Aneka Ragam Makalah

Makalah Humanisme dan Kearifan Moral



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Makalah Humanisme dan Kearifan Moral
Editor: Ibrahim Lubis, M.Pd.I

BAB II
PEMBAHASAN

Kekerasan apapun bentuk dan tipenya adalah tindakan yang tidak manusiawi, bertentangan dengan paham yang digembar-gemborkan oleh pejuang-pejuang humanis. Kekacauan dan tindakan kekerasan sangat tidak manusiawi (meskipun diperlukan) dan sangat menganggu kehidupan manusia dalam keseharian. Humanisme atau perasaan humanis memang sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini karena bagaimanapun juga bangsa ini seakan-akan sedang sakit.

Humanisme merupakan aliran dalam filsafat yang memandang manusia itu bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri dan dengan kekuatan sendiri mampu mengembangkan diri dan mencapai kepenuhan eksistensinya menjadi manusia paripurna. Pandangan ini adalah pandangan humanistis atau humanisme. Humanisme berasal dari kata humanus dan mempunyai akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti bersifat manusiawi sesuai dengan kodrat manusia.

Banyak spekulasi ilmiah seputar eksistensi manusia dan kita bisa mencari titik temu seputar pengertian manusia sejalan dengan adanya prinsip-prinsip pokok yang disepakati bersama. Himpunan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang disepakati bersama, bisa dikemukakan dalam arti yang lebih luas dengan istilah Humanisme. Humanisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia. Ia memandang manusia sebagai mahluk mulia, dan prinsip-prinsip yang disarankannya di dasarakan atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok yang bisa membentuk species manusia.[8]

Dalam perkembangannya humanisme, terjadi pertentnangan-pertentangan yang menjadikan seakan-akan humaisme menjadi milik suatu mazhab atau golongan tertentu dari suatu masyarakat, sehingga timbul humanisme versi liberalisme barat, marxisme, eksistensialisme dan agama. Humanisme barat dibangun di atas asas-asas yang sama yang dimiliki oleh mitologi Yunani Kuno yang memandang bahwa antara langit dan bumi, alam dewa-dewa dan alam manusia terdapat pertentangan-pertentangan dan pertarungan samapi-sampai muncul kebencian dan kedengkian antara keduanya. Menurut Ali Syariati, kesalahan barat yang paling serius di atas tegaknya bangunan humaisme modern - dimulai dari pandangan Politzer, yang berlanjug pada Marx dan Feurbach - ialah bahwa mereka mengangap dunia mitologi Yunanai Kuno yang bergerak seputar jiwa yang terbatas, alami dan fisikal itu dan menganggap dunia spiritual yang sakral sama dengan fenomena yang ada pada manusia saja.[9]

Humanisme modern yang dipandang oleh liberalisme barat borjuis sebagai sistem yang menjadi landasan bangunannya memandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keutamaan-leutamaan moral yang abadi dan nilai-nilai mulia yang lebih luhur ketimbang materi, suatu keutamaan yang menjadi inti penting satu-satunya bagi manusia. Bertolak dari sini, liberalisme barat borjuis bersandar pada humanisme yang menjadi lawan naturalisme dan metafisika.[10]

Pembicaraan mengenai humanisme liberal tidak dapat dipisahkan dengan kapitalisme, sebab kritik-kritik terhadap kapitalisme sering dikaitkan dengan humanisme di samping demokrasi. Tentu ini ada kaitannya dengan paham humanisme yang berkembang dengan perkembangan dunia industri atau revolusi industri yang terjadi di Inggris dan menjalar ke Eropa sampai Amerika. Kebanyakan prngkritik-pengkritik itu datang dari kaum idealis.

Ernest Baker dengan cerdik telah mengamati bahwa kaum humanis cenderung menjadi platonis dalam masalah-masalah sosial. Ini merupakan kekuatan maupun kelemahan. Merupakan kekuatan karena idealisme adalah suatu filsafat yang kuat kalau didukung dengan metafora-metafora yang meyakinkan dan merupakan kelemahan karena kepalsuan karakter idealisme adalah ketidakmampuannya melakukan hubungan kreatif dengan dunia konkrit. Penyakit-penyakit idealisme adalah seperti yang dikatakan oleh Nietzsche dipisahkannya pikiran dari dunia, jiwa dari keadaan, kebatinan manusia dari kondisi-kondisi eksternal.[11]

Kaum idealis yang mengkritik kapitalisme dianggap gagal dalam memahami hubungan dialektis antara idea dan yang riil mencirikan suatu humanisme yang integral. Lebih jauh mereka tidak memahami bahwa pemenuhan atas ideal itu tidak bisa dipaksakan dari atas, tetapi harus tumbuh dari sifat-sifat materialnya. Di tangan-tangan yang lebih mampu idealisme mungkin bisa menjadi penengah antara realitas-realitas dunia dan tuntutan-tuntutan jiwa.

Kaum sosialispun atau para penjaga budaya tinggi belum berhasil dalam memberikan tempat yang nalar bagi kapitalisme demokratik di dalam kerangka kerja humanistik mereka, namun kapitalisme demokratik itu sendiri adalah humanisme. Ketika para kritikus baik dari kiri maupun kanan mulai memahami ini, maka suatu babak baru yang penting dalam wacana sosial akan dimulai. Justru mengapa mereka sampai sekarang belum bisa memahami adalah pertanyaan yang pelik. Sebagaian dari masalahnya adalah cara humanisme itu menjadi didefinisikan dalam budaya kita.[12]

Kapitalisme adalah humanisme - dalam beberapa hal superior dibandingkan humanisme yang dipermaklumkan oleh mereka yang menamakan dirinya kritikus; dalam kebanyakan hal cocok dengan keinginan-keinginan mereka yang terdalam bagi suatu dunia yang lebih baik dan dalam semua hal layak memperoleh perhatian mereka yang serius. Satu argumen terbaik yang mendukung kapitalisme sebagai suatu humanisme adalah dari David Hume. Ia mendasarkan argumentasinya pda tiga keyakinan, yaitu perdagangan memperindah kebajikan, memperkuat komunitas politik dan memajukan budaya. Di antara kebajikan-kebajikan yang ditumbuhkan dalam republik komersial, Hume menyebutkan rasa tanggung jawab, kelembutan dan sifat tidak berlebihan (Le deux commerce-nya Montesquieue tampaknya merupakan suatu ekspresi sehari-hari waktu itu) dan hukum serta ketertiban. Hume mengatakan hukum, ketertiban, polisi, disiplin, tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna sampai akal manusia telah dihaluskan dalam pelaksanaan perdagangan dan pembuatan barang.[13]

Kekerasan memang bertentangan dengan paham humanisme yang mengagung-agungkan nilai-nilai kemanusiaan, apalagi dengan semakin maraknya gerakan hak asasi manusia. Kekerasan baik itu dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam perdagangan tentunya tidak diharapkan oleh para pelaku di dalamnya. Kekerasan akan menjadikan nilai-nilai kemanusiaan tercerai berai, tertindak dan tidak dihormati. Kekerasan membuat hidup lebih buruk meskipun mitos rakyat kekerasan akan selalu berakhir dengan kekalahan dibandingkan dengan kebaikan.

Dasar dari humanisme adalah moral yang ada dalam setiap manusia dan dalam setiap perhubungan antar manusia itu selalu dilandaskan pada etika. Moral dan etika memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menuntun manusia dalam hidup kesehariannya. Ia mengajarakan apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan dan dihindarkan, ia juga mengajarkan apa yang menjadi hak dan kewajiban kita. Nilai-nilai moral dan etika memilik kearifan yang tidak dapat diperbandingkan dengan materi atau harta benda. Kearifan moral dan etika ini membawa manusia kepada kearifan dalam bersikap atau berperilaku yang termanifestasikan dari kebijaksanaan yang dikeluarkan. 

Humanisme berisis kearifan-kearifan moral manusia. Humanisme tidak dapat melepaskan diri dari nilai moral ini karena moral itu adalah esensi dari kemanusiaan manusia. Kearifan moral itu tidak hanya ada dalam kehidupan atau pergaulan manusia, ia ada di mana-mana dan kapan saja sehingga tidak mengherankan dalam dunia politik yang penuh hiruk pikuk dusta, kearifan moral dibutuhkan untuk mendinginkan suasana, demikian juga dalam dunia perdagangan sehingga timbul pengertian kapitalisme adalah humanis.

DAFTAR PUSTAKA
  • Ali Syariati, Humanisme, Antara Islam dan Mazhab Barat, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996
  • Ernest Baker dan Nietzsche dalam Berbard Murchland, Humanisme dan Kapitalisme, Kajian Pemikiran Tentang Moralitas, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992
  • David Hume, Of Refinement in the Arts, dalam Essay Moral, Political and Literary, Oxford University Press, London, 196
Footnote
----------------------------------------
[8] Ali Syariati, Humanisme, Antara Islam dan Mazhab Barat, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996, hal. 39.
[9] Ibid, hal. 40
[10] Ibid, hal. 45-46
[11] Ernest Baker dan Nietzsche dalam Berbard Murchland, Humanisme dan Kapitalisme, Kajian Pemikiran Tentang Moralitas, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992, hal. 81.
[12] Ibid, hal. 82-83.
[13] David Hume, Of Refinement in the Arts, dalam Essay Moral, Political and Literary, Oxford University Press, London, 1963, hal. 280


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved