Aneka Ragam Makalah

Abbassiyah | Analisa Pesan Dakwah Sastra Persia



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar nabi Muhammad, salah satu sisi kemu’jizatannya yang paling besar adalah strukturnya jika ditilik dari ilmu sastra, isi dan kata yang membangkitkan perasaan dan semangat untuk mengeksplorasi arti dan pesan dibalik strukturnya, dan selalu mengundang para ilmuwan untuk mengkajinya.

Tak heran jikalau Al-qur’an ini diturunkan pada bangsa yang begitu mencintai sastra terutama dalam pentuk puisi. Sastra merupakan salah satu bentuk kehormatan mereka. Seorang pujangga sangat dihormati dan dikenal di masyarakat luas, mungkin seorang pujangga merupakan selebriti kala itu. Keadaan seperti ini tentulah sangat kondusif untuk perkembangan sastra, dan Islam tidak akan bisa memungkiri hal itu. Sastra sejak masa jahiliyah telah menjadi unsur pembangun kebudayaan, dan akan sangat merugikan jikalau hal telah mengakar seperti ini dihapuskan. Untuk itu sastra ini harus diberi haluan untuk perkembangan agama Islam, dengan kata lain sastra Islam harus dilahirkan.

Tradisi menyebarkan agama Islam melalui seni adalah salah satu tradisi yang telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah saw. Pada masa jahiliyah sastra terutama dengan bentuk puisi berkembang dengan subur meskipun orasi juga sangat dikenal. Bentuk utama puisi saat itu adalah ode dan qashidah. Para pujangga beradu kebolehan dalam menggubah puisi di pasar-pasar, seperti pasar Ukaz. Penyair wanita juga telah muncul pada saat itu seperti Al-Khansa yang terkenal dengan puisi eleginya.[1]

Nabi menggunakan puisi untuk melawan pujangga yang mendeskritkan Islam dengan puisinya. Para sahabat seperti Hasan Bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah dan Ka’ab Bin Malik adalah yang mendapat tugas seperti ini.[2] Sastra dengan munculnya Islampun mempunyai haluan baru, dan temanya meluas hingga hal-hal mistis dan puji-pujian terhadap Nabi. Dakwah untuk menyebarkan agama Islam dengan menggunakan sastra telah menjadi tradisi sejak zaman Rasulullah saw.

Keberhasilan dakwah melalui metode seni umumnya juga banyak dipakai oleh praktisi-praktisi dakwah. Pada umumnya, pada zaman dakwah yang menggunakan seni ini mempunyai peluang yang lebih besar daripada dakwah dengan metode lainnya. Dalam hal ini kita bisa mengambil beberapa contoh seperti yang dipraktekkan oleh Sunan Kalijaga, Teuku Samman di Aceh dan sebagainya.

Sastra Persia sebenarnya telah lahir jauh sebelum datangnya Islam, yakni pada masa dinasti Sasaniah, bahkan mungkin jauh sebelumnya. Banyak karya-karya terkenal yang diadopsi dari karya sastra Persia sebelum Islam seperti Vis Rami dan beberapa karya monumental lainnya. Setelah datangnya Islam sastra Persia menjelma menjadi sastra paling populer di kalangan ummat Islam. Hal ini terjadi pada pemerintahan Bani Abbasyiah yang menghilangkan corak Arabisme. Keirian bahasa Persia terhadap bahasa Arab yang menjelma menjadi bahasa ilmu pada masa itu menjadikannya bahasa sastra yang sangat kental.

Sastra berbahasa Persia pada umumnya mempunyai keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan sastra berbahasa Arab. Salah satu keunikan itu adalah bahwa sastra berbahasa Persia mengambil tema-tema yang abstrak dan keruhanian, lain dengan sastra Arab yang lebih mengambil tema-tema yang banyak dijumpai pada kehidupan sehari-hari, seperti tentang kerajaan, perang, kuda, taman, wanita dan sebagainya. Sedangkan sastra berbahasa Persia jauh lebih tinggi imajinasinya hingga hal-hal yang berbau mistis. Hal-hal seperti ini akan banyak dijumpai pada masa Abbasyiah. Beberapa contoh yang sangat bagus untuk membuktikan hal tersebut adalah seperti sastra prosa yang menceritakan perjalanan burung mengarungi tujuh lembah demi mencapai kesempurnaan.

Hal ini dapat dimaklumi bahwa memang bahasa Persia adalah bahasa non-kanonis, artinya bahwa bahasa Persia tidak pernah dipakai sebagai bahasa kitab suci. Kerinduan bangsa Persia terhadap kanonime bahasa mereka mendorong sastrawan dari bangsa ini menggubah karya-karya yang berbau mistis. Bahkan Matsnawi karya Rumi kemudian diklaim sebagai Alquran Persia.

Mistisme sastra berbahasa Presia inipun kemudian memberikan jalan baru bagi sufisme untuk mengekpresikan pemikiran-pemikiran mereka dan untuk mempengaruhi pembaca untuk masuk ke alam mistis. Sastra Persiapun berubah menjadi Sastra suci dan sastra sufisme. Sastra suci yang dimaksud di sini adalah satra yang khusus dijadikan sebagai alat dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Akan tetapi pada dasarnya, penyeberan agama Islam melalui sastra suci ini oleh penulis lebih tepat di sebut sebagai penyegaran kembali ajaran-ajaran Islam, karena pada faktanya, sastra ini jarang disentuhkan kepada ummat-ummat agama lain, tapi lebih kepada ummat Islam itu sendiri.

Predikat sastra Persia sebagai sastra suci memang mengundang pertanyaan bila tidak dikaji seacara komperehensif, kenapa bukan sastra Arab tidak mendapat predikat serupa. Hal ini dikarenakan bahwa hanya sastra Persialah yang mengangkat tema-tema agama pada umumnya. Corak inipun memang dimiliki oleh sastra Urdu yang nota-bene memang bermula dari Sastra Persia.

Pesan-pesan dakwah yang terkandung di dalam sastra Persia selain mistisme juga berupa kisah romantisme. Tapi perlu digaris bawahi bahwa banyak dari kisah-kisah romantisme ini sebenarnya juga merupakan dakwah yang sungguh kental.

Singkat kata Sastra Persia merupakan dakwah yang sungguh berhasil dalam menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam kepada pemeluknya. Hal ini ditandai dengan munculnya aliran-aliran pemikiran mistisme pada masa pemerintahan Abbasiyah.

Meskipun demikian ironisnya, ternyata kajian-kajian tentang sastra Persia dalam hubungannya dengan dakwah Islamiah tidak begitu banyak didapatkan. Kebanyakan kajian sastra Persia adalah kajian Sejarah. hal inilah salah satu motivasi penulis untuk mengkajinya dalam hubungannya dengan dakwah Islamiah.

Selain predikat zaman Abbasyiah seabgai zaman ke-emasan Islam, juga keistimewaan sastra Persia dalam menyebarkan agama Islam juga merupakan keunikan tersendiri yang menarik minat penulis untuk mengkajinya lebih dalam.

B. Rumusan Masalah.

Sejalan dengan latar masalah yang diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah “apakah pesan dakwah yang terkandung dalam sastra Persia pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah?”.

Dari pokok masalah tersebut dapat dirumuskan beberapa fokus masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
Apakah pesan dakwah Islamiah utama dalam sastra Persia pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah?
Apakah pesan dakwah Islamiah yang bersifat sekunder pada sastra Persia pada pemerintahan Bani Abbasiyah?

C. Tujuan Penelitian.

Secara umum tujuan penelitian ini ialah untuk mendapatkan gambaran tentang pesan-pesan dakwah Islamiah yang terkandung dalam sastra Persia pada masa pemerinatahan Bani Abbasyiah.

Tujuan penelitian ini dapat diperjelasn sebagai berikut:
  • Untuk mengetahui apakah pesan dakwah Islamiah primer yang terkandung dalam Sastra Persia pada masa pemerintahan bani Abbasyiah.
  • Untuk mengetahui apakah pesan dakwah Islamiah skunder yang terkandung dalam Sastra Persia pada masa pemerintahan bani Abbasyiah.

D. Manfaat Penelitian.

Selanjutnya penelitian ini diharapkan berguna sebagai:
  • Masukan untuk mahasiswa fakultas dakwah Islam.
  • Tambahan dalam khazanah pengetahuan Islam khususnya dalam bidang dakwah dan komunikasi.
  • Tambahan dalam khazanah pengetahuan Islam dalam bidang adab sejarah.

E. Batasan Istilah.

Untuk menghindari kesalah-pahaman, maka perlu dijelaskan beberapa istilah-istilah yang terdapat dalam judul.
Pesan

Pesan di sini merupakan isi dari komunikasi. Dalam komunikasi, pesan inilah yang ingin disebarkan kepada komunikan. Pesan ini bisa berupa ide, nilai-nilai yang ingin ditanamkan atau diberitahukan kepada orang yang diajak bverkomunikasi. Sebuah komunikasi akan dianggap efektif bila pesan-pesannya dapat difahami bersama baik sumber maupun penerima.

Dakwah

Dakwah merupakan salah satu usaha yang berupa ajakan dengan sadar dan terencana untuk mengajak seseorang ataupun agar lebih sadar dan mengamalkan ajaran Islam pada setiap aspek kehidupan, dengan murni dan konsekuen.[3] Dakwah juga bisa diartikan sebagai ajakan baik secara lisan maupun tulisan, tingkah laku dan lain sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana untuk mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran agama sebagai pesan yang disampaikan kepadanya dan tanpa adanya unsur-unsur paksaan.[4]

Dakwah dikonotasikan dengan pembinaan. Artinya, dakwah merupakan sebuah usaha untuk melestarikan dan mempertahankan ummat manusia agar mereka tetap beriman kepada Allah swt. dengan menjalankan syari’atNya. Dakwah ini merupakan kewajiban seluruh ummat Islam yang tergambar dalam suruhan amar ma’ruf nahi munkar.[5]

Sastra Persia

Kata Adab berasal dari kata أدب yang artinya perangai yang baik.[6]

Adapun Adab secara terminologi adalah: nilai atau gagasan pemikiran yang berupa prosa dan syair yang merupakan rekaman natural, gambaran daya imajinasi dan ekspresi deskripsi untuk tujuan memperkaya jiwa dan akal.[7] Adapun menurut A.Syayib[8] adalah seni berkomunikasi yang mendeskripsikan pikiran dan emosi. Adab mempunyai beberapa unsur penting yaitu emosi atau perasaan (athifah), imajinasi (khayal), fikiran (fikrah dan aql) dan bentuk (shurah).

Jadi adab (sastra) adalah suatu bentuk komunikasi yang berisi buah fikiran penuh nilai (mampu menguraikan beragam pengalaman) yang dikemas dengan imajinatif (berdaya khayal mampu menjelaskan pengalaman), intuitif (dari perasaan),ekspresif (merupakan sarana bagi sastrawan untuk mengambarkan emosi dan pikirannya), inspiratif (mampu menambah wawasan bagi penikmat sastra) dalam suatu bentuk yang mempunyai daya gugah tinggi (dalam gaya bahasa, diksi, arti yang punya kekuatan untuk mendorong konsumen sastra untuk lebih merenungkan dan menghasilkan karya lain.[9]

Sedangkan sastra Persia yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah seluruh karya sastra yang ditulis oleh orang Persia dengan bahasa Persia. Maka sastra yang ditulis oleh seorang yang berasal dari bangsa Persia tapi menggunakan bahasa selain bahasa Persia dan juga karya sastra yang ditulis dalam bahasa Persia oleh selain orang Persia tidak termasuk dalam kajian ini.

Masa Pemerintahan Bani Abbasyiah

Kurun zaman yang dimaksud di sini adalah dari sejak berdirinya zaman Abbasiyah pada Abad ke-8 hingga runtuh pada abad ke 15 M.


F. Kajian Terdahulu.

Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang pesan dakwah sastra Persia pada masa pemerintahan Abbasyiah belum pernah dilakukan. Beberapa karya yang berhubungan dengan sastra Persia umumnya merupakan kajian sejarah yang tanpa dihubungkan secara khusus dengan kajian komunikasi. Beberapa karya itu seperti Sastra Persia (terj.) karya John L. Esposito. Analisa kajian beliau cukup mendetil dan sedikit berhubungan dengan komunikasi. Selain itu ada kajian Seyyed Hosssein Nasr, Spritualitas Dan Seni Islam, terj Sutejo. Fokus kajian ini beliau merupakan sastra Persia yang dihubungkan sufisme.

Karya lain adalah karya A.Hasyimi, Jawahir Al-Adab. Fokus kajian beliau adalahj sastra Arab dan Persia dari masa pra-Islam hingga masa Turki Utsmani. Sedangkan beberapa kajian yang mengkaji beberapa karya klasik dalam hubungannya dengan komunikasi adalah Metode Komunikasi al-Maraghi Dalam Tafsir al-Maraghi, sebuah thesis PPs IAIN SU.

G. Kerangka Pemikiran.

1. Sastra

Defenisi

Sebenarnya, merumuskan arti sastra itu sangatlah sulit, para ahli sendiri mengakui ketidak jelasan defenisinya, batasan-batasannya. Karena hanya implisit tidak eksplisit,[10] para ahli selalu mencoba memberi defenisi baru tapi selalu gagal untuk memberikan defenisi yang jelas[11]

Kata adab sebagai ilmu yang kemudian diterjemahkan sebagai sastra menurut Ahmad Syayib belumlah ada pada masa jahiliyah bahkan pada masa Nabi dan Khalifah Rasyidah meskipun sastra dalam beberapa bentuk sudah sangat terkenal. Kata adab ini barulah dikenal pada masa Umayyah dan itupun merupakan kata umum yang dipakai untuk arti yang sangat luas termasuk ilmu Nujum, ilmu Hitung(jarak dan volum), Kimia, Kedokteran dan ilmu Lahn. Baru pada abad 3 dan 4 menyempit menjadi Bayan, Badi’ dan Ma’ani.[12]

Goerge Makdisi memberikan penjelasan kata Arab sebelum menjelaskan kata dan arti kata Adab, Arab berasal dari bahasa Arab kuno sebelum Islam yaitu bahasa Semit, kata ini berarti leksikography dan grammar (tata bahasa). Arabiy (Arabian atau orang Arab) berarti orang yang fasih berbicara tanpa kesalahan.[13]

Jadi kata Adab berasal dari bahasa Semit (Arab pra Islam) yang akhirnya diadopsi menjadi bahasa Arab setelah Islam. Adab merupakan kata yang sangat umum pada masa abad 1 H, mencakup :

1. ilmu berbahasa dengan benar.
2. puisi termasuk ilmu Urudh dan Qawafi
3. retorika yang mencakup khitabah, fasahah, balaghah dan bayan.
4. sejarah yang mencakup ilmu Ansab dan tabaqaot.

5. akhlak.

Adab sebagai ilmu dikenal pada abad 1H dan kemudian disempurnakan pada abad ke 2 yaitu pada masa Khalaf Al-Ahmar. Studi Adab pada masa ini berkisar pada tata bahasa (nahwu). Tata bahasa merupakan awal dan bagian penting dari studi adab. Para murid sebelum mempelajari syair dan lainnya terlebih dahulu harus menguasai ilmu nahwu.[14]

Kata Adab berasal dari kata أدب yang artinya perangai yang baik.[15]

Adapun Adab secara terminologi adalah: nilai atau gagasan pemikiran yang berupa prosa dan syair yang merupakan rekaman natural, gambaran daya imajinasi dan ekspresi deskripsi untuk tujuan memperkaya jiwa dan akal.[16] Adapun menurut A.Syayib[17] adalah seni berkomunikasi yang mendeskripsikan pikiran dan emosi. Adab mempunyai beberapa unsur penting yaitu emosi atau perasaan (athifah), imajinasi (khayal), fikiran (fikrah dan aql) dan bentuk (shurah).

Jadi adab (sastra) adalah suatu bentuk komunikasi yang berisi buah fikiran penuh nilai (mampu menguraikan beragam pengalaman) yang dikemas dengan imajinatif (berdaya khayal mampu menjelaskan pengalaman), intuitif (dari perasaan),ekspresif (merupakan sarana bagi sastrawan untuk mengambarkan emosi dan pikirannya), inspiratif (mampu menambah wawasan bagi penikmat sastra) dalam suatu bentuk yang mempunyai daya gugah tinggi (dalam gaya bahasa, diksi, arti yang punya kekuatan untuk mendorong konsumen sastra untuk lebih merenungkan dan menghasilkan karya lain.[18]

Sastra dan Cabang-Cabangnya.

Secara garis besar adab ini terbagi kepada dua macam yaitu prosa (nastr) dan puisi (syi’r), ada yang menyebutnya prosa dan saja’(dalam arti aturan), adapula prosa dan nazhm, tapi apa yang mereka maksudkan adalah hal yang sama.[19] Pembagian yang mungkin agak berbeda adalah amtsal

(metafora) dan hikmah (pribahasa).[20]

Amtsal adalah bentuk pernyataan yang mengambarkan suatu keadaan dengan bentuk metaforis. Amtsal ini terbagi kepada, haqiqah, apabila persamaan yang digunakan berdasarkan realita seperti. Dan fardhiyyah, apabila subjek metafora yang digunakan adalah selain manusia.

Sedangkan hikmah adalah pernyataan yang berisi pesan-pesan yang sudah diakui kebenarannya secara umum.

I. Puisi.

Adalah salah satu bentuk sastra yang terikat dengan beberapa aturan diksi, rima dikemas dalam bait.[21] Tapi tentu saja defenisi ini tidak bisa lagi mewakili segala bentuk puisi pada zaman ini, karena perkembangan bentuk puisi yang begitu variatif.

Dibawah ini kami sajikan genre-genre puisi yang paling sering menjadi model puisi-puisi para pujangga-pujangga terkenal, pembagian ini tidaklah mutlak hanya untuk puisi karena prosa juga bisa saja mengikuti beberapa pembagiannya[22].

1. pembagian puisi bedasarkan diksi, wazan dan pemotongan akhir kata:

a. puisi beraturan (puisi klasik: al-masju’) adalah puisi yang mementingkan diksi, wazan dan pemotongan akhir kata.

b. Puisi bebas (puisi modern: Al-mursal) adalah yang tidak terlalu mementingkan unsur rima, diksi, wazan dan pemotongan kata akhir.

2. puisi berdasarkan tujuan dan isinya.

a. Puisi didaktik (ta’limi) adalah untuk memberikan nilai-nilai positif bagi para pembaca.
b. Puisi satir (hija’i) yang berisi sindiran terhadap objek tertentu.
c. Ode adalah puisi pujian terhadap sesuatu yang biasanya seorang yang berjasa.

3. berdasarkan gaya bahasa

a. puisi epik (qososi) adalah cerita atau pujian terhadap pahlawan atau orang lain.
b. Puisi lirik (ghina’i), puisi yang mengutamakan keindahan lirik hingga menghasilkan irama yang indah.
c. Puisi dramatik (tamtsili), puisi yang berusaha membawa pembaca untuk memasuki keadaan yang ingin ditunjukkan pujangga, baik dengan menghadirkan dialog atau yang lainnya, pengambaran suasana dan lainya.

4. berdasarkan ruang yang dipakai(jumlah baris)[23]

a. quatren (ruba’i) puisi yang membagi-bagi baitnya kedalam empat baris, bentuk ini sangat terkenal dalam dunia sastra dan sangat diminati.
b. Khamsah (kwintet) yaitu puisi yang terdiri dari lima baris dalam sebait.
c. Ghazzal adalah puisi yang biasanya terdiri dari lima sampai tujuh baris dalam sebait. Dan biasanya bertema cinta.

5. berdasarkan tema

a. puisi mistis, puisi bertema pengalaman spritual, hal abstrak dan berbau mistik.
b. Puisi realis, yang mengangkat menggambarkan sebuah kejadian realita.

II.Prosa

Adalah perkataan yang mendeskripsikan ide, gagasan dengan bentuk bebas tanpa terikat seperti puisi dan tidak berbait.[24] A.Syayib membagi prosa ini kepada[25] Realis, yang menguraikan fakta . Dan fiksi narasi ( riwayah) uraian tentang hal-hal fiktif. Seperti Hayy ibn Yaqzhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Laila Majnun, Alf Lailah Wa Lailah. Kemudian ia juga membagi prosa kedalam beberapa bentuk seperti novel, sejarah, bioghrapi, essay dan cerita.[26] Sedangkan A.Hasyimi membagi bentuk-bentuk prosa kepada Muhadatsah (percakapan), orasi (khithabah) dan bahasa penulisan (kitabah).[27]

2. Sastra Persia.

Sastra Islam juga mendapat sumbangan besar dari sastrawan Persia. Ciri khas sastra Persia adalah adalah keberagaman corak, variasi bahasa, karena bahasa Persia adalah hasil campuran dari berbagai bahasa, termasuk bahasa Arab. Bahasa Persia sangat iri dengan bahasa Arab yang diabadikan oleh Al-qur’an, juga bahasa-bahasa lain yang dipakai dalam kitab-kitab suci. Sementara itu bahasa Persia adalah bahasa nonkanonis (tidak pernah dipakai sebagai bahasa kitab suci), hal inilah yang menjadi salah satu faktor munculnya gerakan syu’ubiyah,[28] suatu gerakan yang ingin memurnikan budaya Persia dari budaya Arab, termasuk bahasanya. Sejak penyerbuan Arab ke Persia sudah muncul gerakan agama sinkretik yang mengklaim bahwa Persia juga memiliki Al-Qur’an dalam bahasa Persia, tapi tentu saja tidak bisa berkembang luas. Kerinduan ini terus berlanjut hingga munculnya Matsnawi karya Rumi yang dianggap sebagai Al-Qur’an Persia oleh tokoh-tokoh sastra.[29]

Seperti di Arab, Persia pra-Islam juga telah mengenal sastra meskipun tidak ada bukti tekstual yang memadai. Beberapa tokoh berpendapat bahwa banyak sastra Persia pasca penyerbuan Arab adalah saduran atau terinspirasi dari karya sastra pra Islam seperti Yusuf-e-Zulaikha yang dianggap terinspirasi oleh Vis dan Ramin.[30]

Bahasa Persia yang nonkanonis akhirnya menjelma menjadi bahasa sastra dan bahasa Arab menjadi bahasa teologi, fiqh, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya.[31] Bahasa sastra Persia melebar ke India, Turki, kebanyakan dipakai untuk alat pelegitimasi kekuasaan politik terutama di Turki.[32]

Bentuk puisi pertama persia yang paling sukses adalah panegrika, ditangan Rudaki (w 940 M), Farrukhi ( w 1037 M) dan Manuchiri (w 1040 M). Puisi panegrika biasanya berkisar pada puji-pujian terhadap raja dan istana, keindahan pesta, taman anggur, dan sebagainya.[33]

Masih dengan hubungannya dengan politik puisi epikpun muncul dan mencapai manifestasi tertinggi ditangan Firdausi dengan karyanya Shahnamah (book of kings), yang berisi kurang lebih 60.000 bait syair yang menceritakan pahlawan Rustam dan penghiantan Zhahhak.[34] Karya ini menjadi inspirasi bagi karya-karya puisi epik lain sesudahnya seperti Taimurnamah oleh Hatifi (1521 M), Shahnamah oleh Shah Ismail, Shahnahmasp oleh Kazimi (1560 M), Shahnamah Naderi oleh Ishrati (1749 M), dan puisi mistis seperti Rushanai dan Namah oleh Nashiri Khusrou, pargristic oleh Ansori (1006-1089 M), Hadiqah Al-Haqaiq oleh Sanai (1130 M).[35]

Dari segi aspek romantis cinta dan petualangan, sastra Persia pertamakalinya diwakili oleh Nizhami (w 1209 M) dengan karyanya Khamsah (kwintet), Laila Majnun, Khusraw Syirin. Vis dan Ramin karya Al-Gurghani. Para pujangga selanjutnya lebih memilih gaya Nizhami seperti Amir Khusraw (1325 M), Khawajh Kirmani ( 1352 M) dan Abdul Rahman Jami’ (1492)[36]

Muncul juga satu genre yang begitu terkenal dalam bahasa persia yaitu ghazzal. Tokoh utama ghazzal adalah Sa’di (w 1209 M) dan Hafizh ( W 1390 H) meskipun genre ini sudah dikenal sejak masa Sanai (w 1130 M) dan Nizhami (w 1209 M).[37]

Menurut John Esposito puisi Persia mencapai puncaknya pada masa Sa’di,[38] salah satu keistimewaannya adalah kepawaianya dalam menyeimbangkan tema-tema sosial, moral, pendidikan dan mistis. Ia dianggap sebagai raja pujangga didaktik, karyanya Gulistan (rose garden) dan Bustan (fruit garden) dianggap sebagai karya terbesar pendidikan dalam sastra Persia bahkan dalam sastra Islam. Karyanya ini sebagaimana Shahnamah juga menjadi inspirsi bagi sastrawan lainnya. Bustan menginspirasi Dastur Namah oleh Nizhami, Dah Bab (ten chapters) oleh Katibi dan Gulzar (rose bower ) oleh Heirati. Sedangkan Gulistan menginspirasikan Negaristan karya Al-juwaini, dan Baharistan oleh Al-Jami’.[39]

Sastra Persia mencapai puncaknya dengan puisi mistis, karya-karya seperti ini diterjemahkan keberbagai bahasa, dibaca oleh jutaan orang hingga sekarang. Pujangga-pujangga mistis terkemuka adalah Sanai (w 1130 M), Umar Khayyam ( w 1129 M) Farid Ad-Din Atthar (w 1220 M), dan Jalaluddin Rumi (w 1273M).[40]

Pada masa Sanai terjadi perubahan signifikan dalam dunia sastra, kerajaan yang biasanya melindungi puisi Persia berangsur-angsur berubah, konsekuensinya adalah tema-tema pujian terhadap istana dan raja menghilang digantikan oleh agama. Seperti Sanai yang akhirnya hanya menggubah puisi religius. Karyanya adalah seperti Divan (kumpulan puisi ), Hadiqh Al-Haqaiq, yang merupakan adikaryanya, dan Al-madaih. Sedangkan Atthar, adalah pencipta Mantiq Thayr (bahasa burung) dan Asrar Namah, buku yg sangat berpengaruh pada Matsnawi.

Adapun Rumi yang menggubah Matsnawi adalah mistikus paling besar yang dikenal luas hingga saat ini. Dan setelah Rumi mistifikasi ini berkembang dengan pesat, kebanyakan sastrawan menggubah puisi-puisi mistis, kecuali Hafizh seorang sastrawan yang berhasil mengabungkan fisikitas Sa’di dan cinta mistis Rumi. Puisi Persia mencapai ketinggian baru ditangannya.

Pada masa dinasti Qajar, pada abad ke 18, puisi epik dianggap muncul lagi setelah kematiannya pada masa Shafawiyah, tapi kebangkitan puisi epik inipun hanya menggambarkan hal-hal bohong belaka. Memuji raja-raja lalim, dan menggambarkan keindahan pemerintahan yang sangat bertolak belakang dengan faktanya.[41]

Pergeseran Peran Sastra Persia Pasca Abad 18 M.

Pada abad ke 20, tema-tema satra Persia mulai berubah. Sastra pada masa mempunyai peran penting dalam revolusi konstitusi, para sastrwan berusaha mencari jati diri dan kebudayaan bangsa, di tangan para sastrawan -seperti Iraj Mirza ( w 1925 M) yang terkenal dengan puisi satirnya yang lugas, Arif dengan lirismenya yang indah, Pavin (1907-1941 M), Farrukhi Yazdi ( W 1939 M) yang mengusung sosialisme radikal dan Nima Yusyif (1897-1960 M) yang dianggap bapak revolusi sastra-sasta Persia benar-benar berubah dengan imajinasi baru.[42]

Revolusi sastra ini didukung oleh sastrwan-sastrawan semasanya dan sesudah mereka, seperti Ismail Khu’i (l 1938 M), Mah Akhavan Shalish (1928-1990 M), Ahmad Syamlu (l 1925 M), Ahmad Riza Ahmadi (l 1940 M). Hanya ada beberapa sastrawan yang memilih tidak bertisipasi seperti Faridun Masyiti (l 1926 M), Faridun Favalluli ( l 1919).

Seperti di Arab, feminismepun lahir di Persia, Furugh Farrukhzad (1935-1967 M) adalah wanita paling populer yang mengangkat isu-isu feminisme. Tokoh lainnya adalah Simin Daninsyvar (l 1921 M), Syahr Nusy ( l 1946 M), dan Muniru Ravanivur.

Dunia prosapun mulai menggeliat kembali, sama seperti puisi, prosa juga mengangkat tema-tema revolusi, seperti The Blind Owl karya Ali Jamalzadah (l 1892 M), Nun Wa Al-Qalam karya Ali Ahmad yang menggunakan narasi tradisional untuk menggambarkan revolusi modern. Partisipan lain adalah Hajj Aqqi (l 1945), Buzurq Alavi, dan Shadiq Chubak (l 1916 M).

Dunia fiksi dan drama juga berkembang pada masa ini meskipun drama-dramanya kebanyakan diangkat dari karya-karya tradisional. Adapun karya fiksi ternashur adalah Klidar karya Mahmud Daulatabadi (w 1970 M) yang menggambarkan pahlawan-pahlawan Khurasan

Dakwah Islamiah

Salah satu perbedaan yang mencolok antara agama Islam dengan agama Yahudi adalah konsep agama Islam yang ingin menyebarkan agama. Hal ini terjadi karena tidak ada konsep ummat terpilih seperti yang dianut oleh agama Yahudi, yang membiarkan ummat lain selain keturunan mereka tidak masuk dalam bimbingan agama mereka.[43] Artinya dakwah Islam merupakan salah satu kewajiban ummat muslim dalam mewujudkan kehidupan sosial yang lebih baik dalam semua segi kehidupan hingga tercapainya konsep khairul ummah.

Dakwah merupakan salah satu usaha yang berupa ajakan dengan sadar dan terencana untuk mengajak seseorang ataupun agar lebih sadar dan mengamalkan ajaran Islam pada setiap aspek kehidupan, dengan murni dan konsekuen.[44] Dakwah juga bisa diartikan sebagai ajakan baik secara lisan maupun tulisan, tingkah laku dan lain sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana untuk mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran agama sebagai pesan yang disampaikan kepadanya dan tanpa adanya unsur-unsur paksaan.[45]

Dakwah dikonotasikan dengan pembinaan. Artinya, dakwah merupakan sebuah usaha untuk melestarikan dan mempertahankan ummat manusia agar mereka tetap beriman kepada Allah swt. dengan menjalankan syari’atNya. Dakwah ini merupakan kewajiban seluruh ummat Islam yang tergambar dalam suruhan amar ma’ruf nahi munkar.[46]

Mereka yang berpraktek dalam dunia dakwah pada umumnya berpendapat bahwa keberhasilan dakwah itu sangat dipengaruhi oleh berbagai hal, termasuk strategi dakwah yang diterapkan yang mencakup didalamnya metode dan sarana-sarana dakwah yang ada. Selain itu juga pendekatan dakwah yang digunakan oleh para praktisi dakwah sangatlah urgen dan siginifikan dalam mewujudkan keberhasilan dakwah.

Keberhasilan dakwah ini dapat dilihat dari bagaimana para komunikan bisa memahami pesan-pesan yang disampaikan dalam dakwah tersebut. Tidak hanya sampai di situ, keberhasilan dakwah juga dilihat dari pengaruh dakwah tersebut dalam kehidupan para komunikan setelah dakwah disampaikan.

H. Hipotesa

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah disebutkan sebelumnya, maka dapat diajukan hipotesa sebagai berikut: pesan dakwah sastra Persia pada masa pemerintahan Abbasiyah didominasi oleh pesan ajaran mistisme.

I. Metode Penelitian

1. Sifat dan Pendekatan Penelitian

Penelitian mengenai pesan dakwah sastra Persia pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah ini deskriptif analitis,[47] yaitu dengan menggambarkan seajrah sastra Persia pada pemerintahan Bani Abbasiyah sesuai dengan yang dikemukakan dalam literatur sejarah. Untuk memberikan bobot yang lebih tinggi pada metode ini, maka data atau fakta yang ditemukan dianalisa dan disajikan secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yakni meneliti dan menganalisa literatur-literatur yang berhubungan dan relevan dengan penelitian ini. Sementara itu pendekatan yang digunakan didominasi oleh pendekatan kesejarahan.

2. Sumber Data.

Karena bentuknya yang merupakan penelitian kepustakaan, maka sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur-literatur sejarah yang berkaitan dengan sastra Persia pada masa pemerintahan Bani Abbasyah yang kemudian dikombinasikan dengan sumber-sumber yang berkaitan dengan dakwah Islamiah.

J. Sistimatika Pembahasan

Pembahasan ini dibagi kepada:

Bab I Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, batasan istilah, kajian terdahulu, kerangka pemikiran, hipotesa, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab II berisi sejarah sastra Persia pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah.
Bab III merupakan uraian tentang dakwah Islamiah.
Bab IV pembahasan pesan dakwah sastra Persia pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah
Bab V Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.


Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah ABBASSIYAH | ANALISA PESAN DAKWAH SASTRA PERSIA, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini. Salam saya Ibrahim Lubis. email:ibrahimstwo0@gmail.com
Daftar Pustaka dan Footnote


Daftar Pustaka



Ahmad, Baharuddin, Sastra Sufi. Pulau Pinang: Sinaran Bross, 1992.



Arifin, M., Psikologi Dakwah: Suatu Pengantar Studi . Jakarta: Bulan Bintang, 1977.



Esposito, John.L., Dunia Islam Modern I, terj Eva dkk. Bandung: Mizan , 2002.



_______________,Dunia Islam Modern jil 4.terj Eva, Mizan, Bandung, 2002.



Hasyimi, A., Jawahir Al-Adab, Daar Kutub, Beirut,1996.



Hodgson, Marshall, The Venture Of Islam, jil. I. Chicago: Chichago University Press, 1974.



Iskandar, Ahmad, Al-Wasith Fi Adab Al-Arabiy Wa Tarikhihi I. Ponorogo: Darussalam Press, 1999.



Jabraham dkk, Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita, 2001.



Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam. terj Ghufron, Jakarta: Raja Grapindo, 1999.



Nakosteen, Mehdi, Konstribusi Islam AtasDunia Intelektual Barat,terj Joko. Surabaya: Risalah Gusti, 1996.



Nasr, Seyyed Hosssein, Spritualitas Dan Seni Islam, terj Sutejo. Bandung: Mizan, 1987.



Nawawi, Hadari dan Mimi Martini, Penelitian Terpadu. Yogyakarta: Gajah Mada University Perss, 1996.



Makdisi, Goerge, The Rise Of Humanism In Classical Islam And The Chiristian West. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990.



Ma’luf, Louis, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam. Beirut: Daar Masyriq, 1982.



Rousydy, T. A. Latief, Retorika Komunikasi dan Informasi . Medan: Rainbow, 1985.



Suwondo, Tirto, Studi Sastra. Yogyakrta: Hanindita, 2005.



Syayib, Ahmad, Ushul An-Naqdi Al-Arabiy . Kairo: An-Nahdhah Al-Misriyah, 1964.



Ya’qub, Ali Mustafa, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi . Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Footnote

[1] John.L.Esposito, Dunia Islam Modern I, terj Eva dkk. Mizan, Bandung, 2002. hal 153.

[2] Baharuddin Ahmad. Sastra Sufi, Sinaran Bross, Pulau Pinang, 1992. hal 1.

[3] T. A. Latief Rousydy, Retotirak Komunikasi dan Informasi (Medan: Rainbow, 1985), h. 39.

[4] M. Arifin, Psikologi Dakwah: Suatu Pengantar Studi (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 19.

[5] Ali Mustafa Ya’qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 221.

[6] Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam, Daar Masyriq, Beirut, 1982. hal 5.

[7] Ahmad Iskandar, Al-Wasith Fi Adab Al-Arabiy Wa Tarikhihi I, Darussalam, Ponorogo, 1988. hal 4.

[8] A.Syayib,Jawahir. Hal 15.

[9] Tirto, Studi. Hal 5

[10] Jabraham dkk, Metodologi Penelitian Sastra, Hanindita,Yogyakarta, 2001.hal 10.

[11] Tirto Suwondo, Studi Sastra, Hanindita, Yogyakrta, 2005. hal 5.

[12] Ahmad Syayib, Ushul An-Naqdi Al-Arabiy, An-Nahdhah Al-Misriyah, Kairo, 1964. hal 6-12.

[13] Goerge Makdisi, The Rise Of Humanism In Classical Islam And The Chiristian West, Edinburgh University Press, Edinburgh, 1990. hal 120.

[14] Ibid.

[15] Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam, Daar Masyriq, Beirut, 1982. hal 5.

[16] Ahmad Iskandar, Al-Wasith Fi Adab Al-Arabiy Wa Tarikhihi I, Darussalam, Ponorogo, 1988. hal 4.

[17] A.Syayib, Jawahir. Hal 15.

[18] Tirto, Studi.. Hal 5

[19] A.Hasyimi, Jawahir Al-Adab, Daar Kutub, Beirut,1996. hal 331.

[20] A.Iskandar, al-Wasith. .hal 15.

[21] A.Hasyimi, Jawahirt. Hal 333.

[22] A,Syayib, Jawahir. .hal 309-330.

[23] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam. terj Ghufron, Raja Grapindo, Jakarta, 1999. hal 330.

[24] A.Hasyimi,Jawahir. hal 330.

[25] A.Syayib,op,cit, hal 333.

[26] Ibid.

[27] A.Hasyimi, op,cit.

[28] Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam AtasDunia Intelektual Barat,terj Joko, Risalah Gusti, Surabaya, 1996. hal 36.

[29] Seyyed Hosssein Nasr,Spritualitas Dan Seni Islam,terj Sutejo, Mizan, Bandung, 1987. hal 75.

[30] John.L.Esposito,Dunia Islam Modern jil 4.terj Eva, Mizan, Bandung, 2002. hal 153.

[31] Ira.M.Lapidus.op,cit. hal 342.

[32] Ibid. Hal 492.

[33] John,op,cit. Hal 154.

[34] Ibid.

[35] Mehdi, Konstribusi. Hal 221.

[36] John,Dunia Islam. Hal 360.

[37] Ibid.

[38] Ibid.

[39] Mehdi,Konstribusi. Hal 118.

[40] John, Dunia Islam. Hal 361.

[41] Ibid.

[42] Ibid.

[43] Marshall Hodgson, The Venture Of Islam (Chicago: Chichago University Press, 1974) jil. I, hal 338.

[44] T. A. Latief Rousydy, Retotirak Komunikasi dan Informasi (Medan: Rainbow, 1985), h. 39.

[45] M. Arifin, Psikologi Dakwah: Suatu Pengantar Studi (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 19.

[46] Ali Mustafa Ya’qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 221.

[47] Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terpadu, Gajah Mada University Perss, Yogyakarta, 1996, hlm. 173.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved