1. Biografi al-Razi |
Nama lengkap al-Razi yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali, Attamimi, al-Bakhri ath-Thabaristani, al-Razi, yang diberi julukan dengan Fakhruddin dan dikenal dengan Ibnu Al-Khatib Al-Syafii, beliau dilahirkan di Ray ( nama tempat ) pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 H , kemudian beliau wafat pada bulan syawal, 606 H. Beliau adalah seorang ulama yang memiliki pengaruh besar, baik dikalangan penguasa (sultan-sultan Khawarizimsyahiyah) maupun masyarakat umum. Beliau tumbuh dewasa dengan menuntut ilmu dan melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang terkenal seperti Khawarizmi, Khurasan dan benua yang terletak di belakang sungai. Ketika ia menyelesaikan dengan bapaknya, yang mana ia adalah murid dari Imam al-Baghawi yang terkenal, ia berguru lagi dengan al-Kamal al-Sam’ani al-Majdi al-Jaili dan banyak lagi ulama yang sezaman dengan mereka . Beliau juga seorang ulama yang menguasai berbagai ilmu secara mendalam dan luas sehingga dikenal sebagai ahli fiqh dan ushul fiqh, ilmu kalam, tafsir filsafat, tabib (dokter), ilmu hitung dan dikenal juga sebagai seorang sufi. Mengenai bidang-bidang ilmu tersebut, ia telah menulis beberapa kitab dan komentarnya, sehingga ia dipandang sebagai seorang filsuf pada masanya dan kitab-kitabnya menjadi rujukan penting bagi mereka yang yang menamakannya sebagai filosof Islam. Berkat kesungguhan dan keuletannya dalam menuntut ilmu jadilah al-Razi yang dikenal dengan pakar dalam ilmu logika pada masanya dan salah seorang imam dalam ilmu syar’i, ahli tafsir dan bahasa, sebagaimana ia juga dikenal sebagai ahli fiqh dalam madzhab syafi’i. Semasa hidupnya ia berhasil menyusun beberapa kitab diantaranya ialah : Mafatih al-Ghaib (yang sedang kita bicarakan), Asrar at-Tanzil wa Anwar at-Takwil, Ihkam al-Ahkam, dsb. |
2. Tafsir al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib dan metodenya |
Tafsir ini juga dikenal sebagai Tafsîr al-Kabîr atau Tafsîr ar-Râzi. Umumnya dipercaya bahwa al-Razi meninggal sebelum menyelesaikannya. Tafsir itu diselesaikan oleh salah satu muridnya, yang telah mengikuti metodologi dan idiom pendahulunya, sedemikian tepatnya sehingga tidak dapat dibedakan gaya keduanya , karena itu para ahli berbeda pendapat mengenai tempat yang ditinggalkan al-Razi dan mana yang dilanjutkan muridanya atau bahkan ada satu atau dua orang murid yang menyelesaikannya . Lepas dari polemik di atas, ini adalah salah satu kitab tafsir dengan menggunakan metode tahlili bi al-ra’yi yang paling komprehensif, karena menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an. Dalam tafsirnya sang pengarang terlihat berusaha menangkap substansi (ruh) makna yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Beliau (al-Razi) menggunakan ilmu-ilmu humaniora untuk menggapai tujuan (tafsir)-nya, yaitu menetapkan keistimewaan akal dan ilmu di hadapan al-Qur’an, membersihkan dari kerancuan pikiran dan kedangkalan akal, serta menegaskan kebenaran riwayat (teks) dengan kedalaman fikiran”. Adapun maksud dari tafsir ini dan segala uraiannya, antara lain: Pertama, menjaga dan membersihkan al-Qur’an beserta segala isinya dari kecenderungan-kecenderungan yang rasional, tetapi justru dengan itu diupayakan bisa memperkuat keyakinan terhadapnya (al-Qur’an); Kedua, pada sisi lain, al-Razi meyakini pembuktian eksistensi Allah dengan dua hal, yaitu “bukti terlihat” dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti terbaca” dalam bentuk al-Qur’an al-Karim. Apabila kita merenungi hal yang pertama secara mendalam, maka kita akan semakin memahami hal yang kedua, menurutnya lebih lanjut. Karena itu, dia merelevansikan antara keyakinan ilmiah dengan kebenaran ilmiah dalam tafsirnya. Ketiga, al-Razi ingin menegaskan bahwa sesungguhnya studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta digunakan untuk menakwil ayat-ayat al-Qur’an, selama berdasarkan kaidah-kaidah madzhab yang jelas, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah . Namun, karena pembahasan di dalamnya menggunakan metode penalaran logika dan istilah-istilah ilmiah, serta mencakup ilmu kedokteran, ilmu mantiq, ilmu filsafat, dan ilmu hikmah, maka kitab ini terkesan kehilangan intisari tafsir dan hidayah keislamannya. Sampai-sampai, sebagian ulama menilai “di dalamnya (Tafsir al-Razi) terkandung berbagai hal, kecuali tafsir”. Dengan bahasa lain, Abu Hayyan menegaskan bahwa Fakhruddin al-Razi menghimpun dan menjelaskan banyak hal secara panjang lebar dalam tafsirnya, sehingga (seolah-olah) tidak lagi membutuhkan ilmu tafsir . Fakhruddin al-Razi sangat mementingkan korelasi antar ayat-ayat al-Qur’an dan surat-suratnya, di samping penjelasan secara panjang lebar tentang tata bahasa (gramatika). Walau mencakup pembahasan yang ekstensif mengenai permasalahan filsafat, di antara berbagai aspek dari tafsir ini yang paling penting adalah pembahasan tentang ilmu kalam. Pembahasan ini memuat persoalan-persoalan yang berhubungan dengan Allah Swt. dan eksistensi-Nya, alam semesta, dan manusia, yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan alam, astronomi, perbintangan (zodiak), langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, serta bagian-bagian tubuh manusia. Dari hasil analisis kami, di tinjau dari metode pengumpulan datanya kitab tafsir ini menggunakan pendekatan tafsir tahlili yakni suatu pendekatan tafsir dengan melakukan penafsiran sesuai dengan urutan mushaf utsmany. Kitab tafsir ini terdiri dari 16 jilid ( peny- yang sedang kami kaji ) yang tebal, dicetak dan tersebar di kalangan orang-orang yang berilmu. Kitab ini mendapat perhatian yang besar dari para para pelajar Alquran karena ia mengandung pembahasan yang dalam mencakup masalah-masalah keilmuan yang beraneka ragam. Orang yang meneliti karya besar ini akan menemukan beberapa poin penting yang menarik perhatian, diantaranya : a. Mengutamakan penyebutan hubungan antara surah-surah Alquran dan ayat-ayatnya satu sama lain sehingga ia menjelaska hikmah-hikmah yang terdapat dalam urutan-urutan Alquran : yang diturunkan dari (Tuhan) yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS Fushshilat : 42) b. Sering menyimpang ke pembahasan tentang ilmu matematika, filsafat, biologi dan yang lainnya. c. Membubuhkan banyak pendapat para filosof, ahli ilmu kalam dan menolaknya -mengikuti metode ahli sunnah dan para pengikutnya- ia selalu mengerahkan segala kemampuannya untuk menentang pemikiran orang-orang Mu’tazilah dan melemahkan dalil-dalil mereka. d. Kalau ia menemui sebuah ayat hukum, maka ia selalu menyebutkan semua madzhab fuqaha. Akan tetapi, ia lebih cenderung kepada madzhab Syafi’i yang merupakan pegangannya dalam ibadah dan mu’amalat. e. Al-Razi menambahkan dari apa yang telah disebutkan di atas, dengan masalah tentang ilmu ushul, al-balaghah, al-nahwu dan yang lainnya, sekalipun masalah ini dibahas tidak secara panjang lebar sebagaimana halnya pembahasan ilmu biologi, matematika dan filsafat. Secara global tafsir al-Razi lebih pantas untuk dikatakan sebagai ensiklopedia yang besar dalam ilmu alam, biologi, dan ilmu-ilmu yang ada hubungannya, baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yang menjadi sarana untuk untuk memahaminya . |
3. Contoh tafsir Ar-Razi |
Di bawah ini, akan kami sajikan beberapa contoh tafsir al-Razi diantaranya telihat dalam menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 2 : قوله تعالى ( لاريب فيه ) فيه مسألان : المسألة لأولى : الريب قريب من الشك وفيه زيادة كأنه ظن سوء تقول رابني أمر فلان إذا ظننت به سوءِِ, ومنها قوله عليه السلام " دع ما يريبك إلى ما لا يريبك " فإن قيل : قد يستعمل الريب في قولهم " ريب الدهر " و " ريب الزمان " اي حوادثه قال الله تعالى ( نتربص به ريب المنون ) ويستعمل أيضا في معني ما يختلج في القلب من أسباب الغيظ قلنا : هذان قد يرجعان إلى معنى الشك لأن ما يخاف من ريب المنون محتمل فهو كالمشكوك فيه وكذلك ما اختلج بالقلب فهو غير متيقن.............. Firman Allah : tidak ada keraguan padanya (QS Al-Baqarah : 2), ayat ini mengandung dua masalah. Masalah pertama : kata al-raib hampir sama maknanya dengan asy-syak, tetapi di dalamnya ada tambahan seakan-akan ia prasangka buruk. Engkau katakan : “perkara si fulan meragukan diriku apabila kamu berprasangka jahat terhadapnya.” Seperti sabda Nabi yang berbunyi : “tinggalkan hal yang meragukanmu kepada hal yang tidak meragu-ragukanmu.” Maka jika dikatakan : kata al-raib kadang-kadang digunakan dalam perkataan mereka : raib al-dahr, raib al-zaman, yakni kejadian-kejadiannya. Melihat hasil penafsirannya al-Razi terhadap al-Qur’an, beliau menggunakan metode tahlili yang ditinjau dari segi pengumpulan datanya, dan ditinjau dari sumber penafsirannya menggunakan tafsir bi al-matsur dan bi al-ra’yi, disamping itu apabila ditunjau dari metode analisisnya yaitu tafsir tafshily yaitu secara terperinci. |
AL-KASYSYAF, (karya al-Zamakhsyari). |
1. Biografi al-Zamakhsyari Nama lengkap al-Zamkhsyari adalah Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsyari dan ia dijuluki Jarullah ( tetangga Allah ), karena ia pergi ke Makkah dan tinggal di sana lama sekali . Ia lahir pada hari Rabu tanggal 27 Rajab 467 H, bertepatan dengan tahun 1074 M di Zamakhsyar, suatu desa di Khawarizmi, terletak di wilayah Turkistan, Rusia. Ia hidup di lingkungan sosial yang penuh dengan suasana semangat kemakmuran dan keilmuan. Dan beliau wafat pada tahun 538 H, setelah ia kembali dari Makkah. Ia mendapatkan pendidikan dasar di negerinya, kemudian pergi ke Bukhara untuk memperdalam ilmunya. Ia belajar sastra (adab) kepada Abu Mudhar Mahmud ibn Jarir al-Dhabby al-Ashfahany (w. 507 H). -tokoh tunggal di masanya dalam bidang bahasa dan nahwu, guru yang sangat berpengaruh terhadap diri al-Zamakhsyari- kemudian mengadakan perjalanan ke Makkah untuk belajar yakni memperdalam pengetahuannya dalam bidang sastra, sebelum ia berguru kepada Abu Mudhar, ia berguru kepada Abi al-Hasan ibn al-Mudzaffar al-Naisabury, seorang penyair dan guru di Khawarizm yang memiliki beberapa karangan, antara lain: Tahdzib Diwan al-Adab, Tahdzib Ishlah al-Manthiq, dan Diwan al-Syi’r. Dalam beberapa buku sejarah, ia tercatat pernah berguru kepada seorang faqih (ahli hukum Islam), hakim tinggi, dan ahli hadis, yaitu Abu Abdillah Muhammad ibn Ali al-Damighany yang wafat pada tahun 496 H. Tercatat pula ia berguru kepada salah seorang dosen dari Perguruan al-Nizhamiyah dalam bidang bahasa dan sastra, yaitu Abu Manshur ibn al-Jawaliqy (446-539 H). Dan untuk mengetahui dasar-dasar nahwu dari Imam Sibawaih, ia berguru kepada Abdullah ibn Thalhah al-Yabiry . Selama hidupnya al-Zamakhsyari hidup membujang. Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan al-Zamakhsyari memilih untuk terus membujang. Penyebab-penyebab itu antara lain: kemiskinan, ketidakstabilan hidupnya, dan cacat jasmani yang dideritanya . Mungkin juga, karena kesibukannya menuntut ilmu atau kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, dan karena karya-karya yang ditulisnya membutuhkan perhatian ekstra, sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan perkawinan. Ia seorang ulama dan imam besar dalam bidang bahasa dan retorika. Siapa saja yang telah membaca tafsirnya, maka akan menemukan banyak aspek gramatika yang berbeda. Ia memiliki otoritas dalam bidang bahasa Arab dan mempunyai banyak karya termasuk hadits, tafsir, gramatika, bahasa, retorika, dan lain-lain. Ia penganut madzhab Hanafi juga pengikut dan pendukung akidah Mu’tazilah. Tidak diragukan lagi bahwa al-Zamakhsyari adalah seorang ulama yang mempunyai wawasan luas, yang biasa disebut dengan al-Imam al-Kabir dalam bidang tafsir al-Qur’an, hadits Nabi, gramatika, filologi, dan seni deklamasi (elocution). Sampai-sampai setiap ia berada di satu kota (seprti Baghdad, Khurasan, Isfahan, Hamadan di Yaman) banyak orang yang datang menuntut ilmu dan berdiskusi dengannya, dalam diskusi dan pengajian ia dapat menyakinkan peserta dengan argumen-argumen yang kuat . Ia juga ahli sya’ir dalam bahasa Arab, meskipun berasal dari Persia. Sebagai seorang penulis terkenal dan produktif, al-Zamakhsyari meninggalkan beberapa karya monumental dalam beberapa bidang ilmu. Dalam karya-karyanya itu ia menuangkan pemikiran, ide, dan pandangannya dalam berbagai bidang ilmu yang dikuasainya, di antara karyanya yang teragung adalah kitab tafsirnya yang berjudul al-Kasysyaf (yang sedang kita bahas), kitab al-Muhajah fi al-Masa’il al-Nahwiyyah, al-Mufrad wa al-Murakkah fi al-‘Arabiyyah, al-Fa’iq fi Tafsir al-Hadis, Asas al-Balaghah fi al-Lughah, al-Mufashshal fi al-Nahwu, Ru’us al-Masa’il fi al-Fiqh dan masih banyak lagi lainnya . 2. Sekilas tafsir al-Kasysyaf Kitab tafsir ini berjudul lengkap Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh At-Ta’wil, yang disusun oleh al-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk melakukan ibadah haji yang kedua kalinya . Hal itu diketahui dari pengakuannya sendiri yang dituangkan pada muqaddimah tafsirnya. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa lama penyusunan kitabnya sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq . Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang kadang, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu. Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan Mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya . Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti aspek-aspek kitab tafsir ini, di antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrij Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani ( w 852 h/ 1448 m), Al-Inshaf fi ma Taqaddamahu al-Kasysyaf min I’tizal (Menyingkap pandangan-pandangan Mu'tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir al-Iskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai syair-syair dalam tafsir al-Kasysyaf) oleh Muhbibuddin Affandi. |
3. Metode penyusunan al-Kasysyaf |
Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang oleh al-Zamakhsyari disebut sebagai khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an\l-Nisa (surah ke-5). Jilid kedua berisi penafsiran yang terdapat pada surah al-An’am sampai pada surah al-Kahfi (surah ke-18), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah Maryam sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah Fathir (surah ke-35), dan jilid keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah Yasin sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-Nas (surah ke-114) . Al-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah al-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Al-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili. Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika al-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata ان قلت, in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan قلت, qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid al-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya : "Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang". Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra. Pada sisi lain karya al-Zamakhsyari ini banyak dijadikan sebagai obyek kajian para ulama, baik ulama mutaakhirin maupun para ulama mutaqaddimin, yang ditujukan terhadap berbagai aspeknya. Dari berbagai kajian tersebut diketahui bahwa di antara para ulama ada juga yang memberikan penilaian negatif, di samping yang positif. Komentar-komentar tersebut dapat dilihat antara lain di dalam kitab-kitab yang secara lengkap membahas mengenai hal itu, antara lain: Manhaj al-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur'an wa Bayan I’jazi karya Musthafa Juwaini, At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi, Manahil al-'Irfan fi ‘Ulum al-Quran karya Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Balaghah al-Qur’aniyyah fi Tafsir al-Zamakhsyari wa Atsaruhu fi Dirasat al-Balaghiyyah karya Muhammad Abu Musa . Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu: 1. Al-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah. 2. Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi. 3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa. 4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu. 5. Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at. 6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh. 7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan 8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual. Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh al-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada pandangan-pandangan Mu'tazilah. Walaupun berdasarkan keyakinan Mu’tazili, al-Kasysyaf tetap dianggap salah satu karya tafsir penting oleh para ulama sunni. Zamakahasyari memakai hadis secara analitis dalam karyanya, tetapi tidak mengindahkan rantai para penutur (sanad) atau pun keabsahan teks aktual yang dipindahkan (matan). Dia lebih menekankan penjelasan-penjelasan lingusitik. Selanjutnya metode tafsir al-Kasysyaf dapat diringkas sebagai berikut : a. Keistimewaan kitab ini adalah jelasnya segi-segi kemukjizatan al-Quran melalui penyingkapan keindahan pola balaghah, ma’ani dan badi’. b. Tafsir ini terbebas dari uraian yang panjang lebar c. Berpegang teguh dalam menjelaskan makna al-Quran pada bahasa Arab dan pola-polanya. d. Menggunakan cara bertanya dalam menafsirkan dengan berkata : “Bila anda bertanya, lalu disambung dengan, maka saya menjawab”. e. Tafsir ini terhindar dari Isra’iliyat. f. Mengenai masalah-masalah fiqh, al-Zamakhsyari bersikap moderat. Ia menyebutkannya sesuai dengan tuntutan ayat dan mendiskusikan tanpa berlebihan. Ia bersikap moderat dalam mentarjih, tidak terlalu fanatic kepada madhabnya, Hanafi. 4. Contoh Tafsir al-Kasysyaf Berikut cuplikan ayat yang terdapat dalam tafsir al-Kasysyaf surat al-Zukhruf ayat 67 : 67. Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. ( يومئذ ) منصوب بعدو أي تنقطع في ذلك اليوم كل خلة بين المتخالين في غير ذات الله وتنقلب عداوة و مقتا إلا خلة المتصقين في الله فإنها الخلة الباقية المزدادة قوة إذا رأوا ثواب التحاب في الله تعالي والتباغض في الله. وقيل ( إلا المتقين ) إلا المجتنبين أخلاء السوء. وقيل نزلت في أبي بن خلف و عقبة بن أبي معط. Imam al-Zamakhsyari berkata : kata ( يومئذ ) dalam ayat tersebut kedudukannya nasab, karena ada kalimat (menjadi musuh), makna dari ayat di atas adalah ( pada hari itu akan terjadi putusnya hubungan keakraban antara satu teman yang akrab dengan yang lainnya. Teman yang akrab berubah menjadi musuh. Hal ini tidak terjadi pada mereka yang beriman, membenarkan Allah swt. Karena orang-orang beriman adalah saudara akrab yang kekal, karena mereka mengetahui pahala bagi yang saling mengasihi antara satu dengan yang lainnya. Ada pendapat bahwa maksud dari ( إلا المتقين )adalah kecuali mereka yang menjauhi keakraban dalam berbuat kejahatan. Dikatakan bahwa ayat ini turun pada Ubay bin Khalaf dan Uqbah bin Abi Mu’thi. |
Daftar Pustaka
|