Mulla Sadra adalah seorang filosof terkemuka lahir di syiraz pada 980 H/ 1571 M Selama dalam pendidikannya ia belajar kepada guru-guru terkemuka isfahan seperti Baha`uddin al-`Amili,Mir Fendiriski dan Mir Damad. Pada masa kejayaan dinasi Syafawi, banyak mazhab pemikiran yang berkembang di Isfahan, baik teologi, filsafat khususnya peripatetik (masya`I) dan iluminasi(isyraqi), tasawwuf dan ajaran-ajaran imam-imam syiah. Mulla Sadra adalah pemikir besar yang menemukan kedahuluan wujud (asalah al-wujud) , gradasi wujud (tasykik al-wujud) dan terakhir, gerak substantif (harakah al-jauhariyyah).
A. BIOGRAFI MULLA SADRA (Kehidupan dan pendidikan)
Selain filsafat Peripatetik (Masya’i), Iluminasi (Isyraqi) dan Sufisme, maka teologi disamping pengajaran ajaran-ajaran Imam-imam Syiah tentunya, turut mewarnai studi-studi di Isfahan. Ada beberapa pemahaman penting untuk mengenal dan memahami kelompok-kelompok diatas terhadap perbedaan dalam memberikan jawaban khasnya terhadap satu pertanyaan yakni metode apa yang paling andal untuk memperoleh pengetahuan tentang hakikat wujud dan Tuhan?
Secara umum, para filosof peripatetik seperti Ibnu Sina, al-Kindi dan Al-Farabi mendukung premis bahwa Intelek (al-’aql) sudah cukup menjadi bimbingan manusia untuk memenuhi hakikat sesuatu dan mencapai kebenaran akhir. Mereka yakin bahwa prilaku mencari pengetahuan itu justru mensyaratkan sejenis pencerahan oleh Intelek Aktif (al-‘aql al-fa’al), tetapi penekanan mereka adalah pada pengetahuan rasional yang dapat dicapai oleh oleh setiap manusia melalui berfungsinya pikirannya secara sehat tanpa bantuan atau rahmat khusus apapun dari Tuhan. Terhadap pandangan dari tokoh-tokoh ini, banyak mendapat kritikan dan serangan tajam oleh teolog al-Ghazali [4].
Pada mulanya guru besar Iluminasi al-Suhrawardi (w. 587/1191) melakukan perjalanan spiritual setelah lebih dulu dalam kehidupan tasawuf dan kemudian memulai studinya dan pencahariannya dalam filsafat. Dialah sufi yang menciptakan ikatan tasawuf dan filsafat. Tetapi dalam kasusnya, menurut Seyyed Husein Nashr, usaha ini mengarah pada pembentukan mazhab Iluminasi, yang esensi dan prinsipnya adalah menunjukkan teosofi intuitif (dzawqi) dan filsafat diskursif (bahtsi)[5].
Para sufi seperti Bayazid, al-Bustami, Jalaluddin Rumi, dan Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa intelek manusia yang terbatas saja tidaklah memadai dan dapat menyesatkan dan bahwa manusia tidak akan dapat mencapai kebenaran akhir tanpa suatu pengetahuan yang personal, mendalam dan langsung yang berasal dari penyingkapan sebagian atau semua tirai (hijab) yang memisahkan manusia dari Tuhan.
Terakhir para teolog seperti al-Asy’ari, berkeyakinan bahwa kebenaran hanya dapat dicapai melalui wahyu Alquran, dan bahwa intelek dan penyingkapan cenderung menyesatkan.[6]
Secara lengkap Armahedi Mahzar melukiskan seluruh perbandingan pokok-pokok pikiran dalam tradisi Islam sebagai berikut :[7]
Kalam Mu’tazilah
Hikmah Masya’iyah
Hikmah
Isyraqiyah
Irfan
Wujudiyah
Hikmah
Muta’aliyah
Eksistensi
(wujud)
Riil
Riil
Mental
Riil
Riil
Esensi
(mahiyah)
Riil
Riil
Riil
Mental
Mental
Hubungan
Eksistensi
esensi
Eksistensi mendahului esensi
Eksistensi mendahului esensi
Esensi mendahului eksistensi
Eksistensi mendahului esensi
Eksistensi mendahului esensi
Struktur realitas
Polaritas mutlak/nisbi
Jenjang eksistensi
Gradasi esensi
Jenjang esensi
Gradasi eksistensi
Metode keilmuan
Rasio Wahyu
Rasio Wahyu
Rasio Instuisi, Wahyu
Instuisi Wahyu
Rasio Instuisi Wahyu
Dalam latar belakang demikianlah sistem pemikiran sadra yang khas tumbuh yang kelihatannya benar-benar beda dari situasi intelektual dan spiritual masanya. Ada tiga besar periode perjalanan dan perkembangan intelektual serta spiritualnya sebagaimana digambarkan James Winston Morris [8]:
Periode pertama merupakan periode pembukaan yang dicurahkan pada kurikulum filosofis dan agama tradisional yang ditekuni di Ibukota Safawi, Isfahan dibawah guru-guru yang sangat dihormati pada jaman tersebut. Pada waktu yang sama, ia juga tertarik terhadap suatu bidang tulisan-tulisan yang lebih Neoplatonis (khususnya karya-karya Ibnu ‘Arabi, Suhrawardi dan komentator-komentatornya) yang secara tradisional dihubungkan dengan metoda-metoda dan penglihatan-pengihatn batin sufisme. Lambat laun apakah karena minatnya pada penulis-penulis populer yang dicurigai ini atau, sebagaimana yang dikemukakan oleh sumber lain, karena ketergesa-gesaannya terbuka pada massa ulama dan fuqaha fikih yang literal dia terpaksa meninggalkan Isfahan.
Periode kedua merupakan penarikan dari kehidupan intelektual umum dan mencurahkannya pada kontemplasi, latihan-latihan spiritual dan refleksi yang lebih dalam atas studi-studi awalnya. Sebagian orang mengatakan bahwa ia pergi ke tempat yang terisolir di gunung, kemungkinan dekat Qum dan tinggal disana menurut riwayat selama lima belas tahun. Sikapnya adalah berdoa dan bertawakkal kepada Tuhan dengan segala keberadaannya. Lebih dari sekedar berjalan dengan kedangkalan dan seni penalaran logika, ia merenungkan secara mendalam dan tulus masalah-masalah fundamental tentang Tuhan, wujud dalam alam semesta dan berserah diri pada serangan intuitif dari luar. Perenungan yang mendalam ini dibarengi dengan praktek-praktek keagamaan yang berat. Sebagai hasilnya, pikirannya pun dibanjiri oleh berbagai sudut pandangan baru. Bukan saja ia menemukan kembali apa yang dipelajari sebelumnya melalui bukti-bukti rasional, dengan cara yang baru dan intuitif, tetapi juga menemukan sejumlah kebenaran baru yang tidak pernah ia impikan sebelumnya.
Shadra sebelumnya adalah seorang filosof (tanpa mengabaikan bahwa ia juga telah belajar ilmu-ilmu ortodok seperti hadist, tafsir dan kalam) sebelum pergi kepengasingan, yang ia tempuh disamping karena penindasan, juga terutama karena ia tidak yakin terhadap kebenaran-kebenaran filsafat yang metodenya rasional murni yang ia anggap palsu dan lahiriah. Dengan demikian ia mencari metode yang akan memberikan kepadanya kepastian yang dapat mengubah proposisi-proposisi rasional semata menjadi kebenaran-kebenaran yang dialami. Dalam pengakuannya yang di nyatakan diatas, ia menjelaskan hal ini. Situasi seperti itu sangat erat hubungannya dengan al-Ghazali, dengan pengecualian bahwa dalam kasus al-Ghazali, apa yang terutama di transformasikan kedalam kebenaran yang hidup adalah persoalan-persoalan kalam Sunni ortodoks, sedangkan bagi filosof kita ini yang harus ditransformasikan dan tetap hidup adalah masalah-masalah filsafat rasional. Tidak seperti dalam kasus pertama dan kasus kedua yang mengangap sufisme sebagai sumber jenis baru pengetahuan, tetapi sebagai pengalaman atau kepastian intuitif : muatan kognitif filsafat dan sufisme ini sebenarnya identik walaupun kualitasnya berbeda.[9]
Adapun periode terakhir tampaknya pada suatu masa yang agak telat dari kehidupannya sadra kembali pada posisi pengajaran yang aktif di kota kelahirannya dan menuntutnya menulis karya al-Asfar al-Arba’ah sebagai karya monumental.
Mulla Sadra mempunyai sejumlah murid antara lain Mulla Muhsin Faidh al-Kasyani (w. 1680), Mulla Abd al-Razaq al-Lahiji (w. 1661 M) dan Muhsin Tankabani (w. 1692).[10]
Shadra mengkaji seluruh warisan filsafat, keagamaan dan spiritual Islam, kecuali para filosof Spanyol, seperti Ibn Bajjah, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd dari Spanyol dan wilayah Islam Barat. Ia juga sangat berhutang kepada Ibn ‘Arabi, yang memberikan satu pengaruh terpenting terhadapnya. Tradisi filsafat Peripatetik yang berawal pada Ibn Sina, tradisi teologi kalam, baik Syiah maupun Sunni, filsafat Iluminasionis Suhrawardi beserta para pengikut dan komentatornya dan akhirnya tradisi sufi yang berpuncak pada Ibn ‘Arabi beserta murid-murid dan komentatornya. Semuanya masuk kedalam struktur intelektual filosof kita. Dengan demikian ada tiga untaian utama yang secara sadar disatukan oleh Shadra untuk membentuk “sistesis besar”, yaitu (1) tradisi peripatetik Ibn Sina (2) tradisi Iluminasionis al-Suhrawardi dan (3) Ibn ‘Arabi Dan sufisme.[11]
1. Tradisi Peripatetik Ibn Sina (w. 428/1037).
Ibnu Sina diberi gelar al-Syaikh al-Rais yang berarti guru kepala, hendak menjelaskan bahwa ia merupakan lantai atau pondasi yang mendasari semua pembahasan filsafat dalam Islam. Tulisan- tulisan metafisika Ibn Sina yang sudah dikomentari secara ekstensif dan kreatif beberapa abad sebelum Shadra membentuk puncak teoritis dari sebuah tradisi filosofis Aristotelian Islami. Shadra mencari dukungan dari pernyataan-pernyataan bagi ajarannya sendiri yang khas seperti mengenai realitas wujud dan kelemahan esensi disamping mengkritik, memodifikasi dan terkadang membelanya dari kritik-kritik al-Suhrawardi, al-Thusi dan lain-lainnya.
2. Tradisi Iluminasionis al-Suhrawardi (w. 587/1191).
Seorang filosof yang syahid pada usia 38 tahun yang sangat langsung dan berpengaruh besar kepada Shadra, dimana ia sendiri telah mensyarah kitab pentingnya al-Suhrawardi yakni Hikmah al-Isyraq. Pengaruh ini dalam kenyataannya dapat dipahami sebagai suatu penyempurnaan dan perluasan dari masa muda al-Suhrawardi serta upaya-upaya perintis : perubahan-perubahan penting dalam pendekatan Shadra sendiri. Pandangan al-Suhrawardi yang positif diterima oleh Sadra adalah pandangan yang menyatakan bahwa esensi logis itu bukanlah realitas, karena defenisi logis tidak menciptakan pembedaan yang tajam dalam realitas, pandangan lain adalah tentang realitas, dengan demikian, adalah adalah cahaya tunggal yang berangkai yang hanya dapat dijelaskan oleh pembedaan-pembedaan “lebih dan kurang” atau “ lebih sempurna dan kurang sempurna”. Kegelapan benar-benar negatif , yang nyata ialah “tingkatan” cahaya yang tersusun secara berjenjang dari cahaya mutlak (Tuhan) turun kepada apa yang disebutnya “cahaya-cahaya aksidental”. Gagasan tentang jenjang realitas ini diambil alih oleh Sadra. Adapun pokok penentangan Sadra kepada al-Suhrawardi adalah konsepnya tentang wujud adalah “gagasan atau hal sekunder yang dipikirkan”, sebaliknya shadra menegaskan wujud adalah realitas satu-satunya. Ia menjelaskan hanya wujudlah yang dapat menjadi lebih atau kurang, sedangkan esensi bukanlah realitas sebenarnya, tetapi hanya ada dalam pikiran. Jika wujud bukan realitas yang sebenarnya, apa yang tertinggal selain esensi? Tanyanya. Esensi sendiri tidak dapat menjadi lebih kurang karena tiap esensi bersifat “tertutup”, statis dan pas. Lebih jauh Sadra menggantikan cahaya al-Suhrawardi dengan wujud.
3. Ibnu Arabi dan sufisme (w. 638/1240).
Digelar al-Syaikh al-akhbar yang berarti guru terbesar dan dikenal sebagai pengembang tradisi tasawuf-falsafi. Pengaruh Ibn ‘Arabi bagi Mulla Sadra dapat dilihat pada tiga isu penting : non-wujudnya esensi, realitas sifat-sifat Tuhan dan dan peran eskatologis-psikologis alam citra (‘alam al-Mitsal). Mengenai yang pertama, ungkapan Ibn ‘Arabi terkenal “esensi tidak bernada wujud” dikutip oleh Sadra beberapa kali untuk mendukung ajarannya bahwa wujud adalah realitas satu-satunya dan bukan esensi. Di antara hal penting lain adalah pengaruh Ibn ‘Arabi terhadap ajaran Shadra tentang “Alam Citra”. Ajaran ini digunakan oleh Sadra juga Ibn ‘Arabi untuk membuktikan kebangkitan jasmani. Menurut mereka apa yang mereka persepsi melalui indra di dalam dunia ini lebih lemah ketimbang – karena kita terikat dengan dunia material – apa yang akan dipersepsi jiwa dialam ahirat kelak yang sangat kuat dan riil.
C. KARYA-KARYA SADRA
Shadra telah menulis 32 atau 33 risalah dalam bahasa Arab dan hanya satu yang berbahasa Persia. Secara lengkap karya-karya Shadra terdiri dari tiga kategori :
1. Tafsir atas ayat-ayat Alquran yang disebut dengan Tafsir al-Kabir dan interpretasi atas atas sabda-sabda Imam yang tercantum dalam Syarah usul al-Kafi.
2. lembaran-lembaran insidental seperti Kasr Asnam al-Jahiliyyah fi al Mutashawwifin, Risalah fi al-Hudust, Risalah Fi al-Hasyar, Kitab al-Masya’ir dan Sih Asl (satu-satunya karya yang ditulis dalam bahasa Persia)
3. Tulisan-tulisan filolofis dan teologis yang sangat terkenal dengan sebutan al-Asfar , lengkapnya Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’ah. Kemudian risalah-risalah pendekatan yang dicurahkan pada topik-topik individu dan sebuah himpunan pertanyaan yang lebih pendek (rasail) dan hubungan seperti al-Syawahid al-Rububiyyah fi al-Manahij al-Sulukiyah dan al-Mabda’ wa al-Ma’ad dan Hikmah al-‘Arsyiyyah. Terakhir merupakan komentar atas buku-buku teks standar dalam kurikulum filsafat yang waktu itu seperti komentar atas al-Syifa Ibn Sina dan Hikmah al-Isyraq al-Suhrawardi.
Selain dari yang diatas ada pula sejumlah karya-karya lain yang pastikan sebagai karya Sadra antara lain ; Risalah fi Ittihad al-‘Aqil wa al-Ma’qul, Ittishaf al-Mahiyah bi al-Wujud, Ajwibah ‘ala Masa’il al-Nashiriyyah, Asrar al-Ayat, Iksr al-‘Arifin fi Ma’rifah Thariq wa al-Yaqin, Risalah fi al-Tasyakhkhush, Risalah fi al-Tasawwur wa al-Tasdiq, Tafsir Suwar al-Qur’aniyyah, al-Tanqih, al-Hikmah al-‘Arsyiyyah, Risalah Khalq al-Amal, Dibabaceh Arsy al-Taqdis dan tentunya al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba’ah.[12]
D.CORAK PEMIKIRAN MULLA SADRA DALAM AL-HIKMAH AL-MUTA’ALIYAH
Shadra adalah seorang filosof mistik-rasionalistik. Metodologinya berawal dengan instuisi dan selanjutnya berkembang lewat wawasan filosofis dan berakhir pada kesatuan pengalaman mistik. Ini merupakan metode pendekatan yang oleh murid-murid Shadra diistilahkan dengan tepat sebagai “teosofi transendental” (al-Hikmah al-Muta’aliyah)[13]. Metode filosofis ini merupakan sebuah ikhtiar untuk memotret realitas lewat visi intelektual, yang digunakan sebagai pencirian atas mazhab filsafat Mulla Shadra.
Mulla Sadra adalah filosof sistem karena ia telah membangun suatu sistem dengan cara yang sistematis dalam magnum opusnya, al-hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba’ah, yang diterjemahkan menjadi The Trasendent Theosophy in Four Rational journey (Teosofi Transendental Tentang Empat Perjalanan Akal).[14]
Empat perjalanan yang dimaksudnya tertera dalam kitab tersebut berbunyi. Pertama, perjalanan dari alam makhluk kepada al-Haqq (min al-khalq ila’l-haqq) dimana Sadra mengemukakan permasalah-permasalahan metafisika dan ontologi. Dalam bagian kitab al-Asfar ini, Sadra menguraikan pondasi-pondasi ontologi dari sistem yang sedang dibangunnya seperti pengertian tentang filsafat, ada (wujud) dan kedahuluannya atas esensi, gradasi wujud (tasykik al-wujud), wujud mental (wujud al-zhihni), bentuk-bentuk platonisme (al-muthul al-Aflatuniyyah), kausalitas, gerak substantif (harakah al-Jauhariyah), waktu, temporalitas asal mula alam (hudust al-‘Alam), Intelek (al-’Aql), dan kesatuan Intelek dengan Intelligibel.
Kedua, perjalanan bersama al-Haqq didalam al-Haqq (min al-haqq ila’l-haqq bi’l haqq), akan ditemukan laporan filsafat alam Sadra dan kritiknya terhadap sepuluh kategori Aristotelian, tentang sekitar isu-isu diskusi secara ekstensif kategori-kategori, substansi-substansi dan aksiden-aksiden, bagaimana entitas fisik menjadi ada, hyle dan filosofi signifikansinya, materi dan bentuk (hylomorphism), bentuk-bentuk alam, dan jejak-jejak hirarki pesan-pesan fisik.
ketiga, perjalanan dari al-Haqq kepada makhluk bersama al-Haqq yang berhubungan dengan perjalanan pertama (min al-haqq ila’l-haqq bi’l-haqq) dimana Sadra masuk pada rekonstruksi teologinya, yang mana mendiskusikan dibawah judul metafisika atau ilmu ketuhanan dalam pengertian yang khusus. Dalam sesi al-Asfar ini bahwa dimensi teologi pada pemikiran Sadra tanpa belas kasihan secara terbuka menyerang para mutakallim. Diantara isu-isu yang dialamatkan sadra adalah tentang kesatuan dan eksistensi Tuhan, pemberian bukti-bukti sebelum kalam tentang hal itu, kesederhanaan ontologi tentang wajib al-wujud (Tuhan), nama dan sifat Tuhan, pengetahuan Tuhan tentang dunia, kekuasaan Tuhan, sifat pemelihara, kalam Tuhan seperti kekuasaan Tuhan, baik dan buruk, proses dari keberagaman dunia dari yang satu dan kesatuan filsafat (hikmah) dan hukum Tuhan (syari’ah).
Terakhir, perjalanan bersama al-Haqq di alam makhluk sebagai perjalanan keempat yang berhubungan dengan perjalanan pertama (min al-khalq ila’l-khalq bi’l-haqq) dimana rangkaian besar yang ada dalam al-Asfar dilengkapi dengan psikologi, kebangkitan dan eskatologi.[15]
Pada tataran epistemologi al-Hikmah al-Muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip : intuisi intelektual (dzawq atau isyraq), pembuktian rasional (‘aql atau istidlal) dan syariat. Sehingga hikmah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencaharian rohaniah atau instuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional.
Secara ontologis al-Hikmah al-Muta’aliyah didasarkan pada tiga hal : ashalah al-wujud (prioritas wujud), tasykik al-wujud (gradasi wujud) dan harakah al-jauhariyah (gerak substantif).
Ashalah al-Wujud (prioritas wujud)
Filsafat Islam membedakan antara wujud (eksistensi) sesuatu dan mahiyah (esensi) nya. Para filosof berbeda pendapat mana yang lebih dulu menjadi prioritas, eksistensi ataukah esensi? Dalam studi mereka sehubungan dengan wujud dan mahiyah kaum muslimin terbentuk kepada dua kelompok ; ada yang berpandangan dengan prioritas wujud dan bahwa mahiyah itu adalah abstraksi dalam akal. Ada pula yang berpendapat dengan prioritas mahiyah sedangkan wujud itu semata-mata formulasi abstraks dalam akal. Peripatetik dan sufi memilih pandangan pertama sedangkan al-Suhrawardi dan pengikut al-Asy’ari berada pada kelompok kedua. Mulla Shadra pada awalnya mengikuti pendapat gurunya Mir Damad, tetapi kemudian berbalik menyerang Isyraqi dan menyatakan posisi peripatetisme.
Apa yang dimaksud dengan ashalah dan al-Mahiyah (esensi)? Ashlah atau ashil dalam bahasa Arab dan opini (al-‘urf) berarti sesuatu yang memiliki substansi dan ras yang baik dan terpuji. Dalam ontologi, ashil berarti berita atau data yang sejati atau faktual sebagai lawan dari fiktif dan artifisial (i’tibari) dan imajiner. Jadi yang dimaksud dalam pembagian ashil dan ghair ashil adalah pembagian maujud dan non maujud (ma’dum). Adapun al-mahiyah adalah istilah yang dibuat dari dua kata “ma” (apa) dan “huwa” (itu) atau yang lazim disebut esensi, kuiditas dan ke-apa-an. Esensi berhubungan dengan arti sebuah fenomena, bukan adanya fenomena tersebut. Ia berurusan dengan pengertian, bukan realitas objektifnya.
Sadra menegaskan kesejatian wujud (ashalah al-wujud) dan tak kesejatian esensi (al-mahiyah). Salah satu alasannya adalah apabila wujud bukan asal, maka adakah yang mengeluarkan esensi dari kenetralan, selain wujud. Ia menegaskan bahwa yang mempunyai realitas objektif (al-waqi’iyyah al-kharijiyyah) adalah eksistensi (wujud), sedangkan esensi sesuatu yang subjektif, konstruktif dan artifisial (i’tibari). Ada beberapa alasan yang dapat diajukan untuk membuktikan hal tersebut :[16]
Pertama, esensi atau kuiditas pada dasarnya netral, tidak menolak untuk diberi prediket “ada” juga tidak dapat menolak negasinya “tiada”. Seandainya esensi adalah eksistensi (realitas) itu sendiri, maka tidak dapat “ditiadakan” atau dinegasikan, karena menegasikan inti atau zat adalah mustahil dan karena ada realitas yang ekstrim, tidak netral terhadap ada dan tiada. Karena itulah benar bila kita katakan “manusia ada” dan “manusia tidak ada”. Lagi pula kuiditas memiliki ciri khas tertentu yang tidak dimiliki oleh eksistensi. Karena itulah, pengertian kuiditas (mahiyah) berbeda dengan pengertian wujud (ada). Pengertian wujud merefleksikan realitas objektif, sedangkan kuiditas mengandung pengertian yang tidak memiliki realitas objektif, sesuatu yang artifisial dan konstruktif.
Kedua, wujud adalah benang merah antar segala sesuatu sedangkan kuiditas atau esensi ciri pembeda antar segala sesuatu. Sesuatu yang sama (yaitu wujud) jelas berbeda dengan yang khusus (yaitu kuiditas).
Ketiga, sesuatu disebut ashil (memiliki realitas objektif) apabila ia mempunyai eksistensi. Kuiditas atau esensi dapat memiliki realitas apabila menyandang wujud. Itu berarti bahwa yang riil dan objektif hanyalah eksistensi.
Beberapa penjelasan tentang wujud ini dalam al-Hikmah al-‘Arsyiyyah dapat dicantumkan sebagai berikut :[17]
Bahwa yang ada adalah realitas wujud atau sesuatu selain itu. Yang dimaksud dengan realitas wujud adalah yang tidak tercampur dengan apapun selain wujud, apakah itu suatu keumuman atau suatu kekhususan, suatu batas atau suatu batasan, suatu kuiditas, suatu kekurangan atau suatu ketiadaan – dan inilah yang disebut dengan wajib perlu (wajib al-wujud). Oleh karena itu kita katakan bahwa jika realitas wujud tidak ada, maka tidak ada apapun sama sekali yang ada. Namun konsekuensi ini terbukti (dengan sendirinya) salah; maka premisnya pun salah.
Sedangkan penjelasan premis keniscayaan Wujud awal ini, maka karena sesungguhnya selain realitas Wujud adalah kuiditas dari kuiditas-kuiditas tertentu atau suatu wujud partikular, tercampur dengan ketiadaan atau kekurangan. Dan tiap kuiditas selain Wujud ada melalui Wujud, tidak dengan diri mereka sendiri. Bagaimana ( mereka bisa ada tanpa wujud (keberadaan))? Karena jika diambil oleh dirinya sendiri, terpisah dari wujud, kuiditas itu sendiri tidak bisa “ada” dengan dirinya sendiri, untuk menjadi wujud. Karena untuk menetapkan sesuatu dengan yang lain telah mensyaratkan penegakan dan keberadaan (wujud) suatu hal yang lain tersebut. Dan itu – jika itu adalah sesuatu selain realitas wujud – tersusun atas wujud per se ( atau “wujud qua wujud”) dan suatu partikular yang lain. Namun setiap partikular selain wujud adalah tiada atau memiliki sifat ketiadaan. Maka setiap yang tersusun (dari kuiditas partikular dan wujud) adalah posterior (turunan) terhadap kesederhanaan wujud dan dalam keadaan membutuhkan wujud.
Tasykik al-Wujud (Ambigu Sistematis Wujud)
Tentang proposisi bahwa wujud itu ambigu secara sistematis (tasykik al-wujud) Rahman menyimpulkan :[18] (1) wujud dalam segala sesuatu dalam satu pengertian pada dasarnya sama; sebaliknya jika ada perbedaan mencolok antara benda-benda dalam titik wujud, maka istilah “wujud” sama sekali tidak mempunyai makna yang sama dan tidak menjadi ambigu atau analog, tetapi perbedaan yang mencolok; (2) wujud, karena sama, bahkan menciptakan perbedaan-perbedaan mendasar yang membuat setiap maujud unik : wujud tidak seperti bawang, yang sepenuhnya yang dapat dikelupas tanpa sisa, tetapi seperti wajah keluarga yang mempunyai sesuatu yang mendasar secara umum, meskipun masing-masing unik; (3) berkat gerak substantif dalam wujud, semua bentuk wujud yang lebih rendah dikandung alam, dan dilampaui oleh bentuk-bentuk yang lebih tinggi. [19]
Harakah al-Jauhariyyah (Gerak substansial)
Filosof pertama yang menemukan konsep gerak adalah Aritoteles (w. 322 SM), dari argumen inilah ia menjelaskan tentang keberadaan Tuhan sebagai penggerak yang tak bergerak. Aristoteles memandang perubahan di alam dari potensia menjadi aktual seperti perkembangan biji yang mengandung kemungkinan di alamnya menjadi pohon yang hidup menurut hukum yang tidak kelihatan. Dengan pandangan metafisika semacam itu Aristoteles meletakkan dasar bagi prinsip-prinsip perkembangan. [20]
Aristoteles memperluas studinya tentang gerak. Gerak menurutnya terdiri pada tiga kategori : [21] yakni kualitas, kuantitas dan tempat. Kategori kualitas tercakup kedalamnya antara lain : warna, bentuk, panas, dingin, rasa dan sebagainya. Kualitas mengalami perubahan seperti perubahan warna putih menjadi hitam. Adapun gerak pada kuantitas antara lain tumbuh dan kurang. Gerak ini terletak pada jumlah. Sedangkan gerak pada tempat adalah berpindah tempat.
Para filosof muslim banyak menerima defenisi Aristoteles dan mengikuti konsep-konsep geraknya serta menambah gerak pada posisi.
Gerak secara umum bermakna ;
[22]
“munculnya sesuatu dari dengan perjalanan berangsur angsur dari potensialitas keaktualitas”.
Substansi adalah sesuatu yang tidak memerlukan partner dalam wujud,[23] sedangkan kategori aksiden adalah sebaliknya secara akal tidak bisa eksis tanpa adanya partner. Misalnya warna, maka tidak ada warna seandainya tidak ada benda yang dijadikan pijakan.
Dalam pandangan Sadra defenisi gerak diatas hanya ide abstrak turunan yang relatif dalam pikiran karena gerak (dalam artian primer) secara tepat adalah pembaharuan terus-menerus (wujud dan substansi tiap sesuatu).[24]
Beda antara kedua makna gerak ini seperti beda antara wujud dalam artian (konsep) turunan yang abstrak yang merupakan salah satu dari intelligible (kedua) dalam fikiran dengan wujud dalam artian suatu realitas yang melaluinya sesuatu secara aktual menjadi ada.[25]
Para filosof sebelum sadra berpendapat bahwa gerak tidak mungkin terjadi pada kategori substansi dan sadra mengatakan bahwa gerak dapat terjadi pada substansi. Menurut sadra pemahaman sebelum dirinya itu muncul karena kebingungan antara esensi dan wujud juga antara potensi dan aktual. Untuk memperkuat pandangannya, ia juga mengutip ayat Alquran untuk memperkuat argumennya antara lain :
a. surat Al-Naml ayat 88 ;
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan”.
b. surat Al-Qaf ayat 15 ;
“… sebenarnya mereka dalam keadaan ragu tentang penciptaan yang baru..”
c. surat Ibrahim ayat 18 ;
“..jika Ia menghendaki, niscaya Dia akan membinasakan kamu dan menggantikanmu dengan makhluk yang baru”.
|
Daftar Pustaka dan footnote