At‑Tufi lahir diperkirakan pada tahun 657 H (1259 M)[11] dan meninggal pada tahun 716 H (1318 M).[12] Berdasarkan keterangan ini, jelaslah bahwa tokoh ini lahir setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke kota Bagdad yang dipimpin oleh Khulagu Khan pada tahun 1258 M.[13] Jatuhnya kota Bagdad oleh serangan tentara Mongol tersebut merupakan peristiwa yang paling menentukan dalam sejarah kaum muslimin,sebuah pertanda awal kehancuran kaum muslimin. Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar‑Rabi' Sulaiman bin Abd al‑Qawi bin Abd al‑Karim bin Sa'id at‑Tufi as‑Sarsari al‑Bagdadi al‑Hanbali, yang terkenal dengan nama at‑Tufi. Sebenarnya Tufi adalah nama sebuah desa di daerah sarsar Irak,[9] dan di desa itulah tokoh ini dilahirkan. Di samping tokoh tersebut terkenal dengan nama at‑Tufi, juga populer dengan nama Ibn Abu 'Abbas
Pendahuluan
Sketsa Biografi Singkat dan Karya
Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar‑Rabi' Sulaiman bin Abd al‑Qawi bin Abd al‑Karim bin Sa'id at‑Tufi as‑Sarsari al‑Bagdadi al‑Hanbali, yang terkenal dengan nama at‑Tufi. Sebenarnya Tufi adalah nama sebuah desa di daerah sarsar Irak,[9] dan di desa itulah tokoh ini dilahirkan. Di samping tokoh tersebut terkenal dengan nama at‑Tufi, juga populer dengan nama Ibn Abu 'Abbas.[10]
At‑Tufi lahir diperkirakan pada tahun 657 H (1259 M)[11] dan meninggal pada tahun 716 H (1318 M).[12] Berdasarkan keterangan ini, jelaslah bahwa tokoh ini lahir setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke kota Bagdad yang dipimpin oleh Khulagu Khan pada tahun 1258 M.[13] Jatuhnya kota Bagdad oleh serangan tentara Mongol tersebut merupakan peristiwa yang paling menentukan dalam sejarah kaum muslimin,sebuah pertanda awal kehancuran kaum muslimin. Jatuhnya Bagdad di atas dilukiskan sebagai seluruh dunia Islam gelap tak berdaya. Tidak seorangpun yang dapat membayangkan bencana yang lebih dahsyat daripada malapetaka ini. Akibatnya adalah integritas politik dunia Islam betul‑betul berantakan.[14]
Di samping informasi bahwa tokoh yang menjadi obyek pembahasan tulisan ini hidup dalam situasi integritas politik dunia Islam yang tercabik‑cabik, juga at‑Tufi hidup dalam masa kemunduran Islam, terutama kemunduran hukum Islam. Fase kemunduran hukum Islam berlangsung lama yaitu dari pertengahan abad keempat Hijrah sampai akhir abad ketiga belas Hijrah. Pada fase tersebut para ulama kurang berani berinisiatif untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak dan menggali hukum‑hukum Islam langsung dari sumber‑sumbernya yang pokok, yaitu Qur'an dan Sunnah, atau mencari hukum suatu persoalan melalui salah satu dalil syara'. Mereka merasa cukup mengikuti pendapat‑pendapat yang ditinggalkan oleh imam‑imam mujtahid sebelumnya, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad. Berbagai faktor, baik politik, mental, sosial dan sebagainya telah mempengaruhi kegiatan mereka dalam lapangan hukum, sehingga tidak mempunyai fikiran independen, melainkan harus bertaklid.[15]
Pergolakan politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri Islam ketika itu menjadi beberapa negeri kecil, dan negeri‑negeri tersebut selalu sibuk perang, fitnah‑memfitnah dan kehilangan ketenteraman masyarakat. Salah satu implikasinya ialah kurangnya perhatian terhadap kamajuan ilmu.
Pada fase sebelumnya telah timbul mazhab‑mazhab hukum Islam yang mempunyai metode dan cara berpikir sendiri di bawah seorang imam mujtahid. Sebagai kelanjutannya ialah bahwa pengikut‑pengikut mazhab‑mazhab tersebut berusaha membela mazhabnya sendiri dan memperkuat dasar‑dasar mazhab maupun pendapat‑pendapatnya, dengan cara mengemukakan kebenaran pendirian mazhabnya dan, menyalahkan pendirian mazhab lain atau dengan cara memuji‑muji imam pendiri mazhab yang dianutnya. Dengan usaha‑usaha tersebut, seseorang tidak lagi mengarahkan perhatiannya kepada sumber hukum yang utama, yaitu Qur'an dan Hadis, dan baru memakai nas‑nas kedua sumber ini untuk memperkuat pendapat imamnya, meskipun kadang‑kadang harus melalui pemahaman yang tidak semestinya. Dengan demikian, kepribadian seseorang menjadi lebur dalam golongannya dan kebebasan berpikir menjadi hapus. Orang‑orang berilmu akhirnya menjadi orang‑orang awam yang mencukupkan dengan taqlid. Sudah barang tentu fanatik terhadap suatu pikiran menyebabkan pikiran seseorang kaku.
Pembukuan pendapat‑pendapat mazhab menyebabkan orang mudah untuk mencarinya. Pada fase‑fase sebelumnya para fuqaha harus berijtihad karena dihadapkan kepada hal‑hal yang tidak ada hukumnya. Setelah ijtihad‑ijtihad mereka dibukukan, bagi orang‑orang yang datang kemudian hanya mencukupkan dengan pendapat yang telah ada .
Pada masa‑masa sebelumnya, hakim‑hakim terdiri dari orang‑orang yang bisa melakukan ijtihad. Akan tetapi pada masa selanjutnya hakim‑hakim diangkat dari orang‑orang yang bertaqlid, agar mereka memakai mazhab tertentu dan terputus hubungannya dengan mazhab yang tidak dipakai di peradilan. Apalagi hakim‑hakim yang bisa berijtihad seringkali keputusannya menjadi sasaran kritik penganut‑penganut mazhab tertentu. Dengan terikatnya seorang hakim pada mazhab fiqh yang disukai oleh penguasa negara menjadi sebab orang banyak merasa puas terhadap mazhab tersebut.[16]
Oleh karena kaum muslimin tidak mengadakan jaminan agar ijtihad jangan sampai digunakan oleh orang‑orang yang tidak berhak, timbullah kekacauan dalam persoalan ijtihad dan mengeluarkan pendapat. Orang‑orang yang tidak berhak berijtihad ikut melakukan ijtihad, dan orang‑orang awam ikut‑ikut memberikan fatwa, dan dengan demikian mereka telah mempermainkan nas‑nas Syari'at dan kepentingan orang banyak. Akibatnya ialah banyak fatwa yang berbeda‑beda dan bersimpang ‑siurnya keputusan‑keputusan hakim, meskipun kadang‑kadang masih di negeri yang satu dan dalam persoalan yang sama, sedang kesemuanya dianggap sebagai hukum‑hukum syara'. Setelah melihat kekacauan dalam lapangan hukum tersebut, para ulama pada akhir abad keempat Hijrah menetapkan penutupan pintu ijtihad dan membatasi kekuasaan para hakim dan para pemberi fatwa dengan pendapat‑pendapat yang ditinggalkan oleh ulama‑ulama sebelumnya. Akhirnya pintu ijtihad resmi ditutup.[17]
Tanda‑tanda kebekuan dan kemunduran yang panjang tersebut terlihat pada kenyataan‑kenyataan berikut : Sebagai akibat para fuqaha tidak melakukan ijtihad, baik karena malas dan tidak adanya daya‑kreasi baru, atau karena menerima tertutupnya pintu ijtihad sebagai suatu keputusan ijma', kegiatan para fuqaha hanya berkisar membahas pendapat‑pendapat imam‑imam mujtahid yang lalu, seperti penyusunan masalah‑masalah yang sudah ada, memilah‑milah antara pendapat‑pendapat yang kuat dengan pendapat yang lemah, dan menyusun ikhtisar‑ikhtisar kitab fiqh atau "matan‑matan" yang kadang‑kadang merupakan rumus‑rumus yang sukar dimengerti, kemudian diberikan penjelasan yang terkenal dengan nama "syarah", dan penjelasan ini diberi penjelasan lagi, atau diberi catatan‑catatan yang terkenal dengan nama "hasyiah" atau "ta'liqat". Corak lain dari cara penyusunan kitab dari masa kemunduran ialah penghimpunan fatwa‑fatwa dalam satu mazhab. Akan tetapi kitab‑kitab fatwa ini merupakan suatu perbendaharaan yang sukar dinilai dalam hukum Islam.
Akibatnya hukum Islam menjadi terisolasi dari persoalan kehidupan, karena persoalan kehidupan ini akan selalu muncul, sedang hukum‑hukum Islam harus dicukupkan pada ijtihad‑ijtihad dari masa sebelumnya, dan hukum Islam hanya bersifat teori semata dan tidak bisa merespons masalah‑masalah baru dalam kehidupan manusia. Dalam pada itu pusat ilmu‑ilmu pada waktu itu terutama hukum Islam berpindah‑pindah, dari kota‑kota Bagdad, Bukhara dan Naisabur, ke kota‑kota Mesir, Syam, India, Asia Kecil dan Afrika.
Meskipun masa tersebut dinamakan masa kemunduran, pada masa ini masih terdapat fuqaha‑fuqaha bebas yang menentang taqlid dan menyerukan kembali kepada Qur'an dan Hadis. Usaha‑usaha mereka ini berhasil dan besar pengaruhnya terhadap masa‑masa berikutnya. Di antara fuqaha‑fuqaha bebas adalah Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) yang mempunyai karya‑karya baru. Di antaranya ialah "fatwa‑fatwanya" yang merupakan segi penerapan praktis hukum‑hukum Islam, karena fatwa‑fatwanya tersebut merupakan jawaban‑jawaban terhadap peristiwa yang terjadi pada masanya. Tokoh lain ialah Ibnul Qayyim (wafat 751) yang menulis buku‑buku hukum Islam yang sangat bernilai, seperti A'lam al‑Muwaqi'in.[18] Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diduga bahwa at‑Tufi hidup segenerasi dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu al‑Qayyim al‑Jauziyah. Menurut suatu keterangan memang bahwa at‑Tufi adalah salah seorang murid Ibnu Taimiyah.[19]
Karya‑karya tulis at‑Tufi dimaksud dapat diklasifikasikan kepada lima bidang,yaitu kelompok ilmu Alquran dan Hadis, Kelompok ilmu usuluddin (teologi), kelompok fiqh, kelompok usul al‑fiqh dan kelompok bahasa, sastra dan lain‑lain.
Teori at-Tufi tentang Maslahat
Pandangan at‑Tufi tentang maslahat sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan adalah berasal dari pembahasan (syarah) hadis nomor 32 hadis Arba'in Nawawi. Hadis dimaksud adalah berbunyi "la darara wa la dirara" artinya "tidak memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan orang lain". Bahasan at‑Tufi mengenai hadis nomor 32 tersebut dikutip secara utuh dan lengkap yang bersumber dari bahasan Syaikh Jamaluddin al‑Qasimi seorang ulama Damaskus yang telah berupaya memisahkan bahasan at‑Tufi di dalam hadis tersebut, kemudian menukilkannya sebagai risalah tersendiri. Ia juga berperan sebagai pensyarah di dalam risalah tersebut. Kemudian majalah al‑Manar No. IX/10, Oktober 1906 memuat risalah at‑Tufi berikut syarahnya secara lengkap.[20]
Prof. Dr. Mustafa Zaid, guru besar pada Universitas Dar al‑Ulum memilih sebuah bahasan at‑Tufi dan pendapatnya tentang maslahat sebagai judul risalahnya. Referensi yang dijadikan rujukan untuk penelitian Mustafa Zaid, di samping untuk memperkuat risalah at‑Tufi, ia menggunakan dua manuskrip yang tersimpan di perpustakaan at‑Taimuria milik Dar al‑Kutub al‑Misriyah, yang memuat syarah at‑Tufi mengenai hadis Arba'in Nawawi, manuskrip pertama terdaftar pada nomor 328 kelompok hadis. dan kedua terdaftar pada nomor 446 kelompok hadis. Ia juga menggunakan risalah Syaikh Jamaluddin al‑Qasimi, majalah al‑Manar No. IX/10, 1906. Dalam kaitan ini ia mengadakan studi komparatif dan penelitian di antara sumber‑sumber tersebut mengenai risalah at‑Tufi sehingga karyanya tersebut membuahkan tulisan mengenai risalah at‑Tufi yang disunting secara bagus.[21]
Sumber yang penulis gunakan dalam pembahasan tulisan ini adalah risalah at‑Tufi yang dimuat dalam tiga sumber, yaitu buku al‑Maslahat fi at‑Tasyri'i al‑Islami wa Najamuddin at‑Tufi pada bagian lampiran halaman 13‑48 karya Mustafa Zaid yang diterbitkan oleh Dar al‑Fikr Kairo pada tahun 1954, dan buku Masadir at‑Tasyri'i al‑Islami Fima la Nassa fih halaman 105‑144 karya Abdul Wahhab Khallaf yang diterbitkan oleh Dar al‑Qalam Kuwait pada tahun 1972, dan juga Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalat fi Ri'ayat al-Maslahat li al-Imam at-Tufi terbitan Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993, hlm.13-47. Ketiga buku tersebut memuat teks risalah at‑Tufi tentang Syarh al-Arba'in an-Nawawiyah hadis nomor 32.
Dalil Syara'
Menurut at-Tufi bahwa, "Sesungguhnya dalil‑dalil syari'at itu terdiri dari sembilan belas macam. Setelah diadakan penelitian, semua pendapat ulama' telah tercakup di dalam macam‑macam tersebut. Sembilan belas dalil tersebut adalah : (1).al‑Kitab, (2). as‑Sunnah, (3). Ijma' al‑Ummah, (4). Ijma' ahl al‑Madinnah, (5). al‑Qiyas, (6). Perkataan sahabat Rasul, (7). Masalih al‑Mursalah, (8). al‑Istishab, (9). al‑Bara'ah al‑Asliyyah, (10). al‑'Awaid, (11).Istiqra',(12). Saddu az‑Zara'i, (13). Istidlal, (14). al‑Istihsan, (15).al Akhzu bi al‑Akhaffi (mengambil yang lebih ringan),(16). al‑'Ismah, (17). ijma' ahl al‑kufah, (18). Ijma' ahl al‑'Itrah (keluarga Nabi), (19). Ijma' al‑Khulafa' al‑Rasyidin.[22]
Pengertian sabda Rasul tersebut ialah menetapkan maslahat dan menafikan (meniadakan) mudarat. Sebab, mudarat adalah kerusakan. Jika dilarang oleh syari'at, maslahat haruslah dipertahankan karena keduanya merupakan dua hal yang bertentangan bagai air dan minyak.[23]
Dari sembilan belas dalil tersebut , dalil terkuat adalah nas dan ijma'. Keduanya ini terkadang selaras dan terkadang bertentangan dengan maslahat. Jika selaras dengan maslahat, tidak perlu dipertentangkan lagi. Hal ini karena telah adanya kesepakatan tiga dalil sekaligus bagi suatu hukum, yakni nas, ijma' dan maslahat, yang diambil dari pengertian sabda Rasulullah saw. la dara wa la dirara. Jika antara keduanya bertentangan, yang harus didahulukan adalah penggunaan maslahat daripada nas dan ijma'. Caranya mengadakan takhsis atau tabyin terhadap pengertian nas dan ijma', bukan membekukan berlakunya salah satu dari keduanya. Sama halnya dengan penjelasan Sunnah terhadap ayat Alquran, kemudian mengamalkan pengertian Sunnah.[24]
Ringkasnya, nas dan ijma' itu terkadang tidak mengandung segi mudarat dan mafsadat, atau memang mengandung mudarat. Jika tidak mengandung madarat sama sekali, berarti keduanya sama dengan maslahat. Akan tetapi jika mengandung madarat , terkadang madarat itu bersifat menyeluruh atau sebagian . Jika mudarat yang ada itu bersifat keseluruhan, hal itu termasuk pengecualian dari hadis Rasulullah saw. la darara wa la dirara, seperti yang terdapat di dalam masalah hadd, uqubat dan jinayat. Jika pengertian darara (mudarat) hanya sebagian, jika terdapat dalil yang menguatkan, hendaknya melakukan perbuatan sesuai dengan dalil yang menguatkan tersebut. Apabila terdapat dalil khusus yang men‑takhsis, wajib di‑takhsis dengan pengertian hadis Rasul la darara wa la dirara, dengan pengertian mengadakan kompromi antara dalil-dalil tersebut.[25]
Pengertian Maslahat.
Dalam pandangan at-Tufi Bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun dari kata salah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanya maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian, maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.[26]
Bidang Hukum Berlakunya Maslahat at-Tufi
Mengenai lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah maslahat, sebagaimana telah kami tetapkan. Maslahat dan dalil‑dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nas, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum daruri yang berjumlah lima. Hukum‑hukum kulli yang daruri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, dan contoh‑contoh lain yang serupa dalam hal dalil‑dalil syari'at senada dengan maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya, jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat, lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar‑benar hakiki. Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah maslahat atas dalil‑dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at, sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil‑dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.[27]
At-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah‑masalah yang berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenis ‑ bukan pada masalah‑masalah yang berhubungan dengan ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai menolak syari'at, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan. Berbeda halnya dengan kaum mukallaf, hak‑hak mereka di dalam memutuskan hukum adalah perpaduan antara siyasah dan syari'ah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan untuk maslahat umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir mereka.[28]
Kami tidak mengatakan bahwa syari'at lebih mengetahui maslahat‑maslahat manusia karena dalil‑dalilnya harus diambil dan diamalkan sesuai dengan pengertiannya. Kami menetapkan bahwa maslahat adalah termasuk salah satu dalil syari'at, bahkan boleh dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya kami lebih mendahulukan maslahat.[29]
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah menurut at-Tufi bahwa maslahat‑maslahat yang tidak dapat diketahui adalah maslahat yang terkandung di dalam masalah ibadat. Namun, mengenai maslahat yang bertalian dengan kehidupan sosial kaum mukallaf dan hak‑hak mereka, hal ini dapat diketahui oleh mereka melalui akal pikiran mereka. Dengan kata lain, jika kami tidak melihat dalil syari'at yang tidak menyebutkan maslahatnya, kami berpegang bahwa syari'at telah membolehkan kami untuk mencari maslahat sendiri.
Maslahat at-Tufi Sebagai Sebuah Metode
Pandangan at‑Tufi ‑ tentang maslahat ‑ nampaknya bertitik tolak dari konsep maqasid at‑tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer,"Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah."[30]
Karena begitu pentignya maqasid al‑syariah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan maqasid al‑syariah sebagai salah satu kriteria (di samping kriteria lainnya) bagi mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari konsep maqasid al‑syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al‑syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. untuk memahami hakikat dan peranan maqasid al‑syari'ah, berikut akan diuraikan secara ringkas teori tersebut.
Imam al‑Haramain al‑Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama usul al‑fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al‑syari'ah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perint ah‑perintah dan larangan‑larangan‑Nya.[31]
Kemudian al‑Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqasid al‑syari'ah itu dalam hubungannya dengan illat, asl dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: asl yang masuk kategori daruriyat (primer), al‑hajat al‑ammah (sekunder), makramat (tersier), sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya.[32] Dengan demikian pada prinsipnya al‑Juwaini membagi asl atau tujuan tasyri' itu menjadi tiga macam, yaitu daruriyat, hajiyat dan makramat (tahsiniyah).
Pemikiran al‑Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridnya, al‑Gazali. Al‑Gazali menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan pembahasan al‑munasabat al‑maslahiyat dalam qiyas[33] yang dalam pembahasannya yang lain, ia menerangkan dalam tema istislah.[34] Maslahat menurut al‑Gazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[35] Kelima macam maslahat di atas bagi al‑Gazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier.[36] Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqasid al‑syari'ah sudah mulai tampak bentuknya.
Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqasid al‑syari'ah adalah Izzuddin ibn Abd al‑Salam dari kalangan Syafi'iyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat.[37] Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas, yaitu: daruriyat, hajiyat, dan takmilat atau tatimmat.[38] Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.[39] Berdasarkan penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa Izzuddin ibn Abd al‑Salam telah berusaha mengembangkan konsep maslahat yang merupakan inti pembahasan dari maqasid al‑syari'ah.
Pembahasan tentang maqasid al‑syari'ah secara khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al‑Syatibi dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya al‑Muwafaqat yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqasid al‑syari'ah. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum‑hukum‑Nya adalah untuk terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut.[40] Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.[41] Yang dimaksud maslahat menurutnya seperti halnya konsep al‑Gazali, yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[42]
Konsep maqasid al‑syari'ah atau maslahat yang dikembangkan oleh al‑Syatibi di atas sebenarnya telah melampaui pembahasan ulama abad‑abad sebelumnya. Konsep maslahat al‑Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian syari'ah dan bukan hanya aspek yang tidak diatur oleh nas. Sesuai dengan pernyataan al‑Gazali, al‑Syatibi merangkum bahwa tujuan Allah menurunkan syari'ah adalah untuk mewujudkan maslahat. Meskipun begitu, pemikiran maslahat al‑Syatibi ini tidak seberani gagasan at‑Tufi.[43]
Pandangan at‑Tufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang maslahat.[44] At‑Tufi berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis) Alquran , sunnah dan ijma' jika penerapan nas Alquran, sunnah dan ijma' itu akan menyusahkan manusia.[45] Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya maslahat at‑Tufi tersebut adalah mu'amalah.[46]
At‑Tufi membangun pemikirannya tentang maslahat tersebut berdasarkan atas empat prinsip[47], yaitu :
1. Akal bebas menentukan maslahat dan kemafsadatan, khususnya dalam lapangan mu'amalah dan adat. Untuk menentukan suatu maslahat atau kemafsadatan cukup dengan akal. Pendirian at‑Tufi bahwa akal semata, tanpa harus melalui wahyu mampu mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi fondasi yang pertama dalam piramida pemikirannya. Akan tetapi, at‑Tufi membatasi kemandirian akal itu dalam bidang mu'amalah dan adat istiadat, dan ia melepaskan ketergantungan atas petunjuk nas, maslahat atau mafsadat pada kedua bidang itu. Pandangan ini bertolak belakang dengan mayoritas ulama yang menyatakan bahwa sekalipun maslahat dan kemafsadatan itu dapat dicapai dengan akal, maslahat itu harus mendapatkan justifikasi dari nas atau ijma', baik bentuk, sifat maupun jenisnya.
2. Sebagai kelanjutan dari pendapatnya yang pertama di atas, at‑Tufi berpendapat bahwa maslahat merupakan dalil syar'i mandiri yang kehujjahannya tidak tergantung pada konfirmasi nas, tetapi hanya tergantung pada akal semata. Dengan demikian, maslahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu untuk kehujjahan maslahat tidak diperlukan dalil pendukung, karena maslahat itu didasarkan kepada pendapat akal semata. Bagi at‑Tufi, untuk menyatakan sesuatu itu maslahat atas dasar adat‑istiadat dan eksperimen, tanpa membutuhkan petunjuk nas.
3. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan mu'amalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadat (mahdah) dan ukuran‑ukuran yang ditetapkan syara', seperti salat zuhur empat rakaat, puasa ramadan selama satu bulan, dan tawaf itu dilakukan tujuh kali, tidak termasuk objek maslahat, karena masalah‑masalah tersebut merupakan hak Allah semata. Bagi at‑Tufi, maslahat ditetapkan sebagai dalil syara' hanya dalam aspek mu'amalah (hubungan sosial) dan adat‑istiadat. Sedangkan dalam ibadat dan muqaddarat, maslahat tidak dapat dijadikan dalil. Pada kedua bidang tersebut nas dan ijma'‑lah yang dijadikan referensi harus diikuti. Perbedaan ini terjadi karena dalam pandangan at‑Tufi ibadah merupakan hak prerogatif Allah; karenanya, tidak mungkin mengetahui jumlah, cara, waktu dan tempatnya kecuali atas dasar penjelasan resmi langsung dari Allah. Sedangkan dalam lapangan mu'amalah dimaksudkan untuk memberikan kemanfaatan dan maslahat kepada umat manusia. Oleh karena itu, dalam masalah ibadat Allah lebih mengetahui, dan karenanya kita harus mengikuti nas dan ijma' dalam bidang ini. Mengenai masalah hubungan sosial, manusialah yang lebih mengetahui maslahatnya. Karenanya mereka harus berpegang pada maslahat ketika maslahat itu bertentangan dengan nas dan ijma'.
4.Maslahat merupakan dalil syara' paling kuat. Oleh sebab itu, at‑Tufi juga menyatakan apabila nas dan ijma' bertentangan dengan maslahat, didahulukan maslahat dengan cara pengkhususan (takhsis) dan perincian (bayan) nas tersebut. Dalam pandangan at‑Tufi secara mutlak maslahat itu merupakan dalil syara' yang terkuat. Bagi at‑Tufi, maslahat itu bukan hanya merupakan dalil ketika tidak adanya nas dan ijma', juga hendaklah lebih diutamakan atas nas dan ijma' ketika terjadi pertentangan antara keduanya. Pengutamaan maslahat atas nas dan ijma' tersebut at‑Tufi lakukan dengan cara bayan dan takhsis; bukan dengan cara mengabaikan atau meninggalkan nas sama sekali, sebagaimana mendahulukan sunnah atas Alquran dengan cara bayan. Hal demikian at‑Tufi lakukan karena dalam pandangannya, maslahat itu bersumber dari sabda Nabi saw.:"tidak memudaratkan dan tidak dimudaratkan". Pengutamaan dan mendahulukan maslahat atas nas ini ditempuh baik nas itu qat'i dalam sanad dan matan‑nya atau zanni keduanya. Untuk mendukung keempat azas atau prinsip maslahat tersebut, at‑Tufi mengemukakan alasan‑alasan nas baik secara global maupun secara rinci.[48]
Sejak awal syari'ah Islam sebenarnya tidak memiliki tujuan lain kecuali kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syari'ah Islam dicanangkan demi kebahagiaan manusia, lahir‑batin; duniawi‑ukhrawi, sepenuhnya mencerminkan maslahat. Akan tetapi keterikatan yang berlebihan terhadap nas, seperti dipromosikan oleh faham ortodoksi, telah membuat prinsip maslahat hanya sebagai jargon kosong, dan syari'ah‑yang pada mulanya adalah jalan‑telah menjadi jalan bagi dirinya sendiri.[49]
Sesungguhnya pendirian yang mengatakan bahwa hukum Islam, atau syari'at Islam, harus bersumber pada Alquran dan hadis tidak salah. Pernyataan itu bisa salah tetapi juga bisa benar. Tergantung pada apa yang dimaksud dengan Alquran dan hadis Nabi itu. Jika yang dimaksud dengan Alquran dan hadis sebagai sumber hukum adalah ayat‑ayat Alquran dan hadis‑hadis Nabi yang ‑ secara langsung atau tidak ‑ mengemukakan perihal sistem keyakinan dan sistem nilai( seperti nilai keadilan, persamaan manusia di depan hukum, persaudaraan, dan sebagainya), pernyataan itu benar. Akan tetapi jika yang dimaksud sebagai dasar hukum Islam adalah ayat‑ayat Alquran atau hadis Nabi yang pada dasarnya ia sendiri merupakan ayat dan hadis hukum, pernyataan tersebut memang tidak tepat.
Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang harus tidak disebut hukum, tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem nilai yang dengan sadar dianut sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan: maslahat, keadilan. Proses pendasaran hukum atas hukum hanya bisa dimengerti dalam konteks formal, misalnya melalui cara qiyas. Akan tetapi, seperti diketahui, qiyas haruslah dengan illat, sesuatu yang lebih merupakan patokan hukum, bukan hukum itu sendiri. Dalam bahasa kalam, itulah yang disebut dengan "daur", yang seharusnya tidak boleh terjadi. Akan tetapi itulah struktur pemikiran hukum Islam selama ini. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila dunia pemikiran hukum Islam ditandai oleh ciri dan watak yang sangat patut dipertanyakan.[50] Tidak mengherankan apabila wajah fiqh selama ini tampak menjadi dingin, suatu wajah fiqh yang secara keseluruhan kurang menunjukkan pemihakan (engagement) terhadap kepentingan masyarakat manusia.[51]
Dengan demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam adalah maslahat, maslahat manusia universal, atau‑ dalam ungkapan yang lebih operasional‑ "keadilan sosial". Tawaran teoritik (ijtihadi) apa pun dan bagaimana pun, baik didukung dengan nas atau pun tidak, yang bisa menjamin terwujudnya maslahat kemanusiaan, dalam kacamata Islam adalah sah, dan umat Islam terikat untuk mengambilnya dan merealisasikannya. Sebaliknya, tawaran teoritik apa pun dan yang bagaimana pun, yangsecara meyakinkan tidak mendukung terjaminnya maslahat, lebih lebih yang membuka kemungkinan terjadinya kemudaratan, dalam kacamata Islam, adalah fasid, dan umat Islam secara orang perorang atau bersama‑sama terikat untuk mencegahnya.[52] Dengan paradigma di atas, kaidah yang selama ini dipegang oleh dunia fiqh yang berbunyi: Apabila suatu hadis teks ajaran telah dibuktikan kesahihannya, itulah mazhabku, secara meyakinkan perlu ditinjau kembali. Kaidah inilah yang secara sistematis telah menggerakkan dunia pemikiran, khususnya pemikiran hukum, dalam Islam lebih mengutamakan bunyi harfiyah nas daripada kandungan substansialnya. Atau, dalam dunia pemikiran fiqh, lebih mengutamakan ‑ atau bahkan hanya memperhatikan‑ bunyi ketentuan legal‑formal, daripada tuntutan maslahat (keadilan), yang notabene merupakan jiwanya. Sebagai gantinya, kita perlu menegakkan kaidah yang berbunyi : (jika tuntutan maslahat, keadilan, telah menjadi sah‑ melalui kesepakatan dalam musyawarah‑ itulah mazhabku.[53]
Dengan tawaran kaidah yang lebih menekankan pada substansi, yaitu maslahat‑keadilan, bukan berarti segi formal dan tekstual dari ketentuan hukum harus diabaikan. Ketentuan legal‑formal‑tekstual yang sah, bagaimana pun, harus menjadi acuan tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama, kalau tidak ingin menjadi anarki. Akan tetapi, pada saat yang sama, haruslah disadari sedalam‑dalamnya bahwa patokan legal‑formal dan tekstual hanyalah merupakan cara bagaimana cita maslahat, keadilan, itu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Ini berarti bahwa ketentuan formal‑tekstual, yang bagaimana pun dan datang dari sumber apa pun, haruslah selalu terbuka dan atau diyakini terbuka untuk, kalau perlu, diubah atau diperbarui sesuai dengan tuntutan maslahat, cita keadilan.
Apabila jalan pikiran di atas disepakati, secara mendasar kita pun perlu meninjau kembali pemahaman kita terhadap konsep usul fiqh tentang apa yang disebut qat'i (yang pasti dan tidak bisa diubah‑ubah oleh ijtihad) dan zanni (yang tidak/kurang pasti dan bisa diubah‑ubah oleh ijtihad) dalam hukum Islam. Fiqh selama ini mengatakan bahwa yang qat'i adalah apa‑apa (hukum‑hukum) yang secara sarih ditunjuk oleh nas Alquran/hadis Nabi. Sedangkan yang Zanni adalah apa‑apa (hukum) yang petunjuk nasnya kurang/tidak sarih, ambigu dan mengandung pengertian yang bisa berbeda‑beda.[54] Sesungguhnya, yang qat'i dalam hukum Islam ‑ sesuai dengan makna harfiyahnya: sebagai sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah‑ubah dan karena itu bersifat fundamental‑ adalah nilai maslahat atau keadilan itu sendiri, yang nota bene merupakan jiwanya hukum. Sedang yang masuk kategori zanni (tidak pasti dan bisa diubah‑ubah) adalah seluruh ketentuan batang tubuh atau teks, ketentuan normatif, yang dimaksudkan sebagai upaya yang menerjemahkan yang qat'i (nilai maslahat atau keadilan) dalam kehidupan nyata. Sehingga kalau dikatakan bahwa ijtihad tidak bisa terjadi untuk daerah qat'i, dan hanya bisa dilakukan untuk hal‑hal yang zanni, itu memang benar adanya. Cita "maslahat dan keadilan" sebagai hal yang qat'i dalam hukum Islam, memang tidak bisa‑ bahkan juga tidak perlu‑ untuk dilakukan ijtihad guna menentukan kedudukan hukumnya, apakah wajib, mubah atau bagaimana.
Yang harus diijtihadi dengan seluruh kemampuan mujtahid adalah hal‑hal yang zanni, yang tidak pasti, yang memang harus diperbarui terus‑menerus sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu yang juga terus bergerak. Yakni, pertama, definisi tentang maslahat, keadilan, dalam konteks ruang dan aktu nisbi dimana kita berada; kedua, kerangka normatif yang memadai sebagai pengejawantahan dari cita maslahat‑ keadilan dalam konteks ruang dan waktu tertentu; dan ketiga, kerangka kelembagaan yang memadai bagi sarana aktualisasi norma‑norma maslahat‑keadilan, seperti dimaksud pada poin pertama dan kedua, dalam realitas sosial yang bersangkutan.
Untuk mempermudah pemahaman , dapat dikemukakan satu ilustrasi syari'at zakat. Tujuan disyari'atkan zakat adalah jelas : terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan bersama dengan prinsip yang kuat membantu yang lemah. Di sini tidak ada keperluan sedikit pun untuk melakukan ijtihad guna menentukan hukumnya menegakkan keadilan sebagaimana dicita‑citakan oleh konsep zakat tersebut.[55]
Yang perlu dilakukan ijtihad adalah dalam hal‑hal berikut ini: Pertama, mendefinisikan keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan dalam konteks ruang dan waktu tertentu, misalnya konteks bangsa Indonesia dalam dasawarsa kini dan mendatang; kedua, berapa beban yang harus ditanggung oleh mereka yang mampu (miqdar al‑zakah), atas basis kekayaan apa saja (mahall al‑zakah), kapan harus dibayar (waqt al‑ada), dan siapa‑siapa serta dimana alamatnya yang secara riil dan definitif harus diuntungkan oleh zakat, dan sektor apa saja yang secara riil dan definitif harus didukung oleh dana zakat (masraf al‑zakah), dan sebagainya; dan ketiga, kelembagaan apa saja yang seharusnya tersedia dalam realitas sosial politik Indonesia yang bisa mendukung terwujudnya keadilan sosial dengan zakat tersebut; bagaimana mekanisme pembentukannya, kerjanya dan kontrolnya.
Bagaimana ketentuan yang terdapat dalam teks ajaran atau dalam pendapat para ulama mengenai persoalan pada ketiga point tersebut, tidak ada yang qat'i. Semuanya zanni, dan karena itu bisa‑bahkan tidak terelakkan‑ untuk disesuaikan, diubah, kapan saja tuntutan maslahat‑keadilan menghendaki. Misalnya, tentang amwal zakawi; tidaklah adil untuk zaman sekarang, kita hanya mengenakan pungutan sedekah wajib atas kurma dan anggur, sementara "kelapa sawit", apel, kopi, tembakau", yang tidak kalah ekonomisnya, kita bebaskan begitu saja. Juga, tidak adil kita kenakan beban sedekah wajib atas pendapatan sektor pertanian, sementara dari sektor industri dan jasa justru kita merdekakan.[56]
Demikian pula, tidak sesuai lagi dengan maslahat yang nyata kalau sabilillah, sebagai salah satu dari mustahik zakat, hanya didefinisikan dengan "tentara di medan perang melawan orang kafir", sementara aparat penegak hukum seperti polisi,jaksa,hakim dan pembela hukum, tetap kita letakkan di luar orbit missi ketuhanan untuk tegakkan orde keadilan. Lalu akibatnya kita semua tahu, rakyat cenderung melepaskan mereka dari tuntutan moral. Mereka sendiri cenderung merasa bebas dari tuntutan itu. Dengan meletakkan mereka pada barisan sabilillah, kita telah memberikan justifikasi dan sekaligus kepedulian (kritik) sosial kita terhadap peran dan aktivitas mereka, dengan acuan nilai ketuhanan, keadilan.
Kalau acuan hukum‑ juga hukum dalam kacamata Islam, yakni syari'at‑ adalah maslahat keadilan, pertanyaan yang akan segera muncul adalah, bagaimana "maslahat, atau keadilan" itu dapat didefinisikan, dan siapa punya otoritas untuk mendefinisikannya. Tidak syak lagi, pertanyaan ini sangat penting dan menentukan. Gagal menjawab pertanyaan ini, akan kembali berimplikasi untuk memperkatakan bahwa maslahat‑keadilan sebagai tujuan syari,at (hukum), telah dijadikan tujuan bagi dirinya sendiri. Maslahat keadilan hanya jargon kosong belaka.
Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu membedakan antara maslahat yang bersifat "individu subyektif" dengan maslahat yang bersifat "sosial‑obyektif".Maslahat yang bersifat individual‑subyektif, adalah maslahat yang menyangkut kepentingan seseorang yang secara eksistensial bersifat independen, dan terpisah, dengan kepentingan orang lain. Dalam maslahat kategori ini, karena sifatnya yang sangat subyektif, yang berhak menentukan dan sekaligus sebagai hakimnya tentu saja adalah pribadi bersangkutan. Tidak ada kekuatan kolektif mana pun yang berhak menentukan apa yang secara personal‑subyektif dianggap maslahat oleh seseorang.[57]
Sedangkan maslahat yang bersifat sosial‑obyektif adalah maslahat yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, otoritas yang berhak memberikan penilaian yang dan sekaligus menjadi hakimnya tidak lain adalah orang banyak yang bersangkutan, melalui mekanisme syura untuk mencapai kesepakatan (ijma'). Jadi, apa yang disepakati oleh orang banyak dari proses pendefinisian maslahat melalui musyawarah itulah hukum yang sebenarnya. Kesepakatan orang banyak, di mana kita merupakan bagian daripadanya, itulah hukum tertinggi yang mengikat.
Kalau dipertanyakan kedudukan hukum atau ketentuan‑ketentuan legal‑normatif yang ditawarkan oleh wahyu (teks Alquran atau hadis), kedudukannya adalah sebagai material yang ‑ juga dengan logika maslahat sosial yang obyektif, bukan dengan logika kekuatan atau kepercayaan yang subyektif,‑ masih harus dibawa untuk ditentukan statusnya ke dalam lembaga permusyawaratan. Apabila kita berhasil membawanya sebagai bagian dari kesepakatan orang banyak, ia berfungsi sebagai hukum yang secara formal‑positif mengikat. Akan tetapi, apabila gagal memperjuangkannya sebagai kesepakatan, daya ikatnya tentu saja hanya terbatas pada orang‑orang yang mempercayainya. Dan daya ikat seperti ini paling jauh hanya bersifat moral‑subyektif, tidak bisa sekaligus formal‑obyektif.
Memang, dengan mempertaruhkan "maslahat dan sekaligus norma hukum yang bersumber padanya" pada ijma' lembaga syura, atau keputusan lembaga parlemen dalam terma ketata‑negaraan modern, bukan tidak ada kelemahannya. Tidak jarang apa yang disebut kesepakatan lembaga syura, parlemen, ternyata hanya merupakan hasil rekayasa segelintir elit yang berkuasa. Akan tetapi inilah tantangan yang harus dihadapi oleh umat Islam, yang sebenarnya adalah juga tantangan bagi rakyat‑manusia di mana pun mereka berada. Yakni, bagaimana mereka bisa mengusahakan tumbuhnya satu pranata kesepakatan umat, di mana rakyat‑ secara langsung atau melalui wakilnya‑ dapat mengemukakan pendapat dan pilihannya perihal tata‑kehidupan yang menurut mereka lebih mencerminkan cita maslahat dan keadilan.[58]
Menurut at‑Tufi dari sembilan belas macam dalil, dalil terkuat adalah nas dan ijma'. Nas dan ijma' terkadang sesuai terkadang bertentangan dengan maslahat. Jika kenyataannya nas dan ijma' selaras dengan maslahat, tidak perlu dipertentangkan lagi. Hal ini karena telah adanya kesepakatan tiga dalil sekaligus atas suatu ketetapan hukum, yaitu nas,ijma' dan maslahat, yang diambil dari kandungan hadis Nabi saw. la darara wa la dirara. Jika antara keduanya bertentangan, yang harus didahulukan adalah penggunaan maslahat daripada nas dan ijma'. Caranya ialah mengadakan takhsis atau tabyin terhadap pengertian nas dan ijma', tidak dengan membekukan berlakunya nas dan ijma'. Sama halnya dengan tabyin Sunnah terhadap ayat Alquran, kemudian mengamalkan pengertian Sunnah.[59]Lebih jauh lagi at‑Tufi menyatakan bahwa maslahat (dalam bidang mu'amalah) dan dalil‑dalil syara' lainnya terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, hal itu baik sekali‑ seperti senadanya antara nas, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum daruri yang kulli yang berjumlah lima, yaitu dibunuhnya orang yang membunuh, orang murtad, dipotongnya tangan pencuri, dihukumnya peminum dan orang yang menuduh orang baik melakukan zina dan contoh‑contoh lainnya. Akan tetapi jika ternyata maslahat bertentangan dengan nas dan ijma', jika mungkin hendaklah dikompromikan, dengan syarat tidak boleh mempermainkan dalil. Jika tidak dapat dipadukan, yang didahulukan adalah maslahat, sebab Nabi saw. bersabda "la darara wa la dirara", makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat dan untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama syara', sedangkan dalil‑dalil lainnya (nas sekalipun penting) tidak ubahnya sebagai sarana. Oleh karena itu, tujuan harus lebih diutamakan daripada sarana.[60]
Paradigma para ulama usul al‑fiqh mengenai nas, realitas dan relasinya dengan maslahat hukum Islam, terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu paradigma ortodoksi dan paradigma realis.
Secara umum apa yang dikemukakan oleh para pembahas teori at‑Tufi tentang maslahat tersebut, adalah suatu fakta telah kembali didemonstrasikan, yaitu bahwa keragu‑raguan apalagi gugatan terhadap nas (teks ajaran) masih tetap merupakan suatu yang sangat tabu dalam tradisi pemahaman agama di kalangan umat Islam. Atau bahkan bukan hanya umat Islam, umat agama lain pun yang sama‑sama menempatkan orisinalitas ajaran (ortodoksi) sebagai ukuran tunggal bagi keberagamaan akan bersikap sama. Bagi mereka, nas wahyu adalah wujud tunggal bagi kebenaran mutlak yang harus dipedomani apa adanya (murni dan konsekuen). Kecenderungan untuk bergeser sekalipun sedikit dari padanya atau menempatkan ajaran lain sebagai pedoman ekstra di sampingnya adalah penyelewengan, suatu kejahatan teologis yang tiada ampun (bid'ah atau khurafat).
Dalam semangat ortodoksi yang selalu dikejar adalah kesesuaian optimal dengan bunyi ajaran, bagi umat Islam mempertanyakan validitas dan relevansi teks doktrin adalah mustahil. Bahkan lebih mustahil dari segalanya adalah jika yang dipertanyakan itu adalah induknya segala doktrin, yaitu ayat‑ayat Alquran. Ribuan judul buku atau kitab telah ditulis oleh para ulama dari berbagai generasi yang jika sekarang telah membaca kesemuanya, kitab buku‑buku itu hampir tidak ada yang bergeser dari missi tunggalnya, yaitu mencari argumentasi untuk mengukuhkan relevansi dan validitas apa yang dikatakan oleh teks Alquran, kapan dan di mana saja.
Paradigma kaum ortodoksi terhadap konflik yang terjadi antara bunyi ajaran dalam teks dengan realitas kehidupan adalah jelas, konflik itu harus diselesaikan secepat mungkin dengan menaklukkan realitas kepada ajaran. Tugas menaklukkan realitas yang menyeleweng dari ajaran inilah dikenal dengan missi amar makruf nahi munkar.
Berdasarkan pengamatan sepintas terkesan bahwa masyarakat dengan semangat ortodoksi adalah mayarakat yang idealis atau bahkan sangat idealis. Akan tetapi ketika mereka harus memberikan treatment terhadap realitas yang nyata‑nyata berbeda dengan ketika teks ajaran itu turun, 14 abad yang lalu, mereka acapkali naif. Dalam kaitan ini, untuk menyebut kaum ortodoksi sebagai kaum idealis mungkin lebih tepat dengan kaum scriptualis karena yang sebenarnya mereka pedomani itu bukan lagi ide yang menjiwai scriptualis (huruf dalam teks), tetapi scriptualis itu sendiri.[61]
Berseberangan dengan pandangan ortodoksi adalah pandangan kelompok lain yang titik tolaknya adalah "realitas". Jika yang tersebut pertama cita keberagamaannya adalah menaklukkan realitas pada teks., yang tersebut terakhir concernnya adalah memaklumi dan menerima "realitas", sekalipun untuk itu ajaran dalam teks boleh jadi harus digugat atau dimodifikasi. Kalau ada yang berpendapat bahwa pemikiran Muktazilah yang intelektualistik, dulu, merupakan pelopor dari pandangan keagamaan yang realistik ini dapat disepakati. Dengan tesisnya yang kontroversial bahwa "Quran itu makhluk", Muktazilah dan segenap pengikutnya sebenarnya ingin mencari legitimasi (reasoning) jika pada suatu saat mereka harus menggugat dan membuang begitu saja apa yang dikatakan oleh teks ajaran dalam Alquran.
Benar juga, bahwa lawan utama kelompok Muktazilah adalah mayoritas umat penganut ortodoksi yang ketika itu berada di bawah kepemimpinan ahli‑ahli hadis (muhaddisin) dengan tokoh utamanya Imam Ahmad bin Hambal. Seperti diketahui, Imam Ahmad telah mempertaruhkan segala‑galanya dalam menghadapi propaganda Muktazilah, dan beliau meninggal di penjara demi tujuannya ini.[62]
Mungkin ada pertanyaan; Kenapa dalam berhadapan dengan Muktazilah Imam Ahmad harus dipenjara? Jawabannya adalah: karena rupanya apa yang disuarakan oleh Muktazilah tentang Alquran itu sejalan dengan kepentingan "penguasa" yang punya penjara, ketika itu. Al‑Makmun dan aparat birokrasi kekuasaannya yang mewarisi tradisi otokratik kekaisaran Parsi memang ingin sekali bebas dari campur tangan tokoh‑tokoh agamawan yang tentu saja, selalu bersuara atas nama kebenaran doktrin.[63]
Seperti halnya realis‑Muktazilah, sekitar sebelas abad yang lalu, realis masa kini jika punya silsilah yang erat dengan tradisi humanisme Barat, Yunani. Kepercayaan mereka terhadap "nalar" manusia telah memaksa mereka untuk melihat wahyu (ajaran) sebagai tidak boleh bertentangan dengan apa yang menjadi keputusan (nalar) manusia yang hadir dalam bentuk realis konseptual maupun sosial. Oleh sebab itu, di mana ajaran masih dapat dipakai, tugas mereka dalam bidang pemikiran adalah merumuskan legitimasi‑legitimasi keagamaan atas realitas‑realitas yang dikemukakan. Dalam hal ini menjadi mudah dimengerti apabila ternyata umumnya para ilmuwan (ulama) dari mazhab realis ini adalah tokoh‑tokoh kolaborator yang setia dengan, atau bahkan bagian dari, sistem kekuasaan itu sendiri.
Memang dari kalangan ortodoksi pun bisa saja bersikap sama, akomodatif, terhadap "realitas" yang hidup dan "kekuasaan" yang menciptakannya. Akan tetapi, jika untuk mengikuti garis akomodasi itu harus menggugat teks ajaran (nas), lebih‑lebih yang dari sudut usul masuk dalam kategori qat'i, dengan serta merta mereka pasti akan mengambil posisi yang berbeda. Karena sesuai dengan prinsip ortodoksi : sesuatu yang berbeda dengan bunyi doktrin adalah mustahil.
Akan tetapi pendekatan kaum realis ini memang ada warna manusiawinya. Apa yang menjadi "maunya" manusia diberi kedudukan yang kuat bahkan dalam berhadapan dengan teks ajaran yang tegas (nas qat'i). Konsekuensinya penganut mazhab realis yang konsisten, dalam pandangan moralnya, pastilah penganut relativisme yang labil.[64] Hal inilah barangkali yang menjadi kekhawatiran para pembahas teori at‑Tufi.
Dalam kaitan dengan pernyataan at‑Tufi bahwa maslahat sebagai tujuan Hukum Islam (mu'amalah) dan nas atau dalil‑dalil syara' lain merupakan sarana (metode) untuk mencapai/merealisasikan tujuan (maslahat), oleh karena itu, tujuan harus lebih diutamakan daripada sarana.[65] Paradigma demikian ini adalah jika suatu saat perubahan dan realitas kehidupan masyarakat menghendaki, dan pengamalan makna nas yang jelas (sesuai dengan makna zahirnya) itu mungkin dirasa membawa kesenjangan dan kurang menampung rasa keadilan (maslahat), hendaklah makna zahir nas itu dipalingkan kepada makna lain yang lebih adil dan maslahat.
Di samping itu paradigma at‑Tufi dapat pula dipahami sebagai usaha untuk memperoleh suatu hukum fiqh melalui pemekaran dan perluasan makna suatu teks syari'ah yang bersifat eksplisit dengan cara mencari pengertian‑pengertian implisitnya. Hal ini dilakukan dengan cara menggali causalegis (illat) suatu nas untuk diterapkan kasus‑kasus serupa yang tidak secara eksplisit termasuk ke dalamnya. Atau juga dengan menggali semangat, tujuan dan prinsip umum, yang terkandung dalam suatu nas untuk diterapkan secara lebih luas pada masalah lain yang diharapkan mewujudkan maslahat. Dengan demikian, pendekatan yang ditawarkan oleh at‑Tufi dengan maslahatnya adalah pendekatan transformatif.
Sebagai alternatif terhadap pendekatan realis‑positivis, yang lebih memadai untuk memahami agama adalah pendekatan transformatif; suatu pendekatan yang memandang perubahan (change) sebagai sarana untuk mencapai cita kebaikan kualitatif yang bermuara pada cita kebaikan mutlak‑ dalam bahasa agama disebut Tuhan. Pendekatan ini diusulkan bukan karena agama (yang mana saja) tidak pernah datang sekadar untuk membenarkan apa yang tengah menjadi "nyata" dalam kehidupan manusia, melainkan‑ sebagaimana terbukti dalam sejarah‑ agama selalu datang dengan gugatan‑gugatan yang mendasar mengenai makna dari "apa yang tengah menjadi kenyataan" itu.[66] Kalau tidak, kalau agama datang dengan semangat membenarkan apa yang ada seperti yang dipersepsikan oleh kaum realis, agama memang hanya berfungsi sebagai sistem legitimasi yang tidak memiliki prinsipnya sendiri. dan jika benar begitu, kisah kesulitan setiap rasul dalam berhadapan dengan "unsur pembentuk dan pembela realitas" (yakni kelompok elit penguasa) menjadi aneh dan sungguh tidak perlu.
Di lain pihak, pendekatan transformatif ini (dalam bahasa Arabnya diterjemahkan dengan hijriyah; dari kata hijrah yang berarti perpindahan dari posisi ke posisi yang lain untuk mengejar tingkat kualitas yang lebih baik) memiliki perbedaan yang tidak kalah mendasar dengan pandangan ortodoksi, yakni dalam hal memandang ayat‑ayat ajaran (nas wahyu). Kalau ortodoksi memandang teks ajaran (ayat) sebagai wujud dari "ide kemutlakan" itu sendiri, pendekatan transformatif melihat teks ajaran, atau ayat, tetap sebagai ayat, yang berarti "perlambang" atau "tanda" dari "ide kemutlakan" yang dikandungnya. .[67]
Ini artinya, bahwa dengan membaca ayat‑ayat itu, seseorang bisa lebih mudah berkomunikasi dengan "ide kemutlakan yang universal", akan tetapi jangan diartikan bahwa hanya lewat membaca ayat‑ayat itu saja komunikasi dengan "ide kemutlakan yang universal" bisa dilakukan. Sebagai contoh misalnya "ide keadilan". Ide ini mutlak dan universal, setiap orang bahkan yang tengah bertindak melawan nilai keadilan pun mengakuinya sebagai "luhur". Pengakuan tentang "luhurnya keadilan" itu bukan hanya datang dari orang yang tengah membaca ayat (teks ajaran) tetapi juga dari mereka yang tidak membacanya.
Dalam ungkapan yang lebih berterus terang, pendekatan transformasi ini mengatakan, bahwa ayat‑ayat yang terbaca dalam kitab suci itu pada hakekatnya adalah obyektivitas atau verbalisasi (pengungkapan tersurat) terhadap ide‑ide kebaikan universal yang telah ditanamkan Tuhan dalam fitrah manusia sejak awal mula (al‑azali). Dalam ungkapan sehari‑hari, orang menyebut "cita universal yang dihayati dalam diri setiap manusia" itu disebut dengan "suara nurani", yang oleh Muhammad Rasulullah dinyatakan sebagai satu‑satunya "lembaga" yang terpercaya untuk dimintakan fatwanya. Karena, kedua (ayat suci dan suara nurani) datang dari Allah. Bedanya yang pertama bersifat verbal (bi harfin wa sautin, meminjam ungkapan ahli Kalam), dan akan bunyi bila dibaca dan diterangkan; sedang yang kedua bersifat non‑verbal (bila harfin wala sautin) yang akan tetap bunyi dengan sendiri, baik ketika didengarkan atau diabaikan , dibiarkan atau dibungkam.[68] Cara memandang ayat sebagai "perlambang" bagi "ide kemutlakan" ini akan lebih signifikan kalau kita perhatikan adanya ayat yang mutasyabihat di samping adanya ayat‑ayat lainnya yang muhkamat.
Seperti juga pandangan ortodoksi, pandangan transformasi pun melihat katagorisai ini sebagai kunci pembuka bagi seluruh bangunan pemahaman terhadap ayat‑ayat wahyu, yang berarti pemahaman keagamaan itu sendiri secara keseluruhan.
Akan tetapi, perbedaan cara pandang terhadap ayat antara pendekatan ortodoksi dan pendekatan transformasi, seperti disebutkan di atas, membawa pula konsekuensi pada perbedaan definisi terhadap kedua katagori ini.
Dengan memandang ayat wahyu yang bersifat verbal sebagai ujud dari "kebenaran" itu sendiri, kaum ortodoksi mendefinisikan kedua katagori kunci itu juga dari sudut pandangan verbal. Apa yang disebut ayat muhkamat adalah ayat yang (dari sudut bahasa, semantik) jelas; sedang disebut ayat mutasyabihat kalau (dari sudut bahasa) tidak jelas. Dalam istilah usul fiqhnya, yang pertama mereka sebut dengan ayat qat'i, dan yang kedua mereka sebut dengan ayat zanni. Ayat qat'i tidak bisa ditafsiri‑ apalagi digugat‑ dan ayat zanni boleh ditafsiri (dari sudut bahasa) tetapi tetap tidak bisa digugat. Demikian kesepakatan mereka.
Sebaliknya, bertolak dari mempersepsi ayat sebagai "perlambang" dari "kebenaran" yang dipesankannya, pendekatan transformasi mendefinisikan ayat muhkamat dan mutasyabihat bukan dari sudut verbal, bahasa, melainkan dari sudut substansi makna yang dikandungnya. Ayat muhkamat adalah ayat yang menegaskan prinsip‑prinsip yang, secara eksplisit maupun hanya implisit, diakui oleh setiap manusia demi fitrahnya sendiri sebagai manusia. Di sini tidak dipersoalkan apakah ayat itu, dari sudut bahasa verbal, bersifat tegas (qat'i dalalah); juga tidak dipersoalkan apakah dari sudut bahasa verbalnya, ayat itu bicara terus terang (straight forward) atau dalam bentuk sindiran‑sindiran (sejarah, misalnya).
Sebaliknya ayat dikategorikan sebagai mutasyabihat apabila ia berbicara bukan mengenai prinsip itu sendiri, melainkan mengenai "teknis metodis" bagaimana prinsip‑prinsip itu dilaksanakan. Meminjam terminologis usul fiqh, ayat‑ayat jenis ini disebut sebagai ayat‑ayat tasyri' atau syari'at (yang berarti "jalan" atau metode). Seperti hal ayat muhkamat, ayat mutasyabihat pun tidak mempersoalkan apakah dari sudut bahasanya bersifat tegas atau samar‑samar, bersifat terus terang atau sindiran.
Konsekuensinya dari kategorisasi itu ialah, bahwa ayat‑ayat muhkamat (sebut saja induknya adalah tentang keadilan dan keesaan Tuhan) pastilah bersifat universal karena dalam dirinya prinsip‑prinsip itu memang universal. Sebagai penegas prinsip‑prinsip yang universal, dengan sendirinya ayat‑ayat muhkamat ini tidak memerlukan terobosan atau ijtihad. Tidak perlu ada pemikiran ulang apakah keadilan itu perlu ditegakkan ataukah tidak.
Sementara, dilain pihak ayat mutasyabihat sebagai ayat yang berbicara tentang metode (cara atau syari'at), misalnya, bagaimana prinsip keadilan yang universal itu bisa diwujudkan, secara teoritis, adalah ayat‑ayat non‑universal. Dengan demikian, ayat‑ayat yang bersifat tasyri' atau metodis itu, secara praktis bisa saja ditetapkan di berbagai tempat dan zaman. Akan tetapi, jika ia harus dipakai, dasarnya pasti bukan pada klaim universalitasnya, melainkan pada effektivitasnya sebagai metode. Sebagai ayat metode, ayat mutasyabihat/tasyri' memang berada di daerah di mana manusia, dengan akal budinya, ditantang untuk berijtihad. Ayat tasyri'/mutasyabihat itu sendiri adalah ayat ijtihad ilahiyah yang, demi rahmat‑Nya, Dia tawarkan kepada manusia untuk membantu merealisasi prinsip dasar yang ditegaskan dalam ayat‑ayat muhkamat. Dengan demikian petunjuk praktis yang terkandung dalam ayat‑ayat tasyri' itu mengandung kemungkinan untuk perubahan. Akan tetapi sebagai "hasil" (dalam tanda petik) dari ijtihad‑Nya, memang segera ter‑a‑sa bahwa tidak sepantasnya manusia yang nisbi ini mengubahnya.[69]
Pernyataan at‑Tufi bahwa maslahat hanya ada pada masalah‑masalah yang berkaitan dengan mu'amalah dan yang sejenisnya ‑bukan dalam masalah‑masalah yang berhubungan dengan ibadah atau yang serupa dengan ibadah. Sebab, masalah ibadah adalah hak prerogatif Syari' (Allah), tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung dalam ibadah, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya ditentukan Syari'. Kewajiban hamba (dalam masalah ibadah dan yang sejenisnya) hanya melakukan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhan‑Nya. Sebab, seorang khadim tidak akan dikatakan sebagai seorang yang patuh jika tidak melaksanankan perintah yang diucapkan oleh tuannya....[70] dan ... maslahat (dalam mu'amalah) menjadi tujuan utama syara' sedangkan dalil‑dalil syara' lainnya (nas sekalipun ) tidak ubahnya sebagai sarana (metode). Oleh karena itu, tujuan harus lebih diutamakan daripada sarana.[71]
Untuk memecahkan dilema pelik ini (bagaimana manusia melakukan perubahan atas petunjuk praktis, syari'at, yang ditawarkan Tuhan), at‑Tufi seperti halnya teori para ulama terdahulu yang membagi syari'at pada dua bidang ubudiyah dan non‑ubudiyah, tetapi dengan modifikasi. Yakni kalau semula ditetapkan bahwa perubahan tidak boleh terjadi pada ketentuan ubudiyah tetapi dapat terjadi pada non‑ubudiyah (mu'amalah), ini harus dikatakan bahwa ayat/ajaran tentang ubudiyah secara teoritis dapat berubah (karena sebagai metode, syari'at, ia tetap non‑universal) tetapi perubahan itu tidak perlu; sedang ayat/ajaran tasyri' yang bersifat non‑ubudiyah (mu'amalah) secara teoritis dapat berubah dan pada kondisi‑kondisi tertentu perubahan itu memang perlu.
Di sini akan segera muncul pertanyaan : bagaimana keputusan "perlu" atau "tidak perlu" bisa dipertanggungjawabkan? Jawabnya adalah, sebagai metode atau syari'at, ukurannya untuk perlu atau tidaknya dilakukan perubahan adalah pada "nilai efektivitas"nya bagi pencapaian tujuan. Di sinilah akan lahir pula jawaban, mengapa syari'at (metode) tentang ubudiyah (ritual) yang ditawarkan oleh ijtihad Ilahiyah itu tidak perlu diubah? Yakni, karena "nilai efektivitas"nya sedangkan metode tidak mungkin dapat diukur. Satu bentuk ritual yang sama, salat misalnya, bagi si X bisa sangat efektif (sebagai media komunikasi rohaniyah), sedang bagi si Z dapat samasekali tidak. Atau bahkan satu bentuk ritual yang sama bagi orang yang sama pun, dalam waktu yang berbeda, dapat memberikan efektivitas yang berbeda pula.[72]
Karena, nilai efektivitas "ritual", memang tidak terletak pada kepersisannya dengan bunyi ajaran (seperti yang dipersangkakan oleh kalangan pemuja ortodoksi, dan lebih‑lebih jika diingat bahwa "bentuk ritual" itu tetap metode) melainkan pada kesiapan rohaniyah si pelaku sendiri. Kalau tidak, tidak akan ada ayat yang berbunyi: wailul lil musalin...; celakalah orang‑orang yang salat...; Sementara itu, semua orang sadar, bahwa kesiapan rohaniyah adalah sesuatu yang sifatnya sangat subyektif. Jadi, tidak mungkin ada ukuran yang obyektif untuk mengetahui apakah suatu pola ritual tertentu lebih efektif dari yang lain. Karena tidak ada ukuran itulah, tidak bisa dikatakan bahwa satu pola ritual tertentu (yang ditawarkan oleh ajaran) bisa diganti dengan yang lain. Meskipun‑ sekali lagi‑ secara teoritis ia bisa diganti/diubah.[73]
Akan tetapi, berbeda dengan syari'at untuk ubudiyah, syari'at untuk mu'amalah bagaimanapun peliknya tetap bisa diukur segi efektivitasnya. Sehingga apabila pada suatu kondisi tertentu, suatu syari'at mu'amalat diduga keras tidak lagi efektif sebagai metode, suatu terobosan (modifikasi) pun bisa dilakukan sampai keadaannya normal kembali.[74] Pandangan demikianlah yang dikemukakan at‑Tufi bahwa dia hanya mengakui maslahat dalam bidang mu'amalah bukan maslahat dalam bidang ibadah. Maslahat dalam bidang mu'amalah merupakan tujuan sedang dalil‑dalil syara' adalah sarana. Oleh karena itu, tujuan harus lebih diutamakan daripada sarana.
Sebagai ilustrasi, dapat dikemukakan di sini perihal "lampu lalu lintas", traffic light (TL). TL adalah sebuah metode, cara atau syari'at dalam istilah Fiqhnya, yang hampir semua jalan raya di bumi ini telah menerapkannya, dengan prinsip : memelihara kelancaran dan keselamatan lalu lintas khususnya di jalan persimpangan. Akan tetapi sebagai metode, syari'at, TL tidak selamanya bisa diandalkan untuk mewujudkan tujuan tersebut. Dalam kondisi tertentu, ia bahkan dapat menambah kemacetan itu sendiri. Di sini, dalam kondisi dimana TL sebagai metode justru telah jadi penghalang bagi tercapainya prinsip, turun tangannya polisi atau bahkan orang biasa untuk mengatur sendiri lalu lintas yang macet tanpa mempedulikan kemauan literal (dalalah mantuqiyah) dari TL bagaimana saja haruslah dibenarkan, bahkan patut diberi acungan jempol.[75]
Benar, bahwa syari'at TL ini tidak untuk disejajarkan dengan syari'at yang langsung ditawarkan oleh Alquran. Akan tetapi, sebagai sama‑sama metode, dapat dikenakan "hukum" yang sama. Artinya, jika sudah tidak mampu lagi menggaet prinsip yang menjadi sasaran kehadirannya, terobosan bukan hanya boleh melainkan perlu dilakukan. Yang berbeda, barangkali, bahwa efektivitas syari'at yang diletakkan Tuhan dalam hal mewujudkan prinsip lebih berdaya tahan dibandingkan efektivitas dari suatu syari'at yang diijtihadkan sendiri oleh manusia. Terobosan yang dilakukan terhadap suatu syari'at (metode) tidak dengan sendirinya berarti pengingkaran terhadap syari'at itu sendiri. Karena, seperti dalam kasus TL di atas, jika kondisinya sudah kembali normal, terobosan pun menjadi tidak perlu lagi, dan syari'at TL juga ditegakkan kembali.[76]
Memang, bisa terjadi syari'at TL itu menjadi sama sekali dibuang, misalnya ketika jalan simpang itu telah diganti menjadi jalan layang. Demikian pula dengan syari'at yang ditawarkan oleh kitab suci. Sebagai contoh, misalnya syari'at zakat. Zakat adalah metode yang dicanangkan Tuhan untuk merealisir prinsip "keadilan sosial ekonomi" di kalangan masyarakat yang dalam hal distribusi kekayaan tidak merata atau timpang. Bagaimana jika misalnya suatu saat dalam suatu lingkup sosial tertentu dapat terwujud suatu sistem perekonomian yang menjamin distribusi kekayaan secara merata, (sesuai dengan pesan yasalunaka madza yunfiqun, qalil 'afwa): mereka bertanya tentang harta yang harus dinafkahkan, katakanlah Muhammad, yang harus mereka nafkahkan adalah apa yang lebih dari yang benar‑benar diperlukan (QS 2:219); apakah dalam masyarakat seperti itu syari'at zakat masih perlu, meski lebih ukuran 2,5 persen?[77]
Orang boleh tidak setuju. Akan tetapi dalam pola pemahaman ayat seperti itulah "langkah‑langkah terobosan Umar r.a." yang secara sangat antusias selalu dikutip oleh berbagai kalangan dalam rangka melegitimasikan gugatan‑gugatannya. Umar r.a, memahami apa yang disyari'atkan dalan Alquran juga sebagai "metode", cara, yang harus dipantau validitas dan relevansinya dari sudut efektivitasnya dalam mewujudkan prinsip. Manakala suatu syari'at, metode, menjadi kurang atau tidak lagi efektif ‑ bukan karena syari'atnya itu sendiri melainkan karena kondisinya yang spesifik ‑ terobosan pun dilakukannya bukan demi pengingkaran terhadap syari'at itu an sich melainkan demi terwujudnya prinsip yang semula hendak diraih oleh syari'at. Hal ini terlihat dengan jelas, mulai dari kebijakannya untuk menghimpun mushaf Alquran (sesuatu yang tidak ada petunjuk dari Nabi), pembatalan hukum potong tangan atas pencuri pada musim paceklik, sampai dengan pembatalan pembagian tanah jarahan (ganimah) bagi tentara yang berperang.[78]
Sahabat Nabi yang jenius dan bijak ini, memang memahami syari'at, sebagai metode, samasekali bukan tujuan, hanya dalam pandangan kaum ortodoksi yang formalis‑scripturalis sajalah pendirian seperti itu didengungkan (misalnya dari cita‑cita perjuangan mereka dalam kehidupan bermasyarakat yang selalu berujung pada "tegaknya syari'at Islam", sebagai tujuan). Karena syari'at bukan sebagai tujuan, tetapi hanya sebagai metode, "keislaman" suatu masyarakat, misalnya dalam aspek sosial ekonominya, tidak harus diukur dari kenyataan "apakah mereka sudah bayar zakat", tetapi ukuran itu adalah pada kenyataan "apakah keadilan ekonomi di situ sudah tegak" atau belum.[79]
Kembali pada kebijakan Umar r.a, ada satu kenyataan yang perlu dikemukakan untuk membebaskannya dari klaim kaum realis. Kenyataan yang dimaksud adalah, bahwa setiap kebijakan terobosan (ijtihad) terhadap syari'at tersurat dalam ayat, alas pijaknya bukanlah pada "kecenderungan umum, apalagi yang hanya semi umum" (yang oleh kaum realis justru ingin dijadikan patokan). Akan tetapi, alas pijak itu, pada mulanya, adalah komitmen Umar r.a. sendiri terhadap pesan universalitas yang menjadi tujuan dari syari'at yang bersangkutan. Setiap terobosan dari Umar, pada pertama kalinya tampak sebagai "penyimpangan dari doktrin" bahkan di mata pihak‑pihak yang justru ingin diuntungkan oleh kebijakan itu sendiri. Akan tetapi dengan pendekatan dakwah‑ dalam konteks ini harus diterjemahkan dengan proses penyadaran, yakni suatu pendekatan yang sangat vital bagi setiap proses transformasi sosial ‑ gagasan yang elit dari Umar itu pun akhirnya dapat diterima dan dilaksanakan dengan tanpa harus melalui pemaksaan.[80]
Dalam kaitan ini jika pendekatan transformatif dalam memahami ayat suci yang diusulkan di atas bisa direfleksikan pada persoalan‑persoalan legislasi kontemporer sebagai alternatif mediator antara kelompok realis ‑ positivis di satu pihak dan para ulama serta segenap umat yang dengan gigih menjunjung tinggi etos ortodoksi di lain pihak.
Dengan memandang ayat‑ayat Alquran tetap sebagai ayat (yang berarti tanda atau simbol) dari ide‑ide universal yang demi fitrah telah diakui oleh segenap manusia semata‑mata karena dia manusia, "terobosan" atau modifikasi, seperti dilakukan oleh sahabat Umar r.a. secara teoritis dan diteorikan at‑Tufi adalah dapat dilakukakan, dan dalam kondisi tertentu malah tak terelakkan.
Terobosan atau modifikasi yang dimaksud haruslah tetap berpijak pada ide dasar dari ayat‑ayat itu sendiri. Dengan demikian terobosan itu bukan sekadar untuk mengabsahkan dan menuruti apa yang menjadi kecenderungan umum, apalagi yang hanya semi umum, melainkan terobosan yang secara obyektif lebih berdaya guna bagi usaha mewujudkan pesan universal yang menjiwai ayat‑ayat terkait.[81]
Contoh Aplikasi Maslahat at‑Tufi
Larangan wanita menjadi pemimpin negara
Contoh lain penerapan teori maslahat at‑Tufi adalah hadis mengenai dilarangnya wanita untuk menjadi pemimpin negara (Lan yufliha wallu Amrahum Imroatan).[82] Mengenai hadis Abu Bakrah di atas, dari segi metodologi kritik hadis, ia adalah sahih. Pertanyaan yang harus dijawab ialah bagaimana kita harus memahami hadis. Di sini ditawarkan satu pendapat bahwa hadis‑hadis dapat dikategorikan sebagai termasuk umurud dunya dan keuniversalannya tidak didukung oleh kenyataan harus ditafsirkan menurut semangatnya dan dalam konteks sosio‑historisnya. Kalau tidak ia akan menjadi kering, memosil dan tidak bermakna. Untuk itu jika preseden‑preseden historis terutama dari kebijaksanaan‑kebijaksanaan Umar seperti mengenai masalah kharaj di mana ia mengubah praktek Rasulullah yang memberikan tanah‑tanah kepada para prajurit yang mendapatkannya yang kemudian oleh Umar praktek itu dirubah di mana tanah‑tanah tidak ia berikan kepada prajurit.[83] Umar tidak memahami hadis‑hadis Rasulullah dalam arti harfiyahnya melainkan dalam semangatnya. Dengan kalimat yang lebih teknis, hadis‑hadis itu harus dipahami menurut illatnya, sekalipun illat‑illat itu harus dicari melalui ijtihad (artinya tidak dinaskan).
Hadis‑hadis semacam ini cukup banyak terutama dalam masalah kemasyarakatan dan politik (mu'amalah), seperti hadis al‑Aimmah min Quraisy yang oleh Ibn Khaldun dipahami melalui teori sejarahnya yang terkenal itu, yaitu teori asabiyah. Secara singkat menurut Ibn Khaldun Nabi menyerahkan imamah kepada kaum Quraisy karena pada waktu itu hanya merekalah yang memiliki asabiyah yang diperlukan bagi kelangsungan sebuah tata politik. Teori Ibn Khaldun ini dapat diperluas lagi dengan menyatakan : karena orang‑orang Quraisylah yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang masalah‑masalah politik dan ekonomi waktu itu wajarlah Rasul menyerahkan imamah kepada mereka.[84]
Hadis Abu Bakrah di atas pun kiranya dapat ditafsirkan dengan cara yang sama. Pada zaman Rasulullah wanita tidak begitu beruntung, bahkan anak wanita yang lahir dikubur hidup‑hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk membebaskan kaum wanita. Walapun beliau telah banyak berhasil, suatu struktur sosial yang sudah begitu kokoh dan melembaga tidak dapat dirubah total seratus persen dalam waktu singkat, seperti lembaga perbudakan misalnya. Bahkan sampai beberapa abad kemudian posisi kaum wanita belum begitu menguntungkan. Mereka dikurung di rumah dengan sangat ketat. Apabila seorang lelaki hendak meninggalkannya, ia mengutus seorang wanita pemantau untuk melihat dan menyelidiki kelayakannya, sedangkan si lelaki itu tidak akan pernah dapat melihatnya sebelum akad nikah. Wanita‑wanita itu hanya dapat dipandang oleh mata keluarga mereka. Dari segi pendidikan mereka juga kurang beruntung. Kaum lelaki malah lebih tertarik untuk mendidik dan mengajar budak karena faktor komersial, sebab budak yang terampil terutama pandai tulis baca akan mahal harganya. Hanya kalangan amat terbatas saja yang mendidik wanita.[85] Pendek kata wanita tidak keluar dari tembok‑tembok rumah suami atau orang tuanya. Artinya mereka tidak tahu menahu mengenai urusan masyarakat. Jadi dengan demikian wajarlah Rasulullah menyatakan bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kepada orang yang tidak banyak memahami soal‑soal kemasyarakatan akan mengalami kegagalan. Akan tetapi sekarang situasi telah jauh berubah dan wanita telah banyak yang pandai dan terlibat secara inten dalam berbagai lapangan kehidupan. Jadi mereka sudah tahu seluk beluk masalah. Karena menurut teori hukum Islam, hukum itu berlaku menurut ada‑tidaknya illatnya, maka dapatlah dikatakan bahwa tidak melanggar hukum Islam, wanita yang karena kecakapannya menjadi kepala pemerintahan, karena illat mengapa Rasulullah dulu melarang telah hilang.[86] Dengan mempergunakan pandangan at‑Tufi nampak hadis yang tidak memperbolehkan wanita menjadi pemimpin negara tersebut bersifat kondisional, artinya larangan Nabi dalam hadis tersebut dilatarbelakangi olah adat Arab dan sekitarnya, sehingga bila adat berubah, illat larangan hilang; syarat‑syarat yang ditunjuk dalam nas terpenuhi dan situasi tertentu memungkinkan, larangan tersebut dapat berubah menjadi sesuatu yang dibolehkan.[87]
Ketentuan bagian waris
Syari'at seperti tersurat dalam ayat 2:1 antara pewaris pria dan wanita, secara teoritis bisa saja diubah, dimodifikasi. Dalam kenyataan, hal itu sudah banyak terjadi dan diakui sah bahkan oleh kalangan ortodoksi sendiri, melalui terobosan wasiyat dalam pola perbandingan mana saja yang dikehendaki.Boleh jadi, sesuai dengan adanya ketentuan yang lebih tegas bahwa pola perbandingan warisan secara positif ditentukan 2:2 sesuai dengan, kenyataan masyarakat di mana kontribusi pihak wanita (istri) dalam perekonomian rumah tangga kini acap kali sama besar dengan kontribusi pria (suami) sendiri. Jika itu yang dituntut, maka perbandingan positif 2:2 saja, tanpa memberikan peluang untuk pola perbandingan lain seperti dalam terobosan wasiyat, akan jauh lebih sulit dan kaku untuk meraih keadilan. Sebab, pada kasus‑kasus tertentu, misalnya pihak pewaris pria adalah orang kaya raya sedang pewaris wanitanya masih sangat sengsara, perbandingan yang adil pasti bukan sekedar 2:2 tetapi bahkan 2:0 untuk pewaris wanita.[88]
Sementara itu, ayat tentang pembagian waris yang dipersoalkan itu dipahami menurut semangat utamanya ketentuan usul al‑fiqh bahwa ayat‑ayat mufasar dan muhkam (qat'i ad‑dalalah) harus dipegangi sebagai dasar konstitutif hukum syar'i ada juga mendapat gugatan. Misalnya Kassim Ahmad mengatakan bahwa justru ayat‑ayat mufassar yang terperinci itu hanya contoh penerapan sezaman yang boleh saja berubah. Yang menjadi dasar pokok adalah ayat‑ayat mujmal. Misalnya dalam kasus waris, ayat yang menyatakan bahwa wanita dan lelaki mendapat bagian dari peninggalan orang tua dan kerabat mereka (Q.S. 4:7) adalah prinsip umum. Sedang ayat bahwa bagian wanita separoh lelaki (Q.S.4:11‑12) adalah contoh penerapan pada waktu itu terhadap prinsip umum itu. Jadi Kassim Ahmad ingin membalikkan kaidah usul sehingga ayat mufassar tidak qat'i dan yang qat'i adalah ayat mujmal.[89]
Di samping itu ada juga yang memasukkan hadis itu ke dalam kaidah fiqh.[90]Ruang lingkup kaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari masalah‑masalah fiqh, bahkan merupakan pokok dalam syari'at Islam, seorang yang akan meng‑istinbat‑kan suatu hukum harus berpegang pada kaidah ini, karena ia merupakan dasar bagi menghilangkan kerusakan dan menarik maslahat.[91] Banyak hukum yamg di‑istinbat‑kan dari kaidah ini.
Berdasarkan contoh‑contoh hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah la darara wa la dirara, menunjukkan bahwa hukum mu'amalat Islam sangat berusaha menjauhkan kemudaratan manusia baik bersifat perorangan maupun kolektif, guna mewujudkan maslahat.[92] Keterangan ini menunjukkan pula bahwa la darara wa la dirara, baik kedudukannya sebagai hadis maupun kaidah fiqh telah diamalkan para ulama guna mewujudkan maslahat, bahkan merupakan pegangan pokok bagi setiap orang yang akan meng‑istinbat‑kan suatu hukum dalam bidang mu'amalat.
Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa hadis tersebut harus diletakkan pada akhir setiap nas, sebagai pengecualian, sehingga nas itu berarti: "jangan kamu kerjakan ini, melainkan jika maslahat nyata menghendaki. Jangan kamu berbuat demikian, melainkan bila maslahat menghendaki".[93]
Pendirian at‑Tufi, bahwa apabila maslahat yang bersumber dari hadis yang telah disebutkan dan didukung pula oleh nas‑nas syara' lainnya, jika bertentangan dengan dalil‑dalil syara'‑ terutama nas dan tidak dapat dikompromikan ‑ hendaklah maslahat lebih diutamakan, dengan cara takhsis atau tabyin nas dan ijma' atau dalil‑dalil syara' lainnya, bukan dengan cara mempermainkan dalil‑dalil itu.
Pendirian at‑Tufi ini, pada hakekatnya mendahulukan suatu hadis yang didukung oleh nas‑nas syara' lainnya atas dalil‑dalil syara' lainnya. Atau meninggalkan dalil syara' karena ada dalil syara' yang lebih kuat. Dapat pula dikatakan, bahwa hadis di atas yang didukung oleh nas‑nas syara' lainnya, dapat dijadikan sebagai dalil untuk pengecualian terhadap dalil‑dalil syara' lainnya dalam rangka mewujudkan dan memelihara maslahat. Teori meninggalkan suatu dalil karena ada dalil yang lebih kuat atau mengecualikan dalil yang bersifat umum dengan dalil yang bersifat khusus, oleh para ulama usul al‑fiqh disebut istihsan.[94] Metode istihsan ini telah dipraktekkan oleh para ulama usul, terutama yang paling terkenal banyak mempergunakannya adalah mazhab Hanafi.[95] Istihsan ini dipergunakan dalam penetapan hukum dalam bidang perdagangan, peradilan atau urusan kemasyarakatan, politik dan lapangan hukum yang serupa. Oleh para ulama' usul, hukum‑hukum tersebut disebut hukum mu'amalah.[96] Demikian pula halnya at‑Tufi dengan teorinya itu, hanya tertuju pada lapangan mu'amalah dan yang sejenisnya.
Tujuan segala hukum syara' baik yang bersumber dari nas atau qiyas maupun lainnya, ialah memelihara maslahat manusia. Apabila maslahat itu bertentangan dengan nas atau dengan qiyas, berartilah pertentangan antara dua maslahat yang kedua‑duanya dii'tibarkan syara'. Kita telah mengetahui bahwa menurut kebiasaan syara' mendahulukan yang lebih kuat maslahatnya ketika berlawanan.[97].
Sebagaimana diketahui menurut at‑Tufi bahwa dalam lapangan ibadah merupakan hak mutlak Allah untuk menentukan segala sesuatunya dan manusia hanya melaksanakan ibadah itu sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan.[98] Dengan demikian dalil dalam bidang ibadah tidak dapat atau tidak perlu diubah. Berbeda dengan dalil dalam lapangan ibadah, dalil‑dalil syara' dalam bidang mu'amalat dan yang sejenisnya, dalam pandangan at‑Tufi nilai efektivitasnya sebagai sarana dapat diukur oleh akal pikiran manusia. Jika dalam saat tertentu (waktu) dan kondisi tertentu (ruang), apabila suatu sarana tidak lagi efektif untuk mencapai tujuan, perlu diadakan perubahan, sehingga tujuan semula tetap tercapai, yaitu maslahat. Pandangan demikian, merujuk pada kondisi sosial dan pertimbangan perubahan sosial (social change) sebagai sarana untuk mencapai maslahat yang merupakan tujuan Allah dalam menetapkan hukum‑hukum‑Nya. At‑Tufi yang membedakan syari'at menjadi ibadat, muqaddarat dan mu'amalat, memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalat, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan unsur‑unsur darurat, illat‑illat, adat, syarat karena situasi tertentu.[99]
Pendapat yang mengatakan bahwa hukum mu'amalah Islam dalam kehidupan masyarakat modern yang dijadikan ukuran adalah substantif makna yang terkandung dalam suatu hukum. Hukum mu'amalah Islam dapat diterapkan apabila suatu masalah itu sama atau masih sama antara yang dimaksudkan oleh dalil dan masalah baru di mana hukum hendak diterapkan. Metode inilah yang dikenal dengan konsep tahqiq al‑manat dalam usul al‑fiqh, suatu metode penerapan Alquran dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Ia sangat erat hubungannya dengan ijtihad tatbiqi.[100]
Ijtihad tatbiqi, dapat berlaku pada setiap hukum, baik yang dinilai qat'i, terinci maupun yang bersifat zanni. Ia merupakan praktek dari praktisi hukum dalam menerapkan hukum yang siap pakai, baik secara langsung dari wahyu maupun yang melalui ijtihad mujtahid. Dalam penerapannya seorang pelaksana hukum dituntut kejeliannya apakah makna hukum yang siap pakai itu sama dengan masalah yang sedang dihadapi. Apabila dinilai tidak sama, maka hukum tidak dapat dilaksanakan.[101] Dengan demikian yang menjadi obyek kajian adalah perbuatan manusia dengan segala bentuk obyek perbuatan itu, juga manusia itu sendiri sebagai pelaku perbuatan dengan segala kondisi dan perubahannya.[102]
Bertitik tolak dari pernyataan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk maslahat hidup manusia menimbulkan persoalan tentang hubungan nas Alquran atau Sunnah Rasul dengan maslahat merupakan salah satu permasalahan yang pelik dan penting. Ijtihad atas dasar maslahat sebagai tujuan hukum Islam sering memungkinkan tidak diterapkannya ketentuan nas menurut apa adanya, tetapi diterapkan dengan cara lain atau bahkan tidak diterapkan sama sekali.[103]
Untuk pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat kaitannya dengan pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan budaya hukum Islam di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan, yaitu hukum positif Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum muslimin, dan nilai‑nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara). Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum nasional pada masa yang akan datang.[104]
Berpangkal tolak dari kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada masa mendatang adalah hukum yang bersumber dari nilai‑nilai agama Islam dan dihubungkan pula dengan teori peringkatan hukum, maslahat dalam hukum Islam dapat diterjemahkan sebagai maslahat rakyat dalam segala aspeknya, mencakup bidang yang begitu luas, seperti ekonomi, hukum, politik dan sebagainya (mu'amalah). Dan maslahat menempati posisi sebagai nilai‑nilai Islam (norma hukum) yang abstrak atau cita‑cita hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi asas‑asas, peraturan (perundang‑undangan) atau bentuk legislasi lainnya sebagai norma antara yang merupakan kreativitas ijtihad yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, budaya dan kurun waktu. Semua hasil penerapan dan penegakan norma antara tersebut menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret (living law) masyarakat.
Apabila formulasi dan aplikasi suatu peraturan perundang‑undangan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan maslahat rakyat banyak dalam arti sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya cita‑cita kehidupan rakyat banyak, berarti aturan‑aturan tersebut masih mungkin dan dapat dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan aplikasi berbagai peraturan perundang‑undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat banyak itu tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya faktor perubahan situasi dan kondisi, perlu diganti dengan aturan‑aturan yang baru yang betul-betul aspiratif. Dengan demikian, maslahat rakyat merupakan cita‑cita atau tujuan yang hendak diwujudkan, sedangkan peraturan‑peraturan undang‑undang merupakan sarana untuk mewujudkan cita‑cita kerakyatan. Oleh karena itu efektivitas suatu sarana dapat dipantau oleh masyarakat. Dalam kaitan ini, yang terpenting adalah bagaimana nilai‑nilai Islam dapat terpatri dalam kehidupan bernegara, masyarakat, bangsa, keluarga dan individu, kemudian mengakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat egalitarian, jauh dari eksploitasi manusia atas manusia lain maupun eksploitasi golongan atas golongan lain. Dengan kata lain, hukum Islam tidak dalam norma, melainkan dalam substansinya.
Penutup
Sebagai penutup dari pembahasan terdahulu, perlu dikemukakan kesimpulan‑kesimpulan sebagai berikut: Pertama, problema umum dalam bidang hukum Islam yang dihadapi kaum muslimin pada masa Najamuddin at‑Tufi (675‑716 H) adalah situasi taklid, jumud dan fanatisme mazhab yang menyebabkan hukum Islam tidak mampu menjawab berbagai persoalan yang timbul karena perubahan zaman.Kedua, At‑Tufi berpendirian bahwa maslahat adalah tujuan penetapan hukum Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nas atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan, maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada dalil‑dalil syara', karena maslahat merupakan tujuan sedangkan dalil‑dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Ketiga, dalam perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan konsep maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan hadis serta dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain‑lain, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan manusia sebagai praktisi hukum.
Makalah At-Tufi dan teorinya tentang Maslahat Oleh: Yusdani, cari juga Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah |
Daftar Pustaka
Footnote