Aneka Ragam Makalah

Dinasti Mughal Di India



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Makalah Dinasti Mughal Di India (932-1274 H / 1526-1858 M)

Dinasti Mughal merupakan kelanjutan dari kesultanan Delhi, hal ini ditandai dengan puncak perjuangan yang panjang dalam membentuk sebuah dinasti di India yang memusat, yang merupakan suatu usaha membentuk sebuah kultur Islam yang didasarkan pada sebuah sintesa antara warisan bangsa Persia dan bangsa India. Dinasti Mughal didirikan oleh Zahiruddin Babur ( 1526-1530 M) setelah ia berhasil menaklukan Ibrahim Lodi penguasa dinasti Delhi di India. Zaman keemasan Dinasti Mughal dimulai pada pemerintahan Akbar Khan. (1556-1605 M). Akbar berhasil mencapai kemantapan stabilitas politik karena sistem pemerintahan yang diterapkannnya mampu membawa Dinasti Mughal pada kemajuan di bidang ekonomi, pertanian, perdagangan, dan lain-lain. Zaman keemasan ini masih mampu bertahan hingga pada tiga generasi penerusnya, yaitu Jahangir, Shah Jehan dan Aurangzeb. Pada permulaan abad ke-18, Dinasti Mughal mulai memasuki masa kemunduran. Perang saudara untuk memperebutkan kekuasaan adalah salah satu faktor yang menyebabkan kehancuran dinasti ini pada tahun 1858.


B. Dinasti Islam Sebelum Berdirinya Dinasti Mughal

Masuknya Islam ke India melalui perdagangan pada zaman nabi Muhammad SAW, yang mana India pada waktu itu telah memiliki sejumlah pelabuhan, sehingga terjadi interaksi antara India dengan nabi SAW. Oleh karena itu, dagang dan dakwah menyatu dalam satu kegiatan sehingga Raja Kadangalur, Cheraman Perumal, memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Tajuddin, dan ia sempat bertemu dengan nabi Muhammad SAW. Pada zaman Umar Ibn Khattab, dibawah pimpinan Mughirah Islam kembali mencoba untuk menguasai India yaitu daerah Sind, tapi usaha ini gagal (634-644). Lalu pada zaman Ustman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib, dikirim utusan untuk mempelajari adat-istiadat dan jalan-jalan menuju India.[1] Kemudian pada masa Umayyah, yakni pada masa khalifah al-Walid dilakukanlah ekspedisi yang dipimpin Muhammad Ibn Qasim dan ia berhasil menaklukannya dan diangkat menjadi amir di Sind dan Punjab, dan tahun 871 M orang-orang Arab telah menjadi penghuni tetap di sana.

Pada zaman al-Ma’mun ( khalifah dinasti Bani abbas), diangkat sejumlah amir untuk memimpin daerah-daerah. Di antara yang dipercaya untuk menjadi amir adalah Asad Ibn Saman untuk daerah Transoxiana. Ia diangkat menjadi amir setelah berhasil menaklukan Dinasti Safari yang berpusat di Khurasan.

Dinasti Samani (874-999 M) mengangkat Alptigin menjadi amir di Khurasan. Alptigin kemudian diganti oleh anaknya, Ishak. Ishak dikudeta oleh Balktigin, Balktigin diganti oleh Firri; dan Firri dijatuhkan oleh Subuktigin. Subuktigin menguasai Ghazna ( suatu daerah Turki di Afghanistan) dan kemudian mendirikan dinasti Ghaznawi ( 963-1191 M).

Pada tahun 1001 M, Sultan Mahmud Ghaznawi sempat menerobos ke dalam pusat jantung anak benua India dengan menaklukan wilayah luas Rajputana sampai wilayah Khatiawar di sekitar teluk Kambai dan menaklukan wilayah Delhi dan wilayah Kanauj sampai teluk Benggala.[2] Setelah Ghaznawi hancur, maka mulai muncullah beberapa dinasti kecil yang menguasai negeri India, seperti Dinasti Guri ( 1191 -1206 M), Dinasti Mamluk di Delhi (1206-1290 M), Dinasti Khalji (1290-1320 M), Dinasti Tughluq (1320-1414 M), Dinasti Sayyed (1414-1451 M), Dinasti Lodi (1451-1526 M).[3]

C. Berdirinya Dinasti Mughal Di India

Kata “Mughal” dalam bahasa Parsi adalah panggilan bagi bangsa Mongol dan turunan Mongolia. Dinasti Mughal (1256-1858 M) merupakan kekuasaan Islam terbesar pada anak benua India, yang didirikan oleh Zahiruddin Babur (1526-1530M), salah satu dari cucu Timur Lenk. Ayahnya bernama Umar Mirza, penguasa Ferghana, sedangkan ibunya adalah keturunan Jengis Khan. Kekuasaannya meliputi daerah India, Pakistan, Bangladesh dan Kashmir sekarang. Babur mewarisi daerah Ferghana dari orang tuanya ketika ia masih berusia 11 tahun.[4] Ia berambisi dan bertekad untuk menaklukan Samarkhand yang menjadi kota penting di Asia Tengah pada masa itu. Pada mulanya ia mengalami kekalahan tetapi karena mendapat bantuan dari raja Safawi, Ismail I, akhirnya ia berhasil menaklukan Samarkhand tahun 1492 M, dan pada tahun 1504 M Babur menduduki Kabul, ibukota Afganistan.[5]

Setelah Kabul dapat ditaklukan, Babur meneruskan ekspansinya ke India yang saat itu diperintah Ibrahim Lodi, yang sedang mengalami masa krisis, sehingga stabilitas pemerintahan menjadi kacau. Alam Khan, paman dari Ibrahim Lodi, bersama-sama Daulat Khan, Gubernur Lahore, mengirim utusan ke Kabul, ia meminta bantuan Babur untuk menjatuhkan pemerintahan Ibrahim Lodi di Delhi. Permohonan itu langsung diterimanya. Pada tahun 1525 M, Babur berhasil menguasai Punjab dengan ibu kotanya Lahore. Setelah itu, ia memimpin tentaranya menuju Delhi.[6]

Pada tanggal 21 April 1526 M terjadilah pertempuran yang dahsyat di Panipat antara Ibrahim Lodi dan Zahiruddin Babur, yang terkenal dengan pertempuran Panipat I. Ibrahim Lodi terbunuh dan kekuasaannya berpindah ke tangan Babur, Sejak itulah berdiri dinasti Mughal di India, dan Delhi dijadikan ibu kotanya.[7]

D. Perkembangan Dinasti Mughal

Berdirinya Dinasti Mughal menyebabkan bersatunya raja-raja Hindu Rajputh (seperti Rana Sanga) di seluruh India dan menyusun angkatan perang yang besar untuk menyerang Babur. Namun gabungan pasukan Hindu dapat dikalahkan Babur, sementara itu di Afghanistan masih ada golongan yang setia kepada keluarga Lodi. Mereka mengangkat adik kandung Ibrahim Lodi, Mahmud menjadi sultan. Tetapi sultan Mahmud Lodi dengan mudah dikalahkan Babur dalam pertempuran dekat Gogra tahun 1529 M.[8] Pada tahun 1530 M Babur meninggal dunia dalam usianya 48 tahun. Ia meninggalkan Wilayah kekuasaan yang luas, kemudian pemerintahan pun di pegang oleh anaknya Humayun.

Pada pemerintahan Humayun (1530-1540 dan 1555-1556 M), kondisi negara tidak stabil karena ia banyak menghadapi tantangan dan perlawanan dari musuh-musuhnya.[9] Di antara tantangan yang muncul adalah pemberontakan Bahadur Syah, penguasa Gujarat yang memisahkan diri dari Delhi.[10]

Pada tahun 1540 M terjadi pertempuran dengan Sher Khan di Kanauj. Dalam pertempuran ini Humayun kalah dan melarikan diri ke Kendahar dan kemudian ke Persia. Di pengasingan ini dia menyusun kekuatannya dan di sinilah ia mengenal tradisi Syi’ah. Pada saat itu Persia di pimpin oleh penguasa Safawiyah yang bernama Tahmasp. Setelah lima belas tahun menyusun kekuatannya dalam pengasingan di Persia, ia kembali menyerang musuh-musuhnya dengan bantuan raja Persia. Humayun dapat mengalahkan Sher Khan setelah lima belas tahun berkelana meninggalkan Delhi. Ia kembali ke India dan menduduki tahta kerajaan Mughal pada tahun 1555 M.[11] Pada tahun 1556 M Humayun meninggal dunia dan kemudian digantikan oleh anaknya Akbar Khan.

Akbar Khan ( 1556-1605 M), sewaktu naik tahta berumur 15 tahun, sehingga pada masa awal pemerintahannya, Akbar menyerahkan urusan kenegaraan pada Bairam Khan, seorang Syi’i. Awal periode ini ditandai dengan berbagai pemberontakan. Bairam Khan harus menghadapi sisa-sisa pemberontakan keturunan Sher Khan yang masih berkuasa di Punjab. Selain itu pemberontakan yang mengancam pemerintahan Akbar adalah Hemu seorang penguasa Gwalior dan Agra. Pasukan Hemu berusaha memasuki kota Delhi, Bairam Khan menyambut pemberontakan ini dengan mengerahkan pasukan yang besar. Pertempuran antara keduanya dikenal sebagi pertempuran Panipat II, terjadi pada tahun 1556 M. Pasukan Bairam Khan berhasil memenangkan peperangan ini, sehingga wilayah Agra dan Gwalior dapat dikuasai secara penuh.[12]

Setelah Akbar dewasa ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai pengaruh sangat kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran Syi’ah. Bairam Khan mencoba untuk memberontak, tetapi usahanya ini dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M. Setelah persoalan-persoalan dalam negeri dapat diatasi, Akbar mulai melakukan ekspansi. Ia berhasil menguasai Chundar, Ghond, Chritor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat, Bihar, Bengal, Kashmir, Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Admadnagar, Dan Ashgar.[13]

Stabilitas politik yang berhasil diciptakan oleh Akbar melalui sistem pemerintahan militeristik mendukung pencapaian kemajuan di bidang perekonomian, ilmu pengetahuan dan peradaban. Kemajuan di bidang ekonomi ditandai dengan kemajuan sektor pertanian dan perindustrian.

Setelah Akbar, maka penguasa selanjutnya adalah Jahangir (1605-1628 M), putera Akbar. Jahangir penganut ahlussunnah wal jamaah. Pemerintahan Jahangir juga diwarnai dengan pemberontakan, seperti pemberontakan di Ambar yang tidak mampu dipadamkan. [14]Pemberontakan juga muncul dari dalam istana yang dipimpin oleh Kurram, puteranya sendiri. Dengan bantuan panglima Muhabbat Khar, Kurram menangkap dan menyekap Jahangir. Tetapi berkat usaha permaisuri, permusuhan ayah dan anak dapat didamaikan.

Akhirnya setelah Jahangir meninggal, Kurram naik tahta dan bergelar Muzaffar Shahabuddin Muhammad Shah Jehan Padshah Ghazi. Shah Jehan (1627-1658 M), pemerintahannya diwarnai dengan timbulnya pemberontakan dan perselisihan di kalangan keluarganya sendiri. Seperti dari ibunya, adiknya Syahriar yang mengukuhkan dirinya sebagai kaisar di Lahore. Namun pemberontakan itu dapat diselesaikannya dengan baik. Pada tahun 1657 M, Shah Jehan jatuh sakit dan mulai timbullah perlombaan dikalangan anak-anaknya, karena saling ingin menjadi kaisar. Dalam pertarungan itu, Aurangzeb muncul sebagai pemenang karena telah berhasil mengalahkan saudara-saudaranya Dara, Sujak, Murad.[15]

Aurangzeb adalah sultan Mughal besar terakhir yang memerintah mulai tahun 1658-1707 M. [16] Dia bergelar Alamgir Padshah Ghazi. Dia adalah penguasa yang berani dan bijak. Kebesarannya sejajar dengan Akbar, pendahulunya. Di akhir pemerintahannya dia berhasil menguasai Deccan, Bangla dan Aud. Sistem yang dijalankan Aurangzeb banyak berbeda dengan pendahulunya. Kebijakan-kebijakan yang telah dirintis oleh raja-raja sebelumnya banyak diubah, khususnya yang menyangkut hubungan dengan orang Hindu. Aurangzeb adalah penguasa Mughal yang membalik kebijakan konsiliasi dengan Hindu. Diantara kebijakannya adalah melarang minuman keras, perjudian, prostitusi dan penggunaan narkotika ( 1659 M). Tahun 1664 dia juga mengeluarkan dekrit yang isinya tidak boleh memaksa wanita untuk satidaho, yaitu pembakaran diri seorang janda yang ditinggal mati suaminya, tanpa kemauan yang bersangkutan. Akhirnya praktek ini dihapus secara resmi pada masa penjajahan Inggis.[17] Aurangzeb juga melarang pertunjukan musik di istana, membebani non muslim dengan poll-tax, yaitu pajak untuk mendapatkan hak memilih ( 1668 M), menyuruh perusakan kuil-kuil Hindu dan mensponsori pengkodifikasian hukum Islam yang dikenal dengan Fatawa Alamgiri.[18]

Tindakan Aurangzeb di atas menyulut kemarahan orang-orang Hindu. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan pemberontakan di masanya. Namun karena Aurangzeb sangat kuat, pemberontakan itu pun dapat dipadamkan. Meskipun pemberontakan–pemberontakan tersebut dapat dipadamkan, tetapi tidak sepenuhnya tuntas. Hal ini terbukti ketika Aurangzeb meninggal (1707 M), banyak wilayah-wilayah memisahkan diri dari Mughal dan terjadi pemberontakan oleh golongan Hindu.

Setelah Aurangzeb meninggal ( 1707 M), maka dinasti Mughal ini dipimpin oleh sultan-sultan yang lemah yang tidak dapat mempertahankan eksistensi kesultanan Mughal. Adapun penguasa-penguasa Mughal sesudah Aurangzeb antara lain : Bahadur Syah I( 1707-1712 M), Jihandar Syah ( 1712-1713 M), Farruk Siyar (1713-1719 M), Muhammad Syah ( 1719-1748 M), Ahmad Syah (1748-1754 M), Alamgir II (1754-1759 M), Syah Alam (1759-1806 M), Akbar II ( 1806-1837 M), Bahadur Syah II ( 1837-1858 M)[19]

E. Dinamika Sosial Keagamaan

Penduduk mayoritas di anak benua India beragama Hindu, Muslim merupakan kelompok minoritas. Umat muslim yang minoritas ini, tidak semuanya menjadi bagian dari elite pemerintah. Mereka tidak membentuk sebuah komunitas tunggal tetapi terdiri dari berbagai kelompok etnik, nasab, dan sejumlah kelas penduduk, bahkan terdiri dari beberapa kasta. Sebagaimana warga Hindu, warga muslim sering dikenali dengan kelompok kekeluargaan dan kelompok spesialisasi pekerjaan, tersusun dalam sebuah hirarki yang mana kedudukan mereka yang paling tinggi berada pada tentara Afghanistan dan Asia Tengah dan keluarga-keluarga keturunan nabi atau keturunan ulama ‘Iran dan Arab. Sementara masyarakat yang pekerjaannya adalah pengrajin dan buruh menempati posisi yang lebih rendah.[20]

Muslim India membentuk sejumlah badan keagamaan berdasarkan persekutuan terhadap mazhab hukum, thariqat sufi, dan persekutuan terhadap ajaran syaikh, ulama, dan wali individual. Sebagian mereka adalah warga Sunni dan sebagian Syi’I, walaupun hal ini bukan sebagai pembeda yang absolut, karena kuatnya simpati warga Sunni terhadap keluarga Ali. Warga Sunni sendiri dibedakan dalam dua golongan yaitu golongan pertama adalah para ulama mazhab hukum, dan thariqat, mereka adalah orang yang kommitmen terhadap Islam dan menjalankan Islam secara murni baik dalam aspek aqidah dan hukum yang dinyatakan di dalam Al-qur’an, Hadis, dan Syari’ah. Golongan kedua adalah para sufi dan murid-muridnya yang mengelola beberapa makam keramat, dan mengelola thariqat yang dibentuk atas namanya yang mana mereka cenderung meyakini kemukjizatan para wali, sehingga pemujaan wali-wali besar mengaburkan perbedaan antara muslim dan Hindu; beberapa teori dan kosmologi sufi mencampurkan antara konsep Hindu dan konsep muslim.[21]

Pada dinasti Mughal berkembang Thariqat Naqshabandiyah, Qadiriyah, Thariqat Chistiyah. Akbar mendukung thariqat Chistiyah yang mentolerir beberapa bentuk pemujaan yang dinamakan Din Ilahi, atau agama ketuhanan yang merupakan sintesa antara Hinduisme dan Islam, dimana sang raja dipandang sebagai guru besar dari thariqat tersebut. Thariqat Chistiyah dibentuk berdasarkan pandangan religius pribadi sang guru pendiri dan kebaktian pribadi dari pada muridnya. [22]

Umat Islam di anak benua India ini juga menyerukan dakwah kepada warga India yang tidak beragama Islam. Warga India yang berpindah ke agama Islam sebagian besar berasal dari kelas masyarakat rendahan. Kaum elite yaitu tentara Turki dan Afghanistan kurang menghendaki konversi agama di kalangan bangsawan, karena mereka khawatir akan terjadi perebutan kekuasaan dalam bidang politik.

Di Bengal dan Punjab umat muslim turut memperingati berbagai perayaan Hindu, beribadah di beberapa tempat suci Hindu, melaksanakan sesajen pada dewa-dewa Hindu dan menyelenggarakan perkawinan dalam pola tradisi Hindu. Warga Hindu yang memeluk Islam tetap mempertahankan unsur-unsur keyakinan dan praktek lama mereka, banyak warga Hindu mengeramatkan wali-wali muslim tanpa mengubah identitas agama mereka.

Inilah gambaran umum mengenai kultur keagamaan di Dinasti Mughal. Di mana batas-batas Islam dan Hinduisme lebih fleksibel dibandingkan sebagaimana di dalam doktrin formalnya. Islam memasuki lingkungan masyarakat India pada umumnya melalui asimilasi dan melalui bentuk-bentuk tertentu yang diasimilasikan menjadi kultur pribumi.

Sekalipun cukup berhasil dalam mengkonversi warga Hindu ke Islam, namun mayoritas warga India tetap beragama Hindu.[23]


F. Kemajuan Yang Dicapai Pada Masa Dinasti Mughal

1. Bidang Pemerintahan dan Sosial- Politik

Sistem pemerintahan Dinasti Mughal adalah militeristik. Pemerintah pusat dipegang oleh sultan yang bersifat diktator. Pemerintah daerah dipegang oleh sipah salar atau kepala komandan, sedangkan sub distrik dipegang oleh faudjar (komandan). Jabatan-jabatan sipil juga memakai jenjang militer dimana para pejabatnya diwajibkan mengikuti latihan militer. [24]

Sistem yang menonjol adalah politik “Sulakhul” atau toleransi universal. yang diterapkan oleh Akbar. Dengan politik ini semua rakyat India dipandang sama. Mereka tidak dibedakan Karena perbedaan etnis dan agama. Secara umum politik “Sulakhul” ini berhasil menciptakan kerukunan masyarakat India yang sangat beragam suku dan keyakinannya. Lembaga yang merupakan produk dari sistem politik “Sulakhul” adalah terciptanya Din Ilahi,[25] yaitu menjadikan semua agama yang ada di India menjadi satu. Tujuannya adalah kepentingan stabilitas politik. Dengan adanya penyatuan agama ini diharapkan tidak terjadi permusuhan antar pemeluk agama. Untuk merealisasikan ajarannya Akbar mengawini putri Hindu sebanyak dua kali, berkhutbah dengan menggunakan simbol Hindu, melarang menulis dengan huruf Arab, tidak mewajibkan khitan dan melarang menyembelih atau memakan daging sapi.[26] Usaha lain Akbar adalah membentuk mansabdharis, yaitu lembaga public service yang berkewajiban menyiapkan segala urusan kerajaan, seperti menyiapkan sejumlah pasukan tertentu. [27]Lembaga ini merupakan satu kelas penguasa yang terdiri dari berbagai etnis yang ada, yaitu Turki, Afghan, Persia Dan Hindu.

2. Bidang Ekonomi dan Keuangan

Tidak ada suatu kemajuan pun yang bisa dicapai oleh suatu pemerintahan, tanpa ditopang dengan ekonomi serta keuangan yang kuat. Karena itulah, para sultan Mughal sangat memperhatikan hal tersebut. Untuk itu, maka dikenakan pajak atas tanah, bea cukai dan lain-lain. [28]

Selain itu Kontribusi Mughal di bidang ekonomi adalah memajukan pertanian terutama pertanian untuk tanaman padi, kacang, tebu, rempah-rempah, tembakau dan kapas. Pemerintah membentuk lembaga khusus untuk mengatur masalah pertanian. Wilayah terkecil disebut deh, dan beberapa deh tergabung dalam Pargana (Kawedanan). Setiap komunitas petani dipimpin oleh Mukaddam. Melalui Mukaddam inilah pemerintah berhubungan dengan petani.[29]

Di samping pertanian, pemerintah juga memajukan industri tenun, yang mana kerajinan tenun berkembang menjadi pabrik tekstil pada masa Aurangzeb. Hasil industri ini banyak di ekspor ke luar negeri seperti Eropa, Arab, Asia Tenggara dan lain-lain. Rempah-rempah, opium, gula, bubuk sodium, wool, parfum dan lain-lain juga merupakan barang-barang produksi Mughal yang menjadi komoditi ekspor dan menambah sumber keuangan Mughal. Pada masa Jahangir, banyak investor asing yang diizinkan menanamkan investasinya, seperti mengizinkan Inggris dan Belanda mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat.[30]

2. Bidang Intelektual ( Pendidikan dan Pengetahuan)

Dinasti Mughal juga banyak memberikan sumbangan di bidang ilmu pengetahuan. Sejak berdiri dinasti ini banyak ilmuwan yang datang ke India untuk menuntut ilmu pengetahuan, bahkan istana Mughal pun menjadi pusat kegiatan kebudayaan. Hal ini karena adanya dukungan dari penguasa dan bangsawan serta ulama. Aurangeb misalnya, memberikan sejumlah besar uang dan tanah untuk membangun pusat pendidikan di Lucknow, Akbar juga menghibahkan sekolah dan perpustakaan .[31].

Pada masa Mughal, tiap-tiap masjid memiliki lembaga tingkat dasar yang dikelola oleh seorang guru. Pada masa Shah Jehan didirikan sebuah perguruan tinggi di Delhi. Jumlah ini semakin bertambah ketika pemerintahan dipegang oleh Aurangzeb. Di bidang ilmu agama berhasil dikodifikasikan hukum Islam yang dikenal dengan sebutan fatawa I Alamgiri.[32]

Selain hal di atas, banyak juga dibangun sekolah-sekolah atau madrasah pada masa ini, disertai dengan corak sekolah yang berbeda, baik dikarenakan perbedaan mazhab maupun disebabkan kekhususan ilmu, Seperti madrasah Rahimiyah di Deobond dengan mata kuliah pokok tafsir, hadis dan fiqih. Selain itu dibangun juga perpustakaan, seperti di Agra yang pada tahun 1641 telah memiliki 24.000 buku. Akibat dari banyaknya sekolah yang dibangun, maka banyak lahir para ahli intelektual, atau pengarang-pengarang seperti dalam bidang politik, filsafat, hadis, qur’an, tasawuf, at-thib ( ilmu kedokteran ), ilmu pasti, ilmu peperangan, ilmu teknik.[33]

Dokter-dokter pengarang besar abad 17 pada masa Mughal India adalah Dara Shukuh yang mengarang kedokteran Dara Shukuh, yang merupakan ensiklopedi medis besar terakhir dalam Islam. Ia juga dikenal sebagai seorang sufi.

Ilmu medis Islam terus berkembang di India sepanjang abad 12 H/ 18 M, seperti skala kedokteran yang dibuat oleh Muhammad Akbar Syah Arzani dari Shiraz. Dengan kehadirannya ilmu medis India/ Islam yang merupakan ilmu medis yang berbentuk filosofi medis ( memakai pendekatan kepada Allah) hidup bersaing dengan ilmu medis modern Eropa.[34] Di samping banyak madrasah dan ulama lahir pula Mausu’at dan Majmu’at ( Buku kumpulan berbagai ilmu dan masalah, seperti ensiklopedi).

4. Bidang Arsitektur, Bahasa dan Sastra

Hasil karya seni dan arsitektur Mughal sangat terkenal dan bisa dinikmati sampai sekarang. Ciri yang menonjol dari arsitektur Mughal adalah pemakaian ukiran dan marmer yang timbul dengan kombinasi warna-warni. Bangunan yang menunjukkan ciri ini antara lain: benteng merah (Lah Qellah), istana-istana, makam kerajaan dan yang paling mengagumkan adalah Taj Mahal di Agra. Istana ini merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang dibangun oleh Shah Jehan khusus untuk istrinya Momtaj Mahal yang cantik jelita. Bangunan lain yang bermotif sama adalah Masjid Raya Delhi yang berlapis marmer, sebuah istana di Lahore, istana Fatpur Sikri di Sikri, masjid Moti “ masjid Mutiara” di Agra, yang seluruhnya terbuat dari marmer dan dipahatkan Al-qur’an didalamnya dengan mempergunakan marmer hitam. [35]

Bidang sastra juga menonjol. Banyak karya sastra yang digubah dari bahasa Persia ke bahasa India. Pada masa Akbar berkembang bahasa Urdu, yang merupakan perpaduan antara bahasa Persia dan Hindi asli.[36] Bahasa Urdu pernah dijadikan bahasa ilmu pengetahuan diantaranya karangan Ikhwanus Shofa di salin ke dalam bahasa Urdu oleh Ikrom Ali. Bahasa Urdu ini kemudian banyak dipakai di India dan Pakistan sekarang. Sastrawan Mughal yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayashi, dengan karya monimentalnya Padmavat, sebuah karya alegoris yang mengandung kebajikan jiwa manusia. Sastrawan lain adalah Abu Fadhl yang juga sejarawan. Karyanya berjudul Akbar Nama dan Ain-I-Akhbari, yang mengupas sejarah Mughal berdasarkan figur pimpinannya.[37]


G. Kemunduran Dinasti Mughal

Pada permulaan abad kedelapan belas, Dinasti Mughal di India memasuki zaman kemunduran. Para pelanjut Aurangzeb tidak sanggup lagi mempertahankan kekuasaan. Perang saudara untuk merebut kekuasaan di Delhi selalu terjadi. Para pelanjut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Secara sederhana, faktor-faktor penyebab kemunduran Dinasti Mughal dapat diklasifikasikan menjadi dua: faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor Internal

1. Masalah Politik Kerajaan

1.1. Krisis Kepemimpinan

Sepeninggal Aurangzeb, dalam kurun waktu satu setengah abad berikutnya, tidak ada lagi pengganti yang mampu mempertahankan, apalagi memajukan Dinasti Mughal yang telah mencapai kejayaannya. Pada umumnya mereka lemah dan tidak mampu menyelesaikan problema yang dihadapi.

Di samping pengganti Aurangzeb adalah orang-orang yang lemah kepemimpinannya, mereka juga dilanda dekadensi moral dan hidup mewah di istana. Misalnya, Kenaikan Jihandar Syah sebagai sultan, yang menggantikan Bahadur Syah oleh sebab peranan aktif Zulfikar Khan, putera Azad Khan, bekas wazir Aurangzeb, membawa sultan mudah didikte oleh wazirnya.[38]

1.2.Perang Saudara

Perang saudara sebenarnya telah terjadi semenjak zaman Jahangir, pengganti Akbar, yang berkuasa selama 1605-1628 M. Ia mendapat tantangan dari saudaranya, Khusraw yang berambisi untuk menjadi raja. Dengan dibantu oleh pamannya, Mansingh, Khusraw berhasil menyusun kekuatan di Punjab dengan menjalin kerja sama dengan orang-orang Sikh yang dipimpin oleh guru Arjun. Khusraw kemudian berusaha untuk merebut Lahore, tetapi dapat digagalkan oleh Jahangir, dan Khusraw dipenjarakan di Bhairawal.[39]

Demikian juga pada waktu Shah Jehan naik tahta menggantikan Jahangir, ia harus menghadapi ibunya dan adiknya Syahriar, walaupun pada akhirnya ia berhasil menyelesaikan tantangan ini.

Perebutan kekuasaan ini juga terjadi pada waktu Shah Jehan sakit keras pada tahun 1657 M. Anak laki-lakinya, Aurangzeb, Dara Shikeh, Shuja dan Murad Bakhs terlibat perang saudara, yang mana akhirnya dimenangkan oleh Aurangzeb.[40]

Setelah Aurangzeb meninggal dunia di tahun 1707 M, putranya yang bernama Mu’azzamlah yang berhasil menggantikan ayahnya sebagai raja dengan nama Bahadur Syah, setelah ia mengalahkan saudaranya Azimah dan Kam Bakhs.[41]

Pada kurun waktu lima tahun pemerintahan Bahadur Syah, gejolak politik semakin berkembang, baik dari lingkungan istana maupun dari lapisan masyarakat luas. Tetapi keadaan demikian ini masih dapat diatasi oleh Bahadur Syah. Namun setelah kematiannya pada tahun 1712 M, putera-puteranya terlibat dalam perebutan kekuasaan. Putera Bahadur Syah, Azimus Syah, dinobatkan untuk menggantikan ayahnya tetapi mendapat perlawanan dari saudaranya yang. Dalam persaingan ini, Jenderal Zulfiqar Khan turut memainkan peranan penting dan atas pengaruhnya, putra terlemah, Jihandar Syah dinobatkan sebagai raja. Tetapi Jihandar Syah mendapat tantangan dari keponakannya Muhammad Farrukh Siyar. Dalam pertempuran yang terjadi di tahun 1713 M, Farrukh Siyar memperoleh kemenangan dan dapat mempertahankan kedudukannya sampai tahun 1719 M.[42]

Perselisihan dan perebutan kekuasaan yang terjadi di kalangan keluarga istana ini mengakibatkan Dinasti Mughal mengalami kemunduran. Ketidakstabilan politik ini mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah, sehingga satu persatu daerah melepaskan loyalitasnya pada pemerintah pusat. Selain itu golongan-golongan Hindu semakin berani untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mughal .

2. Gerakan Hindu

Beberapa gerakan agama dan budaya muncul untuk menghancurkan kekuatan kerajaan dari dalam. Gerakan revivalis Hindu, yang memiliki karakter tegas, berkembang pesat di India. Gerakan tersebut berkembang pesat di India dan sering kali menampilkan diri sebagai gerakan semi-Islam.

Gerakan Bhakti muncul di India Selatan. Pengaruhnya tersebar sampai ke India Utara. Walaupun gerakan Bhakti dipelopori oleh sejumlah tokoh ( misalnya Kabir) yang mengumandangkan perdamaian universal dan bahkan meminjam beberapa unsur Islam ( misalnya monotheisme) menjelang abad ke-17, gerakan ini berubah menjadi gerakan anti-Islam.

Pemberontakan-pemberontakan yang mengancam eksistensi kedaulatan Mughal tidak hanya terjadi pada masa akhir kekuasaan, tetapi pada masa Aurangzeb juga pernah terjadi pemberontakan oleh orang-orang Hindu. Pemberontakan Sikh[43] dipimpin oleh guru Tegh Bahadur dan kemudian oleh guru Gobind Singh. Pemberontakan Rajput dipimpin oleh Uaipar dan pemberontakan kaum Marathas dipimpin oleh Sivaji dan Sambaji.[44]

Sepeninggal Aurangzeb, gerakan pemberontakan semakin gencar. Bahadur Syah pada waktu itu memegang tampuk kekuasaan tidak mampu menahan daerah-daerah yang berusaha melepaskan diri. Golongan Sikh di bawah pimpinan Banda berhasil merebut kota Sadhaura, sebelah Utara Delhi, dan kemudian merampok dan membunuh penduduk kota Sirhin yang beragama Islam. Pada tahun 1732 M, Gujarat dapat direbut oleh golongan Marathas yang dipimpin oleh Baji Raja[45]

Dari sekian banyak gerakan etnis dan agama tersebut, gerakan orang Marathas dan Sikh memainkan peran paling besar dalam melemahkan orang Mughal. Para pemipin mereka, Sivaji dan guru Gobin Singh, melibatkan diri secara pribadi untuk menentang orang Mughal, karena pendahulu mereka dibunuh oleh Aurangzeb. Aurangzeb menghabiskan seluruh waktu menjelang akhir masa pemerintahannya untuk menaklukan gerakan orang Marathas di Selatan. Namun upaya ini tetap sia-sia.

b. Faktor Eksternal
Ekspansi Negara Lain

Serangan dari Persia

Awal persengketaan antara Dinasti Mughal dan Kerajaan Safawi adalah daerah Kendahar. Pada tahun 1622 M, daerah tersebut dikuasai oleh Safawi. Tetapi pada tahun 1638 M, Ali Mardan Khan, gubernur pada waktu itu, menyerahkan Kendahar kepada Shah Jehan dengan imbalan harta dan pangkat tinggi. Syah Abbas ( 1642-1667 M) dari kerajaan Safawi berhasil merebut kembali Kendahar pada tahun 1649 M. Aurangzeb dan Sadullah Khan dari Dinasti Mughal dengan tentara sekitar 70.000 orang gagal mempertahankan Kendahar. Pada tahun 1652 M, Dinasti Mughal berusaha menyerbu kembali Kendahar, tetapi kembali mengalami kegagalan.[46]

Pada tahun 1739 M, Nadir Syah dari Safawi menyerbu Mughal dengan alasan bahwa penguasa Mughal, Muhammad Syah, tidak mau menerima duta yang dikirim Nadir Syah, dan melindungi pemberontakan Afghan. Nadir Syah berusaha menguasai Kabul, Peshawar, dan Lahore. Selanjutnya Nadir Syah melanjutkan penyerbuan ke Delhi. Muhammad Syah mencoba melakukan perlawanan, tetapi sia-sia karena kekuatan yang tidak seimbang. Setelah membantai warga Delhi, Nadir Syah mengangkut kekayaan raja ke Persia dengan membiarkan kota Delhi berantakan.

Rupanya motif Nadir Syah hanya untuk mendapatkan harta jarahan. Karena itu, sekalipun ia telah menguasai Delhi, ia masih mengakui Muhammad Syah sebagai raja Delhi dengan imbalan upeti, dengan kekalahan itu, Muhammad Syah harus membayar upeti dan juga harus menyerahkan daerah sebelah barat sungai Indus kepada Safawi [47]

1.2. Serangan dari Afghanistan

Pada masa pemerintahan Muhammad Syah, Dinasti Mughal mendapat serangan dari Utara yang dipimpin oleh Ahmad Syah al-Durrani al-Afghani. Pada tahun 1748 M, al-Durrani berhasil menguasai Lahore, yang kemudian dibebaskan kembali pada masa Alamgir II (1754-1759 M). Setelah menguasai Lahore, ia memasuki Delhi terus ke Agra. Di Delhi ia meninggalkan sebagian tentaranya yang dipimpin oleh Najibuddaulah.[48]

Wakil al-Durrani, Najibuddaulah, diserang Alamgir sehingga Delhi. Agra, dan Lahore dapat direbut kembali Tetapi ketika al-Durrani mengetahui hal itu, ia melakukan serangan kembali pada tahun 1761 M, dengan tanpa mendapat perlawanan yang berarti dari Mughal. Setelah itu, al-Durrani memperkuat pengaruhnya di Lahore, Delhi, dan Sihanipur, termasuk menentukan raja yang akan memerintah di India. Hal ini berlangsung sampai masa pemerintahanan Syah Alam (1761-1806 M). [49]Kampanye Ahmad Syah al-Durrani memberikan hantaman materil dan moral kepada Dinasti Mughal. Suatu hantaman yang telak sehingga kekaisaran ini tidak pernah bangkit kembali dari kehancuran.[50]

2. Intervensi Politik-Ekonomi Inggris

Kemunduran Mughal dalam sektor politik dan ekonomi dimanfaatkan oleh bangsa-bangsa Eropa melalui jalur perdagangan. Kedatangan orang-orang Eropa di India dangan membawa pemikiran baru, teknik militer dan teknologi mengejutkan Mughal yang sedang dalam kondisi lemah. Di pantai Selatan India terjadi persaingan dagang antara Portugis, Belanda, Perancis dan Inggris. Dalam kompetensi tersebut Inggris lebih unggul.

Selanjutnya, pada tahun 1761 M, Inggris diberi izin oleh Syah Alam untuk menetap di Bengal, India Timur, karena raja Mughal ini harus tunduk dan membayar upeti kepada Afghanistan. Kemudian Inggris membuka perserikatan dagang The East India Company (EIC) dengan maksud menguasai sumber komoditi India.[51]

Kesuksesan Inggris menguasai sumber-sumber komoditi India dilanjutkan dengan mendirikan pabrik-pabrik di Bengal. Dengan alasan untuk keamanan usahanya, Inggris mendatangkan pasukan keamanan sehingga pabrik-pabrik tersebut berubah menjadi benteng pertahanan milik kerajaan India-Inggris (British-India). [52]Melihat kondisi Dinasti Mughal yang lemah dan rajanya pun tidak mampu mengendalikan keadaan wilayahnya, Inggris kemudian ikut campur dalam politik India melalui The East India Company ( EIC).

Sesudah Syah Alam meninggal pada tahun 1806 M, tahta kerajaan dipegang oleh Akbar II ( 1806-1837 M). Pada pemerintahan Akbar II terjadi konsesi antara Mughal dan EIC. Inggris bebas mengembangkan usahanya dan sebagai imbalannya Inggris memberikan jaminan kehidupan raja dan keluarga istana. Dengan demikian, kekuasaan Mughal sudah berada di tangan Inggris meskipun kedudukan dan gelar sultan tetap dipertahankan.

Puncak kekuasaan Inggris dicapai pada tahun 1857 ketika kerajaan Mughal benar-benar jatuh dan rajanya yang terakhir, Bahadur Syah diusir ke Rangun ( 1858). Hal ini dapat terjadi karena Inggris juga mendapat dukungan dari beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim. Atau Inggris menerapkan politik “devide et impera”, untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian berakhirlah Dinasti Mughal di India.[53]

Maka sejak tahun 1818 M, Inggris menjadi kekuatan terkemuka di sebagian wilayah India, terutama daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Bengal, daratan sungai Gangga dan wilayah sekitar lembah Indus. Kehadiran Inggris mendapat reaksi yang beragam dari umat Islam. Ada tiga kelompok yang berbeda strategi dalam merespon imperialisme Inggris. Pertama, kelompok yang non-kooperatif yang dipelopori oleh ulama tradisional Deoband. Kedua, bekerjasama dengan Inggris, diwakili oleh Sayyid Ahmad Khan, dan ketiga, menjaga jarak dengan Inggris, yang dimotori oleh gerakan Aligarh yang merupakan pengikut Ahmad Khan.

Akibat dari reaksi-reaksi di atas, maka pada tahun 1940, terjadilah kesepakatan yang disebut dengan Resolusi Lahore atau Resolusi Pakistan, hal ini dipelopori oleh Liga Muslim India. Isi kesepakatan tersebut adalah: wilayah-wilayah umat Islam berada dalam mayoritas seperti zona barat laut dan timur India harus dikelompokkan sebagai negara yang merdeka. Wilayah-wilayah inilah yang kemudian hari menjadi negara Pakistan.[54]

Pada tahun 1942, pemerintah Inggris melalui Stafford Cripps menawarkan kemerdekaan pada India setelah perang dunia II. Inggris juga menyetujui hak menentukan diri sendiri pada pemerintahan propinsi untuk memilih tetap sebagai bagian dari India atau berdiri sendiri, sehingga propinsi yang umat Islamnya mayoritas dapat membentuk federasi tersendiri. Maka pada akhirnya nanti berdirilah negara Bangladesh.[55]

Kemunduran kerajaan Mughal mengakibatkan kerugian simbolik sekaligus kerugian praktis. Masuknya perusahaan Inggris (EIC) semakin memperburuk keadaan. Semenjak Inggris mengkonsolidasi kekuatannya, mereka mulai membatasi pendapatan para Zamindar Agung. Kalangan bangsawan dilepaskan dari penghasilan pajak dan pertambangan, cukai dan sewa bazar. Sejumlah subsidi yang diberikan kepada keluarga sultan dibagi-bagi di antara sejumlah ahli waris dan akan diberikan kepada pemberi pinjaman uang.

Ketika Syah Alam meninggal pada tahun 1806 M, kerajaan selanjutnya dipegang oleh Akbar II (1806-1837). Pada tahun 1830, kalangan missionari Inggris semakin aktif, dan para pejabat Inggris mulai menindas praktik keagamaan di mana mereka sering menjatuhkan hukuman secara kejam, bahasa Inggris pun menjadi bahasa pemerintahan dan bahasa pengajaran. Pada tahun 1837 bahasa Persia dihapuskan sebagai bahasa resmi di pengadilan Mughal. Beberapa perubahan di dalam sistem peradilan dan pembentukan aturan-aturan hukum baru tentang pembuktian dan definisi baru tentang pelanggaran dan hukum pidana sangat menghujani kedudukan hakim muslim. Hal itu terjadi tepatnya pada masa pemerintahan Bahadur Syah (1837-1858) penerus ayahnya Akbar II (1806-1837).

Pada tahun 1858 kerajaan Mughal dapat dihancurkan oleh kerajaan Inggris yang mendapat dukungan dari beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim.

Ketika kerajaan Mughal dalam kondisi sempoyongan, Inggris pun semakin memperkuat posisinya, dari urusan perdagangan, Inggris memperlebar pengaruhnya dalam lapangan politik dengan membentuk EIC (The East India Company). Inggris memperkuat militernya di daerah perdagangan kemudian mereka berhasil menekan Syah Alam untuk melepaskan wilayah-wilayah tertentu di India. Dari sini rakyat merasa tertekan dan berusaha melancarkan pemberontakan. Sehingga kemunduran dinasti Mughal pun tak dapat terelakkan lagi.

Kemunduran dinasti Mughal membawa pada beberapa kerugian, diantaranya adalah kemunduran di bidang ekonomi yang berlaku umum antara tahun 1830-1857. Semenjak Inggris mengkonsolidasikan kekuatannya, mereka mulai membatasi pendapatan zamindar agung. Lebih jauh, rezim baru juga mendatangkan kerugian kultural sebagaimana kerugian di bidang politik dan ekonomi.

Penyebab kemunduran kerajaan mughal

Berbeda dengan masa satu seperempat abad sebelumnya, pada permulan abad ke-18, kerajaan mughal di India mulai memasuki masa kemunduran. Para pelanjut Ayrangzeb tidak sanggup lagi mempertahankan kebesaran pendahulunya. Perang saudara untuk memperebutkan kekuasaan, pemberintakan kelompok-kelompk separatis, maupun serangan-serangan dari luar mewarnai masa ini. Kelemahan kepemimpinan sultan dan ekonomi kerajaan mughal tidak mampu lagi memadamkan berbagai gejolak yang ada secara tuntas. Sejumlah faktor mempengaruhi terciptanya krisis kepercayaan, baik secara intelektual keagamaan maupun secara sosio politik, di kalangan muslim India dan bermulanya era kolonial dalam sejarah India. Secara sederhana, faktor-faktor tersebut diklasifikasikan menjadi dua : internal dan eksternal.

Pada tahun 1719 M, Farrukh Syiar meninggal dunia terbunuh oleh pengikutnya sendiri, kemudian digantikan oleh Muhammad Syah (1719-1748 M), ia dan pengikutnya terusir oleh suku Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah yang sebelumnya telah berhasil melenyapkan kekuasaan Safawi di Persia. Keinginan Nadir Syah untuk menundukkan kerajaan Mughal terutama karena menurutnya, kerajaan ini banyak sekali memberikan bantuan kepada pemberontak Afghan di daerah Persia.

Banyaknya konflik yang terjadi mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah. Pemerintahan daerah satu persatu melepaskan loyalitasnya dari pemerintah pusat, bahkan cendrung memperkuat posisi pemerintahannya masing-masing. Desintegrasi wilayah kekuasaan Mughal ini semakin diperburuk oleh sikap daerah, yang di samping melepaskan loyalitas terhadap pemerintah pusat, juga mereka senantiasa menjadi ancaman serius bagi eksistensi dinasti Mughal itu sendiri.

Setelah Muhammad Syah meninggal, tahta kerajaan di pegang oleh Ahmad Syah (1748-1754). Kemudian diteruskan oleh Alamghir II (1761-1806). Pada tahun 1761 M, kerajaan Mughal diserang oleh Ahmad Khan Durrani dari Afghan. Kerajaan Mughal tidak dapat bertahan dan sejak itu kerajaan Mughal berada di bawah kekuasaan Afghan, meskipun Syah Alam tetap diizinkan memakai gelar sultan.



Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal itu mundur pada satu setengah abad terakhir, dan membawa kepada kehancuran pada tahun 1858 yaitu:

1. Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal.

2. Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elit politik yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.

3. pendekatan Aurangzeb yang terlampau kasar dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecendrungan asketisnya, sehingga konflik antar agama sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya.

4. semua pewaris tahta kerajaan pada separuh terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.


Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah DINASTI MUGHAL DI INDIA (932-1274 H / 1526-1858 M), anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com
Daftar Pustaka dan Footnote




DAFTAR PUSTAKA







Abdul Mun’im, Tarikh al-Islam fi al-Hindi, Kairo : Dar al-‘Ahd al-Jadid, 1959.



Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004



Anwar Jundi, Tarikh al-Islam, Jilid II, Kairo : Dar al- Anshar, t.t.



Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000.



C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, terj. , Bandung : Mizan, 1993.



Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura : Pustaka Nasional PTE. LTD, 1994



Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai aspeknya, Jilid I, Jakarta: Universitas Indonesia, 1985



…………………, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah, Pemikiran, dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1975.



Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Islam, Juz III, Kairo: al-Maktabat al-Mishriyyat, 1979.



Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, jilid I & 2, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999.



Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Bani Quraisyh, 2004.



K. Ali, Sejarah Islam ( Tarikh Pramodern), Jakarta : Raja Grafindo Persada,1997.







M. Mujib, The Indian Muslim, London : George Alen, 1967.



Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta : Kencana, 2003



P.M. Holt, dkk, The Cambridge History of Islam, London : Cambridge University Press, 1970.



SAA Rivzi, Religion and Intelectual History of Muslim in Akbar Reign, New Delhi : Musgiran, Munoharlal, 1975.



Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam, Dari Masa Klasik Hingga modern, Yogyakarta : LESFI, 2002.



S. M. Ikram, Muslim Civilization In India, New York : Columbia University Press, 1965.



Syed Mahmudunnasir, Islam ; Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Rosdakarya, 1993.



Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah III, Jakarta : Bulan Bintang, 1997.


[1] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung : Bani Quraisyh, 2004), h. 136.

[2] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Islam, Juz III, ( Kairo: al-Maktabat al-Mishriyyat, 1979), h. 92.

[3] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah III, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1997), h. 77-80.

[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), h. 147

[5] Ibid.

[6] Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam ; Dari Masa Klasik Hingga modern, (Yogyakarta : LESFI, 2002), h. 184.

[7] S. M. Ikram, Muslim Civilization In India, ( New York : Columbia University Press, 1965), h. 136

[8] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), h. 203.

[9] Hamka, Sejarah Umat Islam, ( Singapura : Pustaka Nasional PTE. LTD, 1994),h. 504

[10] Syed Mahmudunnasir, Islam ; Konsepsi dan Sejarahnya, ( Bandung : Rosdakarya, 1993), h. 265-266

[11] C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, terj. (Bandung : Mizan, 1993), h. 226

[12] K. Ali, Sejarah Islam ( Tarikh Pramodern), ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), h. 354.

[13] M. Mujib, The Indian Muslim, ( London : George Alen, 1967), h. 254

[14] PM. Holt, dkk, The Cambridge History of Islam ( London : Cambridge University Press, 1970), h. 45

[15] Syed Mahmudunnasir, Islam ; Konsepsi dan Sejarahnya….h.277

[16] Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai aspeknya, Jilid I, ( Jakarta : Universitas Indonesia, 1985),h. 85

[17] Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam ; Dari Masa Klasik Hingga modern,h. 186

[18] K. Ali, Sejarah Islam ( Tarikh Pramodern)……, h. 536.

[19] Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam ; Dari Masa Klasik Hingga modern…h. 186-187



[20] Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, jilid I & 2, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada),h. 703.

[21] Ibid., h. 704

[22] Ibid., h. 703

[23] Ibid., h. 685.

[24] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Islam, ….h. 205

[25] Ibid., h. 206

[26] SAA Rivzi, Religion and Intelectual History of Muslim in Akbar Reign ( New Delhi : Musgiran, Munoharlal, 1975), h. 376-377

[27] C. E. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam…….h. 237

[28] S. M. Ikram, Muslim Civilization in India,……h.214-215

[29] K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern),……h. 537

[30] Ibid.

[31] Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam, Dari Masa Klasik Hingga Modern….h.. 188

[32] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Islam….h. 211

[33] S. M. Ikram, Muslim Civilization in India…..h. 241

[34] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta : Kencana, 2003), h. 262

(Jakarta : Kencana, 2003), h. 262

[35] Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, …..h. 86

[36] Anwar Jundi, Tarikh al-Islam, Jilid II, ( Kairo : Dar al- Anshar, t.t), h. 209

[37] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…..h.151

[38] S. M. Ikram, Muslim Civilization in India……h. 255

[39] P.M. Holt, et.al., The Cambridge History of Islam,…,h. 44-45

[40] Syed Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Afandi……h. 369-373

[41] S. M. Ikram, Muslim Civilization in India,….h. 254

[42] Syed Mahmudunnasir, Islam : Konsepsi dan Sejarahnya….. h. 276-277

[43] Orang Sikh yang semula mengahut sinkretisme ajaran Hindu dan Islam, dalam perkembangannya lebih dipengaruhi oleh Hinduisme. Pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 mereka memerintah banyak orang Muslim dengan kejam di India Utara.

[44] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, …h. 87-88

[45] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah, Pemikiran, dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h. 19-20



[46] Syed Mahmudunnasir, Islam : Konsepsi dan Sejarahnya….. h. 276-277

[47] S. M. Ikram, Muslim Civilization in India,….h. 254

[48] Abdul Mun’im, Tarikh al-Islam fi al-Hindi, ( Kairo : Dar al-‘Ahd al-Jadid, 1959), h. 309-310

[49] Ibid.

[50] C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, terj….h. 227-238

[51] P.M. Holt. Et. Al., The Cambridge History of Islam….h. 76

[52] Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam, Dari Masa Klasik Hingga Modern….h..189

[53] Ibid.

[54] Ibid., h. 190

[55] Ibid.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved