Aneka Ragam Makalah

Masyarakat Pedesaan Kecamatan Bayeun



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Salah satu perbedaan yang mencolok antara agama Islam dengan agama Yahudi adalah konsep agama Islam yang ingin menyebarkan agama. Hal ini terjadi karena tidak ada konsep ummat terpilih seperti yang dianut oleh agama Yahudi, yang membiarkan ummat lain selain keturunan mereka tidak masuk dalam bimbingan agama mereka.[1] Artinya dakwah Islam merupakan salah satu kewajiban ummat muslim dalam mewujudkan kehidupan sosial yang lebih baik dalam semua segi kehidupan hingga tercapainya konsep khairul ummah.

Dakwah merupakan salah satu usaha yang berupa ajakan dengan sadar dan terencana untuk mengajak seseorang ataupun agar lebih sadar dan mengamalkan ajaran Islam pada setiap aspek kehidupan, dengan murni dan konsekuen.[2] Dakwah juga bisa diartikan sebagai ajakan baik secara lisan maupun tulisan, tingkah laku dan lain sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana untuk mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran agama sebagai pesan yang disampaikan kepadanya dan tanpa adanya unsur-unsur paksaan.[3]

Dakwah dikonotasikan dengan pembinaan. Artinya, dakwah merupakan sebuah usaha untuk melestarikan dan mempertahankan ummat manusia agar mereka tetap beriman kepada Allah swt. dengan menjalankan syari’atNya. Dakwah ini merupakan kewajiban seluruh ummat Islam yang tergambar dalam suruhan amar ma’ruf nahi munkar.[4]

Mereka yang berpraktek dalam dunia dakwah pada umumnya berpendapat bahwa keberhasilan dakwah itu sangat dipengaruhi oleh berbagai hal, termasuk strategi dakwah yang diterapkan yang mencakup didalamnya metode dan sarana-sarana dakwah yang ada. Selain itu juga pendekatan dakwah yang digunakan oleh para praktisi dakwah sangatlah urgen dan siginifikan dalam mewujudkan keberhasilan dakwah. Keberhasilan dakwah ini dapat dilihat dari bagaimana para komunikan bisa memahami pesan-pesan yang disampaikan dalam dakwah tersebut. Tidak hanya sampai di situ, keberhasilan dakwah juga dilihat dari pengaruh dakwah tersebut dalam kehidupan para komunikan setelah dakwah disampaikan.

Pengaruh dakwah yang sama pada masyarakat kota pada umumnya tidaklah sama dengan pengaruh yang akan terdapat pada masyarakat desa. Artinya dakwah yang sama akan menghasilkan persepsi berbeda dalam pandangan masyarakat kota dengan pandangan pada masyarakat desa. Perbedaan pesan yang diterima ini terjadi karena beberapa hal, baik karena prinsip keagamaan yang berbeda di antara keduanya, sistem sosial yang berlaku dan tingkat pendidikan yang juga tentu berbeda. Selain itu juga pendekatan sosiologis terhadap masyarakat desa menyimpulkan bahwa masyarakat desa umumnya berkelompok atas dasar garis kekeluargaan. Sementara masyarakat kota lebih cenderung untuk bersifat individual karena berbagai kepentingan individual yang berbeda.[5]

Dalam dimensi agama, masyarakat desa umumnya masih bersifat menganut kepercayaan sesuai yang diwariskan oleh para pendahulu mereka. Sifat taklid ini biasanya membawa pengaruh lain dalam kehidupan beragama yakni fanatisme yang berlebihan terhadap sebuah kepercayaan tanpa mengatahui kebenaran ataupun dasar kepercayaan tersebut. Dalam masyarakat desa, biasanya tokoh agama mempunyai tempat penting dan terhormat, karena tokoh agama inilah yang dijadikan tempat bertaklid dalam kehidupan beragama dan dalam beberapa dimensi kehidupan lainnya. Ajaran agama yang sering bercampur aduk dengan budaya atau adat setempat inilah yang menjadikan masyarakat desa sering disebut sebagai penganut ajaran sinkretis atau ajaran agama yang bercampur dengan yang bukan agama.[6] 

Perbedaan mencolok lainnya yang akan terlihat pada masyarakat desa dalam perbandingannya dengan masyarakat kota adalah tingkat pendidikan yang relatif rendah. Hal ini juga tentu sangat berpengaruh dalam mewujudkan besar kecilnya peluang bagi dakwah untuk berhasil. Selain itu tingkat pendidikan ini juga akan bepengaruh besar dalam menentukan cara-cara yang tepat dipakai dalam menyampaikan dakwah.[7] Sifat dan corak masyarakat di atas terdapat juga pada masyarakat pedesaan kecamatan Bayeun. Seperti pada masyarakat pedesaan lainnya, masyarakat pedesaan kecamatan Bayeun mempunyai ciri-ciri sinkretis, fanatis, tingkat pendidikan relatif rendah bila dibandingkan dengan masyarakat kota, bertaklid kepada tokoh agama yang dianggap sebagai panutan dalam kehidupan beragama. 

Dengan begitu kehidupan beragama pada masyarakat pedesaan kecamatan Bayeun adalah bersifat taklid atau dengan kata lain hanya mengikuti tradisi hidup yang berlangsung sejak lama dan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Selain itu ajaran Islam yang dianut oleh masyarakat ini juga terkesan bercampur dengan adat tanpa adanya pembatasan yang jelas. Selain itu masyarakat pedesaan biasanya menganut apa yang mereka percayai sebagai agama dengan teguh. Ajaran agama seperti dalam anggapan mereka itu bisa terbentuk oleh beberapa hal yang pada umumnya merupakan hasil warisan kepercayaan pendahulu mereka. Sifat berpegang teguh terhadap ajaran agama ini bisa diakatakan akan lebih terlihat pada kehidupan masyarakat desa dibandingkan pada masyarakat kota. Apresiasi lebih terhadp ajaran agama ini kemudian melahirkan sebuah sikap fanatisme dan juga penilaian ketaatan seseorang dari penampilannya, baik tingkah laku dan pakaian. Umumnya seorang yang yang mempunyai moral yang baik tapi tidak pernah atau tidak sering memakai pakaian “ala agama”[8] tidak akan dikatakan sebagai seorang yang alim. Artinya penampilan bagi masyarakat desa sangat berpengaruh dalam menentukan siapa yang alim.

Adalah Jama’ah Tabligh yang merupakan salah satu lembaga atau bisa dikatakan sebagai organisasi, meskipun dalam arti sederhana, yang sungguh dikenal oleh masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun pada umumnya. Jama’ah Tabligh ini adalah kelompok yang yang sangat giat dan bersemangat dalam melancarkan dakwah Islam. Selain itu sebagaimana sering terlihat bahwa anggota Jama’ah Tabligh ini hampir dapat dikatakan selalu memakai pakaian “ala Islam” yang berupa gamis dan celananya, serban, mempunyai janggut yang lumayan panjang, bertingkah laku layaknya seorang muslim yang baik dan mengikuti dan mengamalkan sunnah-sunnah Rasul hingga hal-hal yang terkecil.

Secara teori berdasarkan uraian diatas, seharusnya masyarakat pedesaan, khususnya masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun dalampenelitian ini, memberikan apresiasi lebih terhadap kelompok Jama’ah Tabligh ini. Bila masyarakat menyukainya, maka pesan-pesan dakwah yang selalu disampaikan oleh jama’ah inipun tentu akan dengan mudah masuk dan berpengaruh kuat pada diri mereka. Secara sederhana pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh Jama’ah Tabligh adalah kembali dan mengikuti Sunnah Rasul hingga hal-hal yang terkecil dan menyemarakkan gerakan dakwah seperti yang tergambar dalam ushul as-sittah mereka.[9] Dengan kata lain bahwa pemurnian ajaran Islam juga merupakan salah satu pesan dakwah yang terdapat dalam dakwah Jama’ah ini.

Asumsi awal peneliti, bahwa masyarakat pedesaan akan memberikan apresiasi yang sangat bagus bagi gerakan jama’ah Tabligh ini yang kemudian berlanjut dengan berhasilnya dakwah untuk mempengaruhi masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun, ternyata bertolak belakang dengan kehidupan keberagamaan seperti yang kami saksikan sehari-hari. Sifat taklid buta, fantisme dan sinkretisme masih kental dalam masyarakat ini.

Hal ini tentu mengherankan dan sangat bertolak belakang. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan yang terjadi:

Yang pertama adalah kemungkinan bahwa ada faktor-faktor yang lebih kuat yang menyebabkan dakwah Jama’ah Tabligh tidak berhasil mempengaruhi masyrakat pedesaan Kecamatan Bayeun meskipun masyarakat desa Kecamatan Bayeun memberikan penilaian positif dan apresiasi lebih terhadap Jama’ah ini. Beberapa faktor itu mungkin berasal dari anggapan bahwa anggota Jama’ah Tabligh yang tidak bertanggung jawab karena meninggalkan keluarganya untuk beberapa lama saatnya. Meskipun anggapan ini tidak sepenuhnya benar, akan tetapi hal itu memang hal yang sangat mudah disimpulkan dari gerakan Jama’ah Tabligh. Faktor lain yang mungkin adalah rasa fanatisme yang kuat atau taklid lebih kuat dari pada pengaruh dakwah Islami atau apresiasi masyarakat terhadap Jama’ah ini. Faktor yang juga sangat mempengaruhi adalah anggapan yang mudah terbentuk dalam pandangan masyarakat yaitu Jama’ah Tabligh adalah orang yang tidak memperdulikan kebersihan penampilan dalam berdakwaha atau dalam menjalankan ibadah.

Kemungkinan yang kedua adalah bahwa ternyata asumsi awal kami bahwa masyarakat menyukai dan memberikan apresiasi lebih terhadap gerakan Jama’ah Tabligh adalah salah. Artinya ternyata masyarakat tidak menyukainya karena beberapa hal seperti yang diuraikan di atas, atau karena dugaan masyarakat bahwa Jama’ah ini merupakan aliran yang sesat.

Berangkat dari uraian keadaan di atas, penulis yang memang berasal dari Aceh tertarik untuk menelitinya secara ilmiah, yakni meneliti bagaimanakah sebenarnya pandangan masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun terhadp dakwah Jama’ah Tabligh.

B. Rumusan Masalah.

Sejalan dengan latar masalah yang diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah sebenarnya pandangan masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun terhadp dakwah Jama’ah Tabligh”.

Dari pokok masalah tersebut dapat dirumuskan beberapa fokus masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sebenarnya pandangan masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun terhadp dakwah Jama’ah Tabligh.?

2. Apakah faktor-faktor yang melatari pandangan masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun tersebut terhadp dakwah Jama’ah Tabligh?

C. Tujuan Penelitian.

Secara umum tujuan penelitian ini ialah untuk mendapatkan gambaran tentang Bagaimanakah sebenarnya pandangan masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun terhadp dakwah Jama’ah Tabligh.?

Tujuan penelitian ini dapat diperjelas sebagai berikut:
Untuk mengetahui bagaimanakah sebenarnya pandangan masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun terhadp dakwah Jama’ah Tabligh.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatari pandangan masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun tersebut terhadp dakwah Jama’ah Tabligh.

D. Manfaat Penelitian.

Selanjutnya penelitian ini diharapkan berguna sebagai:
Bahan pertimbangan dan masukan bagi perkembangan dakwah khusunya pada masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun.
Acuan dan bandingan bagi juru dakwah dalam pengembangan pembinaan agama khususnya pada masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun.
Masukan untuk mahasiswa fakultas dakwah Islam.
Tambahan dalam khazanah pengetahuan Islam khususnya dalam bidang dakwah dan komunikasi.

E. Batasan Istilah.

Untuk menghindari kesalah-pahaman, maka perlu dijelaskan beberapa istilah-istilah yang terdapat dalam judul.

1. Pandangan

Pandangan berasal dari kata dasar pandang diberi akhiran an yang berarti penglihatan yang tetap dan agak lama. Sedangkan pandangan itu sendiri sesuatu yang dipandang.[10] Dalam bahasa Inggeris istilah ini sering disebut dengan view dan opinion. Kata view dalam bahasa Inggris memiliki 5 arti: (1) state of seeing or being seen; field of visionce) (2) (picture, photograph) natural seenery (3) opportunity to see or inspect something (4) personal opinion, mental attitude, thought or observation dan (5) aim, intention, purpose. Sedangkan opinion bahagian dari view itu sendiri dan dia bersifat keyakinan atau putusan yang tidak berdasarkan kepada ilmu pengetahuan yang komplit.[11]

Jadi, istilah pandangan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah melihat bagaimana pandangan, penilaian dan pemahaman masyarakat Melayu di Kecamatan Tanjung Pura terhadap kewarisan anak (baca: cucu) yang ayahnya meninggal terlebih dahulu dari kakek.

2. Masyrakat Pedesaan.

Kata masyarakat berasal dari terjemahan society, community, people dan in habitants.[12] Sedangkan dalam pengertian sosiologi, masyarakat adalah sebuah kelompok yang terorganisir secara besar atau banyak, memiliki pembagian tugas yang tetap, tinggal pada suatu daerah tertentu dan memiliki tujuan yang sama.

Kata “pedesaan” adalah kata sifat dari yang dibentuk dari kata dasar “desa”. Asal kata “desa” adalah “deshi” yang merupakan bahasa Sanksekerta yang berarti tanah kelahiran ataupun tanah tumpah darah. Pada pengertian selanjutnya, ketika kata ini diadopsi ke dalam bahasa Indonesia, kata desa berarti menunjukkan wilayah hukum di Jawa.[13]

Sebuah pengertian yang lebih jelas diberikan oleh Birtanto bahwa desa adalah suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu adalah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain.[14]

Selain itu beliau juga memberikan pengetian lain terhadap desa dengan menggunakan sisi pandang yang berbeda bahwa desa adalah unit-unit pemusatan penduduk yang bercorak agraris dan terletak jauh dari kota, dan desa dalam arti administratif sebagai kelurahan yakni wilayah yang dipimpin oleh seorang lurah.[15]

Jadi masyrakat pedesaan di sini adalah masyrakat yang hidup di desa dan memiliki ciri-ciri : homogen dan segala dampaknya, mobilitas sosial yang rendah,[16] yakni masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan (tidak termasuk masyrakat yang tinggal di kota) atau daerah tingkat III Kecamatan Bayeun.

3. Kecamatan Bayeun.

Kecamatan Bayeun adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Aceh Timur yang terdiri dari 16 desa.

4. Dakwah

Dakwah berasal dari bahasa Arab yakni

Defenisi dakwah adalah usaha untuk mendorong manusia agar berbuat kebaikan dan menurut petunjuk agama Islam, menyeru mereka berbuat kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar agar mereka mendapat kebahagian di dunia dan diakhirat.[17]

Dakwah juga sering diartikan sebagai salah satu usaha yang berupa ajakan dengan sadar dan terencana untuk mengajak seseorang ataupun agar lebih sadar dan mengamalkan ajaran Islam pada setiap aspek kehidupan, dengan murni dan konsekuen.[18] Dakwah juga bisa diartikan sebagai ajakan baik secara lisan maupun tulisan, tingkah laku dan lain sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana untuk mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran agama sebagai pesan yang disampaikan kepadanya dan tanpa adanya unsur-unsur paksaan.[19]

Sedangkan dakwah dalam kajian ini adalah seluruh aktivitas yang tersisip di dalamnya pesan-pesan Islami.

5. Jama’ah Tabligh.

Adalah sebuah organisasi yang pada awalnya dipelopori oleh Maulana Muhammad Ilyas, seorang ‘alim yang hidup di sebelah utara ibu kota India, New Delhi. Kelompok ini merupakan kelompok yang bergerak dalam bidang dakwah, mempunyai enam prinsip dan tujuan tertentu.[20] Jema’ah ini mempunyai beberapa metode dakwah seperti khuruj, jaulah, khidmah, bayan dan lain sebagainya.

F. Kajian Terdahulu.

Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang pandangan masyarakat pedesaan di wilayah Aceh belum pernah dilakukan. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang masih bersangkutan dengan penelitian ini. Salah satunya adalah Analisa Metode Dakwah Jama’ah Tabligh. Penelitian ini mengkaji tentang metode-metode, prinsip dasar, tujuan dan asas-asas yang dipegang oleh Jama’ah Tabligh.


G. Kerangka Pemikiran.

1. Pengertian dan Ciri-Ciri Masyarakat Desa.

a. Pengertian.

Adalah hal sukar untuk menentukan kriteria yang membedakan desa dengan kota. Beberapa kriteria yang diajukan dalam pengertian desa kadang-kadang terasa tidak ekslusif artinya pengertian yang diajukan tidak bisa memisahkan desa dari kota. Sebut saja aspek kerukunan seperti yang diajukan oleh Sayogyo, aspek ini tidak bisa menjadi satu-satunya kreteria dalam menetukan desa.[21] Beberapa hal yang akan sering ditemukan dalam pengertian desa adalah wilayah, lingkungan, unit pemusatan penduduk, corak agraris.[22]

Dalam hal merumuskan pedesaan, adalah hal yang sangat urgen sekali bahwa desa harus dipandang dengan segala aspeknya, penduduk, interaksi masyarakatnya, corak-coraknya, geografinya, ekonomi dan sebagainya. Dengan begitu pengertian desa yang lebih baik akan bisa dirumuskan.

Kajian sosiologis yang mempelajari interaksi yang terjadi pada masyrakat pedesaan adalah sosiologi pedesaan[23], kajian ini berangkat dari asumsi bahwa untuk membedakan kota dengan desa maka harus dikaji perbedaan interaksi-interaksi masyrakat yang kemudian akan menghasilkan perbedaan yang jelas.

Asal kata “desa” adalah “deshi” yang merupakan bahasa Sanksekerta yang berarti tanah kelahiran ataupun tanah tumpah darah. Pada pengertian selanjutnya, ketika kata ini diadopsi ke dalam bahasa Indonesia, kata desa berarti menunjukkan wilayah hukum di Jawa.[24]

Istilah ini tampaknya merupakan pengertian desa yang sudah tercoraki politik. Berkaitan dengan itu, UU no. 5 tahun 1979 mempertegas arti pengertian desa dalam lingkup hukum yakni kesatuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat, dan berhak untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[25] Ini merupakan penyeragaman istilah desa di seluruh negeri.

Pada perkembangan selanjutnya, UU no. 22 tahun 1999 kembali mempertegas makna desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Wilayah pedesaan adalah wilayah yang penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi wilayah sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintah, pelayanan nasional dan kegiatan ekonomi.

Sebuah pengertian yang lebih jelas diberikan oleh Birtanto bahwa desa adalah suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu adalah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain.[26]

Selain itu beliau juga memberikan pengetian lain terhadap desa dengan menggunakan sisi pandang yang berbeda bahwa desa adalah unit-unit pemusatan penduduk yang bercorak agraris dan terletak jauh dari kota, dan desa dalam arti administratif sebagai kelurahan yakni wilayah yang dipimpin oleh seorang lurah.[27]

b. Ciri-Ciri Masyarakat Desa.

Ada beberapa ciri esensial yang membedakan masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan. Pada umumnya, perbedaan ini berdasarkan pada sifat masyarakat desa yang homogen yang berbeda dengan masyarakat urban yang relatif lebih heterogen. Kehomogenan masyrakat pedesaan ini bisa dilihat dari stratifikasi sosial yang ada, suku yang sama dan bahkan di beberapa desa, mayritas penduduknya berasal dari keluarga yang sama.

Kehomogenan ini selanjutnya akan mebawa dampak lain yang positif maupun negatif. Salah satu dampak yang muncul dari kehomogenan masyarakat pedesaan adalah keakraban seluruh komponen masyarakat desa. Adalah merupakan hal sangat umum bahwa di masyrakat desa saling mengenal seluruh anggota sosial masyrakat. Hal ini merupakan dampak positif dari kehomogenan masyarakat.

Dalam hubungannya dengan dakwah dalam pembinaan agama masyarakat, hal ini memberi peluang yang sangat bagus dimana kecepatan menyebarnya pesan-pesan dakwah lebih daripada pada masyarakat yang tidak kenal satu sama lainnya.

Kehomogenan masyarakat pedesaan ini, selain membawa dampak keakraban juga akan membawa dampak positif lainnya, yakni bahwa nilai-nilai yang dianut oleh seorang individu akan sangat berpengaruh terhadap tingkah laku individual lainnya yang berinteraksi dengannya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa keakraban dan saling kenal antar anggota masyrakat merupakan akibat dari seringnya mereka bertemu, interaksi yang terus menerus,[28] dengan begitu individu dalam masyrakat desa akan selalu menjaga nilai-nilai yang dianut oleh lawan interaksinya. Dengan begitu dakwah yang berhasil mempengaruhi salah satu individu anggota masyarakat mempunyai peluang untuk mempengaruhi individu yang lain.

Sedangkan dampak negatif dari kehomogenan masyrakat pedesaan adalah kurangnya persaingan yang mengakibatkan lesunya mobilitas sosial, baik mobilitas horisontal, geografis maupun vertikal.[29] Hal ini diduga keras karena pengaruh dari kestatisan masyarakat desa, baik karena hanya tinggal di suatu lingkungan saja, pada satu masyarakat sosial saja , profesi yang sama dan kelas sosial yang sama.

Pada umumnya, hubungan-hubungan yang ada pada masyrakat pedesaan dibangun atas beberapa dasar sebagai berikut:

Hubungan Kekerabatan.

Hubungan berdasarkan kekerabatan adalah dasar yang paling umum yang akan ditemukan pada masyarakat pedesaan. Semakin kecil atau semakin primitif sebuah masyarakat maka hubungan kekeluargaan ini akan semakin kuat dan sering menjadi satu-satunya dasar hubungan dalam masyarakat tersebut.

Dalam hal ini, pimpinan atau kepala suku adalah orang yang sangat penting dalam membentuk tingkah laku anggota masyrakat, karena dalam hubungan berdasarkan kekerabatan ini melahirkan corak penghormatan terhadap sebuah keturunan dari atas hingga ke bawah.[30]

Hubungan Terroterial

Ini adalah hubungan yang didasarkan kepada ikatan hubungan atas wilayah yang ditingali. Dampak dari hubungan seperti ini adalah adanya penilaian yang berbeda terhadap penduduk asli yakni yang sudah lama mendiami wilayah tersebut dengan orang pendatang.[31]

Hubungan Berdasarkan Tujuan Khusus.

Hubungan ini dapat kita lihat pada oraganisasi-organisasi yang terdapat dalam masyarakat, baik organisasi sosial, politis, maupun ekonomi. Hubungan yang berasaskan prinsip ini memberikan peluang interaksi yang lebih luas bagi anggotanya.

Asas Ikatan Dari Atas.

Prinsip ini menanamkan sikap menghargai atasan dan rasa ketergantungan kepadanya. Apa yang yang bersumber dari atas merupakan pedoman yang layak ditaati sebagai aturan pola tingkah laku.[32]

2. Jama’ah Tabligh.

a. Latar Belakang Berdirinya Jemaah Tablig

Jemaah Tablig, pada awalnya dipelopori oleh Maulana Muhammad Ilyas, adalah seorang ‘alim yang hidup di sebelah utara ibu kota India, New Delhi, tepatnya di Nizamuddin ada. Ia lahir pada tahun 1303 (1886 M) di Kandhla, sebuah desa di kawasan Muzafar Nagar di wilayah Utarpradesh, India.[33] Ayah Muhammad Ilyas, Muhammad Isma‘il adalah seorang alim terkenal dengan ilmu dan pengetahuan agama, berasal dari keluarga yang memiliki kedudukan tinggi dalam ilmu agama, bahkan nasabnya sampai kepada Sayid Abu Bakar as-siddiq ra.. Ibunya bernama al-Hafizah as-Safiyah.[34] Ayah Muhammad Ilyas, selain seorang alim juga terkenal sebagai seorang sufi yang sering ‘uzlah dan khalwat.[35]

Muhammad Ilyas, adalah orang yang sibuk dengan aktivitas keagamaan dalam kehidupan sehari-harinya, ia mengajar di madrasah tempat ayahnya mengajar dahulu, tepatnya di Nizamuddin.[36] Dengan kesibukan itu pula, dia dikenal dengan panggilan “Maulana” sebagai sebutan bagi orang yang mengajar di madrasah, atau bagi siapa saja yang banyak mendalami ilmu agama (sama dengan sebutan Ustadz, Kyai atau Tengku di daerah Aceh).[37]

Ia mengajar anak-anak yang dulunya tidak sekolah, kemudian bersekolah. Namun, usaha yang ia lakukan memunculkan kekecewaan dalam dirinya, karena keberhasilannya bersifat parsial, sebagian kecil saja. Hal itu ditandai dengan tetapnya kebodohan, merajalelanya kejahatan dan sunyinya tempat-tempat ibadah. Di samping itu faham sekularisme masih melanda negerinya, sehingga berpengaruh kepada sistem pendidikan dan perilaku masyarakat. Faktor-faktor di atas membuat banyak kalangan tidak berhasrat lagi mendalami ilmu agama di madrasah.[38]

Permasalahan yang paling mendasar bagi Maulana Muhammad Ilyas adalah bagaimana mengajak orang untuk menjalankan perintah Allah dan menghidupkan Sunah Rasulullah saw.. Muhammad Ilyas setiap saat berfikir mencari solusi dan alternatif yang bisa memenuhi harapannya. Pada suatu hari, dia keluar dan berfikir tentang siapakah orang yang dapat diajak pergi ke masjid dan salat berjemaah. Tiba-tiba secara tidak sengaja terpandang oleh matanya sejumlah kaum Muslim yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka saat waktu salat tiba. Ia pun bertanya kepada mereka tentang gaji yang mereka peroleh. Mereka pun menyebutkan jumlah yang biasa mereka peroleh setiap harinya. Kepada mereka ditawarkan, apakah mereka bersedia seandainya mereka memperoleh gaji seperti biasanya dan tidak perlu melanjutkan bekerja. Kata mereka, “Baik, kami setuju.” Lalu beliau membawa mereka masuk masjid, mengajari membaca Alquran, dan mengerjakan salat, serta kepada mereka diberikan gaji sebagaimana yang biasa mereka peroleh setiap hari. Dengan kesibukan ini, mereka berhasil dibentuk menjadi orang yang taat, dan merekalah murid pertama di masjid al-Kukh, Nizamuddin yang kelak menjadi terkenal.[39]

Setelah berpikir lama dan memohon petunjuk Allah, Muhammad Ilyas bertekad membentuk jemaah (kelompok dakwah) guna berdakwah keluar daerah yang susah dijangkau oleh pendidikan madrasah. Langkah ini dilakukan oleh Muhammad Ilyas setelah melaksanakan haji kedua dalam hidupnya pada tanggal 13 Rabi‘ul Akhir 1345 H (25 September 1925 M).[40]

Muhammad Ilyas mengajak banyak orang untuk menyertai jemaah ini, namun hanya beberapa orang saja yang bersedia untuk ikut serta. Hal itu terjadi karena masyarakat belum pernah melihat usaha seperti ini sebelumnya, sehingga banyak orang mempertanyakan. Langkah ini yang lambat laun menjadi lembaga dakwah yang besar yang dikenal dengan Jemaah Tablig, yang telah memberikan inovasi dalam dakwah.

Langkah awal yang dilakukan oleh Jemaah Tabligh adalah melakukan pengiriman jemaah ke suatu daerah untuk berdakwah, dengan jumlah jemaahnya sedikit (± sepuluh orang) tapi Muhammad Ilyas tetap dalam pendiriannya. Hal ini menimbulkan keheranan, kejutan dan pertanyaan bagi banyak masyarakat, daerah tujuan yang dikunjungi oleh jemaah pertama adalah Kandla (tempat kelahiran Muhammad Ilyas) yang dipimpin oleh Hafis Maqbul Hasan, kemudian jemaah kedua ke Raipur.[41] Derap langkah dakwah ini, di satu sisi memberi kejutan bagi masyarakat, karena para anggota jemaah selain menerangkan tentang teoritis ajaran Islam, di sisi lain juga memberikan contoh langsung praktek amalan agama kepada masyarakat yang dikunjungi.

Dari kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa metode dakwah Jemaah Tabligh seakan-akan tidak mau menyesuaikan diri dengan kondisi saat ini. Hal itu terlihat dari metode dakwah yang dipakainya, yaitu dengan meninggalkan keluarga selama beberapa hari, hidup sederhana, makan, minum, pakaian, tempat tidur, menjauhi media-media modern seperti televisi, video, internet baik dalam kehidupan sehari-hari atau pun dalam menjalankan dakwah. Dengan pola tersebut di atas muncullah tanggapan dan penilaian dari berbagai kalangan, ada yang menilai positif dan ada pula yang menilai negatif.[42]

Namun, Jemaah Tabligh terbukti telah banyak memberikan perubahan positif, baik bagi individu maupun masyarakat. Banyak yang hidupnya menyimpang lurus kembali, banyak yang lalai, lupa dan khilaf menjadi sadar. Banyak yang berpaling dari Allah dan agama-Nya, taat dan taubat kepada-Nya.[43]

Beberapa kasus membuktikan bahwa khidmah (pelayanan) Jemaah Tabligh di beberapa negara telah mendapat sambutan yang baik, seperti di Thailand, Malaysia dan beberapa negara Asia lainnya.[44] Bahkan di Bangladesh telah diadakan ijtima’ (perkumpulan) yang merupakan perkumpulan umat Islam terbesar kedua setelah Makah pada musim Haji Februari 2003.

Jemaah Tabligh terus berkembang dari hari ke hari, ijtima’ hampir di setiap daerah. terutama di India, jemaah berjumlah sekitar tiga ribu lima ratus orang setiap hari tinggal dan menetap (i’tikap) di masjid Nizamuddin. Kebutuhan pangan tersedia pada waktunya. Semua jemaah dapat menikmati makanan dan minuman walau tidak membelinya. Timbul pertanyaan, dari manakah pendanaannya?

2. Prinsip-prinsip Pergerakan

Maulana Muhammad Ilyas mengatakan, “Kerja yang telah dijalankan oleh Baginda Rasulullah saw. di kota Mekah (sebelum hijrah) adalah berkeliling untuk menyeru manusia kepada Allah swt.. Dengan tujuan itu, Baginda telah pergi kepada manusia bertemu mereka secara langsung, dan mengajak ke jalan Allah. Setelah sampai di Madinah beliau telah membina satu tempat (masyarakat) yang telah didudukinya. Hal ini beliau lakukan setelah membentuk satu jemaah yang khas untuk menjalankan dakwah seperti yang telah dijalan di kota Mekah. Setelah itu, karena kerja ini membutuhkan konsentrasi, beliau terpaksa membentuk markaz (pusat) untuk mengawasi usaha ini dan memberikan motivasi[45] pada jemaah-jemaah yang terjun ke lapangan. [46] Dengan tujuan memberi batasan-batasan yang dijalani saat melaksanakan tugas dakwah.

Dakwah Jemaah Tablig adalah upaya membekali hati dan rohani dengan iman yang diimplimentasikan lewat amal saleh yang mengena kepada hati. Maka upaya yang dilakukan Jemaah Tablig adalah upaya yang bisa menyentuh hati. Untuk itu, Jemaah Tablig mempergunakan metode dakwah dengan menanamkan beberapa prinsip yang meliputi, al-Usul as-Sittah (Prinsip Enam), Prinsip Mandiri, Prinsip Menghidupkan Sunah Nabi, dan Prinsip Konsisten Berdakwah. Selanjutnya akan diuraikan berikut ini:

1. Prinsip Enam

Enam prinsip ini adalah mencontoh dan meng-akumulasi-kan dari sifat-sifat para sahabat Rasulullah saw. walau berbeda suku, kaum, dan karakter, tetapi mereka memiliki kesatuan hati. Jarang terdapat percekcokan saat menjalankan tugas dakwah, di dalam, atau luar daerah mereka, karena orientasi mereka adalan membentuk umat yang satu. Dari sifat-sifat tadi, maka dikalkulasikan menjadi enam sifat yang mulia, dikenal dengan enam sifat sahabat.[47]

Dalam setiap aktivitas dan program Jemaah Tablig, selalu mengacu kepada enam prinsip ini, hingga setiap bayan (ceramah), Perinsip Enam selalu menjadi pembahasan, karena menurut mereka Prinsip Enam adalah alat untuk menyelamatkan umat manusia dari kejahilan, kegelapan, kefasikan, dan kemusyrikan. Walaupun prinsip tersebut bukanlah rukun Islam, tapi ajaran-ajaran Islam sudah terakumulasi dalam prinsip-prinsip tersebut.

Adapun prinsip enam dimaksud adalah sebagai berikut: Penanaman keimanan sesuai cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw;[48] Penekanan salat khusyu’ dan khudu.’ ; Pemantapan ilmu dan zikir; Mewajibkan ikram al-Muslimin; Menanamkan ikhlas niat;[49] Sosialisasi khuruj fi sabili Allah;[50]Prinsip Mandiri;[51] Prinsip Menghidupkan Sunah Nabi; Prinsip Konsisten Berdakwah.

3. Metode Dakwah

Khuruj[52]

Khuruj fi sabilillah (keluar di jalan Allah) untuk berdakwah adalah tugas pertama kaum Muslim yang dijalankan para muballig jalan Gajah Medan. Mereka meluangkan waktunya beberapa hari, meninggalkan rumah tangganya, sanak famili, demikian juga tanah air demi menjalankan tugas dakwah.[53] Itu merupakan salah satu wujud orang yang beriman yang mengemban amanat Tuhannya untuk disebarkan kepada saudaranya seaqidah. Tujuan dari khuruj ini adalah untuk menyampaikan hakekat kalimat tayyibah, La ilaha Illa Allah Muhammad Rasulullah, kepada kaum Muslim lain yang dianggap lalai dalam ibadah atau hanya menyibukkan diri dengan tugas keduniaan semata.

Namun, prinsip-prinsip Jemaah Tabligh ini jika hendak dikembangkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern, mungkin akan ditemukan beberapa hal yang sangat dilematis. Di antaranya, sikap masyarakat modern yang materialistis, rasionalis, aktif, kreatif, tidak bisa menerima dakwah yang bersifat ukhrawi saja. Tapi masyarakat modern akan lebih tertarik dengan prinsip-prinsip yang tidak mengganggu aktrifitas dan kreatifitas mereka. Universalitas agama akan bisa menjawab semua permasalahan masyarakat di setiap waktu dan keadaan, tanpa harus memaksakan kehendak sesuai dengan paham sepihak.

Dalam khuruj ini, para karkun (anggota Jemaah Tabligh) mengadakan beberapa aktivitas dakwah baik bi al-hal maupun bi al-lisan sekaligus. Hal itu berlandaskan aktivitas Rasulullah dan para sahabat menyampaikan Islam di tengah-tengah kerusakan moral orang Arab.

Seperti diutarakan di atas, Jemaah Tabligh menekankan kepada aspek khuruj untuk berdakwah. Hal ini juga dijadikan sebagai senjata utama dalam menyebarkan dakwahnya. Oleh karenanya jika ada seseorang yang akan mengikuti program khuruj maka akan dibimbing tentang tata tertibnya. Biasanya hal itu akan disampaikan oleh seniornya sebelum berangkat ke tempat di mana ia akan berdakwah,[54] yang dikenal dengan bayan hidayah.

Jaulah

Jaulah adalah perkelilingan, atau berkeliling. Dalam hal ini, perkelilingan yang dilakukan Jemaah Tablig dari satu pintu ke pintu yang lain untuk mengajak masyarakat yang ada di sekitar mesjid yang mereka datangi, agar dapat hadir di mesjid melaksanakan salat maghrib berjemaah kemudian mendengarkan bayan (ceramah) yang disampaikan.

Jaulah yang mereka lakukan ini, kurang membawa hasil yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari jemaah salat magrib yang terkesan sedikit dan tidak sebanyak rumah dan orang yang dijumpai saat ber-jaulah. Walaupun demikian program ini tidak bisa dipisahkan dari kegiatan jemaah.

Kegiatan jaulah dilakukan pada siang hari dan juga sore hari menjelang salat maghrib. Jika dilakukan pada siang hari maka para karkun (anggota dan rekan-rekan Jemaah Tabligh) yang ditunjuk akan mendatangi rumah-rumah, toko-toko, bahkan di pasar (pajak). Kegiatan ini bersifat menyampaikan tentang kebesaran Allah swt. dan hal-hal yang berkenaan dengan pahala dan dosa, atau surga dan neraka. Kadangkala juga menyampaikan tentang pentingnya menjaga pandangan dari wanita yang bukan muhrimnya. Hal ini disampaikan, karena bebasnya kaum wanita berbusana tanpa memperhatikan hal-hal yang lazim ditutup dalam pandangan Islam.

Bayan

Jemaah Tabligh, ketika memberikan bayan (ceramah), selalu menyampaikan “prinsip enam” yang menitik beratkan pada iman dan salat (namaz). Kemudian menjelaskan tentang memperbaiki niat dan mengikhlaskannya hanya untuk mencari keridaan Allah semata. Dan klimaks dari bayan tersebut, yang dikenal dengan tasykil (membujuk orang ramai untuk meluangkan waktunya keluar untuk berdakwah) menjelaskan tentang pentingnya khuruj yang menjadi salah satu alternatif dalam penanaman dan pemantapan iman.[55]

Taklim

Taklim wa ta’allum adalah salah satu kegiatan dakwah yang dilakukan oleh Jemaah Tabligh dalam menjalankan Sunah Rasulullah saw.. kegiatan ini adalah merupakan kegiatan wajib bagi yang telah mengikuti Jemaah Tabligh, baik saat keluar di jalan Allah (khuruj), atau juga di rumah bagi keluarga yang ditinggal dan orang yang telah ikut aktivitas Jemaah Tabligh.

Demikian gambaran sekilas tentang upaya dakwah yang dilakukan Jemaah Tablig, dengan program yang disesuaikan prilaku Nabi dan para Sahabat beliau.

H. Hipotesa

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah disebutkan sebelumnya, maka dapat diajukan hipotesa sebagai berikut, bahwa masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun memandang positif terhadap dakwah Jama’ah Tabligh tapi tidak terlalu terpengaruh dengan pesan-pesan yang disampaikan.


I. Metode Penelitian

1. Sifat dan Pendekatan Penelitian

Penelitian mengenai pandangan masyarakat pedesaan Kecamatan Bayeun terhadap dakwah Jama’ah Tabligh ini bersifat deskriptif analitis, yaitu dengan menggambarkan keadaan objek penelitian pada saat penelitian ini dilakukan, berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.[56] Untuk memberikan bobot yang lebih tinggi pada metode ini, maka data atau fakta yang ditemukan dianalisa dan disajikan secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.

Di samping sifatnya sebagai peneltian yang deskriftif analitis, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini didominasi oleh pendekatan kualitatif, yaitu suatu pendekatan yang tidak dilakukan dengan mempergunakan rumus-rumus dan simbol-simbol statistik.[57] Seluruh rangkaian cara kerja atau proses penelitian kualitatif ini berlangsung secara simultan (serempak), dilakukan dalam bentuk pengumpulan, pengolahan dan menginterpretasikan sejumlah data dan fakta yang ada, dan selanjutnya disimpulkan dengan metode induktif.[58]

Dalam penelitian ini walaupun dalam prosentase yang lebih kecil, pendekatan kuantitatif masih tetap digunakan. Pendekatan kuantitatif ini berfungsi untuk memperoleh data-data melalui kuesioner. Pendekatan kualitatif dan kuantitatif secara bersama-bersama dapat dilakukan apabila desainnya adalah memanfaatkan satu paradigma. Sedangkan paradigma lainnya hanya sebagai pelengkap saja.[59] Dalam penelitian ini pendekatan kuantitatif yang penulis gunakan hanya untuk mendukung data atau fakta yang diperoleh melalui pendekatan kualitatif tersebut.

2. Sumber Data

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggabungkan kegiatan studi lapangan (field research) sebagai data primer dan kajian pustaka (library research) sebagai data sekunder.

Sebagai data primer maka studi lapangan (field reseach) dimaksudkan untuk menemukan substansi penerapan dan pelaksanaan hukum kewarisan dari sudut budaya, cara berpikir, sarana dan prasarana, keyakinan dan lain-lain yang berasal dari masyarakat.

Populasi penelitian ini adalah seluruh desa di Kecamatan Bayeun Kabupaten Aceh Timur yang terdiri dari 16 desa. Dari 16 desa berdasarkan purposive sampling,[60] dipilih empat desa sebagai sample penelitian yaitu;

1. Desa Bayeun.

2. Desa Sarah Tebeh.

3. Desa Aceh Seuleuma

4. Desa Sara Kaueye.

Adapun alasan pemilihan keempat desa tersebut sebagai sample adalah: dengan melihat geografi, bahwa dua desa terakhir mewakili desa yang terletak di pelosok kecamatan Bayeun Kabupaten Aceh Timur, sementara desa Bayeun sebagai ibu kota kecamatan tentu harus dijadikan sampel pula, dan desa Sara Tebeh mewakili desa yang lebih dekat kepada ibu kota kecamatan. Sementara dengan melihat demografi wilayah tersebut, maka dua desa pertama dipilih karena kehoterogenan penduduknya yang terdiri dari berbagai suku pendatang. Sementara dua desa terkahir yang berada di pelosok realtif lebih homogen.

Selanjutnya pada setiap desa yang telah ditetapkan sebagai sample tersebut ditentukan 25 orang sebagai responden untuk mewakili seluruh populasi yang sifatnya bervariasi, yaitu mulai dari jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dengan demikian jumlah keseluruhan responden yang dijadikan sebagai sample sebanyak 25 dan dikali 4 desa, maka jumlahnya adalah 100 orang.

Adapun karakter responden terdiri dari:

1. Kepala desa yang mewakili masing-masing desa yang dijadikan lokasi penelitian.
2. Pemuka agama yang mewakili masing-masing desa lokasi penelitian.
3. Tokoh adat yang mewakili masing-masing desa lokasi penelitian.
4. Masyarakat yang pernah terlibat ataupun tidak dalam Jama’ah Tabligh.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data tersebut maka digunakan teknik studi kepustakaan/studi dokumen, observasi/pengamatan, angket/kuisioner, dan wawancara. Observasi adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala yang tampak pada objek penelitian yang pelaksanaannya langsung pada tempat dimana suatu peristiwa, keadaan atau situasi sedang terjadi.[61] Angket adalah cara menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden.[62] Wawancara adalah usaha mengumpulkan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula yaitu dengan cara kontak langsung atau dengan tatap muka.[63]  Setelah data terkumpul maka untuk menganalisa data baik dari observasi, angket dan wawancara dipergunakan tehnik stratified random sampling dari populasi tersebut dan dilakukan secara berjenjang, tidak langsung pada unit sampling yang menjadi unsur populasi tersebut.[64]


Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah MASYARAKAT PEDESAAN KECAMATAN BAYEUN , anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com
Daftar Pustaka dan Footnote
Daftar Pustaka



al-Gazali, Imam, I¥ya ‘Ulumuddin, juz I. Kairo: t.p. 1967.



an-Nadwi, Sayyid Abu al-¦asan ‘Ali, Maulana Mu¥ammad. Jakarta: Ash-Shaff, 1997.



an-Nadwi Sayyid Abu al-¦asan ‘Ali, Life and Mission of Maulana Mu¥ammad Ilyas. Lucknow India: Academy of Islamic Research and Publications, 1983.



Arifin, M., Psikologi Dakwah: Suatu Pengantar Studi . Jakarta: Bulan Bintang, 1977.



Ashshofa, Burhan, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.



Asy’ari, Sapari Imam, Sosiologi Kota dan Desa . Surabaya: Usaha Nasional, 1993.



Baz, Syaikh Abdu al-Aziz ibn Abdullah ibn dan Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Jilaul Azim. Terj. Jakarta: Hagatama Insani Press, 1996.



Birtanto, Interaksi Kota-Desa . Jakarta: Ghalia, 1983.



Birtanto, Pengantar Geografi Desa . Yogyakarta: UD Spring, 1977.



Esposito, John L. (ed), The Oxfort Encyclopedia of The Modern World. New York: Oxford University Press, 1995.



Hodgson, Marshall, The Venture Of Islam. jil. I. Chicago: Chichago University Press, 1974.



Hornby, AS., Oxford Advanced Learner’s Dictionary of English Current. Oxford: University Press, 1974.



Ilahi, Maulana Asyaq, Enam Prinsip Tablig, Peny. Supriyanto Abdullah. Yogyakarta: Ash-Shaff, 2000.



Jailani, Abdu al-Qadir, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.



Jabir, ¦usein ibn Mu¥sin ibn ‘Ali, Membentuk Jama‘at al-Muslimin, terj. Abu Fahmi. Jakarta: Gema Insani Press, 1991.



Kartasapoetra, G. dan L. J. B., Sosiologi Umum. Jakarta: Bina Aksara, 1987.



Kasimy, Maulana Ikramullah Jan, Zadu ad-Da‘i. Pakistan: Maktabah Sa‘idiyah, tt.



Lembaga Penelitian WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran Akar Ideologis dan Penyebarannya, terj. A. Najiyullah. Jakarta: al-Islahi Press, 1993.



Mahfouzh, Syeikh Ali, Hidayah al-Musyidin. Libanon: Daar Ma’arif, 1952.



Margono, S., Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.



Masy’ari, Anwar, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiah. Surabaya: Bina Ilmu, 1993.



Moleng, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualiatif. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.



Mulkan, Abdul Munir, Islam Murni Dalam Masyrakat Petani . Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000.



Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: UGM-Press, 1987.



Nawawi, Hadari dan Mimi Martini, Penelitian Terpadu. Yogyakarta: Gajah Mada University Perss, 1996.



Peorwadarminta, WJS., Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.



Pirzada, Abdul Khaliq, Maulana Mu¥ammad Ily±s Diantara Pengikut dan Penentangnya, terj. Masrokhan A¥mad. Yogyakarta: Ash-Shaff, 1999.



Rouceh, Joseph S. dan Roland L. Warren, Pengantar Sosiologi . Jakarta: Bina Aksara, 1984.



Rousydy,T. A. Latief, Retorika Komunikasi dan Informasi . Medan: Rainbow, 1985.



Sayogyo, Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1995.



Shahab, Nadhar M. Ishaq, Khuruj fi Sabilillah, sarana tarbiyah ummat untuk membentuk sifat imaniyyah. Bandung: Pustaka Billah, t.t.



Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatau Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, tth.



Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum . Jakarta: UI Press, 1986.



Sutardjo, Kartohadikusumo, Desa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.



Soedjono, Soesabdo Marmo, UU no. 5Tahun 1979 . Jakarta: Bina Aksara, 1981.



Ya’qub, Ali Mustafa, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi . Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.



Widiastuty, S., Grand Kamus. Surabaya: Apollo, tt.




[1] Marshall Hodgson, The Venture Of Islam (Chicago: Chichago University Press, 1974) jil. I, hal 338.

[2] T. A. Latief Rousydy, Retotirak Komunikasi dan Informasi (Medan: Rainbow, 1985), h. 39.

[3] M. Arifin, Psikologi Dakwah: Suatu Pengantar Studi (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 19.

[4] Ali Mustafa Ya’qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 221.

[5] Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatau Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, tth.), h. 153.

[6] Abdul Munir Mulkan, Islam Murni Dalam Masyrakat Petani (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000), h. 20.

[7] Anwar Masy’ari, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiah (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), h. 68.

[8] Pakaian seperti ini termasuk seperti peci atau serban, sarung, pakaian lengan panjang, baju koko dan sebagainya.

[9] Nadhar M. Ishaq Shahab, Khuruj fi Sabilillah, sarana tarbiyah ummat untuk membentuk sifat imaniyyah, (Bandung: Pustaka Billah, t.t.), h. 37.



[10]WJS. Peorwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 703.

[11]AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of English Current, University Press, 1974, hlm. 590 dan 956.

[12]S. Widiastuty, Grand Kamus, Apollo, Surabaya, tt., hlm. 663.

[13] Kartohadikusumo Sutardjo, Desa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 10.

[14] Birtanto, Interaksi Kota-Desa (Jakarta: Ghalia, 1983), h. 15.

[15] Birtanto, Pengantar, h. 17.

[16] Joseph S. Rouceh dan Roland L. Warren, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Bina Aksara, 1984), h. 100.

[16] G. Kartasapoetra dan L. J. B., Sosiologi Umum (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 58.

[17] Syeikh Ali Mahfouzh, Hidayah al-Musyidin (Libanon: Daar Ma’arif, 1952), h. 15.

[18] T. A. Latief Rousydy, Retotirak Komunikasi dan Informasi (Medan: Rainbow, 1985), h. 39.

[19] M. Arifin, Psikologi Dakwah: Suatu Pengantar Studi (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 19.

[20] Sayyid Abū al-¦asan ‘Alī an-Nadwi, Maulānā Mu¥ammad Ilyās, terj. Masrokhan A¥mad, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Mu¥ammad Ilyās, (Jakarta: Ash-Shaff, 1997), h. 5.

[21] Sayogyo, Sosiologi Pedesaan (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1995), h. 28.

[22] Birtanto, Pengantar Geografi Desa (Yogyakarta: UD Spring, 1977), h. 8.

[23] Sosiologi Pedesaan ialah kajian mengenai penduduk desa dalam hubungan dengan kelompoknya. Ia menggunakan metode dan prinsip sosiologi umum dan menggunakannya dalam kajian mengenai penduduk desa. Ia mengkaji ciri-ciri penduduk desa, organisasi sosial desa, dan berbagai lembagai dan assosiasi yang berfungsi di dalam kehidupan sosial desa, proses sosial yang penting seperti yang terdapat dalam kehidupan di desa, pengaruh perubahan sosial atas organisasi sosial desa, dan beberapa masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa.

[24] Kartohadikusumo Sutardjo, Desa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 10.

[25] Soesabdo Marmo Soedjono, UU no. 5Tahun 1979 (Jakarta: Bina Aksara, 1981)

[26] Birtanto, Interaksi Kota-Desa (Jakarta: Ghalia, 1983), h. 15.

[27] Birtanto, Pengantar, h. 17.

[28] Joseph S. Rouceh dan Roland L. Warren, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Bina Aksara, 1984), h. 100.

[29] G. Kartasapoetra dan L. J. B., Sosiologi Umum (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 58.

[30] Sapari Imam Asy’ari, Sosiologi Kota dan Desa (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), h. 100.

[31] Ibid.

[32] ibid., h. 108.

[33] Sayyid Abū al-¦asan ‘Alī an-Nadwi, Maulānā Mu¥ammad Ilyās, terj. Masrokhan A¥mad, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Mu¥ammad Ilyās, (Jakarta: Ash-Shaff, 1997), hlm. 5.

[34] Ibid, hlm. 6.

[35] Menurut al-Ġazāli, ‘uzlah dan khalwat artinya memusatkan diri untuk ibadah, bertafakur, dan merasakan kejinakan hati dengan bermunajat (mendekatkan diri) kepada Allah, menghindarkan diri dari berbicara dan bergaul dengan makhluk. Menggunakan waktu dengan menyingkapkan segala yang dijadikan sir (rahasia) oleh baik tentang masalah langit dan bumi, akhirat maupun alam malakūt. Lihat, Imām al-Ġazāli, I¥yā ‘Ulūmuddīn, juz I, (al-Qāhirah: t.p. 1967M/1387H), hlm. 142. Dan Abdu al-Qadir Jailāni. Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 173.

[36] Ada penjelasan bahwa Maulānā Mu¥ammad Ilyās adalah seorang komandan pasukan militer Pakistan yang bertugas mendalami ilmu “Diniyah” yaitu salah satu Tariqat yang banyak pengikutnya di benua India. Dia dan keluarganya adalah pengikut setia Tariqat al-Jisiyyah a¡-¢ūfiyah. Selanjutnya baca, ¦usein ibn Mu¥sin ibn ‘Alī Jābir, Membentuk Jama‘at al-Muslimīn, terj. Abū Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), hlm. 259

[37] I b i d .

[38] Ibid, hlm. 39.

[39] Ibid, hlm. 7-8

[40] Sayyid Abū al-¦asan ‘Alī an-Nadwi, Life and Mission of Maulana Mu¥ammad Ilyās, (Lucknow India: Academy of Islamic Research and Publications, 1983), hlm. 33

[41] Sayyid Abū al-¦asan ‘Alī an-Nadwi, op. cit., hlm 47

[42] Syaikh Abdu al-Azīz ibn Abdullah ibn Bāz dan Syaikh Abū Bakar Jābir al-Jazairī, Jilāul Azān, terj. A¥mad Najīb Ma¥fū© Lc, Menyingkap Tabir Kesalahfahaman Terhadap Jama‘ah Tablīġ, (Jakarta: Hagatama Insani Press, 1996), hlm. 11.



[43] Ibid.

[44] John L. Esposito (ed), The Oxfort Encyclopedia of The Modern World, (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 168.

[45] Motivasi itu dalam Jemaah Tablig dikenal dengan bayan hidayah (petunuk pelaksanaan).

[46] Sayyid Abū al-¦asan ‘Alī an-Nadwi, op. cit, hlm. 51.

[47] Nadhar M. Ishaq Shahab, Khuruj fi Sabilillah, sarana tarbiyah ummat untuk membentuk sifat imaniyyah, (Bandung: Pustaka Billah, t.t.), hlm. 37.

[48] Abdul Khaliq Pirzāda, Maulana Mu¥ammad Ily±s Diantara Pengikut dan Penentangnya, terj. Masrokhan A¥mad, Yogyakarta: Ash-Shaff, 1999, hlm. 26.

[49] Ini berdasarkan, Surat Al-Qashash 28: 56. “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya…”

[50] Abdur Ra¥man Haji Abdullah, Gerakan Islam Tradisional…op. cit, hlm. 23

[51] Ibid, hlm. 259.

[52] Program khuruj sebagai realisasi dari firman Allah dalam surat Ali ‘Imrān ayat 110 yang artinya: kalian adalah ummat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, mengajak kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Kata-kata dikeluarkan mengilhami harus keluar untuk berdakwah, dan tidak boleh ditempatnya sendiri. Lembaga Penelitian WAMY (World Assembly Moslem Youth), Gerakan Keagamaan dan Pemikiran Akar Ideologis dan Penyebarannya, terj. A. Najiyullah, Jakarta: al-Islahi Press, 1993, hlm. 77



[53] Maulānā Asyīq Ilāhi, Enam Prinsip Tablig, Peny. Supriyanto Abdullah, (Yogyakarta: Ash-Shaff, 2000), hlm. 18

[54] Maulānā Ikramullah Jan Kasimy, Zadu ad-Da‘i, (Pakistan: Maktabah Sa‘idiyah, tt), hlm. 30-58

[55] Dari pengamatan penulis, Jemaah Tablīġ menyamaratakan isi dari ceramah yang disampaikan, dan terkesan itu-itu saja, hanya menyangkut prinsip yang enam, dan tidak pernah menjurus kepada masalah politik, hukum, atau juga khilafiyah. Hal ini berlaku di semua tempat dan keadaan walaupun berbeda orang yang menyampaikan tetapi isi dari ceramahnya nyaris tak berbeda.

[56] Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terpadu, Gajah Mada University Perss, Yogyakarta, 1996, hlm. 173.

[57] Ibid., hlm. 175

[58] Lexy J. Moleng, Metodologi Penelitian Kualiatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999, hlm. 5.

[59] Ibid., hlm. 22.

[60]Purposive sampling adalah tekhnik pengambilan sample yang didasarkan pada pertimbangan subyektif dari penulis. Jadi dalam hal ini penulis yang menentukan sendiri desa atau responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi. Lihat Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm. 91.

[61]Ibid, hlm. 94.

[62]S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Rineka Cipta, 1997, hlm. 167.

[63]Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, UGM-Press, 1987, hlm. 94.

[64]Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hl


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved