Aneka Ragam Makalah

Makalah Penggunaan Peta Konsep Melalui Model Pembelajaran



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Makalah Penggunaan Peta Konsep Melalui Model Pembelajaran
( Kooperatif  Tipe STAD Untuk Meningkatkan Proses, Hasil Belajar Dan Respons  pada Konsep Ekosistem Siswa )

Sumbangan Bapak: Drs. Anwar, M.Pd

BAB I
PENDAHULUAN

Menurut (Sudradjat, 2004) salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan adalah pendekatan pembelajaran berpusat pada guru, siswa lebih banyak bertindak sebagai pendengar. Pembelajaran yang didominasi oleh guru mengakibatkan guru hanya sebagai penyampai informasi, sehingga siswa lebih banyak menghafal dari pada memahami makna yang dipelajarinya (Zainuddin, 2002). Bahkan dikatakan oleh (Zamroni, 2000) dalam pembelajaran ada kesan bahwa kegiatan utama siswa adalah mendengar dan mencatat apa yang diceramahkan guru.

Guru perlu mengubah filosofi pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada siswa yang berlandaskan filosofi konstruktivisme, dimana siswa dapat menyusun sendiri konsep-konsep yang dipelajarinya (Susilo, 2004). Untuk dapat mempelajari biologi dengan baik diperlukan struktur kognitif yang baik. Struktur kognitif adalah organisasi informasi yang meliputi fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa (Dahar, 1989). Struktur kognitif yang baik akan mendukung peristiwa belajar dan memudahkan mengingat apa yang telah dipelajari, karena struktur kognitif yang baik akan memudahkan seseorang belajar dengan jalan membantu pebelajar untuk memasukan sejumlah informasi dan konsep (Sastrawijaya, 1988).

Untuk membangun kerangka kerja konseptual yang diorganisir dengan baik, memerlukan komitmen dari siswa untuk memilih belajar bermakna daripada dengan hafalan. Menurut Ausubel (1978.) belajar bermakna (meaningful learning) merupakan suatu proses dalam belajar dimana informasi baru dikaitkan pada konsep-konsep relevan yang telah ada dengan struktur kognitif pebelajar. Keuntungan belajar bermakna dibanding dengan belajar hafalan adalah informasi yang dipelajari lebih mudah dipahami dan akan lebih lama diingat serta memudahkan proses belajar berikutnya.

Menurut Ausubel (1963) agar pemahaman materi pelajaran dapat lebih mudah dipelajari hendaknya setiap orang belajar secara bermakna yaitu dengan mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah diketahui sebelum-nya. Dengan adanya kemampuan guru mengaitkan pengetahuan awal dengan pengetahuan yang akan dipelajari, dapat diharapkan bahwa siswa akan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Novak (1985) mengemukakan belajar bermakna sebagaimana dikemukakan Ausubel di atas dapat dilakukan dengan pertolongan peta konsep atau pemetaan konsep. Peta konsep adalah suatu alat yang dapat membantu para siswa melihat dan memahami keterkaitan antar konsep yang telah dikuasainya. Pemetaan konsep sangat efektif untuk membantu siswa belajar bermakna, yaitu memahami hubungan logika antara konsep yang satu dengan konsep yang lain (Mardiningsih, 2001).


Menurut Susilo (1997) sampai sekarang guru terbiasa dengan pengajaran klasikal dan jarang menggunakan kelompok kecil untuk diskusi kelompok. Senada dengan itu Zamroni (2000) mengungkapkan bahwa proses pembelajaran di sekolah selama ini senantiasa menekankan pengembangan siswa sebagai individu. Sekolah tidak pernah mengembangkan siswa secara bersama sebagai suatu kelompok, mulai dari tugas-tugas harian, tanya jawab, dan diskusi di kelas sampai evaluasi akhir hasil studi, semua itu merupakan tugas individual. Dalam persaingan untuk mencapai prestasi di antara siswa ini, sekolah sama sekali tidak menanamkan semangat kerjasama dan solidaritas sosial.

Okebukola dan Jegede (dalam Roth dan Roychoudhury, 1992) menunjukkan bahwa para siswa secara kolaboratif membentuk peta konsep mencapai pembelajar-an bermanfaat yang lebih baik dari pada para siswa yang bekerja secara individu. Slavin (1995) mengemukakan beberapa kelemahan belajar secara individu yaitu: (1) kompetisi kadang tidak sehat, (2) siswa rendah akan kurang termotivasi, (3) siswa rendah akan semakin tertinggal, dan (4) dapat membuat siswa frustrasi.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Pembelajaran

Proses pembelajaran pada siklus I tampak bahwa aktivitas siswa dalam kegiatan tersebut belum maksimal. Siswa belum terbiasa melakukan pembelajaran kooperatif, dan mengalami kebingungan antara mengerjakan tugas kelompok dengan tugas individu, padahal dalam pembelajaran kooperatif menuntut tanggung jawab individu untuk kesuk-sesan kelompok (Slavin, 1995; Arends, 1995; Johnson dan Johnson, 2001; Ibrahim, Rachmadiarti, Nur, dan Ismono, 2000).

Pada siklus II proses pembelajaran mengalami peningkatan, hal ini sesuai dengan pendapat Winkel (2005) bahwa setelah melalui proses belajar siswa akan mengalami perubahan tingkah laku. Adanya peningkatan tersebut karena terjadinya perubahan yang dilakukan oleh peneliti bersama guru kolaborator dengan cara memotivasi siswa agar berani tampil untuk memberikan presentasi hasil diskusi kelompoknya di depan kelas. Karena dalam presentasi dan diskusi, sebagian besar kegiatan pembelajaran dilakukan oleh siswa, dalam arti kegiatan belajar mengajar dipusatkan pada siswa (Tsaniyah, 2005). Presentasi dan diskusi siswa dapat merupakan alat yang sangat berharga untuk mengakses kinerja siswa (Ibrahim, 2002). Metode diskusi biasanya dipandang sebagai salah satu metode pengajaran yang paling efektif untuk mempelajari keterampilan yang kompleks seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, dan komunikasi antar pribadi. Melalui metode diskusi, siswa memperoleh pengalaman melalui partisipasi dan interaksi. Terjadi pertukaran gagasan, fakta, opini, di antara siswa sehingga belajar menjadi lebih dinamis (Tsaniyah, 2005). Ketika siswa melakukan presentasi di depan kelas maka keterampilan atau kecakapan siswa dalam mengkomunikasikan pengetahuan dan pengalaman belajarnya seperti keterampilan berbicara, penguasaan konsep atas materi yang disajikan, keteram-pilan logika, dan keterampilan menjawab pertanyaan, keterampilan menerima pendapat orang lain dapat dinilai (Susanto, 2004).


B. Hasil Kemampuan Kognitif 

Hasil penelitian diketahui bahwa nilai rata-rata subjek maupun klasikal kemampuan kognitif untuk soal pilihan ganda dengan jenjang kognitif C1 sampai C6 telah mengalami perubahan meningkat dari siklus I ke siklus II. Dengan demikian penggunaan peta konsep melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa. Hal ini sesuai pendapat Okebukola dan Jegede (dalam Roth dan Roychoudhury, 1992) bahwa para siswa secara kolaboratif membentuk peta konsep mencapai pembelajaran bermanfaat yang lebih baik dari pada para siswa yang bekerja secara individu. Hasil penelitian Jailani (2001) menyimpulkan bahwa hasil belajar dengan strategi peta konsep yang disertai dengan kerja kelompok secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang mengalami pembelajaran dengan strategi peta konsep tanpa belajar kelompok, juga memperkuat hasil penelitian ini. Lebih lanjut Amin (1990) mengatakan bahwa penggunaan peta konsep melalui model pembelajaran kooperatif merupakan alternatif pembelajaran di mana pebelajar memperoleh faedah secara terpadu dari aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

Perubahan meningkat pada kemampuan kognitif siswa, karena memberikan hadiah kepada kelompok berupa alat tulis menulis pada siklus I dan pada siklus II selain alat tulis menulis berupa sertifikat bagi kelompok dalam tim super, tim hebat dan tim baik. Pemberian penghargaan bagi kelompok berprestasi tersebut, mengacu pada pendapat Slavin (1995) yang telah menguaraikan bahwa sistem penghargaan yang didasarkan atas penampilan kelompok diskusi belajar dapat menciptakan struktur penghargaan antara siswa di dalam suatu kelompok, sehingga kelompok tersebut dapat saling memberikan penguatan sosial sebagai respons terhadap upaya yang berorientasi pada tugas teman. Selain hal itu, juga didasarkan pada teori motivasi Maslow (dalam Mulyasa, 2003) yang mengatakan bahwa pemberian pujian dan hadiah lebih baik daripada hukuman, meskipun sewaktu-waktu hukuman diper-lukan.


C. Hasil Pembuatan Peta Konsep

Berdasarkan penelitian ini diketahui terjadi peningkatan nilai pembuatan peta konsep subjek penelitian dari siklus I ke siklus II. Hal ini sesuai pendapat Novak dan Gowin (1984) di mana penggunaan peta konsep merupakan cara belajar yang bermakna, sehingga meningkatkan pemahaman dan daya ingat, meningkatkan keaktifan, kreativitas berpikir, menimbulkan sikap kemandirian dalam belajar, mengembang-kan struktur kognitif yang terintegrasi dengan baik, dan membantu siswa melihat makna materi pelajaran secara lebih komprehensif.

Peta konsep siswa pada siklus I belum nampak adanya hubungan silang, dan kata-kata konsep yang digunakan masih sedikit. Pada siklus II dapat dilihat meningkatnya konsep-konsep dan proposisi yang digunakan selain lebih bermakna juga mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan penelitian Suastra (1996) bahwa pembelajaran dengan peta konsep tidak hanya konsepnya meningkat (20-40 konsep) tetapi kebermaknaan proposisinya juga mengalami peningkatan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peta konsep sebagai salah satu bentuk penilaian autentik dapat membantu meningkatkan kemampuan kognitif siswa. Di samping itu ada kegiatan yang mendukung yaitu presentasi kelas untuk mempresentasikan hasil karya mereka berupa peta konsep kelompok. Kegiatan ini memberikan dorongan motivasi belajar yang lebih baik, sehingga kemampuan kognitif siswa meningkat. Hal ini sesuai pendapat Slavin (1995) yang mengatakan bahwa dengan adanya motivasi dapat mendorong belajar siswa lebih giat, sehingga dapat meningkatkan hasil belajarnya.


D. Pelaksanaan Pembelajaran Berdasarkan Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD 

Data hasil proses pelaksanaan pembelajaran berdasarkan sintaks pembe-lajaran kooperatif tipe STAD oleh guru pada siklus I belum sesuai dengan yang direncanakan. Pada sintaks pembelajaran kooperatif tipe STAD, saat presentasi kelas guru menyampaikan pentingnya materi pembelajaran disampaikan. Hal ini bertujuan agar siswa termotivasi untuk belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Orton (1992) bahwa siswa yang termotivasi, tertarik dan mempunyai keinginan untuk belajar akan belajar lebih banyak.

Guru perlu memperhatikan pengetahuan prasyarat, hal ini dilakukan agar memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran yang diberikan. Hal ini didukung oleh pernyataan Bendal dan Galili (1993) bahwa jika guru tidak memperhatikan pengetahuan prasyarat siswa, maka siswa akan mengalami kesulitan belajar pada tahap berikutnya.

Peneliti bersama guru kolaborator memotivasi kepada siswa agar siswa bisa membentuk sendiri pengetahuan mereka melalui kegiatan belajar secara kooperatif dan diskusi. Hal ini sesuai dengan prinsip konstruktivis yang dikemukakan Suparno (1997) bahwa guru berperan sebagai mediator dan fasilisator untuk membantu siswa membangun pengetahuannya. Hal ini juga didukung pendapat Hudojo (1998) bahwa peran guru sebagai pemberi ilmu sudah saatnya berubah menjadi fasilisator dan motivator sehingga siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.

Sejalan hal tersebut, Zainul (2001) dan Nurhadi (2002) mengatakan bahwa belajar efektif dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa, dan guru hanya berperan sebagai fasilitator dan mediator dengan cara memberi kesempatan siswa untuk menemukan dan menyadarkan serta menerapkan strategi belajarnya sendiri (teori Experiential Learning). Strategi pembelajaran yang mengarah ke student centered tersebut, karena sasaran pembelajaran bidang studi Biologi adalah peningkatan keterampilan berpikir dan bertindak (Depdiknas, 2003). Hal ini, sesuai dengan prinsip pembelajaran konstruktivisme yang diuraikan oleh Ruseffendi (1991) bahwa belajar IPA pada dasarnya merupakan pengubahan struktur kognitif melalui proses asimilasi dan akomodasi.


E. Keterampilan Kooperatif Siswa 

Secara empirik penggunaan peta konsep melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD memiliki pengaruh positif terhadap keterampilan kooperatif pada pembelajaran konsep ekosistem, seperti: berada dalam tugas, mengatasi gangguan, mendorong pertisipasi, aktif mendengar, aktif bertanya, dan memeriksa ketepatan jawaban (Jacobs et al. 1996; Nurhadi, 2002; Lie, 2004).

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa kecakapan berpikir lebih bermanfaat bila dilandasi moral yang baik, apalagi bila ditambah dengan keterampilan kooperatif yang juga diperhatikan dalam penelitian ini. Temuan penelitian ini juga menunjukkan, ternyata untuk keterampilan kooperatif siswa kemampuan atas tidak berbeda dengan siswa kemampuan bawah. Temuan tersebut mendukung Arends (1997) yang menyatakan, bahwa pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kemampuan atas maupun siswa kemampuan bawah yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik Dengan dukungan kerja sama antar temannya siswa yang berkemampuan sedang dan rendah akan mampu memperoleh pengetahuan dan nilai ulangan yang tidak berbeda dengan dengan kemampuan tinggi. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Thomson dalam Slavin (2000) bahwa pembelajaran kooperatif mempunyai manfaat antara lain meningkatkan hasil belajar. Menurut Lyman dan Foyle; Wooley, dkk. (dalam Blosser, 1992) pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan perolehan akademik.

Temuan penelitian ini juga mendukung pernyataan Arends (1997) bahwa model pembelajaran kooperatif berguna untuk membantu siswa menumbuhkan kemampuan bekerja sama, dan kemampuan membantu teman. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Slavin (dalam Blosser, 1992) bahwa pembelajaran kooperatif dapat memberikan pengaruh positif seperti kemampuan bekerja secara kooperatif. Johnson dan Johnson (dalam Blosser, 1992) juga menyatakan melalui pembelajaran kooperatif siswa menunjukkan kompetensi lebih tinggi dalam kegiatan kerja sama. Demikian halnya dengan Sharan dan Sharan (dalam Blosser, 1992) yang membuktikan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan tanggung jawab siswa untuk belajar kecakapan bekerja sama.

Beberapa hasil penelitian pembelajaran koorperatif yang melakukan penekanan pada ketiga komponen tersebut telah banyak dipublikasikan (Slavin, 1995b). Huber, Bogatzki, dan Winter (dalam Slavin, 1995b) membandingkan koorperatif STAD dengan belajar kelompok yang tidak menekankan pada tujuan kelompok dan akuntabilitas individu. Hasilnya, kelompok pada koorperatif STAD secara signifikan menunjukan skor yang lebih baik pada mata pelajaran matematika. Okebukola (1985) dalam penelitian bidang sains di Nigeria (dalam Slavin, 1995b) juga menujukan bahwa pada kelompok STAD pencapaian hasil belajar (achiievement) lebih tinggi.


F. Respons Siswa Terhadap Penggunaan Peta Konsep 

Peningkatan respons siswa terhadap penggunaan peta konsep terjadi peningkatan dari siklus I ke siklus II, artinya siswa merasakan bahwa dengan penggunaan peta konsep mereka merasa memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengikuti pelajaran. Penggunakan peta konsep pembelajaran lebih menarik dan tidak membosankan, sehingga konsep-konsep pada ekosistem lebih cepat dipahami siswa, dan mudah mengingat materi dan dapat dengan mudah mengerjakan tugas dari guru. Siswa termotivasi untuk belajar karena adanya strategi peneliti dan guru kolaborator menyuruh siswa membuat peta konsep dalam bentuk poster. Dengan pembuatan poster menumbuhkan rasa bangga pada siswa, dan dapat digunakan untuk mengkomunikasikan secara tertulis pada saat presentasi (Tsaniyah (2005).

Adanya respons positif yang akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar dengan penggunaaan peta konsep, hal ini mendukung teori dan penelitian oleh (Ausubel, 9613; Novak,1985; Mardiningsih, 2001; Ciliburn, 1990; Roth dan Roychoudhury, 1992; Zubaidah dan Rosilawati, 2000; Action Research Biologi Gugus Blitar, 2000; Haras, 2003; Chotimah; 2004; Endahsari, 2005).



G. Respons Siswa Terhadap Pembelajaran Penggunaan Peta Konsep Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

Data respons subjek penelitian terhadap penerapan pembelajaran penggu-naan peta konsep melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II.

Peningkatan respons siswa dapat dipahami, karena pembuatan peta konsep secara kooperatif peran siswa dihargai oleh siswa lain. Penghargaan yang diberikan siswa lain ini menimbulkan perasaan senang pada diri mereka. Siswa menyatakan bahwa mereka senang belajar secara kooperatif karena adanya kerja sama, saling menghormati, dan saling menghargai. Perasaan senang ini akan menimbulkan motivasi belajar pada siswa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Slavin dan Madden (dalam Slavin 1995) yang menyatakan bahwa belajar kooperatif mampu meningkatkan semangat dan motivasi siswa. Mulyasa (2003) mengatakan salah satu faktor yang turut menentukan keefektifan, keaktifan dan respons positif siswa pada pembelajaran adalah mengembangkan motivasi belajar siswa. Hal ini didukung pendapat Eggen & Kauchak (1996) bahwa kerjasama dapat menimbulkan motivasi instrinsik pada siswa.

Sejalan hal di atas, Susilo (2004) mengatakan bahwa adanya respons positif akan menunjang belajar, karena dapat menimbulkan sikap positif. Sikap positif akan menimbulkan minat, selanjutnya motivasi mudah berkembang. Sebaliknya, respons negatif akan dapat menghambat belajar, karena tidak melahirkan sikap positif dan tidak menunjang minat, serta motivasi akan sukar berkembang. Dalam hal motivasi, Cosamin (1998) telah berpendapat bahwa siswa yang termotivasi cenderung akan mengembangkan kemampuannya mencapai keberhasilan belajar.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hasil penilitian ini menunjukkan adanya motivasi positif. Hal ini, karena indikator respons yang diteliti memenuhi unsur dimensi motivasi, yaitu: perhatian, ketertarikan, keyakinan dan kepuasan (Keller, 1983 dalam Qodriyah, 2002; Adnyana, 2004).

Hasil penelitian ini, akan mendukung kelebihan penggunaan peta konsep melalui model pembelajaran kooperatif yaitu membantu menumbuhkan respons positif siswa dengan cara menyadarkan kemampuan kognitifnya, tanggung jawab, berpikir kritis dan kreatif, meningkatkan motivasi melalui kegiatan keberanian menyampaikan pendapat, ide, gagasan, pertanyaan, sanggahan, kerja individu secara terstruktur, kerja kelompok, serta tanggung jawab terhadap diri sendiri dan kelompok (Brown, 1982; Gutherie 1984; Martin, 1988; Gilroy dan Moore 1988; Graves dan Piché, 1989; Rosenshine dan Meister, 1994; Lubliner, 2001).


G. Sikap Siswa Terhadap Penggunaan Peta Konsep Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

Sikap subjek penelitian terhadap penggunaan peta konsep melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD, baik sikap kognisi, afeksi, konasi terkait konsep ekosistem berada pada kategori positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan peta konsep melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD berpengaruh positif terhadap sikap kognisi, afeksi dan konasi siswa terkait materi ekosistem. Pengaruh sikap positif siswa berakibat pada penguasaan materi pelajaran oleh siswa juga lebih baik. Hal ini karena adanya keyakinan (kognitif) siswa terhadap konsep pelajaran, yaitu konsep ekosistem. Pemahaman yang benar (kognitif) terhadap konsep, akan berpengaruh terhadap perasaan senang atau tidak senang (afeksi). Komponen kognitif dan afektif akan mempengaruhi kecenderungan siswa bertindak (konatif) (Azwar, 2000; Susilo, 2004; Adnyana, 2004). 


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Pilihan suatu pendekatan dan metode harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, dan sifat materi pelajaran yang menjadi obyek pembelajaran (Rustaman, dkk. 2005). Materi ekosistem terdiri dari konsep-konsep, maka lebih tepat untuk menghubungkan antara konsep-konsep dalam suatu materi dapat diwujudkan dalam bentuk peta konsep, hal ini sebagaimana dikatakan (Suroso, 1999) dapat memudahkan siswa menafsirkan hierarki konsep, persamaan dan perbedaan antar konsep-konsep, atribut utama setiap konsep, kalsifikasi konsep, contoh dan bukan contoh dari konsepnya, bahkan siswa akan dapat mendefinisikan setiap konsep yang dibuat dalam peta konsep.

Agar peta konsep lebih lengkap maka perlu disusun secara bersama antarsiswa dalam suatu kelompok. Di dalam kelas atau di luar kelas siswa dapat diberi kesempatan kerja secara kooperatif untuk memecahkan atau menyelesaikan masalah secara bersama. Para siswa juga diberi kesempatan untuk mendisikusikan masalah, menentukan strategi pemecahannya, dan menghubungkan masalah tersebut dengan masalah-masalah lain yang telah diselesaikan sebelumnya.

Daftar Pustaka
  • Amien, M. 1990. Pemetaan Konsep Suatu Teknik Untuk Belajar Bermakna. Jurnal Pendidikan. 9 (2): 55-56.
  • Applegate, J. 1995. Cooperative Learning in Graded Test. The American Biology Teacher, 5(6): 363-364.
  • Arends, Richard I. 1994. Learning to Teach. Third Edition. New York: McGraw-Hill Companies.
  • Ausubel, D. P. 1963. The Psychology of Meaningful Verbal Learning. New York. Grune & Stratton.
  • Azwar, S. 2003. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Edisi kedua. Cetakan Ketujuh Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Bell, F.H. 1979. Teaching and Learning Mathematices in Secondary School. New York: Wim C. Brown Company Publisher.
  • Brown, A. L., & Walton, M.I. 1993. Problem Posing: Reflection and Aplication. New Jersey: Lawrences Elbow Association Ltd.
  • Carin, A.A. 1993. Teaching Modern Science (6th ed.). New York, Oxford: Maxwell Macmillan International.
  • Cliburn, J. W. 1990. "Concept Maps To Promote Meaningful Learning." Journal of Research in Science Teaching, 15 (4): 212-217.
  • Cooper, M.M. 1995. Cooperative learning. Anapproach for large enrolment course. Journal of Chemical Education, 72(2):162-169.
  • Dahar, R.W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
  • Degeng, N. S. 2000. Materi Pelatihan Pekerti. Malang: Lembaga Pengembangan dan Pembelajaran Depdiknas Universitas Negeri Malang.
  • Depdiknas. 2003a. Kurikulum 2004 SMA; Pedoman Umum Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajar Biolog SMA. Jakarta: Direktoral Jendral Pendikan Dasar dan Menengah.
  • Depdiknas. 2003b. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Biologi SMA dan Madrasah Aliyah, Jakarta:Depdiknas.
  • Depdiknas. 2004a. Standar Kompetensi Guru SMA. Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.
  • Depdiknas. 2004b. Kurikulum Berbasis Kompetensi; Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar. Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.
  • Depdiknas. 1994c. Kurikulum SMU. Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Umum
  • Dimyati dan Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud. Dirjen Dikti.
  • Egen. P.D dan Kauchak, P.P. 1996. Strategies for Teacher: Teaching Content and Thinking Skills. Boston. Ally & Bacon.
  • Gabel, D.L. and Samuel, K.L. 1987. Understanding the Particulate Nature of Matter. Journal of Chemical Education. 64 (8): 695 -696.
  • Gardner, H. 1991. The Unschooled Mind: How Children think and Theory of Instruction. New York: CBS College Publishing.
  • Hadikoswara, R. 1998. Hubungan Antara Kemampuan Menyusun Peta Konsep dan Hasil Belajar Mahasiswa Pada Pelajaran Mikrobiologi. Jurnal IKIP Jakarta, 16 (2): 73-84.
  • Hariman, I.S., 1995. “Interactive and Cooperative Methods an Extension to Examination Bringing Student Closer to the Teaching and Learning Process”. Journal of College Science Teaching, 27 (6): 4001-4003.
  • Hart, Diane. 1994. Authentic Assesment: A Handbook for Educators. USA: Wesley Publishing Company, Inc.
  • Hedegaard. M. 1994. The zone of proximal development as basic for instruction. Dalam Moll, L.C. (Ed): Vygotsky and Education: Instructional Implications and Aplications of Sosiohistorical Psychology. Cambrige: University Press. p. 349-371
  • Heinich, R., Molenda, M., Russel, J.D., dan Smaldino, S.E. 2002. Instructional Media and Technologiy for Learning, 7th edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
  • Hibbard, K.M. 1995. Performance Assement In The Science Classroom. New York: Glencoe Mc Graw-Hill.
  • Hill, S. and Hill, T., 1993. The Cooperative Classroom (A guide to cooperative learning). Australia: Eleanor Curtain Publishing.
  • Horton, dan Philip, B. 1993. An Investigation of Effectiveness of Concept Mapping as an Instructional Tool. Journal of Science Education. 77 (1): 95-155.
  • Hudojo, H. 1983. Pemecahan Masalah dalam Pengajaran Matematika. Jakarta: Depdikbud P2LPTK.
  • Ibrahim, M. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA Press.
  • Ibrahim, M. 2001. Apa yang Dikatakan oleh Peneliti tentang Modeling Pembelajaran Kooperatif?.MIPA. 30 (1): 33-43.
  • Ibrahim, M., Rachmadiarti, F., Nur, M., dan Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Unesa University Press.
  • Ibrahim, S. 2003. Pembelajaran Kooperatif Jigsaw dalam Pembelajaran IPA. Jurnal MIPA. UNESA. 27 (2): 153-169.
  • Irawan, Ade; Eriyanto; Luky Djani; Agus Sunaryanto. 2004. Mendagangkan Sekolah; Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di DKI Jakarta. Jakarta: ICW bekerjasama dengan Yayasan TIFA.
  • Jacob, E. 1999. Cooperative Learning in Context: An educational innovation in everyday class-room. New York: State University.
  • Jailani. 2001. Pengaruh Strategi Belajar dengan Peta Konsep Melalui Kerja Kelompok Terhadap Hasil Belajar Biologi pada SMU Diponegoro Tumpang Kabupaten Malang. Tesis tidak diterbitkan. PPS Universitas Negeri Malang.
  • Johnson, R.T & D.W. Johnson. 1991. Learning Together and Alone: Cooperative, Competitive, and Individualistic Learning, (3rd ed.). Boston, London: Allynand bacon.
  • Jufri. 2000. Keefektifan Penggunaan Metode Belajar Kelompok Model STAD Untuk Menigkatkan Hasil Belajar pada SMU Negeri Ingin Jaya (Ulee Kareeng) Aceh Besar. Tesis tidak diterbitkan. Malang: UM.
  • Jufri. 2003. Penggunaan Peta Konsep dalam Pembelajaran Lingkungan dan Pelestarian Sumber Daya Alam Hayati untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas 1 MAN 3 Malang. Tesis tidak diterbitkan. PPS Universitas Negeri Malang.
  • Karli, H. dan Sriyuliarriatiningsih, M. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Bina Media Informasi.
  • Kawchok.1998. Learning and Teaching, Research Based Methods. Boston: Allyn and Bacon.
  • King, L, Tayler, C dan Maloney, C. 1991. Small Group Cooperative Learning: Devloping a Category System. Issues in Education Research. 1 (1): 7-12.
  • Koprowski, J.L. & N. Perigo. 2000. Cooperative Learning as a Tool to Teach Vertebrate Anatomy. The American Biology Teacher, 62(4): 282-284.
  • Kronberg, J.R & Griffin, M.S. 2000. Analysis Problem a Means to Developing Student’s Critical-Thinking Skills. Journal of College Science Teaching (JCST), 29(5): 348-352.
  • Lie, A. 2005. Cooperative Learning. Jakarta: PT. Gramedia Midiya Sarana Indonesia.
  • Lonning, R.A. 1993. Effect of Cooperative Learning Strategies on Student Verbal Interaction and Achivement During Conceptual Change Instruction in 10th Grade General Science. Research in Science Teaching, 30 (9): 1087-1101.
  • Lundgren, L. 1994. Cooperative Learning in Science Classroom. Glencoe. New York: McGraw-Hill.
  • Mardiningsih, L. 2001. Pembelajaran dengan Menggunakan Teknik peta konsep Suatu Upaya Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep-Konsep Fisika. Pelangi Pendidikan, Volume 4 No.1. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.
  • Milles, M.B. & Huberman 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep. R. Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 
  • Moleong, L.J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  • Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  • Novak, J.D., & Gowin, D.B. 1984. Learning How to Learn. New York: Cambrigde University Press.
  • Novak, Joseph D. 1980. Meaningful Reception Laerning as a Basis for Rational Thinking. Science Education Information Report. MSA: Clearinghouse for Science, Matematic, and Environmental Education. The Ohiostate University.
  • Nur, M. & Wikandari, P.R., 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Edisi 3. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
  • Nur, M. 2000a. Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Pendekatan Konstruktivisme dalam Pengajaran. Universitas Negeri Surabaya: University Press.
  • Nurhadi, Yasin, B., dan Senduk, A.G. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
  • Orton, A. 1992. Learning Mathematics: Issues, Theory and Classroom Practice. Second Edition. New York: Cassels.
  • Palincsar, A. S., & Brown, A. L. 1986. Interactive Teaching to Promote Independent Learning from Text. The Reading Teacher, 39(8), 771-77. (Online), (http://www.education.umn.edu/, diakses 15 Januari 2004).
  • Polya, G. 1981. Mathematics Discovery: on Understanding, Learning, and Teaching Problem Solving. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Putnam, J.W. 1995. The Process of Cooperative Learning. Dalam J.W. Putnam (Ed). Celebrating Learning and Strategies for Inclusion: in the Classroom (Hal.15- 40. Baltimore: Paulh Brooks.
  • Qodriyah. 2002. Upaya Peningkatan Motivasi dan Hasil Belajar Biologi Melalui Pembelajaran Kooperatif (tipe STAD) pada SMU Wahid Hasyim Malang. Tesis tidak diterbitkan. PPS Universitas Negeri Malang.
  • Rahayu, S. 1998. Pembelajaran Kooperatif dalam Pendidikan IPA. MIPA: Jurnal Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, 27(2):152-169
  • Ratnaningsih, D., 2003. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Model STAD dan Jigsaw Terhadap Prestasi Belajar Matematika SMU Negeri 1 Ngunut Kabupaten Tulungagung. Skripsi, tidak diterbitkan. Malang: FMIPA UM.
  • Rosyada. D. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Fajar Interpratama Offset.
  • Rustaman, Dirdjosoemarto, Yudianto, Achmad, Subekti, Diana dan Mimin. 2005. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Jurusan Pendidikan Biologi FKIP. Bandung: UPI.
  • Sa`adah, A. 2003. Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Model STAD terhadap Prestasi dan Aktivitas Belajar Siswa SMUN 8 Malang. Skripsi Tidak diterbitkan. Malang FMIPA UM.
  • Shofiati, E., Masjhudi, dan Rahayu, E. 2004. Penerapan Permbelajaran Kooperatif Model STAD untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Biologi Siswa Kelas 2 Semester I SMPN 2 Purwosari Kabupaten Pasuruan. Chimera. 9 (2): 86-95.
  • Sidharta, A. 2004. Pembelajaran Kooperatif; Modul Diklat Berjenjang. Pusat Pengembangan Penataran Guru IPA. Depdiknas: Bandung.
  • Sidi, I.J. 2001. Menuju Masyarakat Belajar; Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Radar Jaya Offset.
  • Slavin, Robert E. 1995. Educational Psychology: Theory and Practice. (Fourth Edition) Massachusetts: Allyn and Bacon.
  • Slavin, Robert E. 1990. Cooperative Learning, Theory, Research, and Practice. Second Edition. Massachusetts (US): Allyn & Bacon.
  • Suastra, I.W. 1996. Effektif Model Belajar Heuristik VEE dengan Peta Konsep dalam Pembelajaran Fisika di SMP. Jurnal Widya Jurusan MIPA STKIP Singaraja. 3 (XXIX) Juli.
  • Suderadjat. H. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Pembaharuan Pendidikan dalan Undang-Undang Sisdiknas 2003. Bandung: Cipta Cikas Grafika.
  • Suharta, I.G.P. 2002. Pemecahan masalah, Penalaran dan Komunikasi dalam KBK: Apa dan Bagaimana Implikasinya dalam pembela-jaran. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Matematika di Universitas Negeri Malang. Oktober.
  • Sukidin, Basrowi, dan Suranto. 2002. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Surabaya: Insan Cendekia.
  • Sumaji. 1998. Pendidikan Sains yang Humanistis. Yogyakarta: Kanisius.
  • Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pener-bit Kanisius.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved