PENDAHULUAN
Kebaikan itu memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Demikian juga halnya dengan kejahatan dan dosa. Kebaikan apa saja yang mempunyai manfaat besar, maka pahalanya di sisi Allah akan besar juga. Sedangkan kebaikan yang manfaatnya lebih rendah, maka pahalanya pun seimbang dengan kebaikan tersebut. Sebaliknya, setiap kejahatan yang mudharatnya lebih besar, maka ia disebut sebagai dosa-dosa besar yang membinasakan dan siksanya pun sangat berat. Adapun kejahatan yang mudharatnya lebih rendah dari itu, maka ia tergolong kepada dosa-dosa kecil yang dapat terhapus dengan jalan menjauhi dosa-dosa besar. Allah SWT berfirman didalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ 31, Apabila kamu menjauhi dosa-dosa besar yang telah dilarang bagimu untuk mengerjakannya, maka Kami hapuskan dosa-dosamu yang kecil dan Kami masukkan kamu kedalam tempat yang mulia (Surga).
Dari ayat di atas, jelas terdapat dua macam dosa, yakni dosa besar dan dosa kecil. Jelas pula bahwa Allah SWT berjanji bahwa jika seorang hamba menjauhkan diri dari dosa-dosa besar, maka Allah SWT memaafkan kesalahan/dosa kecil yang pernah dilakukannya. Haruslah kita ingat bahwa terdapat prasyarat untuk terpenuhinya (janji Allah SWT itu) yakni, semua yang fardlu (wajib) seperti halnya shalat, zakat, dan puasa, harus tetap dikerjakan dengan tertib dan teratur, sambil terus berusaha menjauhi dosa-dosa besar, sebab meninggalkan yang fardlu itupun tergolong melakukan dosa besar. Jadi, jika seorang hamba melaksanakan semua yang diwajibkan (fardlu) dan meninggalkan perbuatan dosa besar maka Allah SWT akan memaafkan dosa-dosa kecilnya.
Apakah dosa itu? Apa sajakah dosa-dosa kecil itu? Dan, apa saja pulakah yang tergolong dosa-dosa besar?
Dosa adalah segala perbuatan yang bertentangan dengan kehendak dan perintah Allah SWT. Sampai disini belum dibedakan besar kecilnya dosa. Abdullah bin Abbas berkata, “ Setiap perbuatan menentang ajaran Islam adalah dosa besar.”
Oleh karena itu, jika dosa-dosa kecil dilakukan berulang-ulang, secara sembrono (serampangan), dan dikerjakan dengan terang-terangan, maka akan terangkum menjadi suatu dosa besar. Seorang ulama menerangkan pengaruh-pengaruh dosa kecil dan dosa besar dengan contoh berikut ini. Ia mengibaratkan dengan perbandingan sengatan kalajengking kecil dengan kalajengking besar. Juga ibarat rasa panas terbakar api kecil dibanding dengan terbakar api yang besar. Semuanya terasa sangat sakit, namun akibat yang ditimbulkan oleh yang besar menyisakan luka yang lebih parah. Begitu juga, kedua jenis dosa itu sama berbahayanya, akan tetapi kerusakan yang diderita akibat dosa besar lebih parah daripada dosa kecil.
A. MENYEKUTUKAN ALLAH
1. Riwayat Hadits
ﺣﺪﻳﺙﺃﻧﺱﺭﺿﻲﺍﷲﻋﻧﻪﻗﺎﻞﺳﺋﻞﺭﺳﻭﻝﺍﷲﺻﻟﻰﺍﷲﻋﻟﻳﻪﻮﺳﻟﻡﻋﻦﺍﻟﻛﺑﺎﺌﺭﻗﺎﻝ׃
ﺍﻻﺷﺭﺍﻙﺑﺎﺍﷲﻭﻋﻘﻭﻕ ﺍﻠﻮﺍﻟﺪﻳﻥﻭﻗﺗﻝﺍﻟﻧﻔﺱﻭﺷﻬﺎﺪﺓﺍﻟﺯﻭﺮ.
ﺍﺨﺭﺠﻪﺍﻟﺑﺨﺎﺭﻯﻓﻰ׃ ٥٢ ـ ﮐﺘﺎﺏﺍﻟﺷﻬﺎﺪﺍﺕ׃١٠ ـ ﺑﺎﺐﻣﺎﻗﻳﻝﻓﻰﺷﻬﺎﺪﺓﺍﻟﺯﻭﺭ.
Arti Hadits / ترجمة الحديث :
Hadits Anas ra. Dimana ia berkata: “Rasulullah saw. ditanya tentang dosa-dosa besar, kemudian beliau menjawab: “Mempersekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa (manusia), dan saksi palsu.” Al-Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam “Kitab Persaksian” bab tentang apa yang dikatakan dalam saksi palsu.
2. Sababul Wurud
Dalam kitab Riyadhus Shalihi dijelaskan, bahwa ketika Nabi menjelaskan tentang dosa syirik dan durhaka terhadap kedua orang tua, beliau dalam keadaan bersandar, namun kemudian beliau duduk untuk menunjukan betapa pentingnya masalah yang akan dibahasnya, yaitu tentang dosa saksi palsu. Beliau terus mengulang-ulanginya, sampai para sahabat berkata, “Semoga Rasulullah segera diam”.
3. Penjelasan (syarah) Hadits
Dalam hadits di atas diterangkan empat macam dosa besar, yakni menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, membunuh jiwa manusia tanpa hak dan menjadi saksi palsu.
a. Musyrik (menyekutukan Allah)
Mempersekutukan Allah atau syirik dikategorikan sebagai dosa yang paling besar yang tidak akan diampuni oleh Allah SWT. Orang yang syirik diharamkan untuk masuk surga, sebagaimana firman Allah SWT :... ﺇﻧﻪﻤﻥﻴﺷﺮﻙﺑﺎﷲﻓﻘﺪﺣﺮﻡﷲﻋﻟﻴﻪﺍﻟﺟﻧﺔﻭﻣﺄﻭﻪﺍﻟﻧﺎﺭ... ﴿ﺍﻟﻣﺎﺋﺪﺓ׃٧٢﴾
Artinya: “Sesungguhnya orang yang menyekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan surga baginya dan ia ditempatkan di dalam neraka.” ( Q.S. Al-Ma’idah: 72)
Ada beberapa macam bentuk menyekutukan Allah SWT, di antaranya:
- mengagungkan makhluk layaknya mengagungkan Allah SWT. Sikap seperti ini banyak dialami oleh sebagian para pembantu, mereka sering mengagungkan seorang pemimpin, atau para pejabat melebihi pengagungannya kepada Allah SWT – Wal’iyadzubillah - Perbuatan ini merupakan syirik terbesar. Hal ini menunjukan apabila seorang pemimpin atau tuan raja menyuruh sesuatu ketika waktu shalat, maka ia akan berani meninggalkannya. Bahkan hingga waktu shalat telah habis pula mereka tidak akan peduli.
- Dalam masalah cinta. Seseorang mencintai orang lain sesama makhluk sama besarnya atau melebihi rasa cintanya kepada Allah SWT. Engkau akan melihat ia sering menuntut agar dirinya lebih dicintai dari pada Allah SWT. Sikap seperti ini banyak ditemukan di kalangan orang-orang yang dimabukasmara. Hatinya dipenuhi oleh cinta kepada selain Allah SWT.
- Sesuatu yang tersembunyi, yang termasuk menyekutukan Allah SWT, yaitu riya. Seseorang yang sedang melaksanakan shalat lalu ia memperbagus shalatnya karena sedang dilihat oleh si fulan. Ia berpuasa hanya ingin dikatakan ahli ibadah dan rajin berpuasa. Ia bersedekah hanya ingin dikatakan sebagai orang yang dermawan, semua termasuk riya.
- Bentuk syirik yang tersembunyi yaitu ketika hati dan akal pikiran seseorang dipenuhi oleh dunia. Akal pikirannya, badan, tidur dan bangun semua hanya untuk dunia, ia selalu berusaha mencari dunia tidak peduli halal, haram, dusta, karena ia telah diperbudak dunia.
Walhasil, bahwa di antara manusia ada yang menyekutukan Allah Ta’ala namun orang tersebut tidak menyadarinya. Wahai saudara-saudara engkau merasakan bahwa dunia telah menguasai hatimu dan engkau tak lagi memperdulikan hal lain selain itu, maka ketika engkau bangun dari tidur semuanya akan karena dunia. Maka ketahuilah bahwa hari-hari telah terisi dengan kesyirikan.
b. Durhaka Kepada Orang Tua
Maksudnya adalah tidak berbakti kepada keduanya. Setiap anak wajib berbakti kepada kedua orang tuanya sesuai kemampuannya. Ia wajib menaati mereka selama bukan untuk kemungkaran dan kemaksiatan kepada Allah SWT.
Dalam Al-qur’an banyak sekali ayat yang menerangkan keharusan berbuat baik terhadap orang tua. Menurut Ibn Abas, dalam Al-Qur’an ada tiga hal yang selalu dikaitkan penyebutannya dengan tiga hal lainnya, sehingga tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan lainnya, yaitu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dirikan shalat dan keluarkan zakat, bersyukur kepada Allah dan kepada kedua orang tua.
Hal itu menandakan bahwa peran dan kedudukan orang tua sangat tinggi di hadapan Allah SWT, sehingga Rasulullah SAW. bersabda:
ﺮﺿﻰﺍﷲ ﻓﻰ ﺮﺿﻰﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻴﻦﻭﺴﺧﻁ ﺍﷲ ﻓﻰﺴﺧﻁ ﻟﻮﺍﻟﺪﻴﻦ.
﴿ﺮﻭﺍﻩﺍﻟﺘﺮﻤﺬﻯﻮﺍﻟﺤﺎﻛﻡ ﺑﺷﺮﻄ ﺍﻟﻤﺴﻟﻡ﴾
Artinya: “Keridaan Allah itu terletak pada keridaan kedua ibu bapaknya dan kemurkaan Allah itu terletak pada kemurkaan kedua ibu bapak pula”. (HR. Muslim, Hakim, dengan syarat Muslim)
c. Membunuh
Maksud membunuh dalam pembahasan ini adalah membunuh jiwa yang diharamkan tanpa hak dengan sengaja. Orang yang berbuat seperti itu akan dimasukkan ke neraka jahanam dan kekal di dalamnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 93 yang artinya: “Barang siapa yang membunuh orang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
Dan Nabi SAW. bersabda:
ﺇﺬﺍﺍﻟﺘﻘﻰﺍﻟﻤﺴﻟﻤﺎﻦﺑﺴﻴﻔﻴﻬﻤﺎ٬ ﻓﺎﻟﻘﺎﺘﻝﻭﺍﻟﻤﻘﺘﻭﻝﻓﻲﺍﻟﻨﺎﺭ٬ﻫﺫﺍﺍﻟﻘﺎﺗﻞ٬ ﻓﻣﺎﺒﺎﻞﺍﻟﻣﻘﺗﻭﻞ؟ ﻗﺎﻞ׃ ﻷﻨﻪﻛﺎﻦﺣﺭﻳﺻﺎﻋﻟﻰﻗﺗﻞﺻﺎﺣﺑﻪ.
Artinya: “Jika dua orang lelaki Muslim berjumpa membawa pedangnya masing-masing (dengan tujuan untuk saling membunuh), maka pembunuhnya dan yang terbunuh akan sama-sama masuk neraka. Lalu beliau ditanya oleh seorang sahabat: Ya Rasulullah, benarlah jika pembunuh ini masuk neraka, tetapi mengapakah pula orang yang terbunuh itu turut sama masuk neraka? Nabi SAW. menjawab: Sebab yang terbunuh itu berusaha pula untuk membunuh kawannya yang telah membunuhnya itu.” (Riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Menurut Imam Abu Sulaiman, cara yang demikian itu jika dalam bentuk saling membunuh itu perlu kepada penjelasan. Sehingga jika ada dua orang (kelompok) yang saling berusaha untuk membunuh yang lainnya atas dasar fanatisme atau untuk mendapatkan harta keduniaan dan berebut pangkat. Adapun orang yang membunuh untuk membela isterinya (keluarganya diancam), maka orang-orang tersebut tidak termasuk hadits di atas.
d. Saksi Palsu
Imam An-Nawawi di dalam kitabnya Riyadhus Shalihinmencantumkan “Bab Larangan Memberikan Kesaksian Palsu.” Penulis menjelaskan bahwa kesaksian palsu adalah seseorang yang memberikan kesaksian suatu peristiwa yang ia ketahui, tetapi bertentangan dengan kenyataannya. Seseorang memberikan kesaksian sebuah kejadian dan ia tidak mengetahui kesaksiannya sesuai dengan fakta yang sebenarnya atau justru bertentangan dengan fakta yang sebenarnya. Seseorang mengetahui bahwa kejadian sebenarnya adalah seperti ini, tetapi ia memberikan kesaksian yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Ketiga macam bentuk persaksian ini hukumnya haram dan seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali sesuai dengan fakta yang ia ketahui dan dengan cara yang benar.
Dalam riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi SAW. sangat memberi perhatian besar pada persoalan ini. Hal itu ditunjukan dengan sikap beliau yang sebelumnya duduk bersandar ketika mengucapkan dosa besar syirik dan durhaka kepada kedua orang tua, dan beliau duduk tegak ketika mengucapkan tentang perkataan dusta atau saksi palsu. Alasan perkara ini mendapat perhatian khusus adalah karena perkataan dusta atau kesaksian palsu sangat mudah terjadi pada manusia, serta sering diremehkan oleh kebanyakan orang. Adapun syirik dijauhi oleh hati seorang muslim, sedangkan durhaka kepada kedua orang tua tidak selaras dengan tabiat. Sementara kepalsuan itu ditunjang oleh berbagai faktor, seperti permusuhan, dengki dan lain-lain.
B. TUJUH MACAM DOSA BESAR
1. Riwayat Hadits
ﺣﺪﻳﺙﺍﺒﻰﻫﺭﻴﺭﺓﺭﺿﻰﺍﷲﻋﻧﻪ٬ﻋﻦﺍﻟﻧﺑﻰﺻﻟﻰﺍﷲﻋﻟﻳﻪﻮﺳﻟﻡﻗﺎﻝ׃ﺍﺠﺗﻨﺑﻭﺍﺍﻟﺳﺑﻊﺍﻟﻣﻭﺑﻘﺎﺕ٬
ﻗﺎﻟﻭﺍﻴﺎﺮﺳﻭﻝﺍﷲﻭﻣﺎﻫﻦ؟ﻗﺎﻝ׃ﺍﻟﺷﺮﻙﺑﺎﷲ٬ﻭﺍﻟﺴﺤﺮ٬ﻭﻗﺗﻝﺍﻟﻨﻔﺲﺍﻟﺗﻰﺤﺮﻡﺍﷲﺍﻻﺑﺎﻟﺤﻕ٬ﻮﺍﻜﻝﺍﻟﺮﺑﺎ٬ﻮﺍﻜﻝﻣﺎﻞﺍﻟﻳﺗﻴﻡ٬ﻮﺍﻟﺗﻮﻟﻰﻴﻮﻡﺍﻟﺯﺤﻒ٬ﻮﻗﺫﻑﺍﻟﻤﺤﺻﻨﺎﺖﺍﻟﻤﻮﻤﻨﺎﺖﺍﻟﻐﺎﻓﻼﺕ.
ﺍﺨﺭﺠﻪﺍﻟﺑﺨﺎﺭﻯﻓﻰ ׃٥٥ـ ﮐﺘﺎﺏﺍﻟﻭﺻﺎﻴﺎ׃٢٣ـ ﺑﺎﺏﻗﻭﻝﺍﷲﺗﻌﺎﻟﻰ׃ﺍﻦﺍﻟﺬﻴﻥﻴﺄﻛﻟﻮﻦﺍﻤﻭﺍﻞ ﺍﻟﻴﺘﺎﻤﻰﻈﻟﻤﺎ.
Arti Hadits / ترجمة الحديث :
Hadits Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. dimana beliau bersabda: “ Jauhilah tujuh macam dosa yang membinasakan.”Para sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah, apakah ketujuh macam dosa itu?” Beliau menjawab: “Mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa (manusia) yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari pada saat pertempuran (dalam jihad) dan menuduh (berbuat zina) kepada wanita-wanita yang selalu menjaga diri, mukminat dan tidak pernah berfikir (untuk berzina).”
Al-Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam “Kitab Wasiat” bab tentang firman Allah SWT (yang artinya) : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan aniaya . . . .“
2. Penjelasan (syarah) Hadits
Kebaikan itu memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Demikian juga halnya dengan kejahatan dan dosa. Kebaikan apa saja yang mempunyai manfaat besar, maka pahalanya di sisi Allah akan besar juga. Sedangkan kebaikan yang manfaatnya lebih rendah, maka pahalanya pun seimbang dengan kebaikan tersebut. Sebaliknya, setiap kejahatan yang mudharatnya lebih besar, maka ia disebut sebagai dosa-dosa besar yang membinasakan dan siksanya pun sangat berat. Adapun kejahatan yang mudharatnya lebih rendah dari itu, maka ia tergolong kepada dosa-dosa kecil yang dapat terhapus dengan jalan menjauhi dosa-dosa besar.
Allah Ta’ala berfirman,
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS An-Nisa [4]: 31)
Dalam hadis di atas, Rasulullah Saw menyuruh umatnya agar menjauhi tujuh dosa yang membinasakan. Tujuh dosa ini bukan berarti pembatasan (hanya tujuh perkara) atas dosa-dosa yang membinasakan. Tetapi hal ini sebagai peringatan atas dosa-dosa yang lainnya. Ketujuh dosa yang dimaksudkan dalam hadis di atas, uraiannya adalah sebagai berikut.
Musyrik (Mempersekutukan Allah)
Menyekutukan Allah yaitu menyamakan dan mensejajarkan selain Allah dengan Allah dalam segala hal yang menjadi kekhususan bagi-Nya Yang Maha Suci, Maha Tunggal, Tempat Bergantung Segala Makhluk, dan Yang Maha Esa.
Menyekutukan Allah SWT merupakan dosa yang paling besar. Bahkan Allah SWT tidak akan mengampuni dosa musyrik yang terbawa mati. Allah SWT berfirman, Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa musyrik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (musyrik) itu, bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan siapa saja yang musyrik kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS An-Nisa [4]: 48)
Ar-Raghib al-Ashfahani menyatakan bahwa kemusyrikan terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1) Syirik besar, yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allah SWT. Inilah bentuk dosa yang paling besar.
2) Syirik kecil, yaitu memperhatikan selain Allah di samping memperhatikan-Nya juga dalam beberapa urusan. Itulah ria dan nifaq. (Al-Ashfahani, hlm. 266)
Adanya kemusyrikan dalam kategori musyrik kecil bukan karena beban dosanya yang rendah, tetapi kemusyrikan ini merupakan bentuk kemusyrikan yang seringkali terabaikan atau tidak terasa dalam perwujudannya. Tentang kemusyrikan ini, Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah musyrik yang paling kecil, yakni ria.” (Muttafaq ‘Alaih)
Sihir
Sihir termasuk ke dalam dosa yang besar karena di dalamnya terdapat upaya iltibas (pencampur-adukan) dan menutupi apa yang sebenarnya. Bahkan sihir ini bisa mengakibatkan penyesatan aqidah, baik dari sisi penyebabnya maupun dari sisi perolehannya. Para ulama telah bersepakat atas pengharaman sihir, pembelajaran dan pengajarannya. Bahkan Imam Malik, Imam Ahmad, dan sekelompok para sahabat dan para tabiin berpendapat bahwa saling berbagi sihir termasuk bagian kekufuran yang pelakunya harus mendapat hukum eksekusi (dibunuh). Demikian juga upaya mempelajari dan mengajarkan sihir kepada orang lain, karena hal itu termasuk wasilah yang akan menjadi jalan terwujudnya sihir tersebut.
Namun di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa jika mempelajari sihir itu hanya sekadar ingin mengetahuinya dan sebagai upaya menjaga diri, maka yang demikian itu tidak termasuk dalam kategori haram. Pernyataan ini dianalogikan kepada orang-orang yang berusaha mengetahui hakikat aliran-aliran sesat.
Membunuh Jiwa.
Yang dimaksud membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah SWT dalam hadis di atas adalah membunuh seorang muslim dengan sengaja, bukan karena suatu hukuman tertentu seperti qishas atau rajam. Pembunuhan seperti ini termasuk juga ke dalam bagian dari dosa-dosa besar yang dapat membinasakan para pelakunya. Melalui upaya pembunuhan, sang pelaku telah menghilangkan rasa aman di lingkungannya, menebar rasa takut, dan memutuskan ikatan persaudaraan sesama manusia, khususnya di kalangan kaum muslimin. Bahkan Allah SWT mengisyaratkan bahwa membunuh satu orang sama kedudukannya dengan membunuh semua orang. Keterangan ini tercantum dalam ayat berikut.
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS Al-Maidah [5]: 32)
Hukum ini, walaupun khitab-nya Bani Israil, bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu bagaikan membunuh manusia seluruhnya, karena orang-seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.
Memakan Riba
Memakan harta riba termasuk kezaliman kepada orang lain. Orang yang memakan harta riba pada dasarnya telah memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan ia lebih pantas untuk mendapat siksa yang abadi di neraka. Bagaimana tidak demikian, ketika orang lain berada dalam kesulitan, kefakiran, pailit dalam ekonomi, padahal dalam kondisi apapun seseorang didorong untuk mengeluarkan shadaqah, sementara pemakan riba demikian asyiknya mempermainkan kemelaratan orang lain dengan menambah beban pembayaran utang berlipat ganda dan dalam tempo yang terus-menerus.
Pada hakikatnya, riba itu dapat menghanguskan harta kekayaan, menghilangkan nilai-nilai keberkahan, dan mencabut rasa kasih sayang dari pribadi para pelakunya. Dengan demikian, dalam riwayat lain, Rasulullah Saw melaknat praktik riba dengan berbagai faktor pendorong dan pelakunya, baik yang memakan harta riba, yang menjadi penulis dalam transaksinya maupun yang menjadi saksi dalam proses transaksi riba tersebut. Secara umum, Islam melarang keras terhadap seseorang yang dalam usaha mencari rezekinya (ma‘isyah) dengan cara yang haram, sedangkan transaksi ribawi termasuk ke dalamnya. Rasulullah Saw telah bersabda, “Siapa saja yang daging (di tubuhnya) berkembang dari usaha yang haram, maka api neraka lebih utama bagi dirinya”. (HR al-Hakim)
Memakan Harta Anak Yatim
Ketika seorang anak menjadi yatim, karena ditinggal mati oleh orangtuanya, Islam menganjurkan agar kaum muslimin, terutama kaum kerabatnya, dapat menjaga dan mengurus harta mereka yang diperolehnya melalui proses pewarisan. Pengurusan harta anak yatim ini terus berlangsung sampai usia anak ini menjadi dewasa sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut.
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah (dewasa). Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanja¬kannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim) dan siapa saja yang miskin, maka bolehlah ia memakan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS An-Nisa [4]: 6)
Tatkala seorang pengurus, terutama bagi mereka yang serba berkecukupan, tidak mampu menjaga dirinya dari memakan harta anak yatim, maka Allah SWT mengancam mereka dengan ancaman yang sangat besar sesuai dengan ayat berikut.
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS An-Nisa [4]: 10)
Berpaling dari Barisan Perang
Yaitu seseorang yang melarikan diri ketika kaum muslimin sedang memerangi orang-orang kafir. Perbuatan ini termasuk dosa besar, termasuk tujuh perbuatan yang akan membinasakan karena menimbulkan dua bahaya:
1. Akan menghancurkan semangat kaum muslimin
2. Orang-orang kafir semakin berani menekan kaum muslimin
Ketika kaum muslimin sudah mulai terdesak, maka orang-orang kafir akan semakin berani memerang kaum muslimin.
Barangsiapa yang lari dari medan perang karena dua sebab ini, yaitu untuk bergabung dengan batalyon lain. Contohnya ketika ada batalyon lain yang sedang dikepung oleh musuh dan akan sangat berbahaya jika mereka dikuasai oleh musuh. Maka ia bergerak (mundur) untuk membantunya, maka hal ini tidak apa-apa, karena larinya menuju batalyon tersebut sangat menguntungkan.
Orang yang lari dari medan perang dengan berbelok untuk (siasat) perang. Contohnya seperti seorang mujtahid yang lari belok (mundur) untuk memperbaiki senjata atau untuk memakai baju besinya dan lain-lain yang termasuk dalam kepentingan berperang dan perbuatan ini tidak apa-apa.
Menuduh Berzina
Menuduh berzina kepada wanita yang menjaga kehormatan dan wanita itu adalah orang yang terjaga keimanannya yaitu menuduh berzina wanita yang baik-baik, yang lurus, yang telah berkeluarga, yang berstatus merdeka, dan yang beriman. Predikat-predikat tersebut tercakup dalam pengertian sifat terhormat. Dan pada hakekatnya, seorang wanita itu terhormat karena Islam, ia menjaga kesucian, menikah, dan berstatus merdeka.
Dalam surat an-Nur Allah melarang menuduh berzina seorang wanita yang baik-baik, dan menjelaskan sanksi hukuman atas perbuatan ini. Disebutkan dalam Shahih Muslim dengan Syarah an-Nawawi jilid II halaman 86, seorang ulama ahli tafsir Imam Abul Hasan al-Wahidiy dan lainnya mengatakan : "Menurut pendapat yang shahih ; batasan dosa besar itu tidak diketahui secara pasti. Bahkan di dalam syari’at ada beberapa jenis perbuatan maksiat yang dijelaskan sebagai dosa-dosa besar, dan ada juga beberapa jenis perbuatan maksiat yang dijelaskan sebagai dosa-dosa kecil, dan ada beberapa jenis perbuatan maksiat lainnya tanpa ada penjelasan. Artinya, ini mencakup dosa-dosa besar maupun dosa-dosa kecil. Hikmah dari tidak adanya penjelasan tersebut ialah, supaya seseorang tetap menahan diri jangan sampai melakukan semuanya, karena dikhawatirkan jangan-jangan hal itu termasuk dosa-dosa besar." Menurut mereka, ini sama dengan masalah disembunyikannya kapan terjadinya lailatul qadar, saat-saat istimewa pada hari jum’at, saat-saat terkabulnya do’a pada malam hari, nama Allah yang agung, dan hal-hal lain yang bersifat samar.
3. Intisasri / Kandungan Hadits
a. Perbuatan dosa yang dapat membinasakan diri dan orang lain harus senantiasa dihindari dan dijauhi.
b. Manusia dilarang untuk menyekutukan Allah Swt. Dengan sesuatu apapun, karena hal itu akan membinasakan diri baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.
c. Sihir dan tenung merupakan perbuatan terlarang karena perbuatan tersebut adalah bersekongkol dan jin dan syetan.
d. Jiwa seseorang apalgi Muslim harus senantiasa dijaga dan haram hukumnya untuk mengambil nyawa orang lain tanpa alasan yang haq.
e. Kita dilarang untuk memakan harta riba dan harta anak yatim yang ada dalam tanggungan kita dan berada dalam pengasuhan kita.
f. Setiap umat Islam dicela oleh Allah dan Rasul-Nya bagi siapapun yang melarikan diri dari peperangan atau ia keluar dari barisan perang karena merasa takut akan kematian.
g. Menuduh berzina kepada seorang muslimah dan mukminah adalah perbuatan yang amat dilarang oleh baginda Nabi.
h. Setiap perbuatan dosa dan hal-hal yang telah jelas dilarang dalam agama akan membinasakan kehidupan kita dan akan membawa kita pada jalan kerugian dan peneysalan.
A. KESIMPULAN
Dosa-dosa besar merupakan segala larangan yang berasal dari Allah maupun Rasul-Nya. Dosa-dosa besar sangat banyak jumlahnya, diantaranya: syirik, durhaka terhadap kedua orang tua, membunuh jiwa tanpa hak, saksi palsu, sihir, menuduh mukminat berzina, membunuh anak karena takut miskin, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari dari medan perang, berzina dengan istri tentang dan lainnya. Dosa-dosa besar di atas yang merupakan dosa dan kezhaliman yang paling besar serta yang paling berat hukumannya, yaitu syirik. Allah telah mengharamkan surga bagi orang yang menyekutukan-Nya dan telah disiapkan baginya neraka sebagai tempat kembali. Sesungguhnya tidak ada penolong bagi orang-orang yang zhalim.
Selain itu, durhaka terhadap orang tua juga merupakan dosa besar dan termasuk dosa yang membinasakan. Sudah sepatutnya kita harus taat terhadap keduanya sesuai dengan syariat Islam. Banyak lagi dosa-dosa besar yang harus dihindari, karena berakibat buruk dan dapat membinasakan diri sendiri juga orang lain selain yang telah disebutkan di atas. Setiap orang Islam yang beriman wajib menghindarkan diri dari dosa-dosa besar tersebut, agar tidak mendapat laknat dari-Nya. Karena Allah menjanjikan surga-Nya untuk orang-orang yang menhindarkan diri dari padanya dan Allah menghadiahkan neraka-Nya untuk orang-orang yang mengerjakannya.
Muhammad Abdul Aziz al-Khauli mendefinisikan dosa besar sebagai dosa yang memiliki kemudharatan yang sangat besar dan pengaruh negatifnya di masyarakat sangat besar pula. Hal demikian disebabkan karena mafsadat dan ancamannya yang sangat besar terhadap dosa-dosa tersebut. (Al-Khauli, tt: 112) Jika kita mengacu kepada berbagai definisi di atas, maka yang termasuk dosa-dosa besar itu sangat banyak jumlahnya. Dengan demikian, tujuh dosa yang membinasakan sesuai dengan sabda Rasul di atas bukan sebagai pembatas bagi dosa-dosa besar tersebut. Tetapi hal itu disampaikan oleh Rasulullah sebagai bentuk perhatiannya yang sangat besar terhadap umatnya agar tidak terjerumus kepada dosa-dosa besar lain yang mafsadat, hukuman, dan ancamannya seperti ketujuh dosa di atas.
Namun demikian, dari sekian banyak dosa yang tergolong kepada dosa-dosa besar, dosa musyrik menempati urutan paling atas (yang terbesar) dari dosa-dosa besar lainnya. Adapun dosa-dosa besar lainnya yang tidak tercantum dalam hadis di atas, tetapi menjadi kriteria dosa besar dalam hadis yang lain, di antaranya adalah durhaka terhadap orangtua, membunuh anak karena kekhawatiran menambah kemiskinan, persaksian palsu atau dusta, khianat dalam perkara ghanimah, zina, mencuri, meminum minuman keras, memisahkan diri dari al-jama’ah, menebar fitnah, melanggar bai’at, dan tidak membersihkan air kencing.
Dikutip dari : fdj-indrakurniawan