Aneka Ragam Makalah

Makalah Sakral dan Profan



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
sakral dan profan tidak bisa terlepas dari diri manusia. Karena manusia adalah makhluk sosial yang serba berubah dan suka mencoba sesuatu hal yang belum diketahuinya yang biasa juga disebut dengan trial and arror atau mencoba-coba sesuatu. Rasa ingin tahu manusia sampai kepada sesuatu hal yang sakral atau yang dia anggap sakral. Ketika sesuatu itu di luar kemampuannya dan mereka tidak sanggup menembusnya, lalu mereka anggap suci, maka mereka anggaplah itu sesuatu yang sakral, namun apabila masih dapat dijangkaunya, dia menganggap sesuatu itu biasa-biasa saja. Sikap sakral dan profan ini terus menjalar dalam kehidupan manusia, sehingga pemahaman tentang sesuatu yang disakralkan itu menyimpang dari ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Hal ini terjadi disebabkan mereka yang beragama ardhi (bumi) masuk ke dalam agama Islam, namun ajaran-ajaran atai ritual-ritual yang ada di dalam agama mereka terikut dalam praktek ibadah mereka sehari-hari, ditambah lagi dengan pengetahuan umat Islam yang kurang tentang pemahaman akidah sehingga praktek-praketk adat yang salah yang berlaku dikalangan mereka, mereka masukkan dalam praktek ibadah mereka. 

Jadi mereka salah atau keliru dalam memandang sesuatu itu, yang profan dan anggapan mereka adalah suci, itulah yang sakral, dan sebaliknya sesuatu yang sakral dianggap hanya profan (duniawi) saja. Sampai saat sekarang ini sebagian orang atau masyarakat menganggap sesuatu yang sakral itu profan (duniawi), bahkan yang nyata-nyata profan (duniawi) malah mereka menganggapnya sakral. Penghormatan yang berlebihan terhadap seseorang juga merupakan pensakralan yang menyimpang dari ajaran Islam. Pandangan ini sangat keliru sekali dan merupakan pola piker yang salah yang harus dibetulkan. Oleh karena itu, di dalam makalah yang tipis ini Penulis akan menjelaskan semampu daya penulis, yang mana seharusnya dianggap sakral dan mana yang bukan sakral.

B. Sakral dan Profan

Sebelum kami menjelaskan tentang sacral dan profan ada baiknya kami mulai makalah ini dengan sebuah contoh. Seorang polisi lalu lintas berbadan besar itu memarkir sepeda motor besarnya di salah satu bagian perempatan jalan, menutup lalu lintas salah satu arah di kawasan Baixa, Lisabon itu. Arah yang satu masih boleh dilewati untuk sementara, katanya. Turis-turis berhenti, bertanya apa yang terjadi. Bukannya pejabat tinggi akan lewat dengan mobil yang didahului petugas pembuka jalan dengan motor bersirine yang membuat lalu lintas bagian kota yang ramai turis itu dihentikan. Yang akan lewat adalah sebuah iring-iringan orang berjalan perlahan-lahan, sebagian membawa benda-benda religius, sebagian membawa bunga dan lilin, dan semua menyanyikan lagu-lagu agamawi.

Prosesi religius adalah hal yang kerap dijumpai pengunjung yang datang ke Portugal, negeri yang mayoritas penduduknya beragama Katolik itu. Prosesi sangat panjang suatu hari di bulan Juni itu adalah untuk memperingati Tubuh Kristus. Yang membuat pengunjung menyadari bahwa ritual ini adalah bagian penting dalam hidup keagamaan mereka adalah bahwa upacara "disiarkan" sampai ke sudut-sudut kawasan itu lewat pengeras suara yang dipasang di lantai dua gedung-gedung sepanjang jalan-jalan kawasan Baixa. Suara pemimpin upacara menggema di mana-mana, membuat peserta prosesi bisa menyanyi bersama mengikuti, tanpa satu kelompok mendahului yang lain.

Bulan Juni adalah juga saat peringatan orang-orang suci Katolik. Di Portugal itu ditandai dengan berbagai pesta dan ritual, baik yang termasuk suci seperti prosesi Tubuh Kristus itu, serta yang termasuk profan, seperti pesta dan parade Hari Santo Antonio pada 12 Juni. Kalau orang mengherani apa yang menandai kekatolikan pesta itu, orang mungkin bisa menyebut bahwa namanya yang peringatan hari Santo Antonio itu yang menandai. Dari sebuah contoh ini, manakah yang dianggap sacral dan manapula yang profan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sakral adalah sesuatu yang keramat atau suci . [1]Sedangkan profan adalah sesuatu yang bersifat duniawi dijadikan sakral.[2] Di sini kami tuliskan hal-hal yang bersifat sakral dianggap profan dan yang profan dianggap sakral. Kaum sekuler berangkat dari anggapan bahwa agama dan kehidupan duniawi tidak bisa dibaurkan. Dengan demikian, nilai-nilai keagamaan tidak bisa digunakan untuk mengatur kehidupan duniawi. Alasannya sangat klasik, yaitu agama bersifat sakral, sedangkan kehidupan duniawi bersifat profan. Demikian pula sebaliknya, tidak satu pun institusi duniawi, termasuk negara, berhak mengatur kehidupan keagamaan. Tentu saja yang dimaksud dalam hal ini adalah sisi ritual agama itu.

Dalam Islam, tidak ada pandangan tentang pemisahan kehidupan agama dari duniawi, sebagaimana perbedaan antara sakral dan profan. Islam justru merupakan agama yang boleh dikatakan sangat peduli pada kehidupan duniawi (yang profan?). Sebagian besar ajaran Islam berisi cara menata kehidupan duniawi dengan tata nilai agamawi. Para intelektual Islam mana pun pasti mengetahui itu, meskipun belum pasti menghayati pemahaman itu.[3] Ada kasus yang terjadi di Surabaya yaitu, seorang dosen yang bernama Sulhawi Ruba, 51 tahun, pada 5 Mei 2006 lalu, telah sengaja menginjak-injak lafaz Allah yang ditulisnya pada secarik kertas. Pada waktu ia mengajar mata kuliah sejarah peradaban Islam (SPI) pada mahasiswa semester II. Di hadapan 20 mahasiswa fakultas dakwah, ia menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. "Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput," ujarnya. Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. "Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral," katanya setengah berteriak, dengan mata yang sedikit membelalak.

Menurut Sulhawi, Al-Quran sebagai kalam Allah adalah makhluk ciptaan-Nya, sedangkan Al-Quran sebagai mushaf adalah budaya karena bahasa Arab, huruf hijaiyah, dan kertas merupakan hasil karya cipta manusia. "Sebagai budaya, Al-Quran tidak sakral. Yang sakral adalah kalamullah secara substantif," tuturnya.[4]

Sebagian orang berpandangan bahwa perempuan telah dipenjarakan oleh dunia profan dan dunia sacral, sehinggaga perempuan tidak bisa mengekpresikan keinginannya. Jadi tubuh perempuan itu milik siapa? Milik perempuankah atau milik laki-laki hidung belang? Ketahuilah sesungguhnya kehidupan diawali oleh tubuh perempuan. Bayangkan bila seorang bayi tidak menyusu. Dari mana lagi ia harus mengenal kehidupan? Sejarah payudara, sejarah tubuh perempuan adalah sejarah umat manusia. Tetapi kemudian kehidupan telah memenjarakannya ke dalam dua dunia yang berbeda, dan celakanya keduanya sama-sama tidak menguntungkan, yaitu dunia profan dan dunia sakral.

Dunia sakral atau ‘kesucian’ menjerat perempuan pada proteksi terhadap tubuh karenanya harus ditutupi setiap bagiannya agar tidak tersentuh agar tetap menjadi bersih. Dunia sakral atau kesucian begitu mengagungkan ‘keperawanan’, sebuah tanda mati lambang kejujuran perempuan lajang dalam memasuki perkawinan dan hanya dengan selaput tipis itu para suami mengukur dan menilai kejujuran sang istri. Dunia profan atau kebejatan sebaliknya, mengadili tubuh perempuan sebagai godaan sekaligus hinaan, oleh karena itu bila tubuhnya telihat begitu indah, ia harus ditangkap. Karena dari payudaranya ia meracuni kesusilaan, dari kedua pahanya dan selangkangannya ia membuat lelaki tergiur memperkosa, dan dari tatapan serta bibirnya ia membuat jantung lelaki berdebar keras dan segera meninggalkan istri-istri mereka.[5]

Menurut Ahmad Wahib yang termasuk profane adalah Alquran dan Hadis. Sebab Alquran dan Hadis secara material merupakan hal yang profan juga, hasil sintesa problem kemasyarakatan dan respon umat saat itu. Namun demikian dalam Alquran dan Hadis termuat nilai-nilai tertinggi (ultimate values) yang abadi sepanjang jaman dan tempat. Karenanya apa yang kita anut selama ini bukanlah Islam dalam pengertian Islam menurut Tuhan, tapi merupakan Islam yang menyejarah, Islam versi kita. Ketidak mungkinan manusia meraih Islam yang sesungguhnya disebabkan keterbatasan manusia dalam segala hal, karena manusia yang lemah yang serbakekurangan.[6] Adapun hal-hal yang bersifat sacral di antranya adalah perkawinan dan hubungan seksual. Perkawinan merupakan kondisi antara dua jenis kelamin manusia yang beradab, suatu hubungan sakral yang seharusnya dijaga dari unsur pengaruh lingkungan yang nuansanya negatif. Orang tua dulu berkata, bahwa setiap pertemuan antara dua jenis manusia, yang bermufakat hendak mendirikan rumah tangga, merupakan suatu niat yang beradab. Hubungan antar mereka dijaga benar dengan rasa kasih sayang yang sangat tinggi, dan tidak dipengaruhi oleh persoalan fisik dan biologis. Bahwa untuk mendapatkan keturunan, kita sepertinya kembali pada nilai seperti hewan, memang sudah merupakan Ciptaan dari Yang Maha Pencipta. Kita termasuk spesis kehidupan didalam bumi, tapi yang diberkati dengan akal, pikiran, kebebasan menentukan keinginan yang berbeda dari makhluk yang mempunyai kesadaran terbatas, sehingga bergerak melalui insting dan bukan intuisi.[7]

Begitu juga hubungan seksual adalah sacral. Ada orang yang mengatakan, mengapa kita harus mandi janabah setelah melakukan hubungan seksual?, padahal Islam memandang seks sebagai hal yang alami dan tidak ada unsur penghinaan di dalamnya? Bukankah praktek itu menunjukkan sikap negatif yang terselubung ?

Inilah merupakan salah satu pertanyaan yang tidak setuju mengatakan bahwa hubungan seksual adalah sakral. Pertanyaan ini dapat kita jawab bahwa masalah bersuci setelah hubungan seksual sempurna yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, atau setelah keluarnya mani melalui istimna’ tidak disebabkan oleh kekotoran hubungan seksual. Kewajiban bersuci setelah janabah adalah karena ia merupakan najasah yang membebani roh; manusia perlu bersuci darinya agar ia keluar (bebas) dari najasah. Janabah tidak menajiskan badan , namun benda yang keluar, namun benda yang keluar dari seorang laki-laki itulah yang najis persis sebagaimana keadaan buang air kecil . Oleh karena itu dari sisi kenajisan fisik (al-najasah al-jasadiyah), kenajisan tersebut tidak mengenai badan secara keseluruhan pada saat terjadi janabah. Badan tetap suci kecuali tempat janabah itu. Dan seseorang bias saja menyucikan tempat ini dengan cara yang biasa seperti ketika ia menyucikan badannya ketika terkena najis apa pun. Tetapi, masalah bersuci dari janabah mengandung dimensi mistik , karena ia janabah menggoncangkan keseluruhan badan pada saat keluarnya dari badan, berbeda dengan benda-benda lain yang keluar darinya. [8]

Tujuan disyari’atkannya mandi janabah adalah: Pertama, membebaskan manusia dari perasaan yang tidak alami yang berupa ransangan seks yang dirasakannya ketika melakukan hubungan seks, dan seakan-akan keluar kotoran dari badan manusia setelahnya menjadikan seks terwarnai oleh dimens I spiritual yang mengungguli dimensi materinya. Janabah merupakan hadas besar, merupakan hadas yang menggerakkan seluruh badan, yang seakan-akan menjadikan manusia merasa kotor meskipun dari tabi’at benda yang keluar (mani). Ini terkait dengan masalah rohani yang mistik (mas’alah ruhiyyah iyhaiyyah). Kedua, Islam ingin menciptakan kesempatan-kesempatan untuk memperoleh kesucian fisik. Thaharah merupakan bagian dari syari’at yang diperintahkan oleh Allah mencakup lingkup rohani, sebab thaharah bukan hanya persoalan menghilangkan kotoran , tetapi juga untuk “memenuhi” rohani manusia.[9]

Adapun hal-hal yang dianggap sakral seperti tradisi Tabot (kotak atau peti) yang dilaksanakan di Bengkulu. Tradisi Tabot mengakar dari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib. Tradisi kematian Husein ini dinamakan Tabot. Tradisi ini dimulai dengan ritual mengambil tanah dari Pantai Nala. Kemudian duduk penja (benda yang diibaratkan potongan tangan Husein) yang sebelumnya mengadakan ritual menjara semalam suntuk. Kemudian mengarak penja yang sudah didudukkan di dalam Tabot yang dipikul oleh 17 kelompok dan diarak disekeliling kampong, lalu menuju lapangan merdeka. Dan kemudian melakukan soja (penghormatan) dengan dua tabot kecil yang statusnya di tuakan. Esoknya mengadakan sesajian khusus untuk mengarak seroban (kain putih yang dilipat menyerupai bentuk kepala Husein) dengan nasi kejri (nasi yang dibuat dari campuran beras dan kacang hijau, serta sesajian sayur 7 rupa).

Setelah diarak, seroban di simpan di Gerga, sesajian dikeluarkan sebagai wujud rasa syukur. Malamnya penja kembali melakukan penghormatan. [10] Di sini juga terdapat ritual Tabot Naik Pangkek, yaitu menyempurnakan kembali Tabot yang mereka buat dengan menyambungkan bagian bawah dengan puncahTabot. Yang kemudian dilanjutkan dengan Tabot Tabuang, yaitu ritual menguburkan kembali potongan-potongan tubuh Husein.[11]

Hal serupa juga terdapat dalam tata cara Tingalan Dalem Jumenengan (ulang tahun penobatan raja) yang dilakukan setiap tanggal 2 Ruwah (sya’ban) penanggalan jawa di Keraton Surakarta Hadiningrat, pada Pendapa Ageng Sasana Sewaka. Pada saat itu juga digelar tarian yang disakralkan, Bhendaya Ketawang. Sebagai upaya pengukuhan otoritas raja saat dimunculkannya aktualisasi simbolisasi ikatan perjanjian antara penguasa Mataram dan penguasa Laut Selatan, Ratu Kidul. Dalam ritual ulang tahun itu, raja menjadi objek paling utama dan suci, dan dari dirinyalah seluruh system berputar.

Konsep tatanan Keraton Surakarta Hadiningrat mengambil bentuk konsentris yang berdaya ghaib dan memiliki wilayah energi. Pencapaian energi tersebut harus melalui tahapan. Semakin ke inti kedhaton, seseorang semakin disucikan dan sebaliknya, semakin jauh dari kedhaton, ia menjadi semakin profan. [12] Seperti halnya Mukaddimah UUD 1945 juga disakralkan oleh sebagian orang dan mengatakan bahwa tidak boleh merubah apalagi mengganti Mukaddimah UUD dan tidak dimungkinkan. Pemikiran yang seperti ini adalah pemikiran yang keliru, sebab UUD adalah ciptaan manusia, sebab itu keliru membuat atau menganggapnya sakral atau keramat. Dan juga bahwa Pendiri republic ini bukannya tidak dapat berbuat salah, akan tetapi mereka bias saja salah dalam berbuat atau apa yang mereka tulis tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman sekarang ini. [13]

Hal yang sama terjadi dalam kemandekan fikih. Fikih sebagai produk intelektual pada masa dan dalam kontek tertentu yang bersifat dinamis kini berubah menjadi stagnan dan kaku. Ada tiga penyebab mengerasnya kecenderungan mempertahankan produk fikih klasik sampai kini. Pertama, fikih diidentikkan dengan syari’at. Kedua, menyangkut asumsi tentang sakralitas fikih. Ketiga, tentang hegemoni kalangan konservatif yang sudah lama bercokol, sehingga dianggap memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan hokum-hukum agama. [14]Sesuatu yang sangat sakral lagi dapat dijumpai di dalam Tarikat Naqsyabandi ketika menjelaskan adab murid terhadap syekh. Di situ disebutkan di antaranya adalah: [15]

1. Murid harus menghormati syekhnya, lahir dan batin. Dia harus yakin bahwa maksudnya tidak akan tercapai melainkan di tangan syekh. Apabila pandangannya cenderung kepada syekh yang lain, niscaya tertutuplah limpahan syekh syekh kepadanya dan dia tidak akan memperoleh sesuatu dari padanyan

2. Menanggalkan ikhtiar diri dan menyatukannya dalam ikhtiar syekh dalam segala urusan baik ibadat maupun adapt kebiasaan.

Tidak boleh mengawini seorang wanita yang syekh cenderung hendak mengawininya, dan tidak pula boleh mengawini janda syekh, baik bercerai dengan talak maunpun bercerai mati.

Dalam tarikat juga ada namanya rabithah, yaitu menghadirkan rupa guru atau syekh ketika berzikir di depan mata, di gambarkan di kiri dan di kanan, hingga seterusnya. [16] Dalam masyarakat jawa yang Islam Kejawen terdapat wiri yang bernama Wirid Hidayat Jati yang merupakan hasil karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Dia disejajaran oleh pengikutnya dengan Nabi Muhammad dengan mengatakan pujangga penutup, sebagaimana Nabi Muhammad digelar dengan dengan Nabi yang terakhir. [17] Baru-baru ini juga diadakan perayaan peringatan Hul ke-82 Tuan Guru Babussalam Syekh Abdul Wahab Rokan, di situ diadakan pemberian nasi berkah kepada 1000 orang. Di antara mereka, seperti Imas, warga Pekan Baru, bahwa nasi bungkus itu akan dibawanya pulang dan disebarkan di ladangnya. Ktanya: “kata orang nasi itu diberkahi, ada yang mencoba disebarkan, bulan berikutnya lading itu subur dan ada yang bilang untuk obat dan sebagainya”.[18] Demikianlah beberapa macam bentuk sakral dan profan yang dianggap sakral oleh sebagian orang, mudah-mudahan ini dapat kita cermati bersama dan dapat kita diskusikan bersama.


Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Makalah Sakral dan Profan, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com
Daftar Pustaka dan Footnote
Daftar Pustaka

A. Fuad Said,Hakikat Tarikat Naqsyabandiah, Cet. IV, (Pustaka Al-Husna Baru, 2005), h. 113-115.

Burhani MS dan Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, ( Jombang: Lintas Media, tt.

Pesantrenonline.com.

News@Indosiar.com.

Jawapalace.org.

Suarapembaruan.com.

Islamlib.com.

.Simuh, Mistik Islam Kejawen, Jakarta: U-I Press, 1988, h. 3.

Waspada, Senin 19 Juni 2006.

Suaramerdeka.com

Hidayatullah.com

Aliansimawarputih.com

Islamlib.com

Indosiar.com

Footnote

[1] Burhani MS dan Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, ( Jombang: Lintas Media, tt.), h. 601.

[2] Ibid., h. 553.

[3] Suaramerdeka.com



[4] Hidayatullah.com

[5] Aliansimawarputih.com



[6] Islamlib.com

[7] Indosiar.com



[8] Pesantrenonline.com.

[9] Ibid.



[10] News@Indosiar.com.

[11] Ibid.



[12] Jawapalace.org.

[13] Suarapembaruan.com.

[14] Islamlib.com.

[15] A. Fuad Said,Hakikat Tarikat Naqsyabandiah, Cet. IV, (Pustaka Al-Husna Baru, 2005), h. 113-115.



[16] Ibid., h. 178.

[17] Simuh, Mistik Islam Kejawen, (Jakarta: U-I Press, 1988), h. 3.

[18] Waspada, Senin 19 Juni 2006.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved