Era Abbasiyah merupakan puncak kejayaan era kekuasaan dunia Islam dalam berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali dalam aspek ilmu pengetahuan. Akselerasi kemajuan dalam bidang yang terakhir sebagaimana dicatat oleh para sejarawan terjadi terutama pada masa Khalifah Harun al Rasyid memegang tampuk kekuasaan dan setelah dia wafat digantikan oleh anaknya al Makmun yang terkenal sangat cinta ilmu pengetahuan.
Perhatian khusus darinya dibuktikan dengan membiayai penerjemahan buku-buku yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab serta menggaji para penerjemahdari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli,[1] sehingga zaman ini sering disebut sebagai zaman keemasan dunia Islam
Gerakan al Makmun dalam usaha memajukan dunia ilmu pengetahuan adalah dengan mendatangkan para ilmuan, penulis, fisikawan, pujangga dan filosof untuk tinggal di lingkungan istana, bahkan ilmuan yahudi dan nasrani pun diberikan tempat di istana Baghdad karena kelebihan yang mereka miliki baik dalam ilmu pengatahuan maupun dalam bidang bahasa Arab dan kecakapan mereka tentang literature dan bahasa Yunani, sehingga buku-buku asing terutama buku matematika dan filsafat yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[2] Hal ini untuk memudahkan Abbasiyun (Arab) mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
Menurut Musyrifah Sunanto, perkembangan ilmu pengetahuan di era Abbasiyah meliputi bidang-bidang ilmu naqli, yakni ilmu-ilmu yang bersumber dari al Qur’an dan hadis seperti ilmu tafsir, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa dan ilmu fiqh. Di samping itu, ilmu aqliyah juga mendapat perhatian besar dan mengalami perkembangan pesat. Ilmu tersebut meliputi ilmu kedokteran, ilmu filsafat dan ilmu-ilmu tulen lainnya, yakni mencakup ilmu matematika dengan cabang-cabangnya aljabar, hitung, kalkulus, segi tiga, geometri, ilmu falaq dan musik serta ilmu-ilmu kealaman lainnya seperti fisika, kimia dan biologi.[3]
Di sisi lain, perkembangan lembaga-lembaga pendidikan juga tak luput dari perhatian para penguasa di kekhalifahan Abbasiyah. Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam membagi tingkatan lembaga pendidikan era Abbasiyah kepada tiga tingkatan, yakni 1) tingkat sekolah rendah, namanya kuttab, 2) tingkat sekolah menengah, aktifitasnya di mesjid dan majelis sastera dan 3) sekolah tingkat tinggi.[4] Munculnya madrasah-madrasah di zaman kekhalifahan Abbasiyah, menurut Zuhairi disebabkan beberapa faktor, antara lain adalah:
FootNote
----------------------
[1]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, cet. 4 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) h. 53.
[2]K. Ali, Sejarah Islam: Tarikh Pramodern, cet. 4 ( Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2003), h. 388.
[3]Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Bogor: Kencana, 2003), h. 58.
[4]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, cet. 3 (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), h. 48.
Perhatian khusus darinya dibuktikan dengan membiayai penerjemahan buku-buku yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab serta menggaji para penerjemahdari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli,[1] sehingga zaman ini sering disebut sebagai zaman keemasan dunia Islam
Gerakan al Makmun dalam usaha memajukan dunia ilmu pengetahuan adalah dengan mendatangkan para ilmuan, penulis, fisikawan, pujangga dan filosof untuk tinggal di lingkungan istana, bahkan ilmuan yahudi dan nasrani pun diberikan tempat di istana Baghdad karena kelebihan yang mereka miliki baik dalam ilmu pengatahuan maupun dalam bidang bahasa Arab dan kecakapan mereka tentang literature dan bahasa Yunani, sehingga buku-buku asing terutama buku matematika dan filsafat yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[2] Hal ini untuk memudahkan Abbasiyun (Arab) mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
Menurut Musyrifah Sunanto, perkembangan ilmu pengetahuan di era Abbasiyah meliputi bidang-bidang ilmu naqli, yakni ilmu-ilmu yang bersumber dari al Qur’an dan hadis seperti ilmu tafsir, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa dan ilmu fiqh. Di samping itu, ilmu aqliyah juga mendapat perhatian besar dan mengalami perkembangan pesat. Ilmu tersebut meliputi ilmu kedokteran, ilmu filsafat dan ilmu-ilmu tulen lainnya, yakni mencakup ilmu matematika dengan cabang-cabangnya aljabar, hitung, kalkulus, segi tiga, geometri, ilmu falaq dan musik serta ilmu-ilmu kealaman lainnya seperti fisika, kimia dan biologi.[3]
Di sisi lain, perkembangan lembaga-lembaga pendidikan juga tak luput dari perhatian para penguasa di kekhalifahan Abbasiyah. Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam membagi tingkatan lembaga pendidikan era Abbasiyah kepada tiga tingkatan, yakni 1) tingkat sekolah rendah, namanya kuttab, 2) tingkat sekolah menengah, aktifitasnya di mesjid dan majelis sastera dan 3) sekolah tingkat tinggi.[4] Munculnya madrasah-madrasah di zaman kekhalifahan Abbasiyah, menurut Zuhairi disebabkan beberapa faktor, antara lain adalah:
- Halaqah untuk proses belajar mengajar berbagai ilmu pengetahuan, yang di dalamnya terjadi diskusi dan perdebatan ilmiah yang ramai sering mengganggu orang-orang yang beribadah. Keadaan ini mendorong untuk dipindahkannya halaqah-halaqah tersebut keluar lingkungan mesjid.
- Dengan berkembang luias ilmu pengetahuan, baik mengenai ilmu agama maupun ilmu umum, maka di perlukan banyak halaqah yang tidak mungkin keseluruhannya ditampung di dalam mesjid.
- Di samping itu, juga faktor politik, yakni untuk menarik simpatik rakyat bahwa para penguasa benar-benar memiliki perhatian besar (sense of education) terhadap pendidikan dan pengajaran bagi rakyat umum. Mereka berusaha untuk mendirikan sekolah-sekolah di berbagai tempat dan dilengkapi dengan aneka sarana dan fasilitas yang diperlukan.
Makalah oleh: Al Husaini M.Daud
FootNote
----------------------
[1]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, cet. 4 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) h. 53.
[2]K. Ali, Sejarah Islam: Tarikh Pramodern, cet. 4 ( Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2003), h. 388.
[3]Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Bogor: Kencana, 2003), h. 58.
[4]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, cet. 3 (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), h. 48.