wahdat al-wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat tahun 638 H/ 1240 M). Faham wahdat al-wujud ini menurut Harun Nasution adalah merupakan kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat al-wujud ini memahami bahwa aspek ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan hanya manusia sebagaimana yang dikatakan al-Hallaj[25].
Paham fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan dengan Allah. Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan Firman Allah SWT yang bunyinya :
“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110)[26]
Hal yang lebih jelas mengenai proses Ittihad dapat pula kita simak melalui ungkapan al-Bustami : “Pada suatu hari ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah, Ia berkata, “Hai Abu Yazid, mahkluk-Ku ingin melihatmu, aku menjawab, hiasilah aku dengan keesaan itu, sehingga apabila mahkluk itu melihatku mereka akan berkata :“Kami tetap melihat engkau, maka yang demikian adalah engkau dan aku tidak ada disana”[27].
Hal ini merupakan ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam ungkapan Abu Yazid : “Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah mahklukku, aku pun berkata : Aku adalah engkau, engkau adalah aku dan aku adalah engkau[28]. sebenarnya kata-kata “Aku” bukanlah sebagai gambaran dari diri Abu Yazid, tetapi gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu dengan Tuhan sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan bicara melalui lidah Abu Yazid sedang Abu Yazid tidak mengetahui dirinya Tuhan.
Beberapa Analisa Terhadap Ungkapan-ungkapan al-Bustami
Apabila dilihat sepintas, maka dari ungkapan-ungkapan al-Bustami dapat
dikategorikan sebagai paham yang menyimpang dari ketentuan agama seperti pernyataannya “Aku ini adalah Allah tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku” yang telah dikemukakan diatas. Secara harfiah al-Bustami seakan-akan mengaku sebagai Tuhan pada saat Fana’. Namun kalau kita perhatikan kata-kata beliau dalam keadaan biasa (tidak dalam keadaan Fana’) yang mengatakan “kalau kamu lihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar,walaupun dia sanggup terbang di udara maka janganlahkamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syari’at dan dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at”, maka dapat dipahami bahwa al-Bustami dalam tasawuf tidaklah keluar dari garis-garis syari’at. Memang ungkapan-ungkapan al-Bustami seakan-akan beliau mengaku dirinya Tuhan, namun sebenarnya bukan itu yang dimaksudnya, karena kata-kata itu adalah firman Tuhan yang disalurkan lewat lidah al-Bustami yang sedang dalam keadaan Fana’al-nafs. Dalam hal ini beliau menjelaskan : [29]
“Sesungguhnya yang berbicara melalui lidahku adalah dia sementara aku telah Fana’”. Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataanya menimbulkan berbagai tanggapan.
Al-Tusi mengatakan : Ucapan ganji (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan[30]. Seorang sufi yang sedang trance tidak bisa mengendalikan diri sepenuhnya sehingga sulit untuk bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam kalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya.
Oleh sebab itu menurut al-Tusi, bila seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sifat itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan. Menurut pendapat yang mengatakan ketika Fana’ hilang sifat-sifat mereka dan masuk sifat-sifat Yang Maha Benar adalah keliru, karena dapat mengantar mereka kepada Hulul atau penyatuan manusia dengan Tuhan. Sebab Tuhan tidak Hulul dalam kalbu tetapi yang bertempat dalam kalbu adalah keimanan kepada-Nya, pembenaran kepada-Nya dan pengenalan akan dia.
Louis Massignon menyatakan bahwa ungkapan yang muncul pada seorang sufi diluar sadarnya berarti telah Fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat Yang Maha Benar, sehingga ia mengucap dalam kalam Yang Maha Benar dan bukan ucapannya sendiri dan perkataan tersebut tidak akan terucap dalam kondisi normal bahkan akan ditolak oleh dirinya sendiri[31].
Al-Junaid mengatakan bahwa seorang sufi yang dalam keadaan trance tidak mengucapkan tentang dirinya sendiri tapi tentang apa yang disaksikannya yaitu Allah. Ia sangat terbuai sehingga tidak ada yang disaksikan kecuali Allah. Al-Junaidi menilai bahwa al-Bustami adalah termasuk para sufi yang tidak bisa mengendalikan diri serta tunduk pad intiusi sehingga tidak bisa menjadi panutan sufi lainnya. Demikian pula menurut Ibn Taimiyah bahwa seorang sufi yang trance dihapus saja, bukan untuk dituturkan dan dilaksanakan. Semantara itu ulama yang berpegang teguh kepada syari’at secara zhahir menuduhnya sebagai sufi kafir karena menyamakan dirinya dengan Allah dan ulama yang lain mentolerir ucapan semacam itu dianggap sebagai penyelewengan dan bukan kekafiran[32].
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas ternyata ungkapan-ungkapan al-Bustami disampaikan dalam keadaan Fana’ dan tidak dapat dijadikan pedoman karena diucapkan dalam keadaan tidak sadar atau tidak dalam keadaan mukallaf yangb sempurna, oleh sebab itu, tidaklah tepat kalau ia dituduh sebagai seorang sufi yang kafir. Lagi pula faham Fana’ dan Baqa’ yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dapat dipandang sejalan dengan konsep liqa al-arabbi.Fana’ dan Baqa’ merupakan jalan menuju perjumpaan dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT pada surah Al-Kahfi ayat 110 diatas, ayat tersebut memberi isyarat bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk menemuinya, bahkan karena sudah merasa terlalu dekat dengan Tuhan al-Bustami telah merasa berittihad dengan-Nya. Konasep Fana’ dan Baqa’ ini juga di ilhami dari isyarat ayat yang berbunyi :
“Semua yang ada di bumi ini adalah binasa (26) dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27)”. (QS. Al-Rahman, 55 : 26-27)[33]
2. Mansur Al Hallaj
Al-Hallaj adalah tokoh yang dianggap paling controversial dalam sejarah kesufian
(mistisme) Islam. Ini berangkat dari konsep tasawuf yang ia tawarkan jauh berbeda dengan tradisi tasawuf ketika itu. Ungkapan Al-Hallaj yang mengatakan “Ana al-Haq” ( Akulah Yang Maha Besar) ditafsirkan para ulama sebagai sesuatu yang sangat jauh keluar dari garis-garis ketauhidan. Sehingga polemik pemikiran ini berakhir ditiang gantungan sebagai eksekusi terhadap Al- Hallaj.
Di kalangan cendikiawan dan pemikir Islam timbul ikhtilaf tentang substansi dari perkataan Al-Hallaj. Sebagai berasumsi bahwa ungkapan Al Hallaj tersebut adalah ajaran yang keluar dari ajaran Islam (Bid’ah). Sebab mustahil manusia dapat bersatu dengan Allah (al-Hulul). Al-Haq (Yang Maha Besar) adalah Allah Subhanahu Wa Ta'ala.Ketika Al-Hallaj berkata “Ana al-Haq” berarti dia telah menyatakan dirinya sebagai Tuhan. Inilah yang kemudian dianggap oleh penguasa Abbasiyah ketika itu sebagai justifikasi untuk menjatuhkan hukuman gantung kepada Al-Hllaj yang mereka anggap telah murtad.
Biografi Al-Hallaj
Al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad
Al-Badawi.Beliau dilahirkan sekitar tahun 244 H (858 M) di Thus dekat Baida (Parsi)[34], sekarang berada di wilayah Barat Daya Iran. Ia dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai tempat perkebunan kapas dan tempat tinggal para penyortir kapas[35].
Pada masa remaja ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl ibn Abdullah at-Tustariy (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang pernah belajar pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H)[36]. Dua tahun kemudian ia meninggalkan gurunya at-Tastury dan pindah ke Basrah dengan alasan yang tidak jelas. Louis Massiqnon menyebutkan bahwa Sahl at-Tustury adalah guru pertama al-Hallaj dalam tasawuf yang mengajarinya tentang kecintaan dan kesederhanaan sufi, menyenangi kesunyian dan kebersihan jiwa serta tafsir al-Qur’an[37].
Pada tahun 271 H, Al-Hallaj melaksanakan ibada haji bersama 400 orang pengikutnya[38]. Setelah itu ia memutuskan untuk menetap di Baghdad. Disana ia giat melakukan ceramah-ceramah dan pengajian. Sepuluh tahun kemudian ia kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya dan kembali lagi ke Baghdad untuk menyebarkan ajaran tentang kecintaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ajaran itu ia sampaikan di jalan-jalan dan di pasar-pasar. Selain itu dalam ceramah-ceramahnya ia sampaikan keinginannya untuk mati secara terhina ditangan kaumnya seraya berkata “Wahai kaum muslimin, selamatkan aku dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menghalalkan darahku untukmu. Maka bunuhlah aku”. Pada saat inilah ia merasa bahwa hijab-hijab Tuhan telah tersingkap yang menyebabkan dirinya dapat bertatap muka dengan sang kebenaran (al-Haq). Pada saat itu pula ia mengungkapkan perkataan yang cukup ganjil dipandang saat itu ; “Ana al Haq / I am Truth / Akulah Yang Maha Besar”[39].
Yang mengherankan, kata-kata ini mengilhami rakyat untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan mereka. Masyarakat menuntut khalifah akan kebesaran pengaruhnya, maka iapun ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 910 M/ 297 H.
Kemudian Al-Hallaj berhasi keluar dari penjara dan bersembunyi di Kuzistan. Tapi tiga tahun kemudian ia kembali ditangkap dan dihadapkan pada Ali bin Isa salah seorang menteri pemerintahan Baghdad. Sehingga akhirnya pada tahun 922 M,dilangsungkan sidang pengadilan yang dipimpin oleh Ali bin Isa dan Hamid dengan tuduhan sebagai berikut :
1. Ajaran yang berlebihan sehingga meyakini dirinya sebagai Tuhan.
2. Keyakinan terhadap penyatuan dirinya dengan Tuhan.
3. Pendapatnya Haji tidak wajib[40].
Alasan-alasan yang bersifat teologis dan politis menyebabkan al- Hallaj dituntut hukuman mati pada hari selasa tanggal 26 Maret 922 M. Al-Hallaj dihukum ditiang gantungan, setelah itu kaki dan tangannya dipotong, kepalanya dipenggal dan tubuhnya disiram dengan minyak lalu dibakar dan abunya dibawa ke menara ditepi sungai Tigris[41].
Walaupun ia telah di eksekusi mati, tapi ajarannya banyak yang telah tersebar ditengah masyarakat melalui buku-buku yang ditulisnya. Thaha Abdul Baqi Surur menyebutkan setidaknya ada 42 buku yang telah ditulisnya, antara lain :
1. Kitab al-Ahruf al-Muhaddatsah wa al-Azaliyah wa al-Asma’al-kulliyah
2. Al-Adl wa at-Tauhid
3. Ilmu al-Baqa wa al-Fana’
4. Al-Tawasin
5. Al- Wujud wa al- Ajal
6. Dan Lain-lain[42].
F. Ajaran Al-Hallaj : Al-Huluul
Faham al-Huluul dapat dikatakan sebagai lanjutan atau bentuk lain dari faham
(ajaran) al-ittihad yang dipopulerkan oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M/ 261 H). Tetapi dua konsep ajaran ini berbeda. Dalam ajaran al-ittihad, diri manusia lebur dan yang ada hanya diri Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sedangkan dalam konsep al-Huluul-nya al-Hallaj, diri manusia tidak hancur. Dalam konsep al-ittihad yang dilihat satu wujud, sedangkan dalam konsep ajaran al-Huluul disana ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh[43].
Helbert W. Mason mengatakan Al-Huluul adalah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan. Tetapi dalam kesimpulannya konsep al-Huluul-nya al-Hallaj bersifat majaziy, tidak dalam pengertian yang sebenarnya (haqiqiy)[44]. Menurut Nashiruddin at-Thusiy, al-Huluul adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifst-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan[45].
“ Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan”[46]. Menurut filsafat al-Hallaj, Allah Subhanahu Wa Ta'ala mempunyai dua nature (alam) atau sifat dasar yaitu al-Lahuut (Ketuhanan) dan an-Naasuut (Kemanusiaan). Demikian pula manusia, disamping memiliki sifat kemanusiaan ia juga mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya[47]. Kedua term diatas merupakan adopsi dari doktrin Kristen Syiria yang menggunakannya untuk untuk menunjukkan dua sifat Kristus. Selanjutnya al-Hallaj dalam menguraikan kesatuan Lahut dan Nasut atau antara ruh ilahiyah dan ruh insaniyah menggunakan term al-Huluul dalam pengertian Islam dengan doktrin Kristen tentang inkarnasi[48]. Bagaimana kita dapat memahamai jalan pikiran al-Hallaj itu, khususnya ketika menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Suci itu mempunyai sifat dasar kemanusiaan?.
Tentang hal ini, Annemarie Schimmel [49]menjelaskan bahwa menurut al-Hallaj kita harus ingat bahwa sifat dasar Tuhan terkandung sifat dasar manusia. Sifat dasar manusia itu tercermin dalam penciptaan Adam. Dari keterangan ini dapat diketahui bahwa dasar pemikiran al- Hallaj berasal dari teori penciptaan Adam.
Teori penciptaan Adam ini dapat dilihat dalam kerangka pemikiran berikut ini.
Sebelum Tuhan menciptakan makhluk ia hanya melihat diri-Nya sendiri(تجلى الحق لنفسه )
Dalam kesendiriannya itu terjadi dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang didalamnya tidak terdapat kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya ( شاهد سبحان ذاته في ذاته ).Allah Subhanahu Wa Ta'ala melihat kepada zat-Nya dan iapun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Iapun mengeluarkan dari yang tiada (من العدم / ex nihilo) bentuk(copy)dari diri-Nya yang mempunyaisegala sifat dan namanya. Bentuk copy itu adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cari ini, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam. Pada diri Adamlah Allah Subhanahu Wa Ta'ala muncul dalam bentuk-Nya.[50] Teori ini lebih jelas dapat dilihat dalam syair al-Hallaj berikut :
سبحان من اظهر ناسوته سر سنا لاهوته الثاقب
ثم بد الخلقه ظاهرا في صورة الاكل والشارب
“ Maha suci zat yang sifat kemanusian-Nya
membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang.
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya
Dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”
Manusia juga memiliki sifat ketuhanan menurut penafsiran al-Hallaj terhadap ayat berikut mengenai penciptaan Adam :
واذ قلنا للملائكة اسجدوا لادم فسجدوا الا ابليس ابي واستكبر ...............(الاية)
“Ketika kami berkata kepada para Malaikat “Sujudlah kepada Adam”, maka mereka pun sujud kecuali iblis yang enggan dan merasa besar (sombong) dan ia termasuk orang yang kafir (ingkar)” (QS. Al-Baqarah : 34)
Menurut al-Hallaj, Allah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam itu Allah menjelma sebagaimana ia menjelma dalam diri Nabi Isa. Penafsiran al Hallaj ini diperkuat oleh Hadits yang dikalangan ahli sufi sangat
berpengaruh انّ الله خلق ادم على صورته
“Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya”.
Kesimpulan dari pendapat al-Hallaj sebagaimana ditegaskan Harun Nasution dalam bukunya : “Dalam diri manusia itu terdapat sifat ketuhanan dan didlam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian persatuan antara Allah dan manusia bisa terjadi, dan persatuan ini dalam filsafat al-Hallaj mengambil bentuk al-Huluul (mengambil tempat). Untuk dapat bersatu manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dengan fana’. Kalau sifst-sifat kemanusian itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya, disitu baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya. dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia, sebagaimana diungkapkannya dalam syair berikut :
“ Jiwamu disatukan dengan jiwaku
sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh engkau, ia menyentuh aku pula
Dan ketika itu dalam tiap hal engkau adalah aku”
Pada syair yang lain al-Hallaj juga mengatakan :
“ Aku adalah dia yang aku cintai
dan dia yang kucintai adalah aku.
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh
Jika engkau lihat aku, engkau lihat dia.
Dan jika engkau lihat dia, engkau melihat kami[51].
Dengancara inilah menurut al-Hallaj seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan. Hanya saja dalam konsep al-Huluul diri al-Hallaj tidak lebur berbeda dengan konsep ittihad –nya al-Bustami dimana ia lebur yang ada hnaya Tuhan. Sebenarnya al-Hallaj tidak mengakui dirinya Tuhan sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya :
“Aku adalah Yang Maha Benar….
Dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku.
Aku hanya satu dari Yang Maha Benar,
Maka bedakanlah antara kami “.
Tujuan dari al-Huluul adalah mencapai persatuan secara bathin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-Huluul adalah ketuhanan (lahut), menjelma kedalam diri insane (nasut) dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam perjalanan hidup kebatinan[52].
Untuk memahami doktrin al-Huluul ini seharusnya merujuk kepada penjelasan al-Hallaj sendiri seperti berikut ini :
“Siapa yang membiasakan dirinya dalam ketaatan, sabar atas kenikmatan dan keinginan, maka ia akan naik ketingkat muqarrabin. Kemudian ia senatiasa suci dan meningkat terus hingga terbebas dari sifat-sifat kemanusiaan ini. Apabila sifat-sifat kemanusiaan dalam dirinya lenyap, maka roh Tuhan akan mengambil tempatdalam tubuhnya sebagaimana ia mengambil tempat pada diri Isa bin Maryam. Dan ketika itu seorang sufi tidak lagi punya kehendak kecuali apa yang dikehendak oleh ruh Tuhan sehingga seluruh perbuatannya merupakan perbuatan Tuhan”[53]
Penjelasan ini setidaknya menginformasikan tiga hal berkaitan dengan bangunan konsep al-Huluul. Pertama, terkait dengan pra kondisi al-Huluul tersebut. Seperti al-ittihad, fana’ an- Nafs juga merupakan pra kondisi atau pintu gerbang menuju al-Huluul. Kalau fana’an-nafs telah membuat Abu Yazid al-Bustami sampai kepada terjadinya al-ittihad, maka bagi al-Hallaj itu mendorongnya samapi kepada al-Huluul. Kedua, menyangkut makna hakikat al-Huluul. Ketika al-fana mencapai puncak yang ditandai dengan leburnya nasut sufi secara total sehingga dirinya dikuasai oleh lahut nya, maka disaat itulah nasut Tuhan turun dan mengambil tempat pada diri sufi untuk bersatu dengan lahut-Nya. Inilah makna substansi al-Huluul.
At-Taftazani berpendapat bahwa doktrin al-Huluul itu merupakan kesadaran psikologis. Oleh karenanya kesatuan dalam faham ini hanya bersifat figuratif bukan merupakan kesatuan yang riil. Dengan kata lain, persatuan figuratif dalam al-Huluul masih mengakui adanya perbedaan dan pemisahaan antara ruh Tuhan dan ruh sufi sebagaimana tampak begitu jelas dalam ungkapan al-Hallaj sendiri “Ruh-Mu disatukan dengan ruh-ku / mu’zijat ruhuka fi ruhiy” dan “ Kami adalah dua ruh yang bertempat pada satu tubuh / Nahnu ruhaani halalnaa badanan”.
Ketiga, Menyangkut dampak psikologis yang mengiringi al-Huluul.
Ketika tercapai puncak al-Huluul, seluruh kehendak sufi terserap dan diliputi oleh kehendak Tuhan. Sehingga seluruh aktifitas yang muncul bukan lagi aktifitas sufi melainkan aktifitas Tuhan, hanya saja melalui organ tubuh sufi. Dengan demikian pernyataan ”Ana Al-Haqq” tidak dapat dipandang sebagai ucapan al-Hallaj untuk mengepresikan dirinya sebagai al-Haqq (Tuhan) melainkan perkataan Tuhan untuk mengepresikan dirinya sebagai Tuhan[54], Hanya saja melalui lisan al-Hallaj.
G. Kontroversial Sebab terbunuhnya Al-Hallaj
Al-Hallaj adalah sosok tokoh sufi yang kontroversial akibat dari konsep al-Huluul
yang beliau tawarkan. Seperti konsep-konsep yang lain tentu ada yang mendukung dan ada pula menentang. Bagi sosok al-Hallaj ini kelihatannya pihak yang berseberangan dengan faham lebih banyak dibanding mendukunya. Bahkan kelompok Syiah Imamiyah dan mazhab az-Zahiriyah menuduhnya telah kafir[55]. sehingga pada akhirnya hayat beliau berakhir ditiang gantungan.
Mengenai sebab dibunuhnya al-Hallaj ini hingga sekarang masih simpang siur (Kontroversial). Jika kebanyakan orang mengatakan bahwa sebab dibunuhnya al-Hallaj karena perbedaan faham dengan ulama fiqih yang pro penguasa, maka ini perlu dipertanyakan kembali. Sebab para para sufi-sufi lain seperti Ibnu Arabiy dan Zhun Nun al Mashriy yang juga bertentangan dengan ulama fiqih ketika itu tidak dibunuh[56].
Menurut Harun Nasution, al-Hallaj dibunuh karena memiliki hubungan dengan gerakan Qaramithah (Carmatians) satu sekte syiah yang dibentuk oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir abad ke IX M. Sekte ini mempunyai faham komunis (harta benda dan perempuan miliki bersama) mengadakan teror, menyerang Makkah ditahun 930 M dan merampas Hajar al-Aswad yang kemudian dikembalikan oleh Bani Fatimiyah ditahun 951 M. Mereka juga menentang pemerintahaan Bani Abbas mulai dari abad X sampai abad ke IX M[57]. Pendapat ini menurut Abuddi Nata dalam bukunya Akhlak Tasaswuf perlu dipertimbangkan. Sebab jika benar, maka al-Hallaj secara politis dan ideologis memang bersalah dan patut dihukum. Tapi jika itu hanya tuduhan belaka, maka masalahnya jadi lain. Pengadilan akhiratlah yang akan menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar[58].
Al-Hallaj menemui ajalnya dengan penuh keberanian serta memberikan maaf kepada orang-orang yang terlibat dalam pembunuhannya. Ketika ia disalib ia sempat menyampaikan ucapan :
“Mereka adalah hamba-hamba-Mu yang telah berkumpul untuk membunuhku disebabkan kefanatikan terhadap agama-Mu dan sebagai ibadah (pengabdian) kepada-Mu. Maka berikan keampunan pada mereka. Jika engkau bukakan pada mereka apa yang telah engkau bukakan pada, niscaya mereka tidak akan melakukan apa yang telah mereka lakukan”[59].
Setelah Al-Hallaj wafat, perbedaan pendapat pun terjadi dalam menyikapi akidah dan keimanannya. Ada yang besikap berlebihan dan memuji al-Hallaj sehingga menganggap al-Hallaj telah diangkat kelangit seperti al-Masih. Dan ada yang mengatakan ia akan kembali lagi setelah 40 tahun. Bahkan ada yang beranggapan meluapnya air sungai Dajlah setiap tahun disebabkan dibuangnya abu mayat al-Hallaj yang dibakar ke sungai tersebut[60]. Sebagian yang lain menganggap ia telah murtad dan kafir. Ada pulah ynag bersikap tawaqquf (tidak berkomentar apa-apa) seperti Abu Abbas bin Syuraih[61]. Menurut as-Sullamiy, mayoritas al-Masyaikh (guru-guru besar tasawuf) menolak al-Hallaj[62].
H. Penutup
Al-Bustami adalah seorang tokoh sufi yang hidup pada abad ketiga hijrah. Beliau dipandang sebagai orang yang mempelopori paham Fana’ dan Baqa’ dan Ittihad. Sebelum bekliau bergelut dengan dunia tasawuf, beliau mempelajari fiqh terutama mazhab Hanafi.
Pahan Fana’ yang dikembangkan oleh beliau adalah menyatakan bahwa apabila manusia telah sampai tingkat Fana’ artinya hilangnya kesadaran akan wujud diri dan lingkungannya, maka ia akan Baqa’ yang artinya berkesinambungan didalam sifat-sifat ketuhanan. Yaitu kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia dan puncaknya adalah manusia dapat menyatu atau ittihad dengan Tuhan sehingga diri pribadi menjadi tiada dan yang ada hanya Tuhan semata-mata.
Paham ini mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan ulama. Ulama syari’ah atau ahli fiqh cenderung menyatakan bahwa paham ini menyesatkan dan al-Bustami dikatakan kafir, sebagian lagi menganggapnya hanya penyimpangan saja dan sebagian lagi memahami bahwa paham yang didasarkan pada ungkapan-ungkapan al-Bustami tidak dapat dijadikan pedoman sebab disampaikan ketika ia tidak dalam kesadaran dirinya, melainkan tunduk pada intuisi ketikas ia fana’, baqa’, dan Ittihad.
Mengkaji konsep al-Huluul tidak bisa dilepaskan dari penafsiran-penafsiran al-Hallaj sendiri atas doktrin tersebut. Melihatnya tentu dari kaca mata sufi bukan dari kaca mata fiqih atau teologi. Tapi menurut kami (penulis), sikap-sikap yang berseberangan dengan al-Hallaj pun tidak salah sebab menurut mereka dengan kaca mata yang dipakai doktrin al-Huluul itu telah keliru bahkan sesat dan kafir. Apalagi secara Zhahir faham dan fatwa yang dilontarkannya bertentang dengan ajaran agama Islam yang Ma’lum min Ad-Din bi adl- Dlarurah. Seperti pendapatnya tentang tidak wajibnya haji. Mungkin ada sebagian orang setuju dengan konsep al-Huluul karena itu hanyalah bentuk ekspresi al-Hallaj tentang kedekatan dengan Tuhan dan itu hanya didapatkan melalui pengalaman, intuisi dan tajribah sufiyah yang tidak bisa dirasakan semua orang. Akan tetapi ketika al-Hallaj “menyeberang” kewilayah fiqih dan berfatwa bahwa haji tidak wajib dan sebagainya, maka pada aspekini ulama fiqih cendrung memamdangnya murtad dan pantas dihuku mati. Wallahu a’lam bi ash-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
- Abd al-Qodir Mahmud, Al-Falsafah al-Saufiyah fi al-Islam, dar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1966
- Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta (2002)
- Abu al-wafa’ al-Ghanimiy al-Taftazaniy, Madhakal Ilaa at-Tashawuf al-Islamy, Dar ats-Tsaqafah,Kairo (1409 / 1989)
- Ahmad Muhammad Subhi, al-Falsafah al- Ahkhlaqiyah fi al-Fikr al-Islam, Dar al-Maarif, Mesir, 1969
- Abu Abdir Rahman as-Sullamy, Thabaqat as-Sufiyah, Maktabah al-Khanjiy, Kairo (1969)
- Al-Baqhdadiy, Al-Farq Bain al-Firaq, Dar al-Ma’rifah,Beirut (tt)
- Al-Hujwairiy, Kasyf al-Mahjuub; edisi Indonesia oleh Suwardjo Mutahhari dan Abdul Hadi, Kasyf al Mahjuub; Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, Mizan, Bandung (1993)
- Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
- Al-Kalabazi, al-Ta’aruf Mazhab al- Tasawuf, Maktab al-Kulliyah al-Anhadiyah, Kairo, 1969
- . Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, Rajawali Press, Jakarta, 1994
- Annemarie Schimme, Mystical Dimmension of Islam, The University of The North Carolina Press, USA (1999)
- Departemen Agama, Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1993
- Departemen Agama, Qur’an dan Terjemahnya, 1985
- E.J. Brill’s, First Encyclopedia of Islam (1913-1936), Vol III, E.J. Brill, Leiden New York-Koln (1993)
- Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme Dalam Islam, Pen.Bulan Bintang, Jalarta (1992)
- Hamka, Tasawuf ; Perkembangan dan Permurniannya, Pen Panjimas, Jakarta (1984)
- Al Qusyairiy, filsafat dan mistisme dalam Islam, penerbit Bulan Bintang Jakarta 1983
- Herbert Mason, Al-Hallaj, Curzon Press, New Delhi (1945)
- Ibnu Khalkan, Wafayaat al-A’yaan, Bulaaq, Mesir (1299 II)
- Lathiful Khuluq, The Nation oy Love God in al-Hallaj, dalam The Dynamics of Islamic Civilazation, Titian Ilahi Press, Yogyakarta (tt)
- Louis Massignon, The Encyclopedia of Islam, Luzac and Co, London (tt)
- Muhammad as-Sayid al-Galyand, Qadlaayaa at-Tasawuf fi al-Dlou’ al Kitab wa as-Sunnah, Maktabah asy-Syabaab, Al-Munirah, Mesir (1989)
- Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya,1985
- Reynold A. Nicholson, Encyclopedia of Religion andv Ethics, Charles Scribners Son, New York (tt)
- Thaha Abdul Baqi Surur, Al-Hallaj ; Syahid at-Tasawuf al-Islamiy, al Mathba’ah al-Ilmiyah wa Mathba’atuhaa. Kairo (1961)
- Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, Pengantar ilmu Tasawuf, Medan 1981/1982
- Muhammad Ghalib, at Tasawuf al muqaran, Maktabah Nahdah Mesir 1997.
[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996, hal 235
[2] 2 Ahmad Muhammad Subhi, al-Falsafah al-Akhlaqiyah fi al-fikr al-Islami, (Mesir : Dar al-Maarif, 1969), hal. 209
[3] Abuddin Nata, op.cit, hal. 236
[4] Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan 1981/1982, hal 158
[5] Departemen agama, Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1993, hal 262
[6] Moh. Gallib, at Thasawuf al Muqarran, Mesir ; Maktabah Nahdah, tt hal 53
[7] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta PT Grafindo Persada, 1996, hal 62
[8] Dep Agama, op.cit, hal 264
[9] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta Bulan Bintang 1978, hal 53
[10] Lois Ma’luf, al munjid fil lughah, Beirut, al maktabah al katholikiyah, 1956, hal 597
[11] Abuddin Nata, op.cit, hal 231
[12] ibid, hal 232
[13] Mustafa Zahri, kunci Memahami Tasawuf, Surabaya ; Bina Ilmu, 1985, hal 234
[14] Ibid, hal 233
[15] Al Qusyairiy, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta ; Bulan Bintang 1983, hal 81
[16] Harusn Nasution, Op.cit, hal 73
[17] Mohamad ‘Iyad al Syathi, Makanah al Tasawuf wa al Sufiyah fi al Islam, Kairo ; al ‘Arabiy, tt, hal 100
[18] Al Kalabazi, Al Ta’aruf Madzhab al Tasawuf, Kairo Maktabah al Kulliyahal al Anhadiah, 1969, hal 152
[19] Harun nasution, op.cit hal 78
[20] Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, op.cit, hal 160
[21] Abuddin nata, op.cit, hal 235
[22] Ibid
[23] ibid hal 237
[24] Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta ; Rajawali Press, 1994, hal 308
[25] Harun Nasution, op.cit, hal 92-93
[26] Departemen Agama, Qur’an dan Terjemahannya, 1985
[27] Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, op.cit, hal 160
[28] Harun Nasution, op.cit, hal 84
[29] Abd Qodir Mahmud, Al Falsafah al Saufiyah fi al Islam, Kairo Dar al Fikr Al Arabiy, 1966, hal 310
[30] Ibid
[31] Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Kairo dar at Tsaqafah li al nasyr wat Tauzi’ 1983, terjmh Ahmad Rafi’ Usmani (bandung Pustaka 1997, hal 117
[32] Departemen Agama, op.cit hal 263
[33] Departemen Agama, Al Qur'an dan terjemahnya, hal 886
[34] E.J Brills, First Encyclopaedia Of Islam, Vol.3, Leiden-New York-Koln (1993) hal. 239
[35] Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam,The University of North Carolina Press, USA (1999), hal. 66
[36] Reynold A. Nicholson, Al-Hallaj, Encyclopediaof Religion and Ethics. Charles Scribners Son, New York (tt), hal. 481
[37] lathiful Khuluq, The Notion of Love of god in al Hallaj dalam the Dynamic of Islamic Civilization, Titian Ilahi Press, yogyakarta, hal 90
[38] L. Massignon, The Encyclopedia of Islam, Luzac and co., London (tt), hal. 99
[39] Lhatiful Khuluq, Op.cit
[40] Reynold A. Nicholson, loc.cit
[41] Lhatiful Khuluq, op.cit hal 91
[42] abdul Baqi S, al Hallaj : Syahid al Tasawuf Islamiy, Maktabah al Ilmiyah, Kairo (1961) hal 361
[43] prof DR Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta (1992) hal 90.
[44] Herbert Mason, Al Hallaj, Curzon Press, New Dhelhi (1945), hal 5
[45] abdul Qadir Mahmud, Al Falsafah As Shufiyah fil Islam, Dar Al Fikri al Arabiy, Kairo (tt) hal 336
[46] abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta (2002), hal 239-240
[47] Abdul Qadir Mahmud, Loc. cit
[48] Muhammad Sayyid galyand, Qadhaya at Thasawuf fi Dho’I al Kitab was Sunnah, Maktabah Al Syabab, Mesir 1989
[49] Annemarie Schimmel, Op.Cit, hal 72
[50] Harun Nasution, Op. Cit, hal 88
[51] ibid hal, 90
[52] Hamka, tasawuf ; Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta (1984) Cet XI, hal 120
[53] Al Baghdadiy, Al farq Bainal Firaq, Dar al Ma’rifah, Beirut (tt), hal 82
[54] Al Hujwiri, Kasf al mahjuub, terjemahan Suwardjo Muttahhari dan Abdul Hadi (kasy al Mahjuub ; Risalah persia Tertua Tentang Tasawuf), Mizan, Bandung (1993), hal 231
[55] DR Abul Wafa’ al Ghanimiy at Taftazaniy, Al Madkhal Illa at Tasawuf al Islamiy, Dar Ats Tsaqafah, Kairo (1989)
[56] DR Abuddin Nata, op.cit, 244
[57] DR Harun Nasution, Op.Cit, hal 87
[58] DR Abuddin Nata, Loc.cit
[59] Ibnu Khalkan, Wafayaat al A’yaan, Boolaq, 1299 H, juz I, hal 184
[60] ibid hal 184
[61] DR Abul Wafa’ al Ghanimiy at Taftazaniy, op.cit hal 125
[62] Abu Abdur Rahman as Sullamiy, Thabaqat ash Shufiyah, maktabh al Khanjiy, Kairo (1969)